Obrolan tentang Sputnik itu berlangsung di resepsi pernikahan
sepupu Sumire di sebuah hotel mewah di Akasaka. Sumire tidak begitu dekat
dengan sepupunya; malah sebenarnya mereka tidak
saling bergaul sama sekali. Dengan segera Sumire merasa tersiksa di resepsi itu, tapi tidak bisa melarikan diri. Ia
dan Miu mendapat tempat duduk yang bersebelahan
di salah satu meja. Miu tidak memberi keterangan yang panjang-lebar tentang dirinya saat itu, hanya sepertinya ia
pernah mengajari sepupu Sumire bermain piano--atau lainnya yang semacam itu--sewaktu
akan menghadapi ujian masuk ke jurusan
musik di universitas. Sebenarnya hubungan itu berlangsung singkat saja pun tidak begitu akrab, namun Miu merasa harus
tetap hadir.
Sumire jatuh cinta seketika
Miu menyentuh rambutnya. Rasanya seperti sedang berjalan-jalan di tanah
lapang ketika tahu-tahu jeder! geledek menyambarnya tepat di kepala.
Semacam kesadaran artistik, kiranya. Karena itulah, bukan masalah bagi Sumire
bahwa orang yang membuatnya jatuh cinta kebetulan seorang wanita.
Seingatku Sumire tidak
pernah punya pacar. Sewaktu SMA ia berteman dengan beberapa lelaki.
Bersama-sama mereka ia pergi ke bioskop atau berenang. Tak bisa
kubayangkan ada di antara hubungan tersebut yang serius. Sumire terlalu berfokus
menjadi novelis sampai-sampai tak sempat tertarik pada siapapun. Kalaupun ia
pernah punya
pengalaman seksual--atau apapun yang semacam itu--sewaktu SMA, aku yakin itu
lebih karena keingintahuannya menyangkut kepentingan kepengarangannya
alih-alih hasrat seksual atau cinta.
"Sejujur-jujurnya, aku
heran dengan yang namanya hasrat seksual itu," pernah ia mengatakannya
padaku, sembari memasang tampang kalem. Waktu itu ia masih kuliah, aku
yakin; ia habis minum bergelas-gelas banana daquiri dan agak
mabuk. "Tahu
kan--kok bisa ya seperti itu. Menurutmu?"
"Kamu tidak paham
sih," ujarku, mengajukan pendapat yang simpel saja seperti
biasanya. "Ya begitu saja."
Sejenak ia mencermatiku
dengan saksama seakan aku ini semacam mesin yang dijalankan dengan sumber daya
yang belum dikenal. Ia pun kehilangan minat, memalingkan tatap ke
langit-langit, dan obrolan mereda perlahan. Tak ada gunanya membicarakan
soal itu dengan dia, mungkin begitu pikirnya.
Sumire lahir di Chigasaki.
Rumahnya berada di dekat pantai, sehingga ia terbiasa
mendengar desir pasir yang ditiupkan angin ke jendelanya. Ayahnya menjalankan
klinik gigi
di Yokohama. Lelaki itu sangat tampan. Bentuk hidungnya yang bagus mengingatkan
pada aktor Gregory Peck saat bermain dalam film Spellbound. Sumire
tidak
mewarisi hidung ayahnya yang rupawan itu, begitupun dengan adiknya—menurutnya. Ia
merasa heran dengan hilangnya gen yang menentukan bentuk hidung tersebut.
Saking mengagumkannya hidung itu, dunia jadi terasa makin menyedihkan sekiranya
gen yang menentukannya benar-benar terkubur selama-lamanya di dasar kolam gen.
Ayah Sumire bagaikan sosok
dari negeri dongeng bagi para wanita di Yokohama yang
memerlukan perawatan gigi. Di ruang periksa ia selalu mengenakan topi bedah dan
masker, sehingga yang bisa dilihat pasiennya hanyalah sepasang mata dan
telinga. Meski begitu, ketampanannya tetap tampak nyata. Hidungnya yang gagah dan
indah menonjol secara memikat dari balik maskernya, meronakan wajah para pasien
wanitanya. Seketika itu juga--tanpa mengindahkan berapapun biaya yang mesti
dibayarkan nantinya--mereka dimabuk asmara.
Ibu Sumire meninggal dunia akibat
kelainan jantung bawaan saat usianya baru 31 tahun. Usia Sumire pun belum
genap tiga tahun pada waktu itu. Satu-satunya yang diingat
Sumire dari ibunya hanyalah samar-samar aroma tubuh wanita itu. Tinggal beberapa saja
potretnya yang tersisa, yaitu potretnya sewaktu menikah dan potretnya yang
diambil secara sekilas saat Sumire telah lahir. Sering Sumire mengeluarkan album foto
itu dan memandangi gambar-gambar di dalamnya. Secara halus bisa dikatakan ibu
Sumire telah menjadi sosok yang sepenuhnya terlupakan. Potongan rambutnya pendek
dan tidak menarik, selera berpakaiannya mengherankan, dan senyumnya
canggung. Kalau wanita itu mundur selangkah saja, sosoknya akan tampak melebur
dengan dinding. Sumire bertekad untuk meresapkan wajah ibunya dalam ingatan.
Barangkali suatu saat mereka dapat berjumpa di alam mimpi. Lalu mereka akan
bersalaman dan mengobrol dengan asyiknya. Namun rupanya itu tidak mudah. Dengan
segera wajah itu memudar begitu Sumire berupaya untuk mengingatnya. Jangankan dalam
mimpi--andaikan Sumire berpapasan dengan ibunya itu di jalan, pada siang
bolong, ia mungkin tidak akan mengenalinya.
Ayah Sumire jarang
membicarakan almarhumah istrinya. Ia bukan orang yang senang
memulai pembicaran, begitupun dalam aspek kehidupan lainnya--seakan itu semacam
infeksi mulut yang ingin dihindarinya supaya tidak menular. Ia tidak pernah
mengungkapkan
perasaannya. Sumire pun tidak ingat pernah menanyakan ayahnya tentang sang
ibu yang telah meninggal. Kecuali sekali saja, sewaktu ia masih sangat kecil.
Karena suatu sebab, ia bertanya pada ayahnya, "Ibu tuh seperti apa sih,
Yah?" Percakapan
itu diingatnya dengan amat jelas.
Ayahnya menerawang dan
termenung sebentar sebelum menjawab. "Ibumu baik
ingatannya," ucapnya. "Tulisan tangannya juga bagus."
Cara yang aneh dalam
menggambarkan seseorang. Sementara halaman pertama buku
catatannya yang seputih salju itu terbuka, Sumire menanti dalam pengharapan
kata-kata berarti yang dapat menjadi sumber kehangatan dan penghiburan—sebuah
pilar, sebuah poros, yang dapat menyangga hidupnya yang tak menentu di planet ketiga
dari matahari ini. Ayahnya seharusnya mengatakan sesuatu yang dapat dijadikan
pegangan oleh putri kecilnya. Namun sang ayah yang rupawan tak hendak mengucapkan
perkataan itu. Perkataan yang justru sangat dibutuhkan oleh anaknya.
Ayah Sumire menikah lagi
sewaktu putrinya berusia enam tahun. Dua tahun kemudian adik lelaki Sumire
lahir. Ibu barunya juga tidak cantik. Ingatannya tidak begitu tajam,
tulisan tangannya pun tidak mengesankan. Meski begitu, ia baik hati dan bersahaja.
Betapa beruntungnya si kecil Sumire, putri tirinya yang baru. Bukan, beruntung bukanlah
kata yang tepat. Bagaimanapun juga, ayahnya telah menjatuhkan
pilihan pada seorang wanita. Walaupun bukan ayah yang ideal, ia tahu caranya
memilih pasangan.
Cinta sang ibu tiri pada
Sumire tak goyah sedikitpun selama tahun-tahun remajanya yang
panjang dan sulit. Bahkan ketika Sumire menyatakan akan berhenti kuliah dan
menulis novel saja, ibu tirinya menghormati keputusan itu biarpun sebenarnya
memiliki pemikiran sendiri. Ia senang dengan besarnya minat baca Sumire, dan
mendukung
pula ambisi putri tirinya itu dalam dunia sastra.
Ibu tiri Sumire akhirnya
berhasil mengambil hati sang ayah. Mereka pun memutuskan
untuk menyokong hidup Sumire sekadarnya sampai usianya 28 tahun. Apabila
nantinya Sumire tidak mampu menghidupi diri dari menulis, bagaimanapun juga ia
harus berdiri sendiri. Kalau saja ibu tirinya tidak angkat suara membelanya, Sumire
mungkin sudah diusir--tanpa sepeserpun uang dan keterampilan sosial yang memadai--ke
dalam buasnya kehidupan nyata yang terkadang tak mengenal rasa humor.
Bagaimanapun juga, Bumi tidaklah mengeluh apalagi mengerang selama perjalanannya
mengitari matahari. Demikian manusia dapat menikmati hidupnya dan sedikit
bersenang-senang.
Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart oleh Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)