Sepanjang waktu Pak Appleseed memerhatikan kami, tanpa lelah
berpatroli melewati panas yang tak tertahankan di Zona Pengolahan B, atau
mengintai ke bawah dari bilik akrilik mandornya bak monster laba-laba bercelana
jengki. Bila berdiri tegak, tingginya mesti hampir tiga meter, namun ia tidak
pernah berdiri tegak. Ia suka membungkuk hingga kedua bahunya mengitari leher,
sambil terus-terusan menggerutu penuh laknat dengan suara serak parau. Badannya
kerempeng, kacamatanya tebal, bibirnya berkeluk ke bawah, dan kami semua takut
padanya. Pada hari-hari pertama, ketika aku masih menggenggam asa untuk
memberontak, lari, atau membebaskan diri bagaimanapun caranya, selalu saja
bayangan akan Pak Appleseed yang mencegahku.
Kuduga karena bahasa Inggrisku paling baik maka ia
membedakanku sebagai orang kepercayaannya. Bukan berarti ia ada perhatian
pribadi padaku, begitulah katanya blakblakan.
“Aku benci haram jadah seperti kamu, tahu itu, Goblok?”
katanya.