Musim sakura berlalu lebih cepat daripada biasanya
saat musim semi aku tiba di Tokyo, begitulah yang dikatakan oleh kakak asuhku,
Hiro. Ia bilang akulah yang mesti disalahkan. “Parah sekali kalau sampai hujan
pada musim begini,” katanya, seraya menggeleng-geleng padaku. “Kita mesti cari
nama yang lebih ceria buat kamu.” Maka namaku pun menjadi “Aya”, yang artinya
“cerah” dalam bahasa Jepang. Bapak dan Ibu Nojima, orang tua asuhku, pasti lega
dapat memanggilku dengan nama yang tidak semengusik nama asliku, “Rain”—hujan.
Tiga hari setelah aku datang, Hiro terbang kembali ke California, di mana dia sedang belajar arsitektur di UCLA. Seolah-olah dia ada di sini sekadar untuk membaptisku dengan nama panggilan Jepang. “Jangan terlalu baik, ya?” katanya ketika naik ke mobil bersama ayahnya, yang akan mengantarkan dia ke Bandara Narita. “Bisa-bisa orang tuaku memutuskan untuk mengadopsimu dan mendepakku.”