Jam berdentang pukul tujuh.
Untuk terakhir kali, aku meracikkan diriku gimlet yang menenangkan, dan
bergegas ke kamar. Kupasang ban leher dan kuikat dasiku; kusematkan manset dan
kusemir sepatuku. Di bawah tempat tidur menyembul tas kecil berisi barang yang
telah kusediakan untuk kubawa serta: buku ungkapan bahasa Amerika Latin,
secukupnya uang dalam dolar dan peso, celana dalam dan kaus kaki pilihan yang
sama-sama bersahaja; potret keluarga; tiara plastik kesayangan Bel pada masa ia
menjadi putri, bertahun-tahun lalu, sebagai ganti potret dirinya; cetakan
pertama kumpulan syair W. B. Yeats milik Ayah; potret ukuran 8 x 10 Gene pada
awal kariernya—sewaktu orang-orang menyebutnya the GET girl, kependekan dari Gene Eliza Tierney, sebab ia selalu
memperoleh keinginannya, atau setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan.
Foto-foto Laura di buku
tahunan tersusun secara kronologis di alas tilam sedari aku mengamatinya awal
malam itu. Sekarang ketika mataku menjatuhi mereka, aku menyadari bahwa dengan
penataan seperti itu foto-foto tersebut hampir menyerupai rol film: tiap tahun
terpahat dalam bingkai tersendiri, yang kalau diproyeksikan sesuai urutan akan
mempertunjukkan kedatangannya—secara tersentak-sentak, remang-remang—menjelma
hidup di depan bola matamu sendiri; berlalu dari masa kanak-kanak yang polos
menjadi bintang film pujaan sungguhan yang berpendar-pendar dalam hitungan
detik saja, muncul keluar dari eter bagaikan jin seluloid …. Sekarang, dengan
sendirinya, benakku mulai memutar rol film terakhir yang hilang: adegan ketika
bel pintu berdering dan, seraya menyapu rambutku dengan mantap untuk yang
terakhir kali, aku berlari menuju tangga, dan tiba tepat ketika Mbok P mengantar
masuk seorang wanita muda ramping dengan rambut panjang sewarna madu, yang
mengangkat bahu melepaskan mantel musim dinginnya demi menampakkan bahu putih
telanjang serta gaun hitam dan berkelok-kelok serupa lidah api; di tangga,
tanpa terlihat olehnya, aku termegap-megap mengamati dirinya—hingga tahu-tahu
kami bertatapan, dan saat itulah kami terhantar ke alam lain: tempat gairah
terlepas dengan mudahnya dan mendalam serta tercetus lewat lelucon dan aksi
berani, dengan ruang sesekali untuk mengutarakan monolog penuh emosi di akhir;
ketika segalanya berada pada tempatnya tanpa ada orang-orang lain yang menanti
di sisi panggung untuk mengalihkan dialog, atau menutup adegan dengan acara
pelelangan.