Droyd tidak pulang malam itu, demikian pula malam berikutnya.
“Dia pasti pulang pas lapar,” kataku. “Enggak perlu galau lah.”
“Tapi jangan-jangan dia kena apalah,” sahut Frank cemas, seraya menekankan
hidungnya pada kaca yang mengalirkan air hujan.
“Memangnya dia bisa kena apa sih? Dia kan bisa jaga diri. Lagi pula, dia
sudah bukan anak-anak, maksudku dia sudah pernah dipenjara, ya kan?”
Frank tidak teryakinkan. Namun sesungguhnya, aku kurang begitu khawatir
akan kehilangan Droyd. Aku sibuk dengan kecemasanku sendiri, akibat merisaukan,
mengingat, dan menyusun rencana-rencana yang tak mungkin dijalankan. Lalu kini
aku terbangun hanya untuk mendapati tinggal satu hari lagi sebelum pesta makan malam dan keberangkatan
Bel.
Hujan masih berdentam. Tampaknya ini hari yang sempurna untuk duduk-duduk
di kursi sambil merasa sendu. Akan tetapi, aku ada janji di rumah sakit untuk
mengubah penampilanku, maka aku menaiki bis ke kota lalu duduk bermuram durja
di meja pemeriksaan sementara dokter membuka perbanku serta menusuk-nusuk
wajahku dengan berbagai peralatan tumpul dan menanyaiku kalau-kalau aku
kesakitan. Rasanya tidak menyakitkan kok. Aku terlalu larut dalam benakku
sendiri—pada langit Rusia yang kelabu, stepa liar yang tak berujung, dan
membandingkannya dengan sel-kecil-suramku di Bonetown. Maka ketika dokter
bilang lukaku sudah sembuh, butuh sejenak untuk menyadarinya.