Saat
itu hampir Malam Tahun Baru. Suatu siang, aku berkeluyuran di depan rumah sakit
besar di pinggir kota. Ke sinilah Misaki dibawa.
Sebelumnya pada pagi itu aku menuju ke kafe manga dekat
stasiun dan mendapatkan informasi dari pamannya yang kelelahan.
“Bagaimanapun juga, saya menyesal.” Entah kenapa
pamannya minta maaf padaku. “Kami kira dia baik-baik saja. Dia jauh lebih
tenang sejak berhenti bersekolah, dan kelihatannya betul-betul bahagia
belakangan ini. Jangan-jangan itu karena dia sudah merencanakan. Omong-omong,
kok masnya bisa kenal Misaki?”
“Kami kurang lebih kenalan,” jawabku. Aku pun undur diri
dari kafe manga itu dan langsung menuju ke rumah sakit, tetapi ….
Aku sudah menongkrong di halamannya selama hampir dua jam. Di antara para pengunjung serta pasien yang keluar untuk berjalan-jalan, aku melangkah mondar-mandir di jalur dari gerbang utama ke pintu masuk.
Misaki ada di ruangan tersendiri di lantai empat pada
bangsal psikiatri terbuka. Tampaknya, dia telah menelan banyak pil tidur.
Dosisnya hampir mematikan; seandainya mereka tidak cepat-cepat, bisa jadi sudah
terlambat.
Entah dari mana Misaki mendapatkan pil tidur, tetapi
mungkin saja mereka pernah mengunjungi psikiater terdekat. Namun untuk memiliki
pil yang cukup banyak agar berhasil bunuh diri, mestilah dia sudah ke psikiater
setelah beberapa lama. Itu artinya upaya ini memang jelas-jelas disengaja.
Misaki telah merencanakan kematiannya sejak lama.
Sebenarnya niatku apa sih, muncul tanpa pemberitahuan?
Aku tidak bisa melakukan hal yang lebih baik untuk dia.
Haruskah aku berteriak, “Jangan mati!” …?
Haruskah aku menjerit, “Masih ada hari esok!” …?
Misaki telah menulis banyak kalimat klise semacam itu di
buku catatan rahasia miliknya. Tapi tidak ada yang menolong dia, maka dia mencoba
overdosis dengan pil tidur.
Pendeknya, tidak ada yang bisa aku lakukan untuk dia.
Malah boleh jadi lebih baik aku jangan menampakkan diri. Mungkin saja dia malah
akan merasa lebih hampa, karena dijenguk oleh hikikomori yang menyedihkan.
Begitu aku memikirkannya, aku putuskan untuk pulang
saja; tapi di gerbang rumah sakit, kakiku berhenti dengan sendirinya. Sekali
lagi, aku berbalik ke arah pintu masuk depan dan mengulangi peredaran itu lagi.
Pikiranku
berputar-putar. Kalau terus begini, bisa-bisa aku terus jalan bolak-balik
sampai malam. Aku tidak bisa memutuskan.
Akhirnya, dengan menguatkan keberanian, aku berlari
masuk ke rumah sakit supaya tidak sempat berubah pikiran lagi. Aku mendapat
tanda pengunjung di meja depan, menyematkannya di dadaku, lalu naik ke lantai
empat.
Seluruh lantai empat merupakan bangsal psikiatri
terbuka. Sepintas, kelihatannya tidak ada yang berbeda dari rumah sakit yang
biasanya. Kukira bangsal psikiatri itu bakal penuh oleh baju pengekang,
peralatan kejut listrik, serta laboratorium lobotomi. Tetapi, bangsal terbuka
yang ini bersih dan ceria; kelihatannya seperti bagian dari rumah sakit yang
biasanya saja.
Atau begitulah sangkaku. Begitu
aku menyadari bahwa ada nenek-nenek sekitar enam puluhan tahun, kelihatannya
seorang pasien, telah berjongkok di pojok lorong, cepat-cepat aku menuju ruang
401.
Di
ujung pojok gang lantai keempat ini, sebuah papan nama menunjukkan kamar
Misaki: “Misaki Nakahara,” tulisannya.
Tidak
salah lagi. Inilah ruangannya. Aku mengetuk pelan.
Tidak
ada sahutan.
Aku
coba mengetuk lagi, sedikit lebih keras; masih tidak ada jawaban juga. Akan
tetapi, ketukanku tampaknya sudah melonggarkan pintu itu, meskipun kemungkinan
sebelumnya sudah terbuka sedikit.
“Misaki?”
aku mengintip ke dalam ruangan. Dia tidak ada ada di dalam.
Yah, kalau dia enggak ada, mau
bagaimana lagi. Aku pulang saja deh!
Aku
memutuskan untuk meninggalkan keranjang buah yang sudah aku beli di toko
oleh-oleh rumah sakit. Kemudian aku menyadari ada yang meletakkan jadwal kereta
dalam posisi terbaca pada rak di samping tempat tidur. Jadwal tersebut dibubuhi
coretan di sana sini dengan pena bolpoin merah. Aku pun menyingkirkannya untuk
menaruh keranjang buah.
Seketika itu, secarik kertas bergeleparan ke lantai. Aku
memungutnya dan membaca: “Mikka Tororo-nya enak. Karena itu, selamat
tinggal, semuanya.”
Setelah mendesakkan secarik kertas berikut jadwal kereta
ke dalam saku mantelku, aku berlari keluar rumah sakit dan menuju ke arah
stasiun.
Matahari mulai tenggelam.
***
Mestinya
dia dimasukkan ke bangsal tertutup dengan jendela berjeruji besi, bukannya yang
terbuka tempat dia bisa keluar masuk seenaknya. Mestinya dia dipakaikan baju
pengekang dan dicekoki obat-obatan terus supaya dia senang. Tapi karena tidak
begitu, makanya dia pergi dari rumah sakit. Dia kembali ke kota tempat
kelahirannya. Mungkin dia mau mati di sana.
Aku ingat perbincangan kami beberapa waktu lalu:
“Tsuburaya, si atlet lari itu, sepertinya pulang ke
kampung halamannya tepat sebelum dia mati. Lalu katanya dia makan ubi parut bersama
ibu dan ayahnya.”
“Hm.”
“Sepertinya setiap orang ingin pulang ke kampung
halamannya sebelum mati.”
Mungkin
itu benar. Misaki juga pastilah mulai merasa ingin pulang ke tempat asalnya.
Mungkin dia berniat untuk tenggelam di laut dari tebing tinggi dan curam di
tanjung itu, tempat yang katanya dulu sering dia datangi untuk main. Tapi,
tidak akan semudah itu. Sekarang karena aku sudah menemukan catatan bunuh
dirinya serta jadwal kereta api ini, keberuntungannya sudah habis.
Sejauh
yang bisa kuketahui dari melihat coretan-coretan pada jadwal, Misaki baru naik
kereta sekitar satu jam lalu. Kalau aku mengejar dia, semestinya aku masih
punya banyak kesempatan. Aku tahu tujuan dia. Di samping itu, aku punya uang.
Kalau sebagian perjalanan aku tempuh dengan taksi, malah mungkin aku bisa
mencapai tujuan tersebut sebelum Misaki. Aku tak perlu khawatir.
Di
kereta malam, aku membuka peta yang kubeli di toko buku dalam perjalanan. Aku
mencari tanjung itu—yang kata Misaki dia sering main ke sana sewaktu dia masih
kecil. Ini dia. Peta ini hanya menunjukkan satu tanjung dengan kota asal
Misaki, jadi mestilah yang ini.
Kemungkinan
Misaki naik kereta yang berangkat tepat sebelum keretaku. Bercampur baur dengan
orang-orang yang mudik akhir tahun, kemungkinan dia menuju kota tempat dia
lahir, ke arah tanjung yang terkenal sebagai tempat bunuh diri. Tapi, dia tidak
tahu aku mengikutinya.
Aku tidak akan membiarkan dia lepas. Aku yakin dapat
menyusul dia. Soal itu, sedikitnya aku tidak khawatir. Masalahnya justru ada
pada hal lain.
Bila
sudah bertemu Misaki, aku mau bilang apa?
Aku
paham penderitaannya, kalaupun cuma sedikit. Walaupun cuma sepucuk ujung
kesakitannya, aku bisa membayangkannya sampai taraf tertentu. Mungkin dia
merasa terperangkap, seolah-olah tidak ada pilihan lain. Dan rasa sakitnya itu
tidak akan pernah lenyap di sepanjang hidupnya.
Tentu,
itu hal yang wajar. Dalam hal tertentu, rasa sakitnya itu lumrah saja terjadi
pada semua manusia. Penderitaannya itu hal yang biasa. Setiap orang terusik
oleh rasa-rasa yang serupa. Aku juga terusik olehnya.
Bahkan kalaupun aku terus hidup,
apa lagi yang bisa kuperbuat. Hanya kesakitan.
Menyadari itu, mungkinkah aku mencegah dia melompat?
Apakah hakku untuk menghentikan dia? Sebagai bagian dari masyarakat, mungkin
semestinya aku mengatakan hal yang sepantasnya seperti, “Bagaimanapun juga,
teruslah hidup!” atau “Berhentilah merengek!”
Aku
paham semua itu.
***
Selagi
pikiran itu berkecamuk dalam benakku, kereta tiba di tujuan.
Keluar dari stasiun, aku mendapati kesunyian kota. Saat
itu sudah tengah malam. Tapi terlepas dari waktunya, area di seputar stasiun
sesenyap kota hantu. Tidak ada tanda kehadiran seorang pun di jalan.
Ditambah
lagi, salju turun dan udara betul-betul dingin. Kota itu terletak di Laut
Jepang, sehingga masuk ke zona badai salju. Aku mengencangkan penutup leher
mantelku dan menuju ke arah satu-satunya taksi yang terlihat. Sopirnya tampak
terkejut oleh kedatangan penumpang. Lelaki itu, yang bersiap memasuki ambang
usia tua, terlihat seperti yang lagi tertidur di joknya. Terburu-buru ia
mengusap matanya.
Setelah masuk ke mobil yang hangat itu, aku menunjuk map
untuk memberi tahu dia tujuanku. Sopir itu menatapku untuk mengonfirmasikan,
diiringi dengan ekspresi yang mengatakan, “Serius nih?”
Aku mengangguk, dan mobil itu pun berangkat, sehingga
rangkaian bannya berdentang.
“Ke sana larut malam begini mau apa, Mas?”
“Mau lihat-lihat. Tolong yang cepat, ya, Pak.”
Sekitar
setengah jam kemudian, taksi itu pun keluar di jalan berbukit-bukit di
sepanjang tepi samudera. Jalan itu mengarah tepat ke sebuah bukit yang curam.
Di sebelah kanannya, laut yang hitam pekat membentang. Begitu kami mencapai
puncak bukit itu, taksi berhenti.
“Ini tempat wisata yang terkenal, tapi sebenarnya di
sini tidak ada apa-apa.” Sopir taksi itu berkata seolah-olah meminta maaf.
Aku membayar ongkosnya dan keluar dari taksi.
“Masnya bukan ada rencana untuk …. Ah, konstruksinya kan
sudah selesai, jadi enggak apa-apa kayaknya.” Bersamaan dengan itu, si sopir
taksi mundur kembali ke jalan.
Aku mengedarkan pandang. Betulan tidak ada apa-apa di
sini. Atau lebih tepatnya, saking gelap sampai-sampai aku hampir tidak bisa
melihat.
Karena samudera ada di sebelah kananku, kukira aku akan
menemukan jurang itu kalau aku menuju ke arah sana. Tapi yang menerangi area
itu hanyalah lampu jalan yang tersebar jarang-jarang. Aku merasa begitu tak
berdaya jadinya. Sementara waktu, aku menyeberang jalan. Kemudian, dengan
memanjat lewat ruang di antara pagar pembatas, aku bergerak di atas jalur yang
tertutup oleh salju.
Mestinya, Misaki ada di ujung jalur ini. Dengan
melangkah menembus salju, yang sampai ke mata kakiku, serta berhati-hati supaya
tidak terpeleset dan jatuh, aku terus menyusuri jalur yang memintas semak-semak
tebal itu. Seiring dengan setiap langkah, kegelapan di sekitar semakin pekat
saja.
Baru
sebentar, cahaya dari lampu jalan tidak lagi sampai kepadaku, dan aku
hampir-hampir tidak bisa melihat apa-apa. Lantas, tahu-tahu saja semak
berkurang. Jalur itu berakhir, dan di depan mataku terentang langit sehitam
tembaga serta Laut Jepang. Benar. Aku telah sampai di ujung tebing tanjung.
Terlalu gelap untuk melihat dengan baik, namun jurangnya ada sekitar sepuluh
kaki di depan. Aku akhirnya telah sampai. Aku telah mencapai tujuanku!
Tapi
di mana Misaki?
Aku
mengedarkan pandang, tapi tidak banyak yang bisa kulihat. Bulan purnama besar
mengambang di langit malam, tapi mataku belum terbiasa dengan kegelapan,
sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa selain siluet samar. Tampaknya tidak
ada tanda kehadiran seorang pun di mana pun. Itu saja yang bisa kulihat.
Apakah ini artinya? Apakah aku yang sampai duluan? Atau
apakah Misaki sudah berhenti entah di mana di perjalanan? Atau mungkinkah ….
Jantungku
mulai berdebar keras, dan darahku membeku.
Tidak, tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin dia sudah
lompat sebelum aku tiba, kan? Dia akan berada di sini sebentar lagi. Tidak lama
lagi, Misaki akan muncul dari jalur itu.
Aku melangkah mundur lalu duduk di bangku yang menghadap
samudera. Dengan wajahku berpaling penuh pengharapan ke arah jalur kecil itu,
aku menunggu Misaki.
Satu jam berlalu. Misaki tidak muncul. Sepertinya dia
tidak akan muncul sama sekali. Aku menangkupkan kepalaku ke tangan. Tanpa
sadar, aku mulai berbicara sendiri.
“Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Apa aku telat sampai?”
“Enggak kok.”
“Misaki sudah ….”
“Cuma beda lima menit. Mungkin kamu semestinya jadi
detektif.”
Perlahan-lahan aku memalingkan wajah ke sebelah kanan.
Tampaklah Misaki. Ia mengenakan mantel hitam yang melebur bersama kegelapan.
Seraya hinggap di tepi bangku, Misaki menjelaskan,
“Akhirnya kamu bersuara juga. Aku enggak tahu mesti apa soalnya kamu diam lama
banget.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar