Tibalah
musim semi.
Tentunya,
aku masih bersembunyi di kamarku.
Mengapa?!
Mengapa aku bersembunyi?! Kendalikanlah dirimu! Bekerjalah yang halal! Aku
berusaha melampiaskan amarah kepada diriku sendiri dengan cara begini;
tentunya, tidak pernah mudah berhenti menjadi seorang hikikomori.
Aku
masih menderita serangan neurosis, hasrat membunuh diri yang meletup-letup ke
permukaan dalam diam, dan segala macam masalah lainnya yang kuhadapi (sewa
tempat tinggalku naik atau minimarket langgananku ditutup). Sudah begitu, besok
aku kerja satpam. Benar-benar menyebalkan.
Kekhawatiran
yang memuramkan.
Padahal, sakura sedang mekar-mekarnya di sebelah luar jendelaku. Para mahasiswa baru melewati jalan di depan apartemenku. Aku merasa seakan-akan telah ditelantarkan oleh seluruh dunia, seakan-akan aku tengah diperolok oleh segenap umat manusia.
Sebagai contoh, baru-baru ini Yamazaki mengirimiku kartu
pos. Foto yang dicetak pada kartu tersebut memperlihatkan Yamazaki yang sedang
tersenyum lebar bersama seorang gadis cantik. Ia menulis, “Eh, kayaknya aku
sudah siap menikah. Orang tuaku selama ini telah repot-repot berusaha
menjodohkanku dengan seseorang. (Di kampung, orang cepat menikah). Dan karena
aku benar-benar tidak ada pilihan, aku datang ke acara perjodohan itu sekali
saja, dan lihat deh! Ia gadis yang sempurna!”
Tampaknya telah tiba masa ketika seorang lolicon
pencinta gim erotis sekalipun dapat dikaruniai kebahagiaan.
Matilah. Pergilah ke neraka.
Selanjutnya ada kartu ucapan Tahun Baru dari senior
perempuanku itu: “Kami tinggal di rumah gedongan. Kami saling mencintai. Aku
akan melahirkan.”
Ia
tampak sungguh-sungguh bahagia.
Pergilah ke neraka.
Belum
lagi, kehidupan Misaki pun sekarang ini telah bergerak ke arah yang betul-betul
menanjak. Saat ia kembali ke rumah pamannya, jelas saja ia dimarahi
habis-habisan. Agaknya ia terbenam ke dalam refleksi mengenai insiden tersebut
lebih dalam daripada lautan. Pada akhirnya, pada satu titik, ia membicarakannya
kepadaku. “Menurutmu bagaimana supaya aku dapat meminta maaf dengan layak?”
“Memangnya
tidak cukup hanya dengan menjalani hidup sehat?”
“Aku
telah membuat masalah lebih daripada yang bisa aku pahami sepenuhnya, jadi itu
saja tidak cukup, tahu? Aku perlu sesuatu yang, mengerti kan, setulusnya
mempertunjukkan rasa syukur dan permintaan maafku.”
“Pamanmu orang yang lumayan kaya, bukan? Kalau begitu,
bagaimana dengan kuliah? Kalau tidak salah, bukannya kamu sudah lulus ujian
masuk perguruan tinggi?”
Aku
kasih saja dia saran yang sepantasnya tanpa pikir panjang. Lalu, beberapa bulan
setelah itu, saranku telah menjadi bagian dari kehidupan nyatanya. Ia berencana
memulai kuliah musim semi ini. Tentu saja, kampusnya yang aku sekalipun bisa
memasukinya berdasarkan persentil ujian, sehingga ini tidaklah begitu
mengejutkan, tetapi ….
Bagaimanapun juga, gadis ini akan menjadi mahasiswi
sedang aku tetap seorang pekerja serabutan dan hikikomori.
Ah, aku tidak bisa menanggungnya.
Ke neraka sana, kalian semua!
Orang bilang, amal buruk akan kembali pada pelakunya.
Maka, aku menekan perasaanku dan berusaha mengharapkan kebahagiaan untuk semua
orang. “Bahkan sekalipun kalian semua masuk neraka, teruslah berjuang.”
Aku
pun berencana untuk berjuang sedikit demi sedikit.
Alasannya
karena selembar kertas yang kumiliki ini.
Kertas tersebut adalah kontrak, berupa selembar halaman yang dirobek dari buku catatan rahasia. Untuk memenuhi kontrak tersebut, aku tak ada pilihan selain berjuang.
***
Malam
itu ….
Aku
telah melompat, dan tahu-tahu saja mendarat. Aku mendarat di atas jaring kawat
yang dipasang di sekitar tebing untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Rangkanya
ditanam ke dalam tebing berbatu-batu itu sehingga membentuk kait. Sepatutnya
suatu lokasi tamasya, pengelolanya berusaha keras memasang pagar dengan
sedemikian sehingga keindahan pemandangannya tidak terganggu. Dan sepatutnya
suatu lokasi wisata, sama sekali tidak terdapat cela dalam langkah keamanan
ini.
Rasanya
ingin menangis.
Aku
pun menangis.
Aku
ingin mati, tetapi aku tidak bisa mati. Seandainya saja aku melangkah melewati
pagar ini dengan satu kaki saja, maka kali ini, pastinya aku dapat terbang.
Namun itu tak mungkin. Aku tidak dapat melakukannya. Kedua kakiku gemetar
hebat, dan suara debar jantungku luar biasa kencangnya. Aku merasa ketakutan,
aku merasa mual, dan aku ingin pergi dari tempat ini selamanya.
Aku
menjerit agar ada orang yang berbuat sesuatu. Aku menjerit bahwa aku ingin
mati. Bunuh aku sekarang juga, pikirku. Aku berharap ada orang yang
mendorongku.
Aku
tidak mau pulang dan mengurung diri di apartemen, dan aku tidak mau melihat wajah
Misaki. Aku tidak mau memikirkan apa pun yang bikin pusing, dan aku tidak mau
mengalami lebih banyak luka. Aku hanya ingin mati seketika itu juga.
Aku
mencakar-cakar kepalaku, menggulung tubuhku, lalu melengkung ke belakang. Lucu
tetapi menyedihkan. Aku terlihat seperti orang idiot. Tiap kali angin bertiup,
aku terjatuh merangkak dan berpegangan ke pagar. Aku merasa ngeri. Aku takut
jatuh. Melihat ke bawah saja bikin aku merinding.
Laut Jepang di bawah jaring ini. Ombaknya garang. Tolong aku! Jangan, jangan tolong
aku. Jangan tertawakan aku. Apa yang harus aku perbuat? Jangan main-main dengan
aku, ya! Jangan lihat! Jangan lihat kemari! Kenapa kamu menangis? Akulah yang
ingin menangis.
Misaki
menjulurkan wajahnya melampaui tepi jurang dan menatap ke arahku.
Aku
menutupi wajahku dengan kedua tangan. Aku tidak tahu yang harus kulakukan. Aku
tidak mau lebih banyak aib dalam hidupku.
Sembari
menjulurkan badannnya melewati tepi jurang, Misaki mengulurkan tangannya. Ia
mencoba menyelamatkanku. Tatapan di wajahnya menunjukkan bahwa ia
mengasihaniku. Menghalau tangannya yang terulur, aku letakkan kakiku pada
dinding batu lantas memanjat tebing itu sendirian. Beberapa kali aku terpeleset
di bagian-bagian yang membeku sampai jatuh terjengkang di jaring. Setelah ketiga
kalinya, aku berhasil memanjat tebing itu sekitar dua meter.
Aku
ambruk ke tepinya. Misaki berdiri di hadapanku.
Ia menyambar tanganku dan menarikku ke arah jalan raya
sekuat tenaga. Ia berusaha menjauhkanku dari tebing secepatnya, sehingga aku
pun terseret-seret di atas permukaan salju.
Begitu kami sampai di depan bangku tempat kami duduk
beberapa menit sebelumnya, ia mulai memukuliku. Ia terus memukuliku. Akhirnya
bahuku pun terjegal. Aku terguling telentang, dan Misaki bersandar di atasku.
Ia membenamkan wajahnya di dadaku, mengeluarkan sedu sedan yang tak terkatakan.
Tanganku yang tadi tersayat cutter mulai terasa
sakit. Darahnya tak mau berhenti.
Misaki
mencengkam telapak tanganku. Dengan kasar aku menghalau tangannya, hingga ada
sedikit darah yang memercik ke kedua belah pipinya. Ia bahkan tak hendak
menyekanya. Sembari duduk di atasku, ia menangis. Aku berusaha menyingkirkan
dia, tapi ia tidak melepaskan pegangannya padaku. Ia menekan kedua belah bahuku
sampai lama sambil gemetaran. Masih terguncang-guncang, ia mengangkat kedua
bogemnya dan meninju dadaku. Ia terus memukuliku.
Akhirnya, wajahku kena hajarnya juga.
Ia tak tahu batasan. Kesadaranku memudar....
Seraya mengangkat bogemnya lagi, Misaki berkata, “Kamu tidak boleh mati.”
Aku membisu, tak menyahut apa pun. Maka, ia menonjok
wajahku sekali lagi. “Kumohon jangan mati.”
Karena aku tidak mau ditonjoknya lagi, tak ada pilihan
bagiku selain mengangguk. Maka, aku mengangguk dan entah bagaimana berhasil
memaksakan senyuman. Selanjutnya, aku berpikiran untuk melontarkan suatu
lelucon kepadanya. Namun itu mustahil.
Aku
menangis dengan gaduh.
Misaki
tidak berpaling dari padaku. Ia hanya menatap.
Akhirnya kami pulih. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa
kami mati kedinginan, maka sementara waktu kami memutuskan untuk meninggalkan
tanjung itu.
Hidup
itu sulit dan menyakitkan. Sungguh kau akan tertaklukkan oleh banyak hal. Cukup
berat sebetulnya.
Setelah berhasil kembali ke jalan, aku menyadari situasi yang buruk: Bagaimana kami akan kembali ke stasiun?
“Perjalanan dengan taksi makan hampir satu jam, yang artinya ….”
“Yah, kalau kita jalan ke stasiun, bisa-bisa sampainya pagi.”
Aku merasakan gelombang keputusasaan.
Misaki menarik-narikku. “Ada rumah kosong dekat sini, tapi ….”
“Rumah
kosong?”
“Rumahku.”
Setelah sekitar sepuluh menit jalan kaki, tibalah kami di rumah kosong itu. Kaca-kaca jendelanya sudah pada pecah, dan ada lubang besar menganga pada pintu depannya. Kami menghabiskan sepanjang malam di rumah yang terlihat mau ambruk. Meski begitu, herannya, seingatku rasanya tidak begitu dingin.
***
Kami
membicarakan tentang segala macam hal di rumah itu, di mana tiap kali melangkah
ada saja lantai papan yang telah lepas. Misaki menceritaiku kenangannya akan
rumah itu. Kebanyakan tragis, tapi ada beberapa yang cukup menyenangkan.
“Ayah pertamaku …. Aku bahkan tidak ingat wajahnya,
padahal ia yang menamaiku. Ada tanjung yang indah dekat sini, sehingga ia
memanggilku ‘Misaki’, yang artinya ‘tanjung’. Nama yang cukup tepat, iya enggak
sih?”
Aku
tertawa.
Akhirnya aku mulai agak lelah. Baru saja beberapa detik
aku tertidur, Misaki mendadak mengguncangku pelan. “Jadi, apa itu N. H. K.?”
Aku tidak mengulang penjelasanku karena akan menjadi pembahasan yang panjang. Misaki bangkit dari balik mantel yang digunakannya untuk selimut, lalu mengeluarkan buku catatan rahasia dari tasnya.
“Aku juga terpikir soal N. H. K.”
“Hah?”
“Gelap nih, bisa nyalakan lighter-mu tidak? Oh!
Tidak apa-apa, aku bisa membacanya meski gelap,” katanya cepat-cepat, seraya
mulai menulis di buku catatan rahasia miliknya dengan bolpoin.
“Um, oke, sudah selesai.” Ia merobek halaman itu dan
menyerahkanya kepadaku.
Satu-satunya cahaya berasal dari sinar bulan yang menembus masuk lewat jendela. Seraya berbaring telentang, aku memaksakan mataku agar berfokus membaca isi kertas tersebut.
***
Kontrak Keanggotaan N. H. K. (Nihon Hitojichi Kokankai)[1]
Tujuan
Klub Sandera:
Anggota
akan bertukar sandera dengan satu sama lain; kalian menawarkan nyawa kalian
kepada satu sama lain, sebagai sandera. Dengan kata lain, artinya, “bila aku
mati, kamu juga mati, sialan!” Jika kita bersepakat soal ini, maka kita tidak
akan dapat memelototi satu sama lain selama perang dingin, seperti
negara-negara dengan senjata nuklir. Bahkan sekalipun kita ingin mati, kita
tidak akan dapat melakukannya.
Jika
situasinya berubah menjadi, “Aku tidak peduli, bahkan meskipun kamu mati,” maka
sistem grup ini telah gagal. Mari kita pastikan bahwa itu tidak akan terjadi!
Ketua
N.H.K., Misaki Nakahara
Nama: _____________ Anggota #: _______________
***
“Nah,
cepat tanda tangan.”
Aku
mengambil bolpoin itu dari dia. Sesaat aku terusik karena ini. Pada akhirnya,
tak ada yang terpecahkan sama sekali. Bukan berarti tidak ada yang berubah.
“Mari bersemangat dalam menjalani
hidup”? Apa kamu idiot? Apakah dengan memiliki mimpi lantas kita baik-baik
saja? Orang seperti kita tidak punya mimpi semacam itu!
Aku bertanya-tanya apakah
memang seharusnya aku terus hidup setiap harinya, sembari membisiki diriku
sendiri, Aku
tak sanggup lagi.
Apakah ini tidak apa-apa? Bagaimana
menurutmu?
Sejenak aku galau soal ini; tetapi, pada akhirnya, aku
tanda tangani saja kontrak itu.
Sementara itu, Misaki memasukkan kembali kontrak itu ke
dalam tasnya, lalu meraih bahuku dan menarikku mendekat. Mata kami bertemu
dalam jarak dekat.
Lantas, dengan suara keras, ia menyatakan, “Selamat
datang di N.H.K.!”
Ekspresinya yang terlalu
antusias itu menimbulkan perasaan geli. Sembari menahan tawa terkulum, aku
membatin, “Entah
berapa lama ini dapat berlanjut, tapi aku akan berusaha sebisanya.”
Inilah keputusan kecil yang kubuat.
N.H.K.
Anggota #1, Satou Tatsuhiro, telah lahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar