Sumire ingin menjadi seperti tokoh dalam
novel Kerouac--serampangan, menawan, dan hidup tak beraturan. Ia berkeluyuran
dengan tangan terbenam dalam-dalam di kantong mantelnya, rambut kusut tak
tersisir, dan tatapan hampa ke arah langit melalui kacamata berbingkai plastik
hitam ala Dizzy Gillespie--biarpun sebetulnya penglihatannya normal.
Penampilannya dilengkapi mantel kebesaran bermotif lurik dari toko pakaian
bekas serta sepatu bot yang biasa dikenakan pekerja kasar. Aku yakin ia akan
menumbuhkan janggut seandainya bisa.
Sebenarnya Sumire tidak
cantik. Pipinya cekung. Mulutnya agak kelewat lebar. Hidungnya kecil dan
mencuat. Wajahnya ekspresif, selera humornya pun besar, tapi tawanya jarang
sampai terpingkal-pingkal. Tubuhnya pendek, dan bahkan meski suasana hatinya
sedang baik, cara bicaranya seperti mau mengajak berkelahi. Aku tidak pernah
melihatnya mengenakan lipstik ataupun pensil alis. Aku bahkan ragu kalau ia tahu
kutang itu ukurannya bermacam-macam. Biarpun begitu, ada suatu hal yang istimewa
pada dirinya, yang membuat orang tertarik padanya. Menjelaskan hal yang istimewa
itu tidaklah mudah. Tapi cobalah tatap matanya, dan temukan keistimewaannya
itu membayang jauh di dalam sana.
Mungkin sebaiknya aku langsung saja mengakuinya. Aku mencintai Sumire. Aku terpikat padanya sejak kali pertama kami mengobrol, dan setelahnya tak ada jalan kembali bagiku. Dalam waktu yang lama hanya ia yang dapat kupikirkan. Aku berusaha menyampaikan perasaanku padanya, tapi entah mengapa aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Mungkin memang itu yang terbaik. Kalaupun aku dapat mengungkapkan perasaanku itu padanya, barangkali ia hanya akan menertawakanku.
Sementara kami berteman, aku
berkencan dengan dua atau tiga gadis lainnya. Bukan berarti aku tidak ingat
persis jumlahnya. Dua atau tiga itu tergantung berdasarkan apa
menghitungnya. Kalau para gadis yang pernah tidur sekali-dua denganku disertakan
juga, daftarnya akan menjadi sedikit lebih panjang. Meskipun begitu, sementara
aku bercinta dengan mereka, yang terbayang olehku malah Sumire. Pikiran tentang
dirinya menggapai-gapai hingga pelosok benakku walau hanya sepintas. Kubayangkan
diriku menjamahnya. Tidak pantas memang, tapi aku tidak bisa menahannya.
Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart oleh Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar