Hari-hari berikutnya cukup damai. Bel menghabiskan sebagian besar waktu di rumah dengan membawa serta Proyeknya. Saat di rumah mereka cenderung di kamar saja belajar membaca. Hari berikutnya lagi yaitu saat segala masalah dengan bank terwujud, dan berbagai hal benar-benar mulai runtuh, walaupun paginya dimulai dengan amat manis, karena Mbok P membangunkanku tepat sebelum siang dengan membawa baki berisi telepon.
“Halo?” ucapku, setelah memastikan bahwa ini bukanlah muslihat pembunuhan dari Mbok P.
“Halo,” terdengar suara asing. “Charles?”
Dengan jantung berdebar, cepat-cepat aku turun dari kasur dan berpijak. Suara itu terdengar parau, penuh gairah, sekaligus halus dan mengundang skandal. Suara itu bisa saja berasal dari ribuan film hitam putih--milik wanita kawakan yang meminta macis di bar, waris perempuan disertai detektif yang parkir di jalanan gelap, atau janda muda gemetar memohon pertolongan dari mantan pelaut yang sakit hati. Suara monokrom yang boleh jadi milik seorang saja.