Aku tidak pernah menganggap Bonetown
sebagai lebih daripada sekadar solusi sementara. Namun semakin lama aku tinggal
di sana, bayangan berjauhan dari Frank semakin menggelisahkan aku. Bukan karena
ia pernah mengatakan sesuatu, atau berbuat apalah. Lebih karena kenyataan
mendasar soal dia yang menenteramkan hatiku. Entah bagaimana, ia terlihat dapat
menopang berbagai hal, serupa dinding penyangga yang menahan dinding penting.
Hal
itu terasa kian masuk akal kala berada di antara rongsokan, bagian-bagian yang
dibuang dari kehidupan-kehidupan yang kandas. Maka aku membawa piano dari rumah
dengan van milik Frank, dan menjejalkannya ke ruang tamu, dan malam-malam
sepulang kerja—selagi Droyd, yang sedang diajari dasar-dasar Perbaikan Panel
oleh Frank, memalu-malu kandang yang dibuatnya untuk Malam Perpisahan yang
Panjang, sedang Laura menggantung gambar-gambar bunga dalam bingkai kayu dari Habitat, atau menyisir barang-barang hasil penyelamatan hari itu
kalau-kalau ada yang cocok dengan skema warna yang direncanakannya untuk
apartemen itu, sementara di bawah jendela para penjual narkoba menjajakan dagangannya
dan para pencandu gemetar takluk, adapun Frank mengorok lembut, dengan
kebapakan di hadapan tayangan berita televisi yang volumenya dimatikan—aku
mengulik potongan-potongan melodi yang datang kepadaku, atau barangkali pernah
kudengar dari sesuatu tempat: di pemutar pelat milik Bel, mungkin, si Dylan
itu, atau si perempuan yang dengan nada lemah gemulai menyanyikan lagu tentang
mesin pencuci piring atau cerek penyaring kopi. Hingga suatu hari aku berhenti
di depan pintu depan dan, dengan lipstik yang tidak kunjung kukembalikan kepada
Bel, menambahkan huruf C merah terang pada grafiti yang ada di situ.