Musim sakura berlalu lebih cepat daripada biasanya
saat musim semi aku tiba di Tokyo, begitulah yang dikatakan oleh kakak asuhku,
Hiro. Ia bilang akulah yang mesti disalahkan. “Parah sekali kalau sampai hujan
pada musim begini,” katanya, seraya menggeleng-geleng padaku. “Kita mesti cari
nama yang lebih ceria buat kamu.” Maka namaku pun menjadi “Aya”, yang artinya
“cerah” dalam bahasa Jepang. Bapak dan Ibu Nojima, orang tua asuhku, pasti lega
dapat memanggilku dengan nama yang tidak semengusik nama asliku, “Rain”—hujan.
Tiga hari setelah aku datang, Hiro terbang kembali ke California, di mana dia sedang belajar arsitektur di UCLA. Seolah-olah dia ada di sini sekadar untuk membaptisku dengan nama panggilan Jepang. “Jangan terlalu baik, ya?” katanya ketika naik ke mobil bersama ayahnya, yang akan mengantarkan dia ke Bandara Narita. “Bisa-bisa orang tuaku memutuskan untuk mengadopsimu dan mendepakku.”
Semestinya
ia tidak perlu khawatir. Aku berusaha sebaik-baiknya untuk bersikap sopan dan
menyenangkan kepada keluarga Nojima, tapi ada yang menahanku untuk
berakrab-akrab dengan mereka. Aku bahkan tidak sanggup memanggil mereka Otosan
dan Okaasan walaupun mereka lekas menyebutku dengan panggilan karib
Aya-chan. Aku telah menyaksikan yang dapat terjadi ketika orang mengklaim apa
yang bukan milik mereka.
Begitu
sekolah dimulai, kehidupanku di Tokyo merupakan rentangan pekerjaan sekolah
yang tidak terputus. Walaupun aku bersekolah di SELHi[1]
dan kebanyakan pelajarannya menggunakan bahasa Inggris, aku harus mengikuti
pelajaran bahasa Jepang yang cukup intensif bersama murid pertukaran lainnya.
Bukannya aku berkeberatan—sebaliknya, kegiatan ini merupakan cara bagus untuk
mengalihkan pikiranku dari berkelana ke masa lalu.
Kadang-kadang
mereka membawaku melakukan studi lapangan untuk lebih mengenal kebudayaan
setempat. Tempat pertama yang kami datangi adalah kuil di Asakusa dengan
lentera merah besar digantung pada gerbangnya. Tapi yang paling kuingat dari
kunjungan itu bukanlah lenteranya, melainkan sesosok patung perunggu yang
tengah bermeditasi di halaman, dengan halo berbentuk teratai yang berasal dari
kepalanya. Aku saking terpesona oleh air mukanya yang tenteram sehingga tidak
menyadari salah satu guru menghampiriku dari belakang dan aku pun terkejut saat
ia bersuara.
“Kannon
adalah bodhisatwa untuk belas kasih dan rasa iba,” katanya. Ia menunjuk benda
berbentuk bohlam di tangan patung itu. “Yang dipegangnya itu permata pengabul
harapan.” Aku mengangguk sopan, lalu memicing pada buku panduan hingga dia
pergi hendak menjepret murid lain. Lantas aku menyapukan tanganku pada permata
itu dan membisikkan harapan untuk adikku.
=
Kami sama sekali berbeda, aku dan adikku—maksudku,
Rigel, saudara asliku yang sedarah di Filipina. Aku sudah bisa memainkan irama
lagu anak-anak pada umur tiga tahun, saat ibuku melahirkan dia. Aku ingat Ibu
duduk di sebelahku di bangku piano, perutnya yang bundar menekan kibor,
sementara aku memainkan “Mary Had a Little Lamb” atau “Twinkle, Twinkle Little
Star” untuk adikku yang belum lahir itu. Sewaktu usiaku dua belas tahun, aku
bisa memainkan piano dan biola dengan cukup baik sehingga surat kabar setempat
menampilkanku sebagai fitur dan menyebutku anak berbakat.
Tapi
sekalipun “bakat”ku tumbuh subur—begitulah orang tuaku dan guru-guruku
menyebutnya—Rigel tampaknya terperangkap dalam lengkung waktu perkembangan.
Sebagai anak, ia lambat memulai berjalan dan berbicara, namun orang tuaku tidak
menganggap keadaannya sebagai akibat alamiah dari lahir dan tumbuh di bawah
bayang-bayang kakak yang super berbakat. Di sekolah, kami jadi terkenal sebagai
Nona-Mozart-Cilik-dan-adiknya-yang-bodoh. Kasihan, kata orang, adiknya dapat
yang jelek-jeleknya—jatah IQ-nya mesti dimakan sama kakaknya.
Adikku
berusia delapan tahun saat orang tuaku akhirnya memutuskan untuk membawa dia ke
spesialis dan ia pun didiagnosis mengalami disabilitas intelektual. Aku sedang
di ruang tunggu bersama dia saat psikolog berbicara dengan orang tua kami, dan
aku menguping orang itu menanyai mereka kenapa adikku tidak segera
diperiksakan. Aku ingat tangis ibuku pecah saat psikolog itu melanjutkan. “Saya
tidak bermaksud menyinggung Anda, tapi bisa jadi bakat putri Anda, boleh
dibilang, mengalihkan perhatian yang sangat diperlukan oleh putra Anda.”
Aku
tidak bisa memercayai pendengaranku. Aku tidak mengerti kenapa aku yang
disalahkan karena keadaan adikku, padahal aku mencintai dia dan tidak pernah
membayangkan untuk menyakitinya. Tapi walaupun aku bisa mengabaikan omongan
tolol tetangga tentang kami yang seperti “the Lone Ranger dan Tonto[2]”
itu, rasanya lebih sulit untuk tidak mengacuhkan perkataan psikolog itu. Aku
tersinggung karena mereka sepertinya menuding pada—bahwa aku telah merampas
kasih sayang orang tuaku dari adikku.
Sejak
itu, aku menjaga jarak dari Rigel. Aku biasa memainkan piano dan biola untuk
dia, bahkan mencoba mengajari dia cara melakukannya, membimbing tangannya,
jari-jarinya, walaupun ia sepertinya paling suka mendengarkan saja permainanku.
Musik itu berpengaruh padanya. Ia suka duduk di tempat tidurku atau di sebelahku
di bangku piano dan mengamati kedua tanganku sembari melongo, dan begitu aku
menyelesaikan satu lagu, ia akan menatapku, mengejap, kemudian perlahan-lahan
mulai tersenyum, seakan-akan ia baru kembali dari suatu tempat rahasia yang
sangat indah. Tapi aku berhenti memainkan musik untuk dia setelah dia mendapat
diagnosis. Pada minggu-minggu pertama, ia akan berjalan menyisi padaku selagi
aku berlatih, menantiku bermain untuk dia. Tapi aku mengeraskan diri. Jauh di
lubuk hati, aku merasa seperti korban. Ini yang aku dapat dari menjadi kakak
yang baik untuk kamu, batinku. Setelah beberapa lama, ia pun meninggalkanku,
matanya membesar dan berkaca-kaca.
=
Hiro pulang pada akhir Juni untuk melewatkan
liburan musim panas di Tokyo. Ketika sekolah berakhir pada pertengahan Juli, ia
menetapkan untuk berlagak menjadi pemandu wisata bagiku selama satu setengah
bulan yang tersisa itu sebelum ia mesti kembali ke Amerika Serikat. Ia
mengajakku ke mana-mana: Menyambar semangkuk ramen atau sepiring nasi kari di
warung-warung favoritnya. Ke Harajuku, di mana dia menunjuk-nunjuk sebagian
spesimen bergaya paling nyentrik, seraya bercanda bahwa aku bisa memperoleh tips
berpakaian dari mereka. Ia bahkan pernah mengajakku mendaki Gunung Takao di
pinggiran Tokyo, melarikan diri dari panas dan lembapnya kota.
Kadang
selagi kami berkeluyuran, berdua saja, aku merasakan ada samar-samar kehangatan
yang berdesir di dalam diriku—saat ia memegang tanganku untuk menunjukkan cara
menggunakan sumpit dengan benar, atau saat kami berdempet di bawah satu payung
karena mendadak terjebak hujan. Tapi, perasaan itu tak pernah bertahan lama,
selalu tergusah oleh pikiran akan adikku. Aku bertanya-tanya, apa gerangan yang
sedang dia lakukan di rumah. Kadang aku menetapkan untuk mencari alasan
berhenti jalan-jalan bareng Hiro, tapi aku tidak berhasil melakukannya. Apa
masalahnya, kutanya diriku sendiri—lagi pula dia akan pergi saat musim panas
berakhir.
=
Seiring dengan semakin dekatnya kepergian Hiro,
aku memeras otak mencari cara untuk membalas kebaikannya. Aku tidak punya cukup
uang untuk menraktir dia di restoran keluarga atau Mos Burger sekalipun. Maka
suatu sore, aku membeli onigiri serta kopi dingin Mt. Rainier
kesukaannya dari Family Mart kemudian meletakkannya dalam cangkir dan piring
keramik yang bagus di atas baki pernis, semuanya aku pinjam dari dapur ibunya.
Kami makan di lantai tatami kamarnya, yang jadi kamarku sejak kedatanganku pada
April. Ia bilang rasanya lebih enak daripada makan di luar.
Ia
memindai kamarnya, seolah-olah hendak membiasakan kembali dirinya, lalu
pandangannya jatuh pada hegalong yang bertopangkan dinding di kaki
tempat tidur. Aku membeli lira berdawai dua asal tanah kelahiranku itu dari
seorang pengrajin T’boli di sisi Danau Sebu saat aku berkunjung bersama orang
tuaku dulu saat hidup masih terasa lebih indah. Benda itu satu-satunya
penghubung dengan diriku di masa lalu yang aku hampir tidak ingat lagi, dan aku
pun tidak begitu yakin menghendakinya.
“Itu
apaan?” tanya Hiro, seraya menyorot alat musik yang bersandar pada dinding di
kaki tempat tidur itu. Ia tampak sama bingung dengan orang tuanya ketika
melihat barang itu tersandang di pundakku pada hari kami berjumpa di bandara.
Aku
meraih hegalong itu dan menyerahkannya pada dia. “Nih, coba deh.”
Ia
mengambilnya, membuainya di pangkuan selayaknya gitar, kemudian menggeleng.
“Bagaimana caranya memainkan ini? Senarnya cuma dua?”
Dengan
lembut aku melepaskan barang itu dari dia, menyesuaikan dawainya, kemudian
mulai memetik sebuah melodi.
Aku
berhenti di tengah-tengah lagu, mendadak teringat pada janji yang kubuat pada
diriku sendiri sebelum meninggalkan Manila. Bagaimana aku bisa lupa?
Hiro
tengah menatapku setengah menganga, saat aku membuka mataku. Ia juga tampaknya
baru terjentik dari suatu tempat jauh yang hanya diketahui olehnya.
“Sugoi,
Aya-chan! Permainan yang brilian.”
Kata-katanya
menyentakku.
“Kamu
bisa main apa lagi?”
“Dulu
aku main piano dan biola,” kataku seraya menggigit bibir. Berharap mengganti
topik, aku menambahkan, “Sekarang kibor yang aku mainkan cuma kibor komputer.”
Syukurlah,
ia tidak bertanya terus. Malah, ia tampak sama leganya untuk mengganti topik.
Kami pun beralih membicarakan kehidupannya di UCLA saat ponselnya berbunyi. Itu
temannya—mereka mengadakan acara makan malam perpisahan dadakan untuk dia di
Shinjuku.
“Ja,
mata ne,”—sampai jumpa lagi—katanya, setelah berterima kasih padaku atas kudapan
ini. Ia menyelip keluar sembari membawa baki berisi barang-barang tembikar yang
telah digunakan, mengabaikanku saat aku bilang bahwa akulah yang mengadakan
acara sehingga semestinya aku yang membereskannya. Sebelum menuruni tangga, ia
berhenti dan berpaling padaku. “Hei, bagaimana kalau kamu ikut saja?”
Aku
menatap wajahnya yang mengharap. Aku hampir saja mengiyakan saat kenangan akan
wajah adikku melayang dalam benak. Apa yang kupikirkan ini? Aku ke sini bukan
untuk bersenang-senang ataupun mencari kasih sayang, melainkan menderita
sebagai orang buangan atas perbuatanku terhadap dia. “Aku ada esai yang mesti
dikumpulkan Senin,” kataku, seraya menutup pintu dengan lembut kemudian
menyandarkan kepalaku. Sesaat hanya ada keheningan, disusul bunyi langkah kaki
yang kembali memudar jadi keheningan.
=
Keesokan sorenya, Hiro mengetuk pintu kamarku.
Saat aku membukanya, ia mengigal masuk, mengambil hegalong kemudian
menyandangnya di bahu.
Aku
melongo mengamatinya, dan ia membalas tatapanku, seraya mengangkat alis.
“Kenapa? Yuk, kita jalan-jalan.” Ia menolak menyebutkan tujuannnya, sehingga
aku pun melompat ke sepedaku dan berkendara mengikuti dia, rasa penasaran
menundukkanku. Kami mengunci sepeda di sisi taman dekat Stasiun Kichijoji.
“Inokashira Koen,” begitu yang tertera pada petunjuk jalan. Aku mengikuti Hiro
sementara ia berjalan susah payah di jalur penuh rumput yang dinaungi
pepohonan, hegalong milikku berdebuk-debuk di belakangnya bersebelahan
dengan ranselnya. Napasku tertahan saat kami sampai di suatu tempat terbuka,
tampak sebuah danau cantik dengan banyak perahu di tengah-tengahnya.
Aku
semakin takjub saat mengedarkan pandang. Di seputar danau, anak-anak muda
berambut gimbal dan Afro dan segala macam topi serta gaya rambut menghamparkan
sarung-sarung bercorak ikat celup serta selimut-selimut tenun di atas permukaan
yang gundul untuk memamerkan karya seni mereka: sketsa dan potret seukuran
kartu pos, kotak korek api yang dilukis, ornamen dari kawat yang dipuntir,
perhiasan manik-manik, jimat pelindung, dan pernak-pernik. Yang tidak punya
barang untuk dijajakan mempertunjukkan bakatnya. Ada yang bermain lempar
tangkap botol anggur kosong, ada yang meniup didgeridoo[3],
ada yang memukuli tabla, dan ada juga yang melakukan pantomim. Aku merasakan
hatiku mencelus saat melihat mereka.
Hiro
sepertinya dapat membaca benakku. “Mereka di sini cuma dari akhir musim semi
sampai awal musim gugur, kemudian mereka beristirahat sepanjang musim dingin.
Ketika aku mendengar kamu main … barang bersenar dua itu, aku merasa harus
membawa kamu ke sini. Tapi pertama-tama kita mesti memberikan penghormatan pada
penjaga tempat ini.”
Ia
meraih tanganku lalu menggiringku ke seberang danau, di mana ada sebuah kuil,
yang lebih kecil daripada yang ada di Asakusa, tegak merapat di antara
pepohonan. Kami berdiri di depan bangunan kayu berlantai satu yang dicat merah
terang itu. Hiro membunyikan bel yang menggantung dari tepian atap kemudian
mengatupkan kedua belah tangannya sembari membungkuk dalam. Aku berbuat yang
sama, dan saat menegakkan badan aku berucap, “Kannon.”
“Hampir
mirip.” Hiro mengangguk. “Ini Benzaiten, dewi musik, pengetahuan, dan cinta.”
Aku
melongok lewat jalan masuk ke kuil, dan memang dewa di dalamnya, yang hampir
tidak terlihat karena gelap, memegang sesuatu yang tampaknya semacam kecapi
alih-alih perhiasan berbentuk bohlam.
“Yuk,
sekarang kita sudah dapat berkat. Aku sudah memilih tempat yang sempurna buat
kamu.” Ia menggandeng tanganku lalu, setengah berlari, menarikku ke arah suatu
tempat di dekat danau yang tampak paling ramai dilalui pejalan kaki. Di bawah
pohon tua yang berbonggol-bonggol, pada celah di antara dua permadani yang
ditutupi pernak-pernik jualan, ada papan kardus bertulisan cakar ayam “Sudah
Dipesan”. Hiro mengambil kardus itu, melipatnya jadi dua, kemudian
menjejalkannya ke dalam ransel.
“Ayo,
duduk,” katanya. Ayunan tangannya menggiringku ke arah pagar yang membatasi
danau, yang digunakan para penampil lain sebagai tempat bertengger. Ia
menurunkan hegalong dari bahunya kemudian menyerahkannya kepadaku
seperti karangan bunga. “Ini saatnya dunia mendengar musikmu.”
Aku
berdiri mematung di sampingnya, darah terkuras dari wajahku. “Tidak, tunggu,
Hiro, aku tidak bisa melakukannya, maafkan aku.” Aku mengedarkan pandang,
mencari-cari alasan. “Danau ini kelihatannya sangat indah—kenapa kita tidak
jalan-jalan saja naik perahu?” Aku memutar tumit dan menuju dermaga. Saat
menoleh ke belakang, aku melihat dia berdiri di tempat yang disiapkannya
untukku, cemberut. Aku melambaikan padanya dan membuat gerakan mengayuh, tapi
dia hanya menggeleng dan mundur hingga bersandar pada pagar. Mendadak aku
merasa marah. Bisa-bisanya dia menjebakku di tempat ini? Aku tidak pernah
meminta dia untuk membawaku ke tempat ini. Tapi aku juga merasa sedih menyadari
bahwa persahabatan kami telah menyerpih pada sore itu. Aku berusaha untuk
menarik perhatian dia sekali lagi, namun ia menunduk saja memandangi kedua
belah tangannya. Aku membalik badan menjauhi danau ke arah tempat kami memarkir
sepeda lalu memancal pergi sementara air mataku mulai berjatuhan.
Aku
tidak mendengar ia pulang malam itu. Keesokan paginya saat aku turun dengan
berseragam sekolah, ia menunggu di landasan tangga sambil memegang hegalong.
“Maaf, ya, kemarin. Bodohnya aku mengajak kamu ke sana dan berharap kamu main
begitu saja.” Ia langsung pergi sebelum aku sempat mengerahkan jawaban,
meninggalkan alat musik itu bersandar pada pegangan tangga. Sepanjang hari di
sekolah aku mencemaskan perkataan yang mesti kusampaikan pada dia bila aku
bertemu dia malam itu. Tapi dia tidak ada saat aku pulang. Ia pergi bersama
ibunya untuk berpamitan pada neneknya di Chiba. Aku berjaga selarut mungkin,
namun mestilah aku tertidur, karena saat aku bangun, matahari sudah naik dan
aku tahu dari sunyinya bahwa ia telah pergi. Aku berlari menuruni tangga dan benarlah
Ibu Nojima sendirian di dapur. “Ah, ohayo gozaimasu,” katanya. “Hiro
sudah pergi ke bandara bareng ayahnya. Dia tidak mau membangunkan kamu untuk
berpamitan.”
=
Untuk pertama kali sejak aku datang kemari, aku
berbohong kepada Ibu Nojima dengan memberi tahu dia bahwa aku merasa tidak enak
badan. Mataku yang merah bengkak meyakinkan dia. Memang benar—aku merasa tidak
enak. Sudah berakhir, pikirku. Tapi beberapa minggu kemudian, Hiro mengirimiku
surel yang isinya melantur. Aku tidak bermaksud kasar waktu sore di danau
itu, begitu ia memulainya. Danau itu punya cerita. Orang bilang
Benzaiten mengutuk tempat itu sehingga pasangan bahagia yang berperahu di sana
akan berpisah. Kemudian ia membeberkan bahwa mantan pacarnya dulu suka
bermain shamisen di taman itu tiap Minggu. Ia selalu menemani pacarnya,
rasa bangganya menggelembung saat orang-orang berkerumun dan bertepuk tangan
untuk pacarnya, malah sebagian orang bertanya apakah pacarnya itu selebriti.
Suatu hari, ketika pacarnya sudah selesai bermain, ia memberi tahu Hiro bahwa
ia mau jalan-jalan di danau. Saat itulah, di perahu berbentuk angsa ia
memutuskan hubungan dengan Hiro. Ketika pertama kali aku mendengar kamu bermain,
aku merasa seolah-olah dia kembali. Sore itu di taman, aku ingin kamu menjadi
dirinya.
Aku
duduk di depan komputer, membaca kata-katanya berkali-kali. Aku merasakan
kepedihan yang tajam, bertanya-tanya apakah selama ini dia baik padaku hanya
karena aku mengingatkan dia pada mantannya. Tapi bukankah dia sudah mau
repot-repot menghabiskan waktu bersamaku bahkan sebelum dia mendengarku
bermain? Aku tidak tahu bagaimana mesti membalas surelnya. Yang kutahu yang
bisa kulakukan sedikitnya untuk membalas dia yang telah memercayaiku atas apa
yang diceritakannya padaku, adalah dengan menjelaskan alasannya aku menolak
bermain hari itu, walaupun mungkin pada akhirnya ia akan membenciku setelah
mengetahui ceritaku. Aku pun menulisi Hiro surel panjang, menceritakan
segalanya tentang adikku dan apa yang telah aku lakukan padanya. Beberapa lama
tidak ada balasan dari Hiro, dan aku membayangkan ketakutan terbesarku—bahwa ia
tidak mau berhubungan lagi dengan aku setelah mengetahui pengakuanku—menjadi
nyata. Tapi persis ketika aku hendak menyerah menanti surelnya, balasannya
datang: Bukan hanya danau itu yang dikutuk. Aku dan kamu, kita juga,
dikutuk—jenis kutukan yang paling sulit untuk dipatahkan, karena kita yang
mengadakannya bagi diri kita sendiri. Barangkali, hidup mempertemukan kita
untuk membantu sama lain mematahkan kutukan itu.
Kutukan.
Aku tidak pernah menganggapnya begitu, tapi sepertinya ia benar bahwa aku telah
membiarkan peristiwa pada masa laluku mencengkamku bagai kutukan.
Kejadiannya
saat aku baru masuk SMA kesenian di lereng Gunung Makiling. Tiap tahun, kami
harus menampilkan konser untuk para patron sekolah serta orang tua kami. Aku
bertekad untuk mempersembahkan pertunjukan yang mengesankan, sehingga aku
menetapkan untuk memainkan “Caprice No.24” Paganini dengan biola, sepotong lagu
yang sulit. Aku menguping para guruku bahwa kepala dua konservatorium dalam
negeri akan hadir dan bahwa media akan meliput acara ini.
Seminggu
sebelum konser, Ibu mendatangi kamarku lalu duduk di tepi tempat tidurku sementara
aku memoles biolaku. “Begini, Rain. Ibu dan Ayah sama-sama ingin hadir Minggu
besok, tapi karena kamu tidak mau adikmu datang juga—“
Aku
bahkan tidak membiarkan ibuku menyelesaikan kalimatnya. “Seberapa sering sih
ada acara ini, Bu, setahun sekali? Aku malah sudah jarang ketemu Ayah dan Ibu
lagi, paling-paling akhir pekan. Dan Ibu tahu kan bagaimana orang kalau melihat
Rigel—omongan mereka menyakitkan dan nanti bisa-bisa acaranya jadi rusak.”
Ibuku
terdiam. Aku terus mengilapkan permukaan biolaku, tidak hendak menoleh dan
menatap padanya. Akhirnya, ibuku bangkit dan bertatih-tatih. Aku merajuk
sepanjang akhir pekan itu, tidak mau turun untuk makan, beralasan harus
berlatih. Aku bahkan tidak repot-repot mencium pipi Ayah seperti biasanya saat
ia mengantarku ke sekolah Seninnya.
Saat
Ayah datang menjemputku pada Jumat berikutnya, ia menyambutku dengan mengatakan
bahwa ia dan Ibu sama-sama akan hadir menyaksikan pertunjukanku di konser itu.
“Pokoknya kami tidak akan melewatkannya,” katanya, seraya mengacak rambutku.
“Kami sudah meminta Aling Cora menjaga Rigel nanti.” Aling Cora adalah tetangga
kami, seorang janda tua.
Aku
tidak ingat pernah bermain begitu bagus seperti pada Minggu malam itu, ketika
permainan biola soloku disambut tepuk tangan bergemuruh. Barangkali, sebagian
dari diriku tahu bahwa, setelah itu, bagiku musik akan ternodai oleh rasa
bersalah, ibarat kutukan. Karena malam itu, adikku, yang ingin pergi dan
menonton permainanku, mencoba memanjat jendela kamar tempat Aling Cora, yang
tidak sanggup menenangkan dia, mengurungnya—ia jatuh, sehingga kedua kakinya
patah, dan mencederai tulang belakangnya, dan setelah itu ia tidak dapat lagi
menggerakkan seluruh tubuhnya. Seakan-akan belum cukup dengan ketidakmampuannya
menggunakan seluruh otaknya.
Malam
itu, sementara aku berdiri di luar ruang operasi rumah sakit bersama orang
tuaku, kata-kata si psikolog berdering di telingaku. Kemudian aku tahu yang
mesti aku lakukan. Aku akan membawa diriku ke suatu tempat di mana aku tidak
dapat merebut milik adikku—tempat aku tidak harus menjulang di atas dia,
menyerap segala udara dan sinar matahari sehingga dia layu di bawah bayanganku.
Bulan
berikutnya, aku melamar untuk bergabung dalam program pertukaran pelajar di
tahun kedua. Di mana saja boleh, dan mereka pun menempatkanku di sekolah
Jepang. Sebelum pergi, aku membuat janji lain pada diriku: bahwa aku tidak akan
bermain musik—tidak dengan piano, biola, atau alat musik apa pun—kecuali untuk
diriku sendiri. Aku sadar musiklah yang telah menyimpangkanku, membuatku rela
mempertaruhkan segalanya, bahkan Rigel, agar dipuji dan disoraki.
“Kamu
tidak bawa biolamu?” tanya Ayah saat mengangkat barang-barangku untuk
dimasukkan ke mobil pada perjalanan ke bandara. Aku tidak tahu mesti menjawab
apa, sehingga aku menyambar hegalong yang bersandar pada dinding, dan
berkata, “Aku bawa ini—aku mau belajar alat musik baru.”
Kukira
saat itu aku telah menyerahkan segalanya: adikku, orang tuaku, musikku …. Tidak
terlintas bahwa mungkin kepergianku merupakan cara untuk kembali menemukan
mereka sehingga kami dapat memulai lagi.
=
Sakura kembali mekar tepat sebelum waktunya aku
pulang ke Manila. Begitu juga Hiro. Ketika pulang pada hari terakhir sekolah,
aku mendapati Hiro mendengkur di sofa. Aku bengong dan memandangi dia seolah-olah
dia itu siluman. Sampai waktu itu, aku tidak hendak percaya bahwa ia akan
repot-repot pulang sebelum aku pergi. Sebelumnya ia sudah memberitahuku bahwa
ia hanya punya beberapa hari sebelum term musim semi dimulai. Aku masih melongo
memandangi dia saat matanya mengedip-ngedip terbuka.
“Hei.”
Sengiran lambat-lambat melebar di wajahnya yang masih letih. Ia mengulurkan
tangan dan meremas tanganku saat aku menyambutnya.
“Kamu
balik.”
“Masih
ada yang harus kita lakukan, bukan?” Ia menahan kuap. “Kita balik ke sana besok
pagi, dan kali ini kita lakukan dengan sungguh-sungguh.”
Aku
menatap kedua belah telapak tanganku. Bagaimana dengan kutukan di danau itu,
batinku, meskipun aku tidak berani menanyainya. Tapi sepertinya ia dapat
membaca pikiranku.
“Jangan
takut sama danau itu. Kita akan mematahkan kutukan itu.”
“Bagaimana?”
“Kamu
ingat siapa yang memberikan kutukan?”
“Benzaiten.”
“Dewi
musik.”
Aku
biarkan kata-katanya itu meresap, lantas mengangguk paham.
Langit
berlapis fajar saat kami melompat ke sepeda keesokan harinya, dengan hegalong
tersandang melintang di punggungku. Kami mengayuh menyusuri jalanan yang masih
sepi menuju Inokashira Koen, meninggalkan sepeda kami di tempat parkir yang
kosong, tanpa repot-repot merantainya. Kami menuju ke arah danau dan melintasi
jembatan ke sisi seberang. Kami membalikkan salah satu perahu dan, setelah
masing-masing mengambil dayung, mengayuh ke bagian danau itu yang paling dalam.
Dengan lembut, aku mengayunkan hegalong dari bahuku lalu membuainya
dengan kedua lenganku.
Ditonton
Hiro, satu-satunya audiensiku, aku memetik sebuah melodi, dan melodi lainnya,
dan melodi yang lain lagi. Dalam benakku, aku sedang bermain untuk Rigel di
kursi rodanya, dan aku menetapkan, seketika itu, bahwa hal pertama yang akan
kulakukan begitu pulang nanti adalah memainkan musik yang kutampilkan pada
malam yang menentukan itu untuk dia. Aku tidak berhenti main hingga matahari
memijarkan kabut dari danau sementara jari-jariku lecet dan merah. Sesudah itu,
anehnya aku merasa tebersihkan. Hiro menggenggam kedua tanganku dan berbisik,
“Lihat, kan? Kutukannya sudah patah.” Aku menatap dia dan bertanya-tanya apa
maksudnya. Jauh di lubuk hati, aku berharap maksudnya bukan sekadar beban dari
masa lalu yang kubawa-bawa bersamaku, melainkan kutukan danau itu. Aku tidak
hendak menanyai dia.
=
Hiro benar saat mengatakan bahwa kutukan yang
paling sulit dipatahkan itu adalah yang kita adakan bagi diri kita sendiri:
rasa bersalah, marah, duka …. Pagi kemarin di danau itu, ia menolongku
membebaskan diri dari kutukan yang kutimbulkan sendiri sehingga berisiko
mendatangkan kutukan yang lain. Entahkah kutukan yang lain itu terpatahkan juga
atau tidak, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Tiga hari lagi, aku akan
meninggalkan Jepang untuk kembali pada adikku, orang tuaku, dan, ya, musikku.
Kami akan berpamitan, barangkali untuk selamanya. Tapi aku berharap kami dapat
berjumpa lagi—bahwa permainanku menyenangkan Benzaiten. Kurasa hanya waktu yang
dapat menjawabnya.[]
Catherine Rose Torres adalah diplomat Filipina dan penulis yang tinggal di
Singapura. Ia penerima penghargaan Palanca untuk fiksi, dan karya-karyanya
telah terbit di Ceriph, TAYO Literary Magazine, serta The Philippines
Graphics. Ia berperan dalam Write Forward, kursus menulis daring oleh
Birbeck College Writing Programme serta British Council Singapura. Ia pernah
tinggal di Jepang dalam rangka pertukaran budaya yang disponsori oleh JAL pada
1999 dan menjadi mahasiswi pertukaran di Universitas Tokyo dari 2000 sampai
2001.
Cerpen ini diterjemahkan dari "A Song for Benzaiten" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology
of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly
Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.
[1] Super English Language
High Schools.
https://educationinjapan.wordpress.com/the-scoop-on-schools/what-are-selhis/
[2] Mengacu pada tokoh fiksi
kesatria bertopeng The Lone Ranger dan pendampingnya seorang Indian Gila
bernama Tonto. Cerita mereka diangkat ke layar lebar pada 2013 dengan
dibintangi oleh Johnny Depp sebagai Tonto. Dalam bahasa Italia, Portugis, dan
Spanyol, “tonto” berarti “orang bodoh”.
[3] Alat musik tiup yang
berasal dari Australia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar