Sumire seorang romantis akut, sedikit
saja tatanan dalam gayanya--apa adanya dalam menghadapi dunia dan senang
menjadikannya bergejolak. Buatlah ia bicara, ia akan meracau tak henti-henti.
Tapi kalau bersama orang yang tidak cocok dengannya--dengan kata lain,
kebanyakan orang di dunia ini--ia hampir tidak akan membuka mulut. Ia
kecanduan merokok, dan hitung saja berapa kali ia kehilangan tiket tiap kali
mau menaiki kereta. Kadang ia begitu asyik dengan pikirannya sendiri sampai-sampai
lupa makan. Tubuhnya pun sekurus anak-anak yatim piatu korban perang dalam
sebuah film Italia lawas--mirip tongkat yang ditempeli mata. Aku mau saja
memperlihatkan fotonya, tapi tidak punya. Ia tidak suka difoto. Tak ada keinginannya
menunjukkan pada anak-cucu potretnya sebagai seorang seniman muda. Kalau saja
ada foto Sumire pada waktu itu. Fotonya akan menjadi bukti yang berharga
bahwa orang tertentu dapat menjadi begitu istimewa.
Urutan kejadiannya
simpang-siur dalam kepalaku. Wanita yang dicintai Sumire itu bernama Miu.
Setidaknya begitulah orang memanggilnya. Aku tidak tahu namanya yang
sebenarnya, yang nantinya akan menjadi masalah, tapi sekali lagi aku kejauhan
menceritakannya. Miu berkebangsaan Korea. Tapi ia tidak bisa berbahasa Korea
hingga memutuskan untuk mempelajarinya pada usia pertengahan duapuluh. Ia
lahir dan dibesarkan di Jepang lalu melanjutkan studi di sebuah akademi musik
di Prancis. Jadi selain bahasa Jepang, ia juga fasih berbahasa Prancis dan
Inggris. Pakaiannya selalu bagus dan sopan, dengan perhiasan yang mahal namun
tak mencolok. Selain itu ia mengendarai Jaguar 12 silinder warna biru laut.