“Era baru
jahanam,” suara Hoyland melalui sesuap selada kepiting. Ia menatap mulas pada
kawanan orang keuangan yang sedang makan sajian siang penuh selera di ruangan
panjang dengan banyak hiasan itu. Kami berada di salah satu kafe baru.
Ruangannya lega, berpenyangga kayu, dan dilapisi poster-poster dari 1920-an.
Aku baru saja menanyai Hoyland sebabnya ia mengenakan setelan yang menyesalkan
itu.
“Kamu
tahu, seharusnya aku enggak berada di sini sama sekali,” ujarnya. “Aku telah
mengundurkan diri dari kehidupan ramai. Pindah kembali ke Inggris, berpikir
untuk memancing barang beberapa bulan sebelum memulai lagi malapetaka—yah,
tahulah. Rencana paling sempurna belum tentu menjamin keberhasilan, Hythers.
Balik ke Kerry sedang ada perang habis-habisan antara si babe dan dewan kota.”
“Perang?
Eh, kamu benar soal roti lapis ini ….”