Amarah
menggelegak hebat di dalam diriku. Aku merasa seolah-olah dia sudah
membodohiku. Dengan menekan perasaan itu dalam-dalam, aku berucap dengan nada
selembut mungkin, “Nah, pulang, yuk! Di sini dingin!”
“Aku enggak mau.”
Apa-apaan
tuh enggak mau?! Dasar, ah sialan, berhentilah mengolok-olokku.
Aku hampir saja mulai mencerca dia sekerasku; tapi entah bagaimana, aku bisa
mengendalikan dorongan itu.
Aku berusaha mengingat-ingat buku yang pernah aku baca dulu sekali berjudul Psikologi Pencederaan Diri. Buku ini punya teori, “Mereka yang mencoba bunuh diri sebenarnya ingin diselamatkan. Mereka ingin ada orang yang mendengarkan apa yang mereka ingin katakan, maka berusahalah dan dengarkan mereka dengan sikap yang baik, sehalus mungkin, tanpa menyuarakan komentar negatif apa pun.”
Sepertinya
begitulah pokok-pokok utamanya.
Aku berpaling kepada Misaki sembari membenahi kerah
bajuku, sebagai bukti akan sikap halusku. Kemudian, aku katakan, “Jangan mati.
Mari kita terus jalani hidup ini!”
Misaki
tersenyum. Senyuman mencemooh.
Aku
ingin memberi tahu dia betapa besarnya kerepotan yang kulalui agar sampai
kemari. Tentu saja aku tahan. Dengan suara yang ramah, aku bertanya, “Kenapa
tahu-tahu kamu mau bunuh diri?”
“Ini
bukan salahmu kok, Satou.”
“Aku
tahu kok. Jadi ….”
“Aku
capek hidup.”
“Jelaskan
yang konkret.”
“Aku muak dengan segalanya. Tidak ada alasan buatku
untuk terus hidup.” Ia melagukannya secara abstrak, dengan senyum melekat pada
wajahnya. Lagi pula, bukankah dia memang sedang membodohiku?
“Yah,
benar begitu. Kurasa aku tidak bisa tertolong oleh kamu lagi, Satou. Lagi pula,
kamu cuma hikikomori.”
Darah
menderu ke kepalaku. “Mati sana!”
“Aku
memang mau mati.”
“Enggak!
Aku bercanda. Jangan mati. Kalau kamu mati, nanti masuk neraka.”
“Enggak usah panik begitu deh. Dari awal memang aku
sudah mati, lihat saja dari banyaknya obat yang aku simpan setahun ini. Kalau
saja pamanku enggak memergoki aku, aku pasti sudah akan berhasil. Apa pun yang
mau kamu perbuat, Satou, aku sudah bertekad akan mati.”
Pada
musim yang dingin itu, sembari berdiri di tanjung dalam kegelapan yang sehitam
tinta, kami terus memperdebatkan apakah hendak hidup atau mati. Perbincangan
yang bertahun-tahun cahaya jauhnya dari dunia normal sehari-hari.
Saat itu sudah lewat tengah malam dan membekukan. Gigi
Misaki bergemeletukan.
“Mau yang mana pun juga, aku akan mati.” Ia mulai
menantang. “Cobalah menghentikan aku kalau kamu bisa, walaupun itu enggak
mungkin.”
Pandangan tentang bunuh diri yang secara tradisional
dipertahankan oleh masyarakat kami jelas tidak lagi ada faedahnya. Tanpa rasa
malu sama sekali, Misaki terus membela kematian.
Aku
menangkisnya, “Kalau kamu bilang begitu terus, Misaki, kamu enggak merasa
benar-benar ingin mati lagi, kan?”
Misaki merespons dengan memasukkan tangan ke saku
mantelnya lalu mengeluarkan sebuah benda logam.
“Aku bawa cutter nih.” Bilah meluncur dari
pegangan cutter. Serunya, “Sekarang, aku akan menyayat pergelangan
tanganku dengan cutter ini!”
“Bahaya,
tahu!” aku berusaha menangkap tangan Misaki.
“Jangan dekat-dekat!” Misaki cepat-cepat melompat dari
bangku untuk menghindari sambaranku.
“Aku enggak tahu mesti apa. Aku yakin sudah jadi gila.
Kalau kamu terlalu dekat, bisa-bisa aku melukaimu!” Sambil berteriak-berteriak
begitu, Misaki mengulurkan tangan kanannya, yang mencengkeram cutter,
serta menaruh tangan kirinya di balik punggung. Ia terlihat seperti sedang
memeragakan jurus anggar.
“Kamu apa-apaan sih?”
“Aku belajar dari buku berjudul Seni
Membunuh yang kubaca di perpustakaan. Aku sedang mempraktikkan seni adu
pisau dari Mafia Sisilia.”
Menjaga jarak beberapa meter di
antara kami, Misaki mengayun-ayunkan cutter itu, mengancamku.
“Kamu enggak muak? Muak karena orang yang mau kamu
selamatkan sampai menyusul kemari benar-benar sudah gila? Tapi, Satou, aku
enggak bisa apa-apa lagi. Aku yakin kamu juga berpikir seperti itu, kan? Kamu
kayak mau menunjukkan betapa kerennya kamu karena menyelamatkan seorang cewek
gila yang mau bunuh diri. Begitu kan maksudmu? Tapi itu mustahil. Mustahil!”
Karena
membelakangi bulan, penampakannya tidak terlihat jelas, sehingga aku tidak bisa
mengetahui bagaimana raut mukanya. Biarpun kedengarannya seperti sedang
membanyol, sebetulnya tidak. Sepertinya dia sudah teguh. Aku menanyainya dengan
serius, “Kalau aku bilang aku sungguh-sungguh jatuh cinta sama kamu, kamu mau
apa?”
“Aku enggak akan berbuat apa-apa. Aku sudah tamat.
Maksudku, kamu cuma hikikomori, Satou. Dan kayaknya kamu bakal segera berubah
pikiran. Lagian, sebenarnya kamu sama sekali enggak suka sama aku, kan? Kalau
seseorang enggak bisa jadi milikku seutuhnya, lebih baik aku mati. Enggak ada
seorang pun yang bisa memenuhi keinginanku. Aku tahu dari dulu. Karena itu,
makanya, aku mati saja.”
“Aku suka kamu! Aku cinta kamu! Tolong, jangan mati!”
“Ha ha ha. Kamu lucu banget, Satou. Tapi itu enggak ada
gunanya. Aku ingin mati!” Dialog kami ini entah bagaimana kedengarannya seperti
di komik serial cantik saja.
Meski begitu, aku tahu bahwa kata-kata seperti “cinta”
dan “benci” mungkin tidak begitu penting. Masalahnya mungkin ada pada hal yang
lebih mendalam dan mendasar. Kupikir aku mesti berusaha keras untuk menjelaskan
ini padanya. Bagaimanapun juga aku mesti bisa menerjemahkannya ke dalam
kata-kata kepada Misaki. Tapi, kata-kata dapat lenyap begitu saja. Ketika
kuucapkan lagi, sudah tidak lagi ada artinya.
Sungguh aku tidak mengerti. Apa yang mesti aku lakukan?
Mauku apa sih? Apa yang ada dalam pikiranku …? Sebenarnya tidak apa-apa sih
kalau dia mati. Begitulah pikirku.
Pada akhirnya toh sama saja. Bedanya cuma mati
secepatnya atau nanti. Kalaupun aku terus hidup, hanya ada lebih banyak
penderitaan dan kesusahan. Itu pun tidak ada artinya. Hidup ini tidak ada
artinya. Lebih baik mati. Ini kesimpulan yang sepenuhnya
logis yang tidak dapat disangkal siapa pun.
Setidaknya, akulah yang tidak bisa menyangkal itu.
Malah, aku ragu ada orang yang lebih tidak pantas berperan meyakinkan orang
lain supaya tidak bunuh diri daripada aku.
“Itu enggak baik.” Terus saja aku mengucapkan perkataan
konyol ini. “Jangan bilang mau mati.”
Segala
perkataan itu kedengaran dibuat-buat.
Kuputuskan untuk mengandalkan kekuatan fisik. Aku
mendekati Misaki, yang masih mengayun-ayunkan cutter. Ia mundur. Dengan
mengabaikan gerakannya yang liar, aku menerjang sembari mengulurkan tangan
kananku. Tepat sebelum tanganku menyentuh tubuh Misaki, bilah cutter itu
mengiris telapak tanganku. Sedetik kemudian, darah mulai mengalir. Meresap ke
salju.
Sakit,
tapi rasanya menakjubkan.
Misaki menatap bilah cutter yang berdarah itu,
raut wajahnya seperti yang tak sadar. Aku tersenyum kepadanya.
Misaki terlihat seperti yang mau tersenyum juga.
Angin bertiup, dan serbuk-serbuk salju pun menari-nari
ke atas.
***
Akhirnya,
aku paham. Aku tahu yang harus kulakukan: aku akan menjaga gadis ini agar tetap
hidup. Aku akan menyelamatkan dia.
Bagaimana
caranya? Apakah hikikomori seperti aku punya kekuatan untuk berbuat demi orang
lain? Bukankah yang semacam itu tidak mungkin? Apa tidak semestinya aku sadar
diri? Heh?
Tapi, entah di mana, pasti ada solusi yang ajaib. Aku
sungguh-sungguh memercayainya. Pasti ada cara untuk memecahkannya. Pasti ada
cara untuk memenuhi keinginan-keinginan Misaki begitu pula harapan-harapanku.
Tentu saja, aku sudah mengetahui jawabannya.
Aku akan menghapus lukanya dan membuat dia terus hidup,
tertawa dan gembira. Aku akan memberi dia semangat untuk menghadapinya hingga
esok, memberi dia kekuatan untuk hidup. Caranya—entah bagaimana, semestinya aku
sudah mengetahuinya.
Misaki pernah mengatakan padaku, “Seandainya Tuhan yang
jahat itu benar-benar ada, maka kita bisa terus hidup baik-baik. Seandainya
kita bisa melemparkan tanggung jawab atas kesengsaraan kita kepada Tuhan, maka
batin kita akan jauh lebih tenang, iya kan?”
“Seandainya aku bisa percaya pada Tuhan, aku bisa
bahagia. Sekalipun Tuhannya jahat, aku tahu aku bisa bahagia. Masalahnya … masalahnya
aku tidak pandai berimajinasi, jadi aku tidak mudah percaya pada Tuhan. Begini,
bisakah Dia menunjukkan keajaiban padaku, seperti yang ada di Alkitab?”
Misaki ingin percaya pada Tuhan, tapi Tuhannya adalah
penjahat. Tuhannya adalah biang kerok utama dari segala keburukan. Seandainya
Misaki dapat memercayai keberadaan sesuatu yang begitu jahat, Misaki bilang dia
bisa terus hidup. Seandainya keajaiban terjadi di hadapannya, itu akan
membuktikan keberadaan si penjahat ini. Misaki pernah mengatakan bahwa kalau
ada kejadian seperti itu, ia akan sanggup untuk terus hidup. Aku akan mengabulkan keinginanmu!
Caranya
ternyata sulit, mengerikan, kemungkinan mengharuskan pengorbanan yang luar
biasa besar. Tapi, itu juga yang aku dambakan. Mengorbankan diriku demi
menyelamatkan si protagonis perempuan merupakan tindakan paling mulia yang
dapat aku lakukan.
Ah, ingin aku menyombong pada
Yamazaki, Betapa bergairahnya aku sekarang, pada saat ini juga, hendak
menghabisi hidupku dengan cara yang luar biasa. Aku
benar-benar merasa hidup. Aku ingin mendongakkan kepalaku
tinggi-tinggi dengan rasa bangga dan menyombong kepada dia.
Memang benar, kalau dilihat secara objektif, malam ini
sangatlah dramatis. Seorang gadis mengayun-ayunkan pisau sementara aku berusaha
mencegah gadis itu supaya tidak bunuh diri. Semuanya ini terasa cukup
menggetarkan. Karena itulah, semestinya ada kata-kata yang tercurah. Dalam
situasi begini, semestinya aku menyampaikan kata-kata yang mengesankan.
Misaki
gemetaran. Aku mungkin gemetaran juga. Aku ketakutan, jadi aku berusaha
menguatkan keberanianku.
Kenangan selama dua puluh dua tahun usiaku melintasi
benak. Aku menyadari bahwa aku mengada demi momen ini, ketika aku akan
melakukan apa pun yang aku bisa—segalanya yang aku bisa—untuk menjaga gadis ini
tetap hidup. Mungkin inilah misi hidupku. Kalau bukan, maka tidak akan ada
artinya …. Tidak ada artinya aku hidup sampai sekarang, tidak ada artinya untuk
hidup kemudian mati. Seketika itu juga, aku memahami segala sesuatunya. Aku
mengetahui segala sesuatunya, dan segala sesuatunya itu berhubungan.
Aku akan menolong Misaki, yang sedang terguncang oleh
teror. Aku akan menyerahkan hidupku demi menolong dia. Mestilah situasi semacam
ini yang telah aku dambakan selama ini. Bendera-bendera yang menuntunku menuju
akhir telah berkibar semua[1]. Yang
tersisa untuk menggerakkan adegan ini tinggallah dialogku saja, yang mengarah
pada akhir seperti ini. Karena itulah, aku akan berdiri tegak dan
menghadapinya. Misaki bisa mendapatkan alasan untuk hidup. Akhirannya akan
membahagiakan.
Aku
takut. Kumohon, tolonglah aku ….
Meski
begitu, aku mengerahkan keberanian dan merangkul Misaki yang gemetaran. “Ini
bukan salahmu, Misaki.”
Aku memeluk dia dengan segenap kekuatan dan berbisik ke
telingaku. “Ini sama sekali bukan salahmu, Misaki. Kamu tidak berbuat salah
sedikit pun.”
Ia kecil kurus. Gemetaran, ia melekat padaku, dan
kegelapan pun melingkupi kami berdua.
Malam
itu angin kencang. Salju berjatuhan tipis-tipis. Keheningan semakin pekat.
Kenapa kami begitu sedih? Kenapa kami begitu kesepian? Tahukah kamu
alasannya? Oh, aku tahu. Ini karena kita akan berpisah, akan mengucapkan salam
perpisahan. Itu makanya kita gemetar. Selamanya kita sendirian, dan selamanya
kita kesepian. Begitulah adanya selalu, sudah jalannya begitu. Semua orang
seperti ini, jadi janganlah membenci dirimu. Jangan membenci dirimu. Ada
hal-hal lain yang semestinya kamu benci. Kamu harus tahu itu.
“Memang
benar, ada orang-orang jahat. Ada orang-orang yang telah menyakitimu, Misaki.”
Yang
tersisa untuk menggerakkan adegan ini tinggallah dialogku saja, yang mengarah
pada akhir seperti ini.
Kamu
sama sekali tidak perlu bersedih hati. Sama sekali tidak perlu. Kenapa kamu
mesti sedih? Kalau kamu selalu hidup dalam kesakitan, kesepian dan penderitaan,
itu irasional. Aneh, bukan? Itu tidak masuk akal. Itulah makanya pasti ada
seseorang, entah di mana, di balik semua ini. Seorang penjahat yang mencekokkan
penderitaan padamu.
Itulah
makanya ….
Itulah
makanya, di dunia ini, ada konspirasi.
Tapi, ada lebih dari sembilan puluh sembilan persen
kemungkinan konspirasi yang kedengarannya masuk akal itu, yang kamu dengar dari
orang lain, adalah delusi belaka atau malah kebohongan yang disengaja. Kalau
kamu mengunjungi toko buku, buku-buku dengan umpan seperti Konspirasi Besar Yahudi
untuk Meruntuhkan Ekonomi Jepang! atau Konspirasi Luar Biasa CIA yang
Menyembunyikan Pakta Rahasia Bersama Alien! semuanya itu sekadar delusi
remeh. Meski begitu ….
Meski
begitu ….
Sebagian kecil orang benar-benar terperosok dalam
konspirasi nyata. Malah, ada satu orang yang menyaksikan dengan mata kepalanya
konspirasi yang ada, pada saat ini juga, secara sembunyi-sembunyi sekali.
Siapakah orang ini?
Aku.
Apakah nama musuhnya itu? Aku
mengetahuinya. Aku telah mengetahuinya sejak lama, nama organisasi jahat yang
menyiksa kami, Tuhan keji yang sungguh-sungguh diharapkan keberadaannya oleh
Misaki. Namanya adalah ….
N. H. K.
Betul!
Aku ingat segalanya sekarang: nama musuhku, misiku, alasan keberadaanku, alasan
aku terus hidup sampai sekarang, serta alasan aku menghabiskan setiap hari
dengan hampa lagi hambar. Ya,
hidupku ini ada hanya untuk menyelamatkanmu. Mungkin benar begini. Semua ini
benar, jadi dengarkanlah aku!
Sembari masih merangkul Misaki supaya ia tidak menarik
diri, aku menjelaskan secara singkat namun terperinci. “Dengar, Misaki. Di
dunia ini, ada organisasi jahat. Namanya N. H. K. N. H. K. merupakan organisasi
raksasa yang jangkauannya seluruh dunia. Mereka kelompok rahasia yang keji, dan
merekalah yang telah mengakibatkan kita tersakiti. Semua ini gara-gara
kesalahan N. H. K. Setelah ini, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu akibat
perbuatan N. H. K. Semuanya adalah kesalahan N. H. K.!
“Pertama-tama, nama N. H. K. itu sendiri sebenarnya
kebetulan saja. Nama yang sesungguhnya tidaklah penting. Kalau kamu enggak suka
‘N. H. K.’, kamu bisa saja menyebutnya dengan apalah kamu maunya. Malah kamu
bisa saja menyebutnya Setan. Atau Tuhan yang jahat. Artinya sama saja.
“Betulan.
Nama sama sekali enggak penting. Itu bunyi-bunyian saja. Esensi sebenarnya dari
N. H. K. adalah: musuh imajiner yang menyiksamu. Contohnya, ada cewek dari klub
sastra SMA-ku. Buat dia, nama itu bisa berarti ‘Nihon Hiyowa Kyokai’—Persatuan
Orang Lemah Jepang, karena dia terus-terusan dikalahkan oleh kelemahan dirinya.
Mental dan jiwanya lemah.”
Mohon
berhentilah menyayat pergelangan tanganmu sendiri. Mohon berbahagialah
bagaimanapun caranya.
Sambungku,
“Kalau Misaki, N. H. K. artinya ‘Nihon Hikan Kyokai’—Persatuan Orang Pesimistis
Jepang. Karena nasibmu yang malang itu, Misaki, kamu memandang segalanya secara
pesimistis. Mohon maafkan aku karena sudah hidup. Jangan benci aku. Kamu
selalu merusak dirimu seperti itu.
“Kalau
N. H. K.-ku sendiri ….”
“Yah,
sebenarnya ini salah N. H. K. makanya aku jadi hikikomori, seperti karena salah
mereka juga kamu menderita, Misaki. Kenyataannya begitu. Aku bisa tahu ini ada
caranya. Aku bertarung dengan mereka. Aku sudah melawan mereka sejak lama, tapi
sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Akhirnya aku jadi korban mereka, dan
tidak lama lagi mereka akan membunuhku. Tapi Misaki, kamu tidak kenapa-kenapa.
Kamu mesti terus hidup, sehat-sehat.”
Misaki
jelas-jelas ketakutan sementara aku terus mengoceh tidak keruan.
Aku
melepas dia lalu melangkah mundur. Sekarang, aku akan menunjukkan pada dia
suatu keajaiban, keajaiban hebat, untuk membuktikan keberadaan N. H. K. Aku
akan mengungkapkan jati diriku sebagai prajurit kuat yang berjuang menghadapi
N. H. K., dan aku akan mengalahkan mereka demi dia.
Dengan
begitu, Misaki mungkin akan memercayai ceritaku. Dia akan terus hidup dengan
senyuman. Kemungkinan besar dia akan berhenti membenci dirinya sendiri, dan
kepribadiannya yang pesimistis itu pun akan tersembuhkan.
Itulah jawabannya. Aku akan memberi dia cinta yang
abadi. Kamu
takut. Kamu takut dibenci orang lain. Kamu takut orang akan berubah perasaan.
Tapi kamu akan baik-baik saja. Perasaanku tidak akan berubah. Aku mencintaimu,
dan perasaan itu sama sekali tidak akan pernah berubah.
Dan
alasannya …?
“Ah!
Aku tidak bisa meneruskannya! Ini serangan psikis dari N. H. K.!” aku
berguling-guling di salju.
“Apa aku kelihatan bakal gila? Kalau begitu, itu juga
gara-gara N. H. K. Mereka akan segera membunuhku! N. H. K. akan membunuhku!
Tapi aku akan membalas serangan itu! Lihat saja nanti!” Aku bangkit lalu
berlari, mengarah ke tepi jurang.
Aku
memperlambat lariku.
“Selamat tinggal, Misaki! Kakiku ini bergerak sendiri.
Aku akan dibunuh N. H. K. Tapi pada saat itu juga, aku berencana untuk membalas
serangan mereka. Aku akan menghancurkan mereka!”
Lajuku
berangsur-angsur meningkat.
“Betul! Untuk mengalahkan N. H. K., aku harus
mengorbankan diriku sendiri supaya aku bisa menggunakan serangan khususku.
Makanya aku harus pergi, tapi aku akan melindungimu!”
Aku
bergerak dengan kecepatan penuh sekarang.
Aku harus melenyapkan diri ke
dalam langit malam dengan segenap kekuatanku. Tepi jurang mendekat. Ah, aku akan loncat. Aku akan
menggunakan serangan khususku.
Karena
kesudahanku yang bukan main dungunya ini, Misaki mau tak mau akan memercayai
organisasi jahat itu. Karena serangan khususku ini, ia bisa menyaksikan akhir
dari organisasi jahat itu. Lalu mungkin kebahagiaan akan menghampirinya.
Apa pun yang terjadi, Misaki tidak perlu lagi merasa
bersalah. Hanya inilah yang aku inginkan. Memang aku selalu berniat ingin mati.
***
Aku
dapat memenuhi tujuan hidupku dan sekaligus menyelamatkan Misaki. Sungguh,
inilah cara paling terang untuk menyelam sambil minum air. Akulah yang telah
berencana untuk mati. Aku selalu, selalu berencana untuk mati.
Lagi pula, aku malah pernah mencoba mogok makan. Tapi
cara itu terbukti tidak ampuh. Orang bertekad lemah seperti aku tidak sanggup
menjalankan puasa; aku cuma tahan sampai empat hari. Kemudian, aku bekerja
untuk memperoleh biaya hidup. Itu sekalinya aku bekerja keras sebelum mati. Aku
selalu mencari cara untuk mati.
Singkatnya, aku orang yang jauh
lebih gila daripada kamu. Itu membuktikan bahwa secara emosional aku bukanlah
orang normal. Maksudku, kalau aku nomal, aku tidak akan berbuat yang seperti
ini, kan? Misaki, walaupun kamu memandang rendah padaku, terimalah juga cintaku
atau apalah itu. Aku akan segera mati, tapi Misaki, kamu mesti terus hidup. Aku
akan mengalahkan N. H. K. dan mengenyahkan organisasi keji yang nista itu.
Mohon percayalah. Kalau kamu memercayainya, kamu bisa terus hidup. Misaki, kamu
bisa tetap menjalani hidup.
Saksikanlah serangan khususku dan
camkanlah ke dalam benakmu. Hei, bisakah kamu melihatnya? Bisakah kamu melihat
Bom Revolusioner, yang bersinar dengan terangnya di tangan kananku. Ini Bom
Revolusioner yang tidak jadi digunakan Yamazaki, bom peledak bumi yang akan
membinasakan para penjahat. Bom ini sangat, sangat lemah, terlalu lemah untuk
memusnahkan N. H. K. Tapi ini lebih daripada cukup kuat untuk menghabisi
makhluk hidup nan kerdil, menyedihkan, lagi tak berarti ini—singkatnya, aku.
Dan kalau aku mati, N. H. K.-ku juga akan menghilang, sebab N. H. K. lah Tuhan.
Ialah seluruh dunia ini. Dan dengan kematianku, duniaku akan lenyap. Dan N. H.
K. pun akan menghilang. Itulah persisnya aku harus melancarkan serangan
khususku sekarang juga, dengan Bom Revolusioner yang legendaris ini.
Aku
akan mati. Aku akan segera terjun dari tebing ini. Di belakangku, Misaki
meneriakkan kata-kata. Namun suaranya tidak lagi menjangkauku. Tidak ada lagi
yang dapat menghentikanku.
Inilah yang terbaik! Tubuhku berlari seperti angin. Ah,
aku merasa enak. Aku merasa tersegarkan, berlari secepat-cepatnya, di atas
tebing, dalam kegelapan.
Aku
juga takut. Aku tidak mau mati.
Aku
tidak ada alasan untuk hidup. Aku tidak mau hidup.
Sebentar
lagi, aku akan mati. Tinggal beberapa meter lagi sampai di tepi tebing. Dalam
beberapa detik saja, satu degup jantung, aku akan membubung ke langit yang
terbentang lebar.
Beberapa detik kemudian, seraya
mengayunkan kedua belah tanganku sekencang mungkin serta menjulurkan kedua
tungkai kakiku sejauh-jauhnya, aku akan terjun. Untuk
yang pertama kali, aku bisa sungguh-sungguh melarikan diri, meninggalkan
apartemen satu kamar enam tatamiku dan terbang tinggi, tinggi, ke langit
terbuka. Aku akan loncat dan terbang.
Ah, tinggal sebentar lagi. Aku akan segera terbang.
Aku akan loncat ke Laut Jepang, seolah-olah aku sedang
melakukan lari loncat jauh. Aku akan meloncat ….
Aku meloncat ….
Aku
meloncat.
Aku
meloncat!
Kedua kakiku terangkat dari tanah. Tubuhku melayang dan
beberapa saat kemudian akan segera jatuh.
Aku
akan jatuh dan terempas ke Laut Jepang.
Akhirnya
sudah begitu dekat—persis seperti di gim erotis yang diciptakan Yamazaki. Aku
akan melancarkan serangan khususku pada N. H. K. Untuk melindungi si protagonis
perempuan, aku akan menyerbu masuk ke pertempuran pamungkas. Aku memiliki
harapan atas skenario gim itu, dan aku akan mati tepat seperti yang aku
inginkan. Ini adalah kesudahan yang paling membahagiakan.
Sebentar lagi, aku akan terselamatkan ….
***
Kemudian,
terjadilah. Tahu-tahu ada yang melintas di benakku. Akhir gim
tersebut—bagaimanapun juga aku tidak bisa mengingatnya. Apakah tokoh utama gim
itu berhasil mengalahkan si organisasi jahat? Malah, memangnya ada akhirnya?
Ada
yang bilang, “Tidak ada cara untuk menang.”
Mungkin
ini hanya mimpi. Mungkin kesadaranku menghilang selama beberapa saat. Selagi
aku menari menembus ketiadaan, Laut Jepang yang hitam pekat serta langit cerah
berbintang membentang di depan mataku.
Lalu,
aku melihat mereka. Mereka mengolok-ngolokku.
Tubuhku
akan segera jatuh. Aku akan mati. Semestinya begitu. Tapi mereka bilang,
“Ingatlah.”
Di tebing yang curam ini, di mana sudah terjadi terlalu banyak kecelakaan, konstruksi penghalang telah selesai dibangun. Bom Revolusioner itu pun lenyap tanpa sempat meledak.
Aku menjerit, “Begini ya cara kalian?! Dasar pecundang!”
Tidak ada yang menyahut.
[1] Dalam gim erotis Jepang,
pemain harus mencapai “bendera” yang benar, atau adegan-adegan kunci, untuk
memperoleh akhir tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar