“Mestinya ada jalan lain di sekitar
sini,” si anak lelaki berkata. “Kalau tahu-tahu ada gempa, jembatannya bakal runtuh. Tinggal jalan di ujung-ujung saja yang tersisa.”
Ia melirik kakaknya dengan puas.
“Kamu menakut-nakuti kakakmu saja,” kata
si ayah. “Itu tidak benar.”
“Tidak, sungguh,” anak lelaki itu
memaksa, “aku dengar burung-burung waktu tengah malam. Bukannya itu peringatan?”
Si anak perempuan melempar pandangan
beracun pada adiknya, lalu meraup setangkup Raisinets. Ketiganya terkurung
kemacetan di Jembatan Golden Gate.
Pagi itu, sebelum membangunkan
anak-anaknya, si ayah membatalkan les musik mereka. Ia memutuskan untuk
melewatkan seharian itu bersama-sama. Ia ingin tahu bagaimana anak-anaknya, itu
saja. Hanya—bagaimana sih mereka. Ia pikir anak-anaknya sama mandiri dengan
anjing-anjing yang dapat membawa tali kekangnya sendiri. Tapi bisa saja salah.
Bisa saja kan.
Anak
lelakinya punya teman yang loncat dari salah satu tingkat di Langley Porter[1].
Si teman sudah di sana dua minggu, seringnya bermain Ping-Pong. Temannya itu
bilang—ketika si anak lelaki berkunjung dan kalah main terus dengannya—jangan
pernah main Ping-Pong dengan pasien sakit jiwa karena begitulah yang terjadi,
kami akan menghabisimu. Malam itu juga si teman memotong sabuk merah yang
dikenakannya jadi dua, dan meninggalkan salah satu potongan di kasur. Kejadian
itu berlangsung tahun lalu ketika si anak lelaki berusia duabelas tahun.
Kau kira dirimu aman, pikir si ayah,
tapi masalahnya tidak terlihat olehmu karena kau menutup mata.
Hari ini mereka menuju Petaluma—ayam,
telur, dan gulat-tangan akbar nasional—untuk makan siang. Si ayah menawari
anak-anaknya untuk pergi ke semifinal gulat-tangan pria. Tapi katanya
gulat-tangan tidak begitu menarik sejak aturan keamanan yang baru, orang hampir
tidak bisa mematahkan lengan atau pergelangan tangan lawannya lagi. Yang bisa
diharapkan paling hanya melihat persendian tangan lepas dari sambungannya. Jadi
anak-anak itu bilang mereka lebih ingin ke Pete’s. Pete’s adalah tempat pengisian
bensin yang diubah menjadi tempat makan. Hamburger di sana dinamai dengan
nama-nama mobil, sedang pompa bensinnya sendiri dibiarkan sebagaimana adanya.
“Boleh aku minta satu?” Yang dimaksud si
anak lelaki adalah Raisinets.
“Tidak,” kata kakaknya.
“Boleh aku minta dua?”
“Kalian tidak boleh makan permen sebelum
makan siang,” kata si ayah. Sikapnya
sebagaimana seorang ayah yang menikmati waktu bersama anak-anaknya, namun malah
mendapat penolakan karena hal-hal yang kebapakan seperti itu.
“Maksud Ayah makan malam,” kata si anak
perempuan. “Bakalan sudah waktunya makan malam waktu kita sampai di Pete’s.”
Hanya jalur sebelah utara yang
dihentikan. Lalu lintas di sebelah selatan melaju dalam kecepatan normal.
“Lihat,” kata si anak lelaki dari bangku
belakang. “Stiker di bemper Porsche itu? ‘Kalau tidak suka caraku menyetir, ke
sisi jalan saja.’”
Langsung ia pada kakaknya. “Aku sudah
tahu mau belanja apa untuk Natal.”
“Aku dapat nilai paling tinggi di
kelasku di Kursus Mengemudi Ed,” sahut anak perempuan itu.
“Kalau begitu hari ini kakakmu boleh
menyetir waktu pulang,” kata si ayah.
Dari bangku belakang terdengar sirene,
teriakan minta tolong, lalu nyanyian pemakaman.
Si anak perempuan bicara pada ayahnya
dengan suara amat serius. “Tidakkah orang lain membuatmu ingin menyerah saja?”
“Ada yang punya lelucon? Ayah belum
tertawa seharian ini,” kata si ayah.
“Sudah pernah dengar lelucon guilotin?”
tanya si anak perempuan.
“Ayah belum tertawa seharian ini, jadi
ceritakan saja,” ujar adiknya.
Tatapan si anak perempuan
pada adiknya sanggup untuk menyeterika pakaian. Tatapan itu lalu merunduk. “Oh—oh,”
ucapnya, “Si Johnny keluar penjara.”
Adiknya menaikkan ritsleting celana.
Ujarnya, “Ayo ceritakan.”
“Dua
orang Prancis dan satu orang Belgia akan dihukum pancung,” si anak perempuan
memulai. “Orang Prancis yang pertama dibawa ke balok dan ditutup matanya. Si
algojo menurunkan pisaunya. Tapi berhenti seperempat inci di leher si orang
Prancis itu. Jadi dia dibebaskan. Dia pun lari sambil berteriak-teriak, ‘C’est
un miracle! C’est un miracle!”
“Ini
keajaiban,” terang si ayah.
“Lalu
orang Prancis yang kedua dibawa ke balok, dan sama—pisaunya berhenti, tidak
memotong kepalanya. Jadi dia pun
bebas, lalu lari sambil berteriak-teriak, “’C’est un miracle!’
“Akhirnya
si orang Belgia dibawa ke balok. Tapi sebelum matanya ditutup, dia mendongak,
menunjuk puncak guilotin, dan meratap, ‘Voilà la difficulté!’”
Ia
mengulanginya terus.
“Mungkin aku bakal pipis di celanaku kalau tahu artinya,” tukas si anak
lelaki.
“Kalau
sudah sampai bagian pokoknya ya tidak boleh dijelaskan,” sahut si anak
perempuan, “pokoknya lucu.”
“Itulah
masalahnya,” kata si ayah.
Pramusaji membagi-bagikan menu pada tiga
orang itu. Mereka duduk di pojok tempat yang dulunya merupakan area pelumasan.
Mereka diberitahu kalau menu spesial hari itu adalah Ayam Maroko.
“Aku ingin yang itu,” kata si anak
lelaki. “Ayam Merokok.”
Tapi ia mengubah pesanannya jadi
Studeburger dan kentang goreng setelah ayah dan kakaknya selesai memesan.
“Jadi,” kata si ayah, “siapa yang hari
ini tidak les musik?”
“Aku serius dengan permintaanku minggu
lalu, Ayah,” ujar si anak perempuan. “Ganti jadi les piano? Guruku bilang
peniup flute sejati bernapas hanya
dengan perut, aku tidak bisa.”
“Alasan sebenarnya dia ingin ganti,” celetuk
si anak lelaki, “pinggangnya bakal jadi dua inci lebih lebar kalau dia belajar
pernapasan perut. Gurunya bilang begitu juga.”
Si anak lelaki melapisi roti asamnya
dengan mentega, dan menjentikkan segumpal mentega dingin ke lengan baju
kakaknya.
“Ya ampun,” seru si anak perempuan, “kenapa
dia malah dikasih pisau dan garpu sih, bukannya ketapel sekalian!”
“Siapa yang mau mengadopsi kalian kalau
kalian tidak bisa jaga sikap?” tukas si ayah. “Mungkin kita bisa coba sedikit
tenang hari ini.”
“Kedengarannya seperti tulisan di batu
nisan Ayah,” sahut si anak perempuan. “Ingat apa yang mau Ayah sampaikan di
sana?”
Adiknya nimbrung dengan mulut penuh: “Hari
ini akan jadi hari yang tenang.”
“Mana bisa kalau ada kita,” imbuhnya.
“Kalian ini,” kata si ayah.
Pramusaji membawakan piring. Si ayah
menyodorkan gula pada si anak lelaki, dan garam pada si anak perempuan tanpa
diminta. Ia mengamati si anak perempuan menaburkan garam ke kentang goreng.
“Kalau Ayah sakit tenggorokan, Ayah
bakal kumur-kumur pakai itu,” ucapnya.
“Kelihatannya dia mau melelehkan jalan,”
imbuh si anak lelaki.
Si ayah mengamati anak-anaknya makan.
Mereka makan dengan cepat. Mereka menyebutnya Penggerogotan. Ia baru selesai
makan sementara keduanya mengisap sedotan dalam gelas yang sudah kosong.
“Lucu,” ucapnya dengan hikmat, “Ayah
jadi tidak lapar lagi.”
Demikianlah setiap makanan dihabiskan.
Mereka menanti si ayah mengucapkan hal-hal kebapakan, memanjatkan
syukur misalnya.
“Jadi ingat,” kata si anak perempuan. “Kamu
sudah kasih makan Rocky sebelum kita pergi?”
“Uh-uh,” jawab adiknya. “Aku sudah kasih
dia makan kemarin.”
“Kemarin!” sembur si anak perempuan.
“Oke, kita kompromi saja deh,” kata si
anak lelaki. “Kita tidak bakal kasih makan si kucing hari ini.”
“Menurut Ayah kali ini kamu sudah
kelewatan,” sambung si ayah.
Maksud si ayah, anak itu tidak boleh
mengusik kakaknya kalau soal hewan. Pernah, sewaktu makan malam, kucing itu
berlari ke ruang makan bagai dilesatkan dari pistol. Kucing itu mengitari meja
dengan kecepatan tinggi, lalu tergelincir di lantai parket sampai ke bawah
meja. Kucing itu jatuh pada sisi badannya, lalu terbatuk-batuk pendek. “Dia
pintar kan?” si anak perempuan bernyanyi lembut, berlutut di samping kucing
itu. “Dia tahu dia terluka.”
Selama bertahun-tahun, ayahnya bilang
kalau hewan-hewan yang terlihat di bahu jalan itu sedang beristirahat.
“Dia tidak akan pernah kasih makan
Homer,” kata si anak perempuan kepada ayahnya.
“Homer itu anjing,” kata si anak lelaki.
“Kalau aku lupa kasih makan dia, dia tinggal ke bukit dan makan rusa.”
“Atau anak-anak dari perkemahan musim
panas yang jualan permen di pintu depan,” si ayah mengingatkan mereka.
“Homer,” si anak perempuan mendesah. Kuharap
dia suka berkejaran dengan domba di peternakan di gunung itu.”
Si anak lelaki menatapnya dengan ragu.
“Kamu yakin? Kamu benar-benar yakin?”
Dalam kepala anak perempuan itu, seorang
tukang sulap yang canggung merenggut taplak, seluruh hidangan pun menubruk
lantai. Ia menghela udara ke dalam paru-parunya hingga terisi sepenuhnya, lalu
mengisi perutnya juga.
“Kukira dia tahu,” kata si anak lelaki.
Anjing tersebut sudah pergi lima tahun
yang lalu.
“Orangtua anak perempuan itu memaksa,”
kata si ayah. “Begitulah hukum di California.”
“Makanya aku benci California,” ujar si
anak perempuan. “Aku benci perlakuan mereka.”
Si anak lelaki bilang ia akan menunggu
mereka di dalam mobil, dan meninggalkan meja.
“Apa yang bisa menolong?” tanya si
ayah.
“Homer hidup lagi,” ucap anak perempuan
itu.
“Apa yang bisa menolong?”
“Tidak ada.”
“Pertolongan.”
Ia mencubiti sisa garam di piringnya.
“Perjalanan,” ucapnya. “Aku yang
menyetir.”
Si anak perempuan menyalakan mobil dan
menjerit, “Tuhan Sialan.”
Sementara gas belum menyala, si anak
lelaki telah menyetel saluran berbahasa Spanyol. Mariachi meledak berapi-api.
“Nama belakang Tuhan bukan Sialan,” kata
si anak lelaki, mengutip stiker bemper lainnya.
“Tidakkah orang lain membuatmu ingin
menyerah saja?” ucap si ayah.
“Tidak ada yang boleh bicara,” kata si
anak perempuan pada kaca spion, dan menggerakkan persneling.
Ia menyetir berjam-jam. Melalui hutan
eukaliptus dengan kulit kayunya yang lembap mengelupas, melewati semak akasia
berbunga kuning yang bergetar hingga tangkainya. Ia memotong jalan ke rute
pantai. Bebatuan
kelabu Inverness merona kehijauan.
“Pemandangannya banyak ya,” si anak
lelaki mencoba untuk memecah keheningan.
Selebihnya mereka diam.
Tidak ada yang mengucapkan apapun lagi
hingga langit senja. Si anak lelaki lagi-lagi menyeletuk, tidakkah seharusnya
mereka pulang.
“Tidak, tidak,” kata si ayah, melongok keluar jendela, ke arah langit, dan kembali ke jam tangannya. “Tidak,” ucapnya,
“menyetir saja—sekarang ini sorenya lebih cepat.”
Tapi langit memuntahkan hujan. Anak
perempuan itu mengarah ke selatan melewati jembatan. Ia menyalakan lampu depan.
Dasbor berpendar hijau. Ia membacakan odometer dalam perjalanan itu: “Duapuluh
enamribu tigaratus delapanpuluh tiga dan delapan per sepuluh mil.”
“Hari ini?” tanya si anak lelaki.
Si anak lelaki yang menemukan Rocky
duluan. “Mainkan kucingnya yuk,” serunya. Ia bawa kucing siam itu ke piano. Ia
duduk di bangku, memegangi si kucing di pangkuannya, dan menekankan kaki hewan
itu pada tuts-tuts. Rocky memainkan “Born Free”. Kucing itu menggeliat-geliat.
“Ayo, Rocky, sepuluh menit lagi baru
kita istirahat.”
“Berikan dia padaku,” kata si anak
perempuan.
Ia membuka mulut kucing itu dan
memasukkan makanan ke dalamnya.
“Bawa dia ke atas,” imbau si ayah. “Bawa
kantong tidurnya juga.”
Sebentar kemudian tiga kantong tidur
membentuk segitiga di kamar utama. Si ayah menjadi hipotenusa. Si anak
perempuan meminta ayahnya untuk menyisirkan rambutnya. Sementara si anak lelaki
mengudap jeruk keprok. Ia mengupas buah itu di dekat wajahnya, menghirup
aromanya. Lalu ia mengangkat masing-masing bagian ke arah cahaya supaya
biji-bijinya terlihat. Di pangkuan anak lelaki itu, kaki si kucing bergeleparan
bagai mata yang sedang bermimpi.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya si
ayah.
“Aku?” sahut si anak perempuan. “Mobil
Thunderbird 57, warnanya putih dengan interior merah, beratap terbuka. Aku mengemudikannya ke Texas dan mengenakan rok
berenda. Aku mengganti namaku jadi Ruby,” ujarnya, “kalau tidak, Easy.”
Si ayah
menganggap bayangan putrinya akan masa depan itu masih bisa berubah-ubah lagi.
“Cepat matang, cepat juga busuknya,” ia
mengingatkan.
Angin basah mengempaskan jendela ke dalam lengkung bingkainya, si anak lelaki menjengit.
“Aku benci hujan,” ujarnya. “Aku benci
tenaganya.”
Si ayah bangkit dan menutup jendela
lebih rapat untuk menahan badai. “Hujannya benar-benar lebat,” ujarnya.
Dalam gelap, berbaring tenang, rasanya tak
jauh beda dengan berkemah di bawah bintang-bintang, sambil bernyanyi di muka
api unggun yang membara.
Mereka telah mengucapkan selamat tidur
beberapa menit sebelumnya, ketika dua anak itu mendengar suara ayah mereka
dalam gelap.
“Anak-anak, Ayah baru ingat—Ayah punya
kabar baik dan kabar buruk. Mau dengar yang mana dulu?”
Anak perempuannya yang menjawab. “Langsung
saja ke kabar buruk.”
Si ayah tersenyum. Mereka baik-baik
saja, pikirnya. Anak-anaknya sama tangguhnya dengan hujan ini. I a
tersenyum tepat ketika kepala anak-anak itu berpaling ke arahnya, dan menjadi
gamang akan perasaannya yang—bukannya lebih baik, melainkan lebih lebih
lagi dari yang ia rasakan sekarang.
“Ayah bohong,” ucapnya. “Kabar buruknya
tidak ada.”[]
[1] Rumah sakit jiwa di San
Fransisco, California, AS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar