Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita [1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi k...

20161227

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (4/4) (Paul Murray, 2003)

“Charles!”

Kubuka mata. Di luar sudah gelap. Sudah berapa lama aku di sini?

“Charles!” teriak Bel lagi dari lorong. “Telepon!”

Buru-buru kuturuni tangga. “Dari Mata-Penerawang Apalah,” ucap Bel, sambil menyerahkan telepon.

“Oh ya,” sahutku acuh tak acuh, “kami mau main tenis besok pagi.” Sambil membawa telepon ke ruang resital, aku berbisik, “M?”

“C?”

“Situasinya berubah. Kita harus bergerak cepat. Ayo mulai ke bisnis.”

Jaminan Bersegel Emas si Mata-Penerawang Segala bukanlah dusta. Dalam beberapa jam saja sejak aku meninggalkannya, ia telah mengumpulkan berbagai informasi tentang musuhku. Frank, seperti yang sudah kuduga, berasal dari wilayah yang buruk, pernah menjadi murid sekolah jelek yang paling sedikit tiap setahun sekali mengalami kebakaran, keluar dengan nilai kelulusan yang kabur, belum pernah menikah walau dicurigai merupakan ayah dari seorang atau lebih anak di wilayah tersebut, pernah berkuliah di akademi teknik tempat ia mempelajari Perbaikan Panel (satu tahun) dan Perbaikan Panel Lanjutan (satu tahun), sebelum dinas keluar negeri bersama Pasukan Penjaga Perdamaian PBB. “Setelah menjadi Penjaga Perdamaian,” kata MacGillycuddy padaku, “ia mulai bekerja menyalurkan rongsokan di Dublin, lalu masuk ke usaha penyelamatan bangunan. Tahun lalu ia memulai usahanya sendiri. Usahanya berjalan sangat baik.”

20161218

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Aku melihat Mbok P sewaktu melewati supermarket, larut dalam percakapan dengan seorang wanita bertampang asing. Wanita itu mengenakan kartu pengenal dan menjual majalah. “Anak-anak saya ada di satu kamar yang sempit,” ucapnya, “di atas toko jagal, kami bayar terus, dan ketika dia bilang, oh, ada polisi, masalah nih, kami bayar lagi--“ Kututupi wajahku dengan tangan dan menyelinap di dekat mereka, sambil bernapas pendek-pendek yang serasa menusuk-nusuk. Apa yang tengah terjadi? Apa yang mereka maksudkan dengan penyimpangan-penyimpangan itu? Mungkinkah persoalannya begitu rumit sampai-sampai mereka tidak bisa mulai membereskannya? Sebab bagiku tampaknya jelas-jelas saja; pemecahannya ada pada Ayah, ia punya aset, uangnya ada banyak, harusnya ada-- Dengan terengah-engah, aku bersandar pada pilar Korinthos imitasi, dibanjiri bayang-bayang mengerikan: gerombolan orang bersetelan biru hasil jahitan mesin meruah ke rumah, merobohkannya dengan mata Golem mereka yang tak bernyawa, membangunnya kembali sebagai aparthotel mewah, kompleks rekreasi, lubang kedelapan belas untuk lapangan golf lintas-kota ....

20161209

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Lokasi bank tersebut sekitar satu setengah mil dari rumah, di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Petang itu aku berangkat demi menemui manajernya. Aku yakin Bel berlebihan dalam menanggapi perkara ini lebih daripada yang diperlukan, tetapi aku sadar aku pun tidak akan merasa tenang hingga membereskannya. Selain itu, kesempatan ini bisa menyelubungi persoalan lain yang perlu kuurus. Ada perjanjian ataupun tidak, perabot masih pada menghilang. Aku ingin tahu kalau-kalau aku bisa menemukan keterangan mengenai latar belakang teman Golem kami.

Jarang-jarang aku memberanikan diri berada sejauh itu dari rumah. Bel menganggapnya sebagai contoh lain dari “wawasan feodal”ku. “Kamu memandang dirimu sendiri sebagai Tuan Tanah,” begitu katanya, “dan orang-orang ini merupakan budakmu, sehingga kamu enggak mau bergesekkan bahu dengan mereka kalau-kalau kamu menangkap sesuatu.” Tetapi bukan itu sama sekali. Seiring dengan mundurnya jalanan teduh di atas permukaan laut menjadi kawasan pinggir kota di sekeliling, sembari mengamat-amati dari jok belakang taksi, aku merasa tercekam--seperti biasanya--oleh rasa terancam dan takut akan terkurung dalam ruangan sempit dan tertutup. Kekejaman rakitan nan asing pada pusat perbelanjaan menakutiku. Entahkah itu salon rambut harga diskon, butik-butik berisi baju rok pastel suram, ataupun toko agen koran, pegawainya mengalami kemunduran abadi. Tampaknya mereka melompati seluruh anak tangga pada jenjang evolusioner, sehingga ucapan silakan dan terima kasih telah lama tak lagi berarti, dan sekiranya beberapa hari lagi aku kemari akan kudapati mereka tengah menggerogoti tulang dan menyembah api. Sebagai budak pun aku ragu mereka bakal berguna bagiku.

20161127

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (1/4) (Paul Murray, 2003)

Hari-hari berikutnya cukup damai. Bel menghabiskan sebagian besar waktu di rumah dengan membawa serta Proyeknya. Saat di rumah mereka cenderung di kamar saja belajar membaca. Hari berikutnya lagi yaitu saat segala masalah dengan bank terwujud, dan berbagai hal benar-benar mulai runtuh, walaupun paginya dimulai dengan amat manis, karena Mbok P membangunkanku tepat sebelum siang dengan membawa baki berisi telepon.

“Halo?” ucapku, setelah memastikan bahwa ini bukanlah muslihat pembunuhan dari Mbok P.

“Halo,” terdengar suara asing. “Charles?”

Dengan jantung berdebar, cepat-cepat aku turun dari kasur dan berpijak. Suara itu terdengar parau, penuh gairah, sekaligus halus dan mengundang skandal. Suara itu bisa saja berasal dari ribuan film hitam putih--milik wanita kawakan yang meminta macis di bar, waris perempuan disertai detektif yang parkir di jalanan gelap, atau janda muda gemetar memohon pertolongan dari mantan pelaut yang sakit hati. Suara monokrom yang boleh jadi milik seorang saja.

20161118

Pangeran Katak (Robert Coover, 2014)


Pada mulanya terasa luar biasa. Sungguh. Sudah pasti begitu. Perempuan itu merengkuh seekor katak, mengharapkan yang lebih, dan—kejutan! Hadirlah seorang pangeran tampan yang tergila-gila akan dirinya. Jelaslah ini berarti akhir dari pernikahan perempuan itu. Namun mantannya dulu pun menyerupai katak, dengan kebiasaan jorok mengunyah sambil berbicara dan lidahnya sama sekali tak berguna selain untuk menjilati perangko.

Sambil menggeliat-geliut cemburu, kawan-kawan si perempuan di klub bridge pun mengakui bahwa sang pangeran menawan hati—kendati penampakan lelaki itu masih mencirikan habitatnya yang dulu. Matanya berkelopak tebal. Mulutnya selebar mulut boneka-tangan. Mukanya pucat. Kulitnya yang kendor tipis dan lembap. Maninya terasa berlumpur seperti kolam tempatnya berasal. Kemaluannya yang kecil pun mengecewakan. Namun lidahnya menakjubkan. Lidah itu mampu menjamah ceruk-ceruk terdalam, membangkitkan sensasi yang belum pernah dialami perempuan itu sebelumnya. Mahkotanya tak terpasang selayaknya topi melainkan mencuat dari kepalanya bagaikan tanduk, dan kadang-kadang mengganggu. Biarpun begitu, lidah itu cukup panjang untuk menggerayangi sekalian menggelitik bagian-bagian lain yang dilaluinya. Lidah itu tak lantas menjadikannya cadel sebagaimana suaranya yang terdengar bak bunyi seruput berkonsonan, pun mampu merepetkan cumbu rayu. Namun mereka tak begitu sering berbicara pada satu sama lain. 

20161109

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (4/4) (Paul Murray, 2003)

“Ayo, Tanya Bool Gue, dasar jancuk sia-sia!” Frank berseru sekencang-kencangnya, sambil sesekali merogoh kantong berisi keripik bumbu. “Ayo, tolol, lari dong, jancuk!”

Aku terkikih-kikih sendirian. Anjingku, Jasper, ternyata bajingan tangguh, dan telah meninggalkan Tanya Bool Gue berserta gerombolan anjing balap lain dalam kepulan jejaknya. Sementara itu, anjing pilihan Bel, yang hambar betul namanya, Serpih Halilintar, tampaknya sudah benar-benar menyerah.

Tempat ini memang bukan Ascot[1], namun pemiliknya telah berani mengangkat lapangan balap anjing ini dari citra kumuh. Di situ terdapat bar berpenerangan baik dengan jendela panjang sehingga orang bisa melihat balapan dari atas. Di dalam bar bercampur baur antara para bajingan celaka yang mempertaruhkan kesejahteraan mereka dan beberapa golongan orang biasa. Tapi, Frank malah menjauhi bar karena di sana ada “orang-orang bejat”, dan menyeret kami keluar. Kami pun menggigil kedinginan di tribune bersama golongan orang-orang putus asa bermata merah. Orang-orang itu serupa anjing whippet kurus yang menjadi tempat mereka memercayakan keberuntungan. Tapi penampakan mereka tidak seseram Frank, dan anehnya aku jadi tenang karena ada dia. Lagi pula mereka semua kelihatannya mengenal Frank. Sepanjang balapan orang-orang seperti Micker, Anto, dan Farreller menghampiri untuk menyampaikan litani penghormatan—“Hei, Francy, gimana bujur lu?” kata mereka, atau “Pakabar Frankie, pergi lu taik.”

20161027

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (3/4) (Paul Murray, 2003)

“Apa yang kita ­ketahui tentang Mbok P?” tanyaku keesokan sorenya, seraya menurunkan bukuku.

Di seberang meja, Bel sedang melentikkan bulu mata menggunakan semacam alat dari logam. “Hmm?” sahutnya.

“Maksudku, dia sudah bersama kita sejak—berapa, dua tahun? Tiga? Tapi kita enggak benar-benar tahu motivasinya.”

“Jangan mengocehkan salah satu khayalan paranoidmu,” ujarnya, sambil memasang selembar bulu mata bagian atas di antara jepitan baja.

“Enggak kok,” tukasku tak sabar. “Cuma rasanya aneh saja ada orang yang boleh tinggal di rumah dalam waktu lama dan tetap menjadi orang yang benar-benar asing, sekalipun dia orang asing yang berharga dan gajinya besar. Apa kita—sudahkah kita memberinya cukup perhatian? Haruskah kita, mengerti kan, mengobrol dengannya, dan sebagainya?”

20161018

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Walau semalam terjadi kehebohan, esoknya aku bangun pagi-pagi. Dokter hewan datang menjenguk merak-merak, yang terkena semacam parasit, dan aku pun harus mengizinkan dia ke garasi. Aku bertanggung jawab atas merak. Ayah yang merawat mereka saat ia masih hidup—cuma ia yang benar-benar menyukai mereka dan karena itulah mereka jadi agak telantar. Aku telah membuat pintu merak di pintu garasi tempat mereka tinggal, jadi mereka bisa keluar masuk sesuka hati, dan selain ketika ada kunjungan memalukan dari dokter hewan seringnya kami tidak saling berhubungan dengan satu sama lain. Aku merasa agak bersalah jadinya, tapi benar-benar deh ini salah mereka sendiri. Mereka itu makhluk paling tak tahu menghargai, tolol, dan jorok, sedikit sekali rasa setia dan terima kasihnya, dan mereka langsung terkena parasit jika tidak diperhatikan terus.

Si dokter hewan memeriksa setiap burung dan memberi mereka cairan dengan semacam serbuk. Lalu seperti biasanya ia mulai mengomel soal kondisi hidup merak-merak itu dan mendesakku supaya lebih sering mengganti serbuk gergaji di tempat tidur mereka untuk mencegah infeksi lanjut dan seterusnya. “Dan beri makan mereka, Pak Hythloday, mereka itu hewan, mereka butuh makan setiap hari, bukan hanya ketika Anda ingat—“

20161009

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (1/4) (Paul Murray, 2003)

Barangkali Bel ada benarnya, soal aku menganggur, maksudku. Sepintas mungkin kelihatannya aku ini menjalani hidup yang malas-malasan, bila dibandingkan dengan ramainya industri yang dipacu kota hingga mencabik-cabik dirinya sendiri. Memang, setelah terjerat dalam Pendidikan Tinggi yang singkat namun menyesalkan, aku agak membatasi kegiatanku di rumah dan daerah sekelilingnya saja. Nyatanya aku bahagia. Karena aku tidak punya kecakapan apa-apa yang layak disebut, ataupun bakat untuk disalurkan, aku tidak mengerti mengapa aku mesti membebani dunia dengan kehadiranku. Tapi, bukan berarti aku tidak berbuat apa-apa. Aku menyibukkan diri dengan beberapa proyek pribadi, seperti mengarang musik, dan mengawasi pembangunan Folly. Aku ini sedang menghidupkan kembali cara hidup yang khas, yang hampir saja punah: hidup tafakur ala pria sejati di pedalaman, sesuai dengan status dan sejarahnya. Pada masa Renaisans, orang menyebutnya sprezzatura. Pokoknya melakukan apa pun yang dilakukan dengan anggun, mengilhami setiap tindakan dengan keindahan, sekaligus menampakkannya seolah-olah tanpa usaha. Maka, jika orang mau bekerja di, katakanlah, bidang hukum, ia mesti menampilkannya secara berseni. Jika orang mau bermalas-malas, maka ia mesti bermalas-malas secara permai. Inilah yang dikatakan sebagai makna sejati menjadi ningrat. Aku sudah menjelaskannya berkali-kali pada Bel, tapi tampaknya ia tidak mengerti juga.

20160927

Waham (Malika Moustadraf, 2004)


Ia keluar dari rumah sambil menyerapahi segala sesuatu sekeras-kerasnya—mulai dari kedua orang tua yang membawanya ke dunia busuk ini hingga kakaknya yang telah menikah dengan orang Perancis, ikut ke negara suaminya, dan ingkar janji. Ia ingat ucapan kakaknya sewaktu di bandara:

“Aku kawin dengan orang Kristen ini demi kau. Satu bulan, dan kau akan memiliki semua dokumen yang diperlukan untuk menyusulku ke sana. Jangan khawatir!”

Ia memercayai kakaknya. Sekarang sebulan telah berlalu, dengan menyeret bulan-bulan lainnya yang menjemukan lagi membosankan, semuanya sama memuakkan, dan kakaknya ingkar janji. Ia capek melihat ibunya pulang sore-sore dengan membawa pakaian bekas serta sisa makanan dari majikan. Ia capek melihat ayahnya merana di pojok kamar sambil mengisap rokok, penampilan lelaki bangkot itu sudah menyerupai orang-orangan sawah saja. Lebih-lebih lagi capeknya karena berdiri di ujung jalan dengan sekeranjang dus rokok di depannya, berjualan eceran. Ia mengisap rokok lebih banyak daripada yang ia jual.

20160918

An Evening of Long Goodbyes, Bab 1 (4/4) (Paul Murray, 2003)

“Perjanjian.” Ia menggosok-gosok mata dengan pinggiran tangannya. “Kalau kamu biarkan hubunganku dengan Frank berjalan, tanpa keluhan ataupun kiasan dari mitologi Yahudi, dengan ini aku berjanji bahwa kalau—kalau—aku dan Frank terus putus, aku akan—aku akan berdiam di rumah selama tiga bulan sebelum mengencani orang yang lain lagi. Bagaimana?”

“Kedengarannya sinis sekali, Bel,” sahutku, terkejut. “Maksudku, aku cuma ingin kamu bahagia.”

“Charles, katakan saja caranya supaya kamu tidak menggangguku lagi.”

“Hmm,” gumamku. Barangkali terasa sinis, tapi aku tertarik dengan rencana baru ini. Biasanya perselisihan antara aku dan Bel diakhiri dengan ia melempar barang pecah belah padaku. Yang menyedihkan, ia bakal mengencani orang ini entah aku senang atau tidak. Sedikitnya dengan begini aku diberi semacam imbalan—sesuatu yang, katakanlah, dalam keadaan biasa tidak akan pernah diterimanya ….

“Baiklah,” ucapku pelan. “Tiga bulan, dan ….”

20160909

An Evening of Long Goodbyes, Bab 1 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Awalnya bahan makanan yang tersedia tampak menyulitkan. Ikan mesti dikeluarkan isi perutnya, daging dipotong, sayuran dikupas, diiris, ditumis. Tapi kemudian tahu-tahu aku melihat stoples berisi kacang-kacangan. Sambil memikirkan apa salahnya makan kacang, aku menaruhnya dalam panci beserta secangkir beras. Kutunggu sampai airnya mulai mendidih, lalu kutiriskan dan kuletakkan di piring. Kubawa makananku ke ruang makan. Hasilnya cukup layak dimakan kalau dilahap cepat-cepat diselingi beberapa teguk anggur, dan aku cukup bangga pada diriku sendiri. Aku makan sendirian, diawasi jam yang berdetak jemu serta seekor ngengat yang menggelepar dengan eloknya dalam naungan lampu di dekat meja panjang dari kayu mahoni. Setelah itu aku meracik gimlet lalu balik ke ruang duduk serta kursi malas yang kini telah pulih.

Film pertama yang ditayangkan yaitu Heaven Can Wait yang tidak begitu penting. Di situ Tierney hanya mendapat peran kecil sebagai istri-Don-Ameche[1] yang suci bak malaikat. Tapi tayangan sesudahnya yaitu film Whirlpool yang cemerlang karya sutradara Otto Preminger. Di situ gabungan yang memikat antara daya tarik dan kehampaan pada diri Tierney dieksploitasi habis-habisan. Perpaduan itu sangatlah sesuai dengan tujuan-tujuan Hollywood yang barangkali telah digemblengnya di kaveling Burbank[2]. Pemirsa pun tersedot seiring dengan surutnya Tierney dari jalan cerita, sayup-sayup memudar bagai sirene hingga kau terenggut ke dalam film tepat ketika ia menghilang. Kau pun mendapati dirimu berada sendirian dalam ruang tempat ia semestinya berada, dalam bayang-bayang dan jeratan efek panggung Preminger yang minta ampun.

20160827

An Evening of Long Goodbyes, Bab 1 (2/4) (Paul Murray, 2003)

“Permisi sebentar,” ucapku, seraya bangkit dan memburu Bel ke kamarnya. Di situ Bel tengah berdiri sambil merenungi rak sepatu.

“Charles, demi Tuhan, siapa juga yang mau memasukkanmu ke cerobong asap,” ujarnya. “Aku mau ganti baju nih, dasar menyebalkan. Sebentar lagi aku balik ke sana.”

“Hei, aku yang sebal,” tukasku. “Malah sebenarnya aku sebal sekali. Kukira kamu cuma mau ambil susu.”

Charles,” Bel menoleh, seraya mengayunkan sisirnya tak sabar, “bisa enggak sih kamu enggak aneh-aneh sebentar saja, mengobrol saja sama dia sampai—“

“Aku sudah mencoba mengobrol sama dia,” ujarku, sambil menggeser gorden demi melihat angin masih meluncur di atas rumput yang tinggi. “Apa pun yang kukatakan benar-benar … meresap. Menjengkelkan sekali. Lalu aku khawatir nanti dia jadi lapar, dan keliru mengira aku ini daging lamur.”

“Yah, kalau kamu benar-benar memperkenankan aku berganti pakaian, setelah ini aku—baru sadar aku, apa kamu memang berencana untuk mengolok-olok penampilan seharian ini? Atau kemunduranmu yang tampaknya tak berkesudahan itu sudah mencapai taraf baru?”

20160818

An Evening of Long Goodbyes, Bab 1 (1/4) (Paul Murray, 2003)


Di balik jendela busur, angin bertiup kencang. Ia pertunjukkan muslihatnya sepanjang petang. Dikeduknya setangkup daun dan dicampakkannya ke seluruh pekarangan. Dikocoknya gada-gada milik Mbah Thompson  ke sana kemari. Dirampasnya jaket kulit yang dikenakan Bel selagi ia berjuang keluar dari jalan di halaman demi mengikuti audisi. Sesekali, dari belakang rumah, aku bisa mendengar raungan angin menerobos kerangka Folly[1], dan aku pun tersentak mendongak dari televisi. Kalau saja ini di Kansas—pikirku saat itu—barangkali akan terjadi angin puyuh yang parah. Tapi ini bukan di Kansas, dan yang diembuskan si angin ke rumah lebih buruk ketimbang kawanan nenek sihir ataupun gerombolan monyet bersayap[2]. Sebab hari itu Frank datang ke Amaurot.

Saat itu sudah lewat pukul empat tapi aku masih memulihkan diri di kursi malas mengenakan kimono, di hadapan Mary Astor[3] yang tengah memamerkan topi dalam film lawas hitam-putih. Semalam aku keluar bareng Pongo McGurks dan mungkin minum agak berlebih, hingga aku terbangun di meja biliar mengenakan sarung orang lain dengan kepala serasa mau pecah. Tapi sekarang aku merasa jauh mendingan. Tepatnya, aku tengah merasakan damai di bumi, sambil menyesap semangkuk kaldu sehat spesial yang dibuatkan Mbok P untukku, dan memenungkan betapa tidak ada yang dapat menandingi kemolekan Mary Astor saat mengenakan topi. Lalu, untuk pertama kalinya mataku menangkap dia, makhluk itu. Sosok besar serupa manusia itu wira-wiri di balik ornamen kaca yang mengarah ke koridor. Potongan makhluk itu tidak sesuai dengan sosok siapa pun yang secara sah berhak berada di tempat ini—tidak ramping seperti Bel, tidak juga trapesium ala babu-babu lontok seperti Mbok P. Potongannya padat dan tambun, begitu janggalnya, seperti salah satu lemari swarakit Ikea yang diiklankan di televisi. Kuangkat tubuhku bertumpukan siku dan berseru: “Siapa tuh!”

20160809

The Moon is Coming (Dayeuh, 2013)

My wife is having the guest. Since morning she has been just curling up on bed. Once in a while she goes out of room then moves back and forth. Messy hair. Frowning hair.  Goes back to the room. Through the doorway, once in a while I look at her from living room, while watching TV and eating peanuts. Once she curls again. And then she gets up. Sticks her body to wall. Dives. 

At commercial break, soda can in hand, I come to her. “Wanna get some medicine or what?”

Her eye, the one that doesn’t sink into mattress, stares at me. “I ... wish ....”

My stomach twists in sudden. Pain radiates in both my legs. I get dizzy ... and limp ....

I see myself standing, soda can in hand. “Not bad, huh?” then chuckles and sits back comfortably on couch.

Bring back ... my body ... to me.[]



This piece is translated from "Bulan Datang" by d.a.y.e.u.h., first appeared in Kemudian.com site on December 2, 2013. Thanks for +61 45X 27X 26X for suggesting me this kind of exercise.

20160727

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 10 (Stephen Chbosky, 1999)

28 Oktober 1991

Temanku yang baik,

Aku minta maaf karena beberapa minggu ini tidak menulis surat padamu, tapi aku telah mencoba “berpartisipasi” seperti yang Bill katakan. Rasanya aneh, sebab kadang ketika aku membaca buku, aku merasa akulah tokoh di dalamnya  Selain itu, saat menulis surat, dua hari berikutnya kuhabiskan untuk memikirkan isi suratku. Entah ini baik atau buruk. Biarpun begitu, aku sedang berusaha untuk berpartisipasi.

Kebetulan, buku yang diberikan Bill padaku berjudul Peter Pan karya J. M. Barrie. Aku tahu yang kau pikirkan. Kartun Peter Pan dan para anak yang hilang. Buku aslinya jauh lebih bagus daripada kartunnya. Ceritanya masih tentang anak laki-laki yang tidak mau jadi dewasa, dan saat Wendy jadi dewasa, ia merasa sangat dikhianati. Sedikitnya begitulah yang kutangkap. Kurasa Bill memberiku buku ini untuk mengajariku sesuatu.

20160718

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 9 (Stephen Chbosky, 1999)

15 Oktober 1991

Temanku yang baik,

Sepertinya aku lupa mengatakan di surat sebelumnya bahwa Patricklah yang memberitahuku tentang masturbasi. Sepertinya aku juga lupa memberitahumu seberapa sering aku melakukan itu sekarang ini, yang memang sering sekali. Aku tidak suka melakukannya sambil melihat gambar. Aku tinggal menutup mataku dan membayangkan seorang wanita yang tidak kukenal. Dan aku berusaha supaya tidak merasa malu. Aku tidak pernah membayangkan Sam saat melakukannya. Tidak pernah. Itu sangat penting buatku soalnya aku senang sekali saat ia menyebut “gaya Charlie” karena rasanya seakan-akan itu lelucon di antara kami berdua.

Suatu malam, aku merasa sangat bersalah sampai-sampai aku berjanji pada Tuhan tidak akan pernah melakukannya lagi. Jadi, aku mulai menggunakan selimut, tapi jadinya menyusahkan, lalu aku mulai menggunakan bantal, tapi jadinya menyusahkan juga, jadi aku kembali seperti biasanya saja. Orang tuaku tidak begitu religius dalam mendidikku, sebab mereka dulu di sekolah Katolik, tapi aku benar-benar percaya pada Tuhan. Cuma aku tidak pernah memberi-Nya nama, kalau kau mengerti maksudku. Kuharap Ia tidak kesal padaku.

Kebetulan, ayahku sudah bicara serius pada orang tua cowok itu. Ibu cowok itu sangat marah sekali dan meneriaki anaknya. Ayah si cowok diam saja. Dan ayahku tidak begitu mencampuri mereka. Ia tidak bilang soal “buruknya cara” mereka dalam membesarkan anak atau apalah.

Setahuku, yang penting cuma meminta bantuan mereka untuk menjauhkan anak mereka dari kakak perempuanku. Begitu tujuannya beres, ia meninggalkan mereka supaya mengurus persoalan itu dan pulang untuk mengurus keluarganya sendiri. Sedikitnya begitulah yang dikatakan ayahku.

Satu-satunya hal yang jadi kutanyakan pada ayahku yaitu tentang masalah keluarga cowok itu. Apakah menurutnya orang tua cowok itu memukuli anaknya. Ia menyuruhku supaya jangan ikut campur. Soalnya ia tidak tahu dan tidak akan pernah menanyakannya dan menurutnya itu tidak penting.

“Tidak semua orang punya cerita sedih, Charlie, dan kalaupun mereka punya, itu tidak bisa jadi alasan.”

Cuma itu yang ia katakan. Lalu kami menonton televisi.

Kakak perempuanku masih marah padaku, tapi ayahku bilang aku melakukan hal yang benar. Kuharap memang begitu, tapi kadang sulit mengetahuinya.

Salam sayang,


Charlie

20160709

Snot Sucker (Dayeuh, 2013)

A mosquito mistook my nostril as earhole. It stuck on my nostril as if it attempted to go in. I sneezed so loud that the snot inside streaking out. Some viscous green liquid tangled its body on the mattress. I shuddered in disguise but I didn’t feel like cleaning it up right away. So I just moved to the other side of the mattress. The next day, the mosquito was gone.

One night I had to complete some task. Once again a mosquito mistook my nostril as earhole. Was it blind? I tapped it up to crumble. Starving mosquite used to be black spot on skin, whereas full mosquite left red stain--blood. This one left a murky green blob ....

Dried snot?[]



This piece is translated from "Nyamuk Pengisap Ingus" by d.a.y.e.u.h., first appeared in Kemudian.com site on September 24, 2013. Thanks for +61 45X 27X 26X for suggesting me this kind of exercise. 

20160627

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 8 (Stephen Chbosky, 1999)

14 Oktober 1991

Temanku yang baik,

Kau tahu “masturbasi”? Kau pasti tahu karena kau kan lebih tua daripada aku. Tapi kalau-kalau kau belum tahu, aku akan memberitahumu. Masturbasi itu ketika kau menggosok-gosok alat kelaminmu sampai mengalami orgasme. Wow!

Kurasa di acara-acara televisi dan di film-film saat ada yang membicarakan tentang rihat kopi itu bisa berarti waktunya untuk masturbasi. Tapi itu juga bisa menurunkan produktivitas.

Aku cuma mau menarik perhatianmu. Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku cuma ingin supaya kau tersenyum. Maksudku “wow”-nya itu lo.

Aku memberi tahu Sam tentang mimpi aku dan dia telanjang di sofa, dan aku mulai menangis karena merasa tidak enak, dan tahukah kau reaksinya? Dia tertawa. Bukan tawa menghina juga. Tawanya sangat menyenangkan dan hangat. Dia bilang menurutnya aku sedang mencoba menarik perhatiannya. Dan menurutnya tidak apa-apa aku memimpikannya. Dan aku pun berhenti menangis. Lalu Sam bertanya apakah menurutku dia cantik, dan kubilang menurutku dia “asyik”. Lalu Sam menatap mataku.

20160618

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 7 (Stephen Chbosky, 1999)

6 Oktober 1991

Temanku yang baik,

Aku merasa sangat malu. Belum lama ini aku ke pertandingan rugbi SMA, dan entah kenapa aku ke sana. Sewaktu SMP, aku dan Michael kadang ke pertandingan meskipun kami sama-sama tidak begitu populer untuk pergi ke sana. Kami ke sana cuma tiap Jumat ketika sedang tidak ingin menonton televisi. Kadang kami bertemu Susan, lalu Michael dan dia pun bergandengan tangan.

Tapi kali ini, aku pergi sendirian sebab Michael sudah tiada, dan sekarang ini Susan bergaul dengan cowok-cowok lain, Bridget masih jadi orang aneh, Carl disekolahkan oleh ibunya di sekolah Katolik, dan Dave si kacamata kikuk sudah pindah. Di situ aku cuma mengamati orang-orang, melihat-lihat yang sedang pacaran dan yang sekadar nongkrong, dan aku melihat anak yang dulu pernah kuceritakan padamu itu. Ingat si Bukan Apa-apa? Bukan Apa-apa ada di pertandingan rugbi itu, dan dia satu dari sedikit penonton yang bukan orang dewasa yang benar-benar menonton pertandingan. Maksudku sungguh-sungguh memerhatikan pertandingan. Dia suka berteriak-teriak.

20160609

Shopping Bag a la Ruli (Vina Maria Agustina, 2016)

In a house in Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra, just in Dolok Sanggul, Ruli is being asked for help by his mother who is called Inong.

“Ruli, could you please buy eggs at the shop?” asks Inong while ironing clothes.

After Inong gives him money, Ruli gets ready to go.

“Why, don’t you bring your own bag?” asks Inong.

“I am going to buy the eggs at shop, not in minimarket. In Amang Tagor’s shop, the bag is still gratis, Inong,” Ruli replies.

Inong shakes her head. “How can we reduce plastic waste then?” 

Ruli turns his back to kitchen, searching for cloth bag which is bought by Inong to substitute plastic bag. But, he finds nothing. “Inong, there is no cloth bag here,” says Ruli.

“Ah, I forget. Among (father) is taking one to keep his change clothes. The neighbor keeps the other one as we shared gifts yesterday.” Inong looks around. “Now, take this one.” Inong thrusts a basin to Ruli’s hand then back to iron the clothes.

20160527

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 6 (Stephen Chbosky, 1999)

29 September 1991

Temanku yang baik,

Dua minggu terakhir ini ada banyak hal yang bisa kuceritakan padamu. Ada banyak kabar baik, banyak juga yang buruk. Lagi-lagi aku tidak tahu kenapa selalu begini.

Pertama-tama, Bill memberikan nilai C untuk esai To Kill a Mockingbird yang kutulis, katanya kalimat-kalimatku terlalu panjang. Sekarang aku berusaha supaya tidak seperti itu lagi. Dia juga bilang supaya aku menggunakan kosakata yang kupelajari di kelas seperti “gempal” dan “resan”.  Aku mau menggunakan kata-kata itu di sini, tapi rasanya kok tidak pas.

Sejujurnya, aku tidak tahu di mana mesti menggunakan kata-kata itu. Bukan berarti kita tidak perlu mengenal kata-kata itu. Kita harus tahu. Tapi aku sama sekali belum pernah mendengar ada orang yang menggunakan kata “gempal” dan “resan”. Guru-guru juga tidak pernah mengucapkannya. Jadi, apa gunanya menggunakan kata-kata yang tidak dikenal atau tidak nyaman diucapkan? Aku tidak mengerti saja.

20160518

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 5 (Stephen Chbosky, 1999)

18 September 1991

Temanku yang baik,

Aku belum memberitahumu bahwa aku ikut kelas pertukangan, ya? Well, aku ikut kelas pertukangan, dan itu pelajaran favoritku selain kelas bahasa Inggris lanjutannya Bill. Semalam aku menulis esai untuk To Kill a Mockingbird, dan aku menyerahkannya pada Bill tadi pagi. Mestinya kami membahas itu besok saat jam makan siang.

Meski begitu, maksudku ada seorang anak di kelas pertukangan yang namanya “Bukan Apa-apa”. Dan orangnya asyik. Namanya jadi “Bukan apa-apa” sewaktu di SMP anak-anak sering mengganggunya. Kurasa sekarang dia sudah kelas tiga SMA. Anak-anak mulai memanggil dia Patty saat tahu nama aslinya Patrick. Dan “Bukan Apa-apa” mengatakan pada mereka, “Dengar, panggil aku Patrick, atau namaku bukan apa-apa.”

20160509

Welcome, Clean Water! (Karunia Sylviany Sambas, 2016)

TIKA and her family live in Simpang Kawat Village, Asahan. They have just moved here, go along Mother who is given a roving commission to teach at local elementary school. 

In the beginning, living here was joyful. Many children here are the same age as Tika, accompany her playing. But, at last Tika feels disappointed. It turns out that clean water here is still hard to get. The water here is somewhat yellow. After falling rain, the water is rather clear. But, after being left all night long, there will be some yellow thing suspends in the water. Mother says, it is called parak.

Again, Mother says that despite of its yellowness, citizens here use the water for daily needs, such as cooking, washing, and bathing.

“Mother, living here is awful. It’s better in the city,” says Tika.

Mother smiles hearing her daughter complaining.

“Who said so? Later you will get a surprise in this place.”

20160427

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 4 (Stephen Chbosky, 1999)

16 September 1991

Temanku yang baik,

Aku sudah menamatkan To Kill a Mockingbird. Sekarang itu jadi buku favoritku sepanjang masa, tetapi dipikir-pikir lagi, aku selalu berpikir begitu sampai aku membaca buku yang lainnya. Guru di kelas bahasa Inggris lanjutan memintaku memanggilnya “Bill” saat tidak sedang pelajaran, dan dia memberiku buku bacaan lainnya. Ia bilang aku punya kemampuan hebat dalam membaca dan memahami bahasa, dan ia ingin supaya aku menulis esai tentang To Kill a Mockingbird.

Aku menyampaikan ini pada ibuku, dan ia bertanya kenapa Bill tidak menganjurkan supaya aku langsung mengambil kelas bahasa Inggris untuk tingkat dua atau tiga. Dan aku memberitahunya bahwa Bill mengatakan bahwa pada dasarnya pelajarannya sama saja hanya buku-bukunya lebih rumit, jadi tidak akan ada bedanya untukku. Ibuku bilang bahwa ia belum yakin dan ingin bicara padanya saat pertemuan sekolah. Lalu, ia memintaku untuk membantunya mencuci piring, dan aku melakukannya.

20160418

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 3 (Stephen Chbosky, 1999)

11 September 1991

Temanku yang baik

Aku tidak punya banyak waktu sebab guru di kelas bahasa Inggris lanjutan menugaskan kami untuk membaca buku, dan aku suka membaca buku sampai dua kali. Kebetulan, buku itu judulnya To Kill a Mockingird. Menurutku sebaiknya kau membacanya kalau belum pernah, karena buku itu sangat menarik. Guru itu menugasi kami membaca beberapa bab dalam satu waktu, tapi aku tidak suka membaca buku dengan cara begitu. Sekali membaca, aku langsung sampai setengah buku.

Bagamanapun juga, alasanku menulis ini karena aku melihat abangku di televisi.  Biasanya aku tidak terlalu suka olah raga, tapi ini kejadian istimewa. Ibuku mulai menangis, dan ayahku merangkulnya, dan kakak perempuanku tersenyum, rasanya lucu karena saat abangku ada mereka selalu bertengkar.

Tapi abangku ada di televisi, dan sejauh ini, itu kejadian penting selama dua minggu aku bersekolah di SMA. Aku sangat merindukan dia, dan rasanya aneh, sebab kami tidak sering mengobrol saat dia di rumah. Sejujurnya, kami masih belum saling bicara.

Aku ingin memberitahumu posisinya di tim, tapi seperti yang sudah kubilang, aku tidak ingin namaku diketahui olehmu. Kuharap kau mengerti.

Salam sayang,


Charlie



Terima kasih kepada Fairynee dan Raysa Prima yang telah memberi inspirasi dalam perbaikan hasil terjemahan ini.

20160409

The Story of Pongo (Vina Maria Agustina, 2016)

Pongo is a Sumatran orangutan. He is just five years old. In a year, Pongo will be self-sufficient. Now Pongo is still living with his mother.

“Hoa-hem,” yawns Pongo, stretching his arms. “It feels so good to wake up after tired of playing. Well, where’s Mother? Isn’t she coming home yet of foraging? I should go along with her some time ago so I can learn how to forage. I was too busy playing, hence I fell asleep.”

After a while, Pongo’s mother comes. “Hello Pongo. I bring you banana. You must be hungry.” 

Pongo nods. “But, why are you so long from foraging?” asks Pongo, his mouth is full of banana.

“Oh, I had to walk rather far than usual,” says Pongo’s mother.

*

The next morning, Pongo faintly hears a roaring noise. What is it? Pongo hasn’t heard any noise like that before. Suddenly Mother shakes him.

“Pongo, get up! We have to get out of here quickly!” cries Mother.

20160327

NYPD Red 4, Prolog I (James Patterson & Marshall Karp, 2016)

Prolog | Karpet Merah Manyala

Satu

LEOPOLD BASSETT melintasi ruangan dengan lincah ke tempat saudaranya, Maxwell, tengah menyesap segelas anggur dalam diam.

“Max, aku baru saja mendengar dari mata-mataku di lobi,” Leo separuh berbisik, kegirangan. “Lavinia sedang naik kemari. Bisakah kau berhenti merengut sebentar saja?”

“Aku tidak sedang merengut. Aku sedang menikmati anggur Sancerre yang sangat lezat ini dan mencoba menghitung seberapa besar pengeluaran kita untuk pestamu yang terakhir itu.”

“Berhentilah menghitung-hitung,” sahut Leo, “sebab setelah aku tahu Lavinia akan kemari, pesta ini sepadan dengan setiap sen yang dikeluarkan. Ia satu-satunya yang kita pedulikan.”

20160318

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 2 (Stephen Chbosky, 1999)

7 September 1991

Temanku yang baik,

Aku tidak suka SMA. Kafetarianya disebut “Pusat Gizi”, yang kedengarannya aneh. Ada seorang cewek di kelas bahasa Inggris lanjutan namanya Susan. Di SMP, Susan sangat menyenangkan. Dia suka menonton film, dan abangnya, Frank, membuatkan kaset rekaman berisi lagu-lagu bagus yang dia perdengarkan pada kami. Tapi saat musim panas behelnya dicopot, dan dia jadi lebih tinggi, lebih cantik, dan dadanya tumbuh. Sekarang sikapnya jadi makin tolol di koridor, terutama saat ada cowok-cowok. Dan rasanya menyedihkan sebab Susan kelihatannya tidak bahagia. Sejujurnya, dia tidak suka mengakui dirinya mengikuti kelas bahasa Inggris lanjutan, dan dia tidak suka menyapaku lagi di koridor.

Sewaktu di pertemuan konseling tentang Michael, Susan bilang Michael pernah memberitahunya bawa dia cewek paling cantik di seluruh dunia, begitu juga behelnya dan segala-galanya. Lalu, Michael meminta Susan untuk “jalan bareng”, yang di sekolah mana pun merupakan persoalan sangat penting. Di SMA itu disebut “pacaran”. Dan mereka berciuman dan membicarakan film, dan Susan sangat merindukan Michael sebab dia sahabatnya.

20160309

Jug in the Front Yard (Novianita, 2016)

“Bima, have you filled the jug?” asks Eyang[1] in front of Bima’s bedroom door.

Bima puts his novel, then moves slowly from the bed. “I haven’t filled the jug yet, Eyang. I guess there’s still some water in it.”

“If the jug is empty, poor those who are thirsty.”

And then Bima carries a tiny jug out of kitchen. Every time the jug swings, a splash of water spills from its mouth.

“Oh, Bima. What a waste. Many people can’t afford drink,” grumbles Eyang.

Eyang provides a big jug of water, completed with some glasses in front of her gate in Klaten, Central Java. Peddler or anyone who happens to pass and feels thirsty can drink water in it.

Before and after school, Bima has to make sure that the jug is always filled. When the sun is very hot, the jug is quickly empty since many peddlers drink the water.

20160227

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 1 (Stephen Chbosky, 1999)

25 Agustus 1991

Temanku yang baik,

Aku menulis ini padamu karena dia bilang kau akan mendengarkan dan mengerti dan tidak mencoba tidur bareng orang yang kau temui di pesta meskipun kau bisa. Tolong jangan memikirkan siapa dia itu karena selanjutnya kau mungkin akan memikirkan aku juga, dan aku benar-benar tidak ingin kau melakukannya. Aku akan menyebut orang dengan nama yang lain atau yang umum saja karena aku tidak ingin kau menemukan aku. Aku tidak menyertakan alamatku juga karena itu. Aku tidak bermaksud buruk kok. Jujur.

Aku cuma ingin tahu bahwa di luar sana ada orang yang mendengarkan dan mengerti dan tidak mencoba tidur bareng orang lain bahkan jika mereka bisa. Aku perlu mengetahui bahwa orang-orang seperti ini memang ada.

Hanya kau menurutku yang akan mengerti soal itu karena menurutku hanya kau yang peka dan memahami maksudnya. Setidaknya aku berharap kau memang begitu karena orang lain mengharapkan dukungan dan persahabatan darimu dan mereka memperolehnya dengan mudah. Setidaknya itulah yang kudengar.

20160218

Aku Ingin Tahu Sebabnya (Sherwood Anderson, 1920)

Pada hari pertama berada di timur, kami bangun pukul empat pagi. Pada malam sebelumnya kami naik kereta barang di pinggir kota. Dengan naluri sejati pria Kentucky, kami langsung dapat menemukan jalan melintasi kota dan menuju gelanggang pacuan kuda serta kandangnya. Kami pun tahu kami baik-baik saja. Hanley Turner segera melihat seorang negro kenalan kami. Ia Bildad Johnson yang pada musim dingin bekerja di gudang perawatan kuda milik Ed Becker di kampung halaman kami, Beckersville. Bildad tukang masak yang jago seperti hampir semua negro di tempat kami, dan tentu saja ia menyukai kuda, seperti semua orang di daerah kami di Kentucky yang berarti siapa saja. Pada musim semi Bildad mulai mencari-cari pekerjaan. Seorang negro dari daerah kami dapat membujuk rayu siapa saja supaya ia dapat mengerjakan hampir segala hal yang ia inginkan. Bildad menggaet orang-orang kandang dan para pelatih dari peternakan kuda di daerah kami di sekitar Lexington. Para pelatih datang ke kota malam-malam untuk menongkrong, mengobrol, mungkin juga main poker. Bildad bergaul erat dengan mereka. Ia suka membantu sedikit-sedikit dan membicarakan masakan, seperti ayam yang digoreng hingga kecokelatan dalam panci, serta cara terbaik untuk memasak ubi jalar dan roti jagung. Mendengarnya saja bikin mulut jadi berair.

20160209

Oto-Bot (FiFadila, 2015)


Professor Teri is a genius scientist. Yet, he is absent-minded. He creates a versatile robot named  Oto-Bot. Unfortunately, he forgets how to turn the robot on. His note slips somewhere. Professor Teri is busy looking for the paper from work laboratory, bedroom, dining room, guest room, kitchen, up to storeroom.

Dani, Professor Teri’s grandchild, comes into the laboratory. He looks for his Grandpa to perform difficult Mathematics homework. Dani sees a figure is standing before window. Dani supposes that it is Grandpa. Dani creeps up and startles it.

“Baaang …. Grandpa Teri!” Dani pushes its waist.

That figure doesn’t jump over nor screamed in surprise. That figure falls against a table without moving. The sound of its fall startles Dani.

Clank! It sounds like hitting metal. Its back rushes against leg of the table. There is a sound like pushed button. Click.

20160127

Aku Tak Memerlukan Apa pun dari Sini (László Krasznahorkai, ____)

Aku akan meninggalkan segalanya yang ada di sini: lembah, bukit, jalan setapak, dan burung-burung jay di taman, aku akan meninggalkan keran-keran dan para begawan, surga dan bumi, musim gugur dan musim semi, aku akan meninggalkan jalan keluar darurat, malam-malam di dapur, tatapan kasih yang penghabisan, dan semua arah menuju batas kota yang merindingkan, aku akan meninggalkan senjakala berkabut luruh ke daratan, gravitasi, harapan, pesona, dan kedamaian, aku akan meninggalkan mereka yang tersayang dan yang kuakrabi, segalanya yang menyentuhku, segalanya yang mengejutkanku, mengagumkanku dan meriangkanku, aku akan meninggalkan yang mulia, yang bajik, yang sedap, begitu pula yang keji, aku akan meninggalkan tunas yang menumbuh tinggi, setiap kelahiran dan keberadaan, aku akan meninggalkan jampi, misteri, jarak, keberlimpahan, dan keabadian yang memabukkan; karena dari sini aku akan meninggalkan bumi ini dan gemintang ini, karena aku tidak akan membawa apa pun bersamaku dari sini, sebab aku memandang yang akan menjelang, dan aku tak memerlukan apa pun dari sini.[]



diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Ottilie Mulzet, aslinya ditulis dalam bahasa Hungaria

20160118

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 6 (Haruki Murakami, 1994)

6

Tentang Lahirnya Kumiko Okada dan Noboru Wataya
*



Sebagai anak tunggal, aku sulit membayangkan perasaan kakak-beradik yang sudah dewasa dan mandiri saat mereka bertemu. Kalau Kumiko, kapan pun ada pembicaraan tentang Noboru Wataya, tampangnya jadi aneh, seakan tahu-tahu mulutnya merasakan sesuatu yang ganjil, tapi aku tidak tahu persisnya arti tampangnya itu. Aku sendiri tidak ada sedikit pun perasaan positif pada abangnya. Kumiko tahu dan menurutnya itu wajar saja. Dia sendiri sama sekali tidak suka pada orang itu. Sulit membayangkan keduanya pernah mengobrol seandainya tidak ada hubungan darah di antara mereka. Tapi kenyataannya, mereka memang kakak-beradik, sehingga rasanya agak semakin rumit. Setelah aku bertengkar dengan ayahnya dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, Kumiko hampir-hampir tidak pernah lagi berjumpa Noboru Wataya. Pertengkaran dengan ayahnya memang sengit. Seumur-umur aku jarang bertengkar—aku bukan orang yang seperti itu—tapi sekalinya itu terjadi, aku maju habis-habisan. Maka perpecahanku dengan ayahnya pun berakhir. Kemudian, setelah aku menyingkirkan apa pun yang perlu disingkirkan dari dadaku, kemarahan itu pun anehnya menghilang. Yang kurasakan hanya kelegaan. Aku tidak harus bertemu dengan ayahnya lagi. Rasanya seakan beban berat yang kupanggul selama ini telah diangkat dari bahuku. Tidak ada amarah ataupun benci yang tersisa. Aku bahkan merasakan sedikit simpati atas kesukaran hidup yang dialami ayahnya, betapapun tolol dan menjijikkannya wujud kehidupan itu di mataku. Kukatakan pada Kumiko aku tidak akan pernah menemui orang tuanya lagi, tapi dia bebas mengujungi mereka tanpa diriku kapan pun dia ingin. Kumiko tidak berusaha menemui mereka. “Tidak apa-apa,” katanya. “Lagi pula aku tidak sebegitu inginnya bertemu mereka.”

20160109

My Name is Gecko (Agus Kurniawan, 2001)

My name is Gecko. The shape of my body is like small house lizard, but a little bigger. I live in The Rahmats’ rooftop. The family is poor but they live happily in peace.

Mr. Rahmat has two children, Budi dan Uci. They are very happy making fun with my sound. This way: each time I make the sound, “Gecko…” Budi raises his index finger saying, “Me.” Then on the other sound, “Gecko…” it is Uci who raises her index finger saying, “Me.” And so on until I get silent. Well, whoever raises the index finger at my last sound is the one whom lose and must be beaten by the other. It is just a soft blow and hurtless, of course, for they love each other.

There is another amusement:  Budi often makes my voice to predict what he will do. When he hesitates to accept an invitation from his friend, then he counts my voice.

“Gecko…” I say, and Budi says, “go.”

“Gecko…” I say again, answered by Budi, “not go.” And so on until I get quiet. When I stop on the word “Go,” then he receives the invitation. And if I say the opposite, then he refuses.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...