Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20150118

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 2/3 (Haruki Murakami, 1994)

*

Aku sedang menaruh belanjaan di kulkas ketika telepon berdering. Kali ini deringannya terdengar tidak sabaran. Aku baru saja membuka plastik pembungkus tofu, yang kuletakkan dengan hati-hati di meja dapur supaya airnya tidak tumpah. Aku pergi ke ruang tengah dan mengangkat telepon.

“Mestinya sekarang kamu sudah selesai masak spageti,” kata wanita itu.

“Benar. Tapi sekarang aku harus mencari kucing.”

“Itu bisa menunggu sepuluh menit lagi, aku yakin. Tidak seperti memasak spageti.”

Karena alasan tertentu, aku tidak bisa begitu saja menutup telepon itu. Ada sesuatu dalam suaranya yang menarik perhatianku. “Oke, tapi tidak lebih dari sepuluh menit, ya.”

“Nah, sekarang kita akan bisa memahami satu sama lain,” ucapnya dengan yakin dan tenang. Aku merasa ia sedang duduk dengan nyamannya di kursi dan menyilangkan kakinya.

“Aku penasaran,” kataku. “Apa yang bisa dipahami dalam sepuluh menit?”

“Sepuluh menit bisa jadi lebih lama daripada yang kamu pikirkan,” ujarnya.

“Kamu yakin sudah mengenalku?”

“Tentu saja iya. Kita sudah berjumpa ratusan kali.”

“Di mana? Kapan?”

“Di suatu tempat, pada suatu waktu,” ucapnya. “Tapi kalau itu dibahas, sepuluh menit tidak akan cukup. Yang penting ialah waktu yang ada sekarang. Saat ini. Setuju tidak?”

“Mungkin saja. Tapi aku ingin bukti kalau kamu mengenalku.”

“Bukti macam apa?”

“Usiaku, misalnya?”

“Tiga puluh,” jawabnya seketika. “Tiga puluh tahun dua bulan. Cukup puas?”

Aku pun bungkam. Ia jelas-jelas mengenalku, tapi aku sama sekali tidak ingat suaranya.

“Sekarang giliranmu,” ucapnya, suaranya menggairahkan. “Cobalah membayangkanku. Dari suaraku. Bayangkan seperti apa diriku. Usiaku. Tempatku berada. Penampilanku. Silakan.”

“Tidak tahu,” kataku.

“Oh, ayolah,” ujarnya. “Cobalah.”

Aku melihat jam tanganku. Baru satu menit lima detik. “Tidak tahu,” kataku lagi.

“Kalau begitu, biar aku membantumu,” ucapnya. “Aku sedang di tempat tidur. Aku baru dari pancuran, dan tidak mengenakan apa-apa.”

Oh, bagus. Seks telepon.

“Atau kamu lebih suka kalau aku mengenakan sesuatu? Sesuatu yang berenda. Atau stoking. Apa kamu lebih menyukainya?”

“Aku sama sekali tidak peduli. Lakukan saja sesukamu,” kataku. “Kalau ingin pakai sesuatu, pakai saja. Kalau ingin bugil, ya bugil saja. Maaf, tapi aku tidak tertarik dengan telepon iseng begini. Aku punya banyak urusan—“

“Sepuluh menit,” ucapnya. “Tidak ada ruginya sepuluh menit saja. Tidak akan menyia-nyiakan waktumu. Jawab saja pertanyaanku. Kamu ingin aku bugil atau pakai sesuatu? Segala macam pakaian ada. Celana dalam hitam berenda….”

“Bugil saja tidak apa-apa.”

“Oh, baiklah. Kamu ingin aku bugil.”

“Ya. Bugil. Bagus.”

Empat menit.

“Rambut kemaluanku masih basah,” ucapku. “Tadi aku tidak kering amat menghandukinya. Aduh, aku basah sekali! Hangat dan basah. Dan lembut. Sangat lembut dan hitam. Sentuh aku.”

“Begini, maaf, tapi—“

“Dan di bawah sana juga. Sepenuhnya di bawah. Hangat sekali di bawah sana, seperti krim mentega. Hangat sekali. Mmm. Dan pahaku. Menurutmu, bagaimana posisi pahaku sekarang? Lutut kananku ke atas, dan paha kiriku cukup terbuka. Kira-kira, arah pukul sepuluh lewat lima.”

Dari suaranya aku rasa ia tidak mengada-ada. Pahanya benar-benar terbuka ke arah sepuluh lewat lima, kemaluannya hangat dan basah.

“Sentuhlah bibirnya,” ucapnya. “Pelan-pelan. Nah, bukalah. Begitu. Yang pelan, yang pelan. Biarkan jemarimu mengelusnya. Oh, yang pelan-pelan sekali. Nah, tanganmu yang satunya, sentuh tetek kiriku. Mainkan. Usap-usap. Ke sebelah atas. Pijit sedikit pentilnya. Lakukan lagi. Lagi. Lagi. Sampai aku mau keluar.”

Tanpa sepatah katapun, kuletakkan gagang telepon. Sembari berbaring di sofa, kutatap jam dan mengembuskan desahan yang dalam dan panjang. Hampir enam menit tadi aku bicara dengannya.

Telepon berdering lagi sepuluh menit kemudian, tapi kubiarkan saja. Lima belas kali telepon itu berbunyi. Dan sewaktu berhenti, keheningan yang senyap dan sunyi luruh ke ruangan.

Persis sebelum pukul dua, aku memanjat dinding batako dan turun ke gang—atau begitulah kami menyebutnya. “Gang” bukan kata yang tepat untuk menyebutnya, tapi, sepertinya tidak ada kata lain untuk itu. Itu bukanlah “jalan raya” atau “jalan setapak” atau jalan secara umum sekalipun. Sebenarnya, sebuah “jalan” itu seharusnya sebuah jalur atau saluran dengan jalan masuk dan jalan keluar, yang kalau ditelusuri akan mengarahkan kita ke suatu tempat. Namun, “gang” yang satu ini tidak punya jalan masuk sekaligus jalan keluar. Tidak bisa juga disebut jalan buntu: jalan buntu setidaknya punya satu sisi yang terbuka. Gang ini bukan hanya punya satu sisi yang tertutup, melainkan dua. Para tetangga bersikukuh menyebutnya “gang” yang sangat berguna. Panjangnya sekitar seratus delapan puluh meter dan menyusup di antara pekarangan belakang rumah-rumah yang berbaris bersisian. Lebarnya hanya sekitar satu meter, dan ada beberapa titik yang mesti dilalui dengan hati-hati, sebab ada saja pagar yang condong ke arah jalan, juga benda-benda yang dibuang orang menjadi penghalang.

Tentang gang ini, ceritanya—yakni cerita yang kudengar dari pamanku, yang menyewakan rumah itu pada kami hampir secara cuma-cuma—dulunya punya jalan masuk dan jalan keluar, dan sebenarnya dibuat untuk menjadi jalan pintas. Tapi sejak pertumbuhan ekonomi yang cepat pada pertengahan tahun lima puluhan, deretan rumah baru mulai mengisi bidang kosong di sisi jalan, menghimpitnya hingga yang tersisa tidak lebih daripada jalan sempit. Orang tidak suka ada orang asing yang melintas terlalu dekat dengan rumah dan pekarangan mereka, jadi tidak lama kemudian salah satu ujung jalan itu ditutup—atau, agaknya, disekat—dengan pagar biasa. Lalu salah seorang pemukim ingin memperluas halamannya dan menutup ujung lain gang tersebut dengan dinding batako sepenuhnya. Seakan tidak mau kalah, pagar berkawat duri didirikan di ujung satunya, bahkan anjingpun tidak dapat melaluinya. Tidak ada satupun tetangga yang komplain, sebab tidak ada satupun dari mereka yang menggunakan gang itu sebagai jalan, dan mereka senang-senang saja punya perlindungan ekstra dari aksi kriminal. Hasilnya, gang itu tinggal semacam kanal yang telantar, tidak terpakai, tidak lebih dari kawasan penyangga di antara dua baris rumah-rumah. Laba-laba menyebarkan jejaringnya yang lengket di mana-mana.

Kenapa Kumiko pergi ke tempat seperti itu? Aku sendiri tidak lebih dari dua kali pernah turun ke sana, dan Kumiko kan takut dengan laba-laba. Ah, masabodoh—kalau Kumiko bilang aku mesti pergi ke gang dan mencari kucing itu, maka aku akan melaksanakannya. Yang terjadi nanti biarlah kupikirkan nanti saja. Berjalan-jalan di luar begini jauh lebih baik ketimbang duduk saja di rumah menunggu telepon berdering.

Terik sinar matahari pada awal musim panas memerciki permukaan gang dengan bayang gelap ranting-ranting yang terentang di atas. Tanpa adanya angin yang menggerakkan ranting-ranting itu, bayangannya terlihat seperti noktah permanen, ditakdirkan untuk tercetak selama-lamanya di aspal jalan. Sepertinya tidak ada suara apapun yang dapat menembus ke tempat ini. Hampir dapat kudengar napas helaian rumput yang tersiram oleh cahaya matahari. Beberapa awan kecil melayang di langit, bentuknya rapi dan bersih, seperti awan pada ukiran dari abad pertengahan. Semuanya tampak olehku dengan begitu jelasnya sampai-sampai tubuhku sendiri terasa goyah, tidak berbentuk, dan mencair… dan panas!

Aku mengenakan kaus, celana katun tipis, dan sepatu tenis. Tapi berjalan di bawah matahari musim panas membuatku dapat merasakan selapis tipis keringat di bawah lenganku dan di ceruk dadaku. Kaus dan celana ini asalnya dari kotak berisi pakaian musim panas hingga aku mengeluarkannya pagi ini. Aroma tajam kamper menusuk lubang hidungku.

Barisan rumah di sisi gang terbagi menjadi dua kategori yang berbeda: rumah-rumah yang lebih tua dan rumah-rumah yang dibangun belakangan. Kelompok rumah yang lebih baru ukurannya lebih kecil, dengan halaman yang lebih kecil pula yang sepadan. Tiang jemuran mereka sering kali dipancangkan di area gang, sehingga sesekali aku mesti menyusup melewati gantungan handuk, lap , dan pakaian dalam. Dari tembok belakang beberapa rumah terdengar suara televisi dan toilet sedang disiram, juga tercium aroma kari sedang dimasak.

Sebaliknya, hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan pada rumah-rumah yang lebih tua. Rumah-rumah itu dibatasi oleh semak-semak dan pagar tanaman yang ditata dengan baik, melalui sela-selanya sepintas kudapati taman-taman yang terawat. Di pojok salah satu taman ada sebatang pohon Natal berwarna cokelat yang usang dan layu. Taman lainnya telah menjadi lahan pembuangan segala mainan yang diketahui manusia, jelas-jelas peninggalan dari masa kecil beberapa generasi. Ada sepeda roda tiga, cincin lontar, pedang plastik, bola karet, boneka kura-kura, dan pemukul bisbol kecil. Di satu taman ada tiang basket, dan di taman lainnya ada beberapa kursi mengelilingi sebuah meja keramik. Kursi-kursi berwarna putih itu dilekati kotoran, seakan sudah tidak digunakan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bagian atas meja dilapisi helai-helai kelopak magnolia ungu muda, takluk oleh hujan.

Aku dapat melihat dengan jelas ruang keluarga di salah satu rumah-rumah itu melalui pintu belakang yang terbuat dari aluminium. Di ruangan itu ada beberapa kursi dan sofa dari kulit yang senada, sebuah TV besar, sebuah bufet (di atasnya ada akuarium ikan tropis dan dua benda semacam piala), dan lampu hias berdiri. Ruangan itu tampak seperti latar untuk tayangan drama di TV. Ada sebuah rumah anjing yang sangat besar menempati lahan yang luas di taman lainnya, namun tidak ada tanda keberadaan si anjing, dan pintu rumah itu terbuka. Kasa pintunya menonjol ke luar seakan ada yang bersandar di situ berbulan-bulan lamanya.

Rumah kosong yang dimaksud Kumiko terletak tepat di samping rumah dengan rumah-anjing besar. Dengan memandang sepintas saja aku tahu rumah itu kosong—dan sudah cukup lama. Rumah itu bertingkat dua yang kelihatannya agak baru, namun daun penutup jendelanya menampakkan tanda-tanda pelapukan yang parah, dan susuran tangga di sebelah luar jendela lantai dua dilekati karat. Ada taman kecil di rumah itu, yang, sudah pasti, tempat terdapatnya sebuah patung burung dari batu. Patung itu beralas setinggi dada dan dikelilingi rerumputan yang tumbuh rimbun. Batang-batang pakis yang jangkung keemasan hampir menyentuh kaki burung itu. Aku tidak tahu jenis apa burung itu pastinya. Sayapnya terbentang seakan-akan ingin kabur dari tempat yang tidak menyenangkan ini secepat mungkin. Selain patung itu, tidak ada hiasan lainnya lagi di taman itu. Ada tumpukan kursi dari plastik yang sudah usang di belakang rumah, dan di sebelah ada semak azalea memamerkan bunga-bunganya yang merah terang, warnanya itu terasa aneh dan tidak asli. Selebihnya rumput liar.

Sejenak aku bersandar pada pagar berantai yang ada di situ, memenungkan taman itu. Taman itu semestinya surga bagi para kucing, tapi sekarang ini tidak ada tanda-tanda adanya kucing di sini. Pemandangan itu diiringi cuitan monoton seekor merpati yang bertengger pada antena TV di atap. Bayangan patung burung berpencar ke semak belukar di sekitarnya.

Kuambil permen lemon dari saku, membuka bungkusnya, dan melontarnya ke mulut. Aku mengajukan pengunduran diri dari firma sebagai kesempatan untuk berhenti merokok, tapi kini satu pak permen lemon selalu ada bersamaku. Kumiko bilang aku kecanduan dan memperingatkan kalau mulutku akan segera dipenuhi lubang gigi, tapi aku tidak bisa tanpa permen lemon. Sementara aku berdiri di sana dan mengamati taman itu, merpati di antena TV terus berdekut, seperti karyawan yang tengah membubuhkan nomor pada berkas-berkas tagihan. Entah berapa lama aku tetap di sana sambil bersandar pada pagar, tapi aku ingat menjatuhkan permen lemonku yang setengah lumer ke tanah selagi mulutku dipenuhi manisnya yang lengket. Baru saja aku mengalihkan tatapanku ke bayangan patung burung, sewaktu aku merasakan adanya orang yang memanggilku dari belakang.

Aku berpaling, dan melihat seorang gadis berdiri di taman di sisi lain gang. Tubuhnya mungil. Rambutnya dikuncir tinggi ke belakang. Ia mengenakan kacamata hitam berbingkai kuning, dan kaus biru cerah tanpa lengan. Musim penghujan baru saja berakhir, tapi ia sudah mencoba menggelapkan lengannya yang ramping. Satu tangannya melesak ke dalam saku celana pendeknya. Tangannya yang lain bersandar pada lawang bambu setinggi pinggang, yang tidak akan akan cukup kuat menahannya. Jarak kami hanya sekitar satu meter—mungkin lebih.

“Panas,” katanya padaku.

“Yah, benar,” ujarku.

Setelah pertukaran pendapat yang singkat ini, ia bergeming memandangiku.

Lalu ia mengeluarkan sekotak rokok merek Hope dari saku celananya, menarik sebatang, dan menaruhnya di sela bibir. Mulutnya kecil. Bibir atasnya agak naik. Ia menggeret korek api dan menyalakan rokoknya. Selagi kepalanya teleng ke satu sisi, rambutnya tersibak hingga tampak bentuk telinganya yang indah, lembut seakan baru diciptakan, tepiannya bercahaya dan berambut halus.

Ia membuang korek apinya dan mengembuskan asap melalui bibirnya yang mengerut. Lalu ia memandangku seakan sudah lupa kalau aku ada di situ. Aku tidak bisa melihat matanya melalui lensa kacamatanya yang gelap dan memantulkan cahaya itu.

“Tinggal di sekitar sini?” tanyanya.

“He-eh.” Aku ingin bergerak ke arah rumahku, namun rupanya supaya bisa sampai ke sini tadi aku melewati jalur yang sangat berlika-liku sampai-sampai aku tidak tahu lagi arah tepatnya ke rumahku. Akhirnya aku asal saja mengambil jalan.

“Aku sedang mencari kucingku,” jelasku, sambil mengusapkan telapak tanganku yang berkeringat ke celana. “Sudah seminggu dia menghilang. Ada yang melihatnya di sekitar sini.”

“Kucingnya seperti apa?”

“Kucing jantan bongsor. Belang-belang cokelat. Ujung ekornya agak bengkok.”

“Namanya?”

“Noboru. Noboru Wataya.”

“Bukan, bukan namamu. Nama kucingnya.”

Memang itu nama kucingnya.”

“Oh! Keren banget!”

“Yah, sebenarnya, itu nama saudara iparku. Kucing itu agak mengingatkan kami padanya. Kami menamai kucing itu dengan namanya buat iseng saja.”

“Kok bisa kucing itu mengingatkanmu padanya?”

“Entahlah. Kelihatannya saja. Caranya bersuara. Dan tatapannya yang kosong begini.”

Untuk pertama kalinya ia tersenyum, penampilannya jadi terlihat lebih seperti anak-anak ketimbang semula. Usianya mungkin tidak lebih dari lima belas atau enam belas. Bibirnya menyungging sedikit, melengkung ke sudut yang jangal. Rasa-rasanya aku mendengar suara “Sentuhlah aku”—suara wanita di telepon tadi. Kusapu keringat di dahi dengan punggung tanganku.

“Kucing belang-belang cokelat yang ekornya bengkok,” kata gadis itu. “Apa dia pakai kalung atau semacam itu?”

“Kalung kutu warna hitam.”

Ia bergeming sambil berpikir-pikir selama sepuluh atau lima belas menit, tangannya masih bersandar pada lawang. Lalu ia menjatuhkan puntung rokoknya dan meremukkannya dengan sandal.

“Mungkin aku pernah lihat kucing seperti itu,” ucapnya. “Entah seperti apa ekornya, tapi kucing itu cokelat dan seperti macan, besar, dan sepertinya ada kalungnya.”

“Kapan kamu pernah melihatnya?”

“Kapan aku pernah melihatnya? Hmm. Sekitar tiga atau empat hari lalu. Halaman kami ini seperti jalan raya buat kucing-kucing perumahan sini. Mereka semua memintas ke sini dari rumahnya Takitani ke rumahnya Miyawaki.”

Ia menunjuk ke arah rumah kosong, tempat burung dari batu itu masih membentangkan sayapnya, tanaman hiasnya yang jangkung masih diterpa matahari awal musim panas, dan si merpati terus berdekut di atas antena TV.

“Aku punya usul,” ucapnya. “Kenapa tidak menunggu di sini saja? Toh kucing-kucing lewat sini kalau mau ke rumahnya Miyawaki. Dan orang bakal panggil polisi kalau melihatmu berkeliaran begitu. Ini bukan yang pertama kalinya.”

Aku ragu.

“Jangan khawatir,” imbuhnya. “Aku sendirian saja di sini. Kita berdua bisa duduk sambil berjemur dan menunggu kucing itu muncul. Aku akan membantumu. Penglihatanku normal kok.”

Aku melihat jam tanganku. Pukul dua lewat dua puluh enam. Yang mesti kukerjakan hari ini sebelum gelap adalah mengambil cucian dan menyelesaikan urusan makan malam.

Aku melewati lawang dan mengikuti gadis itu ke halaman. Kaki kanannya agak terseret-seret. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh padaku.

“Aku terjatuh dari belakang sepeda motor,” ucapnya, seakan itu bukan persoalan penting.

Sebatang pohon ek yang besar tegak di bagian halaman yang rumputnya terpangkas habis. Di bawah pohon itu ada dua kursi geladak berbahan kanvas, handuk pantai berwarna biru tersampir pada salah satunya. Pada kursi lainnya terdapat sekotak rokok Hope reguler yang masih baru, asbak dan pemantik, sebuah majalah, dan sebuah boom box yang sangat besar. Boom box itu memperdengarkan musik rok cadas dalam volume rendah. Gadis itu mematikan musiknya dan menyingkirkan segala barang dari kursi itu untukku, menjatuhkannya begitu saja ke rumput. Dari kursi itu, aku bisa memandang ke arah halaman rumah kosong, patung burung, tanaman hias, dan pagar berantai. Mungkin saja gadis itu sudah mengamatiku selama aku berada di sana.

Halaman rumah ini sangat luas, ada area melandai yang lebar dan diisi serumpun pepohonan. Di samping kursi geladak ada kolam bertepi beton yang agak besar, dasarnya yang kosong terpapar oleh sinar matahari. Melihat warnanya yang kehijauan, kolam itu sudah cukup lama tidak diisi air. Kami duduk membelakangi rumah, yang dapat terlihat melalui sela-sela pepohonan.

Bangunan rumah itu tidak besar ataupun mewah. Halamannya saja yang memberi kesan luas, dan terawat dengan baik.

“Halamannya besar, ya,” kataku, sambil melihat-lihat. “Pasti repot mengurusnya.”

“Pastinya.”

“Sewaktu masih anak-anak, aku pernah bekerja di perusahaan pemotong rumput.”

“Oh?” Jelas ia tidak tertarik pada rerumputan.

“Kamu selalu sendirian di rumah?” tanyaku.

“Yah. Selalu. Kecuali waktu ada pembantu pada pagi dan sore. Sepanjang siang ya aku saja. Sendirian. Mau minum yang dingin-dingin? Ada bir.”

“Tidak, terima kasih.”

“Serius? Jangan malu-malu.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Kamu tidak ke sekolah?”

“Kamu tidak kerja?”

“Tidak ada kerjaan.”

“Kehilangan pekerjaan?”

“Begitulah. Aku berhenti beberapa minggu lalu.”

“Kerjanya apa?”

“Pesuruh pengacara. Aku pergi ke kantor-kantor pemerintahan untuk mengambil dokumen-dokumen, mengurutkannya, memeriksa preseden legal, menangani prosedur pengadilan—yang semacam itu.”

“Tapi kamu berhenti.”

“Yah.”

“Istrimu kerja?”

“Iya.”

Merpati di seberang sana mestilah sudah berhenti berdekut dan menghilang entah ke mana. Mendadak aku menyadari adanya keheningan yang pekat di sekitar kami.

“Tepat di seberang sana kucing-kucing suka melintas,” ucapnya, menunjuk ke arah yang jauh pada rerumputan. “Lihat tempat pembakaran sampah di halaman Takitani? Di situ mereka muncul di bawah pagar, memintas rumput, dan keluar lewat bawah gerbang ke arah halaman di seberang. Mereka selalu melalui rute yang persis sama.”

Ia mengangkat kacamata hitamnya ke dahi, mengerling ke halaman, dan menurunkan kacamatanya lagi, sambil mengembuskan segumpal asap. Sempat aku melihat ada luka sepanjang dua inci di dekat mata kirinya—luka yang kemungkinan akan membekas seumur hidupnya. Mungkin kacamata hitam itu dikenakannya untuk menyembunyikan luka. Wajah gadis itu tidak begitu cantik, tapi ada yang menarik dari padanya, barangkali karena matanya yang lincah atau bentuk bibirnya yang unik.

“Kamu tahu tentang keluarga Miyawaki?” tanyanya.

“Tidak sama sekali,” ujarku.

“Mereka yang dulu menempati rumah kosong itu. Keluarga yang sangat sopan. Mereka punya dua anak perempuan, dua-duanya di sekolah swasta. Pak Miyawaki punya beberapa restoran keluarga.”

“Kenapa mereka pergi?”

“Mungkin karena utang. Sepertinya mereka kabur—mengosongkan rumahnya begitu saja dalam semalam. Sekitar setahun lalu, kira-kira. Membiarkan tempat itu lapuk dan jadi peternakan kucing. Ibuku suka mengeluhkannya.”

“Apa di sana kucingnya banyak sekali?” Dengan rokok di bibirnya, gadis itu menerawang ke arah langit. “Segala macam kucing. Ada yang kehilangan rambutnya, ada yang matanya cuma satu… dan di tempat matanya yang satu lagi, ada gumpalan daging mentah. Iyuh.” Aku mengangguk.

“Aku punya saudara yang di masing-masing tangannya ada enam jari. Dia cuma sedikit lebih tua daripadaku. Jari tambahannya ada di samping kelingkingnya, seperti bayi jari. Dia tahu caranya supaya jari itu terlipat terus, jadi orang sering tidak menyadarinya. Dia cantik sekali.” Aku mengangguk lagi.

“Menurutmu itu ada dalam keluarga? Apa sebutannya… bagian dari hubungan darah?”

“Aku tidak tahu banyak soal keturunan.”

Ia berhenti berbicara. Aku mengisap permen lemon dan memandang tajam jalurnya kucing itu. Sejauh ini tidak ada satupun kucing yang menampakkan diri.

“Yakin tidak mau minum apa-apa?” tanyanya. “Aku mau ambil Coca Cola.”

Aku bilang aku tidak ingin minum.

Ia meninggalkan kursi geladaknya dan menghilang di balik pepohonan sembari agak menyeret kakinya yang sakit. Aku memungut majalahnya dari rumput dan membukai halamannya. Aku sangat terkejut, majalah itu ternyata untuk pria dewasa, majalah bulanan yang dicetak pada kertas mengilap. Di halaman yang terlipat ada gambar wanita mengenakan celana dalam tipis yang memperlihatkan belahan dan rambut kemaluannya. Ia duduk di bangku tanpa sandaran. Pahanya terbuka lebar dalam sudut yang janggal. Sambil mendesah, kutaruh lagi majalah itu, melipat kedua tanganku di depan dada, dan kembali memerhatikan jalurnya kucing.



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...