Saat itu petang yang menyenangkan pada akhir musim gugur. Seperti biasa aku mengambil jalan pintas ke rumah lewat kampusku yang rindang oleh pohon zelkova dan ginkgo yang tinggi-tinggi. Selagi berjalan-jalan, sampailah aku di tempat yang dirembesi sinar matahari melalui dahan-dahan ginkgo, luar biasa indahnya pada waktu itu. Daun-daunnya yang kuning berkelap-kelip bagai simbal, tampak mengisi udara dengan musik keemasan mereka. Berlimpah-limpah mereka menari ke tanah, diiringi Two Sonata Scriabin dalam benakku, lagu yang belum lama ini aku pelajari bersama guru pianoku.
Tahu-tahu, sekilas cahaya pucat dekat kaki sebatang pohon menarik perhatianku. Saat melongok ke belukar, aku melihat ada nyala kebiru-biruan yang dilingkupi pancaran emas. Tanpa sadar, aku menyibak semak berduri itu hendak mengetahui asalnya. Di hadapanku tampaklah kepala seorang pemuda—atau barangkali lebih tepatnya seorang anak lelaki. Aku pastilah berbeda dari wanita-wanita lain, karena aku bukannya pingsan di tempat, atau menjerit dan kabur. Aku terpaku, tak sanggup melepaskan pandanganku dari kepala yang berpijar ganjil itu. Mungkin sebenarnya aku terpesona. Eloknya kepala itu tidak pernah kulihat sebelumnya kecuali pada patung dewa-dewa. Sejenak kupikir mestilah itu kepala boneka yang dibuat dari bahan khusus, namun segera kusadari bahwa itu kepala manusia betulan. Walau itu berarti kepala tersebut tidak bernyawa, kelihatannya tidak demikian.