Prolog
| Karpet Merah Manyala
Satu
LEOPOLD BASSETT melintasi ruangan dengan lincah ke tempat saudaranya, Maxwell, tengah menyesap segelas anggur dalam diam.
Satu
LEOPOLD BASSETT melintasi ruangan dengan lincah ke tempat saudaranya, Maxwell, tengah menyesap segelas anggur dalam diam.
“Max, aku
baru saja mendengar dari mata-mataku di lobi,” Leo separuh berbisik, kegirangan. “Lavinia sedang naik kemari. Bisakah kau berhenti merengut sebentar saja?”
“Aku
tidak sedang merengut. Aku sedang menikmati anggur Sancerre yang sangat lezat ini dan mencoba menghitung seberapa besar pengeluaran kita untuk pestamu yang terakhir itu.”
“Berhentilah
menghitung-hitung,” sahut Leo, “sebab setelah aku tahu Lavinia akan kemari, pesta ini sepadan dengan setiap sen yang dikeluarkan. Ia satu-satunya yang kita pedulikan.”
“Lantas
mengapa kita membayar lima belas ribu dolar untuk kamar Royal Suite di hotel Ritz-Carlton, dan apa yang dilakukan para benalu lainnya itu
di sini selain membabi buta melahap kaviar dan menenggak sampanye?”
“Max, aku tidak mengajarimu caranya merancang perhiasan,
jadi jangan ganti menguliahiku caranya merencanakan pesta publisitas. Jika
Lavinia masuk ke ruangan yang kosong, dia akan langsung pergi. Orang-orang ini
cuma figuran. Kuundang untuk meramaikan saja.”
“Demi seorang kolumnis gosip murahan?”
“Gosip?
Bagaimana jika suhu mode? Orang-orang mencamkan setiap kata yang
dia tulis, setiap foto yang dia cetak. Dia itu pencipta selera, pencetus tren.”
Pintu
ruangan megah itu terbuka, dan Lavinia Begbie pun tiba.
“Wah,
wah,” ucap Max. “Melihat lengkung alis dan dahinya yang kaku, tampaknya tren
terbaru yang populer berupa suntik Botox yang gagal total. Wajahnya seperti
kena stroke.”
“Aku
membencimu,” ujar Leo, dan bergegas melintasi ruangan untuk menyambut sang
pendatang baru beserta para pengiringnya: seorang fotografer, seorang asisten,
dan seekor anjing terrier West Highland putih dalam buaian
lengan Lavinia.
Lavinia
meletakkan anjing itu di lantai, mengecup Leo tanpa mengenai kulitnya, dan
langsung menghampiri Max. “Maxwell Bassett—jauhari yang ulet,” ucapnya, sambil
menjabat tangan Max. “Senang akhirnya bertemu denganmu. Kau ini seperti
petapa.”
Max
tersenyum. “Leo pemberi tugas yang keras. Karena dia aku terkurung di studio,
merancang aksesori bertatahkan nama yang dicetak tebal.”
“Terkurung,
ya,” ucap Lavinia. “Kali terakhir aku mengobrol dengan Leo katanya kau sedang
di Namibia berburu badak putih.”
“Tolong
jangan cetak yang itu,” ujar Max, seraya melipat kedua tangannya di dada serupa
malaikat. “PETA cukup membenciku karenanya.”
“Leo,
tolong ambilkan aku bourbon porsi dobel, yang murni,” ucap
Lavinia.
“Baik,”
sahut Leo. “Bagaimana dengan anjingmu? Perlukah aku mengambilkannya semangkuk
air?”
“Jangan
repot-repot. Harlow menyukai pesta koktail. Dia akan menunggu hingga ada yang
menjatuhkan makanan, lalu dia akan langsung melahapnya. Aku menyebutnya sajian lantai.”
Ia mengalihkan perhatiannya pada Max. “Mari kita bicara.”
“Ini
makan waktu berbulan-bulan,” ujar Max, mulai menyajikan presentasi sebagaimana
yang telah dipersiapkannya, “tetapi akhirnya aku berhasil mendapatkan zamrud
yang ukurannya pas dua puluh empat karat—“
“Kumohon,”
sela Lavinia. “Jangan bertele-tele. Publisismu sudah mengirim surel padaku
tentang segala perinciannya, dan fotograferku akan mengambil foto Elena Travers
sewaktu berjalan ke karpet merah. Aku kemari untuk membicarakan rumor itu.”
“Mereka
semua benar,” ujar Max. “Leo itu gay. Aku sudah memberi tahu dia kau mengerti
keadaannya.”
“Kudengar
kau berencana bekerja sama dengan Precio Mundo,” ucap Lavinia.
“Precio?
Pasar swalayan? Mana mungkin mereka menjual merek seperti Bassett? Memotong
harga gelang senilai ratusan ribu dolar menjadi delapan puluh sembilan ribu
saja dan menempatkannya di ujung rak pajangan?”
“Jangan
berlagak, dan jangan mengalihkan pertanyaan. Menurut sumberku, mereka ingin kau
membuat seuntai—“
“Hadirin
yang terhormat, mohon perhatian Anda sekalian.” Sonia Chen, publisis Leo,
berdiri di sebelah luar pintu ruang tidur. “Saya telah bertemu dengan banyak
wanita yang anggun, tetapi tidak ada yang lebih menarik dan simpatik daripada
wanita muda yang akan menapaki karpet merah malam ini pada pemutaran perdana
film terbarunya, Eleanor of Aquitaine. Suatu kehormatan bagi saya
untuk mempersembahkan Elena Travers.”
Sang
aktris melangkah melalui pintu ruang tidur dengan mengenakan gaun kemban putih
Valentino yang sangat memikat berkat mahakarya terbaru Max. Para tamu bertepuk
tangan, kamera menjepret, dan dari seberang ruangan itu Leo Bassett berseru,
“Setelah sekian lama akhirnya—aku menemukan gadis impianku.”
Orang-orang
tertawa, dan Leo segera menghampiri Elena dengan kedua lengan terbentang lebar.
“Sayang,” rayunya, seraya memberi komando pada orang-orang di ruangan itu, “kau
tampak memesona—“
Tubuh Leo
terhempas ke depan begitu kakinya mengenai si anjing terrier West
Highland putih. Harlow mendengking, Leo menjerit, dan kedua tangannya
menggapai-gapai supaya tidak terjerembap. Namun momentumnya tidak bisa
dihentikan hingga ia menubruk meja bufet dan berlabuh di permadani, terlumuri
oleh hidangan lawar kakap laut.
Seorang
pelayan membantu Leo berdiri, sementara Sonia cepat-cepat menghampiri dengan
segenggam serbet dan mulai menyeka ikan serta saus salsa dari tuksedonya. Leo
menepis Sonia dan melanjutkan pementasannya. “Aturan pertama dalam bisnis
pertunjukan,” ucapnya, memainkan perannya di hadapan kerumunan. “Jangan membawa
anak-anak atau anjing.”
Para tamu
tertawa gugup.
Leo
tersenyum pada Lavinia. “Dan bagaimana keadaan Harlow kecil?”
“Dia
kalut, tetapi dia akan baik-baik saja,” sahut Lavinia, lengannya memeluk si
anjing Westie. “Leo, aku sungguh minta maaf—“
Leo
mengangkat sebelah tangannya dan berpaling pada Elena. “Sayangku, aku khawatir
kau harus menemui pendamping yang lain.”
“Oh,
Leo,” ucap Elena, “tidak ada yang peduli pada sepercik saus koktail. Ayolah.
Kita akan bersenang-senang.”
“Demi
Tuhan, Leo, pergilah.” Max yang bersuara. “Toh tidak akan ada yang
memerhatikanmu.”
“Tidak,”
Leo menyentak saudaranya. “Leo Bassett tidak akan melangkahi karpet merah
dengan bau potongan ikan busuk.”
Ia
berbalik, menghambur ke ruang tidur, dan membanting pintunya.
Max
mencuri pandang ke arah Lavinia Begbie, ingin tahu reaksi wanita itu pada
tingkah Leo. Namun wajah Lavinia telah disuntik dengan begitu banyak toksin
botulinum penghilang kerutan sehingga ekspresinya tidak terlihat.
Lanjutan dari Latihan 5 blog Latihan
Menerjemahkan Novel. Beberapa paragraf awal telah diperbaiki sesuai dengan tuntunan dari Ibu Femmy Syahrani. Teks sumber diambil dari situs resmi James Patterson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar