Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita [1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi k...

20171206

Musim Panas dalam Sehari (Ray Bradbury, 1954)


“Siap?”

“Siap.”

“Sekarang?”

“Sebentar lagi.”

“Apakah para ilmuwan itu memang benar? Benarkah itu terjadi hari ini, benarkah?”

“Lihat, lihat! Lihat saja sendiri!”

Anak-anak berdesak-desakan bagai gerumbulan mawar dan alang-alang yang bercampur baur, memandang tajam-tajam demi melihat matahari yang bersembunyi.

Hujan pun turun.

Hujan telah turun selama tujuh tahun. Beribu-ribu hari terjalin dan tercurahi oleh hujan, oleh genderang dan pancaran air, oleh butiran bening yang luruh tiap sebentar, dan gemuruh badai yang begitu dahsyat hingga menjelma gelombang pasang yang melanda pulau-pulau. Ribuan hutan lumat akibat hujan dan tumbuh lagi beribu-ribu kali untuk kembali dilumatkan. Kehidupan seperti ini terus saja berlangsung di Planet Venus, dan kisah ini terjadi di suatu kelas yang dihuni oleh anak-anak dari para pria dan para wanita yang dengan menggunakan roket ulang-alik datang ke dunia hujan untuk membangun peradaban.

20171106

Penggalan: The Bamboo Stalk (Saud Alsanousi, 2014)


Suatu malam aku memanggil taksi untuk menukar tabung gas yang sudah kosong ke depot di dekat pasar induk. Jalanan di Jabriya sangat padat. Kawasan ini memang selalu ramai, tetapi kemacetan seperti ini, sampai-sampai mobil pun susah bergerak, hanya mungkin terjadi jika ada kecelakaan atau razia. Seperti yang kuduga, di ujung jalan ada mobil-mobil polisi dengan lampu berkedip biru dan merah. Polisi berdiri di pinggir jalan memeriksa SIM dan STNK.

Sopir taksi membuka jendela dan menyerahkan surat-suratnya pada polisi. Polisi memeriksanya dan, sebelum menyerahkannya kembali pada sopir, meminta kartu identitasku. Aku memasukkan tangan ke saku celana, tetapi dompetku tidak ada. Aku pun panik. Aku menunjuk ke arah jalan dan berkata, “Dompet saya ketinggalan di flat.”

Ia tidak mengerti ucapanku. “Iqama, iqama,” pintanya dalam bahasa Arab, yang berarti ia menginginkan bukti bahwa aku penduduk Kuwait yang sah secara hukum.

20171006

Tana (Giulio Mozzi, 1993)

Hujan turun sejak pagi. Tana dalam perjalanan pulang sekolah. Tiap Kamis sore ada pelajaran menjahit, dan sekarang ketika di bis, Tana menyadari bahwa inilah kali pertama ia pulang sekolah saat langit gelap. Bisa terus seperti ini hingga berbulan-bulan. Di luar dingin dan hujan, sementara bis yang dinaiki Tana, yang disesaki anak-anak lelaki dan perempuan, para murid sekolahan, panas beruap. Jendela-jendela bis berkabut. Ada yang berhasil membuka paksa salah satu jendela itu, sehingga Tana, yang sudah berkeringat, jadi membeku. Pikirnya: bisa-bisa aku sakit, tidak sekolah seminggu. Ia tidak berusaha untuk menyingkir dari aliran angin itu. Ia tidak memprotes. Hujan menampar wajahnya, matanya. Sudah beberapa lama ini hujan tidak turun sehingga kota dan udara penuh debu. Tana merasakan hujan menghunjami wajahnya, matanya.

Bis itu ramainya bukan main, namun saking banyaknya suara menjejali kepala Tana hingga semua penumpang seolah-olah membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Mereka tertawa tanpa suara. Tana ingat pernah membaca di ensiklopedia tentang suku Indian di Amerika Selatan yang hidupnya dikelilingi oleh musuh yang ganas. Alhasil, orang-orang suku itu hampir tidak pernah berbicara dan paling-paling hanya berbisik. Mulut anak-anak dibebat sampai mereka mempelajari aturannya. Mereka memutus pita suara anjing-anjing pemburu mereka dengan pisau khusus yang panjang dan tajam. Dengan begitu musuh tidak akan mendengar suara mereka. Semua orang di desa itu bergerak dengan teramat berhati-hati, dengan langkah sunyi. Mereka tidak menyalakan api. Jangan-jangan, pikir Tana, desanya pun bukan desa sungguhan. Tiap orang memiliki sebuah selubung, dan selubung yang menutupi kepalanya itulah yang menjadi rumah. Dengan terkurung dalam rumahnya itu, dari kejauhan orang tersebut mestilah tampak persis menyerupai belukar yang gundul, atau akar sebatang pohon tumbang yang membusuk, atau kerangka hewan yang terabaikan. Benda yang tidak akan menarik siapa pun. Mereka memakan hewan yang mereka bunuh mentah-mentah supaya tidak tercium aroma masakan, dan mereka memakannya hingga potongan terakhir, hingga carikan kulit dan tulang terakhir, hingga bulu terakhir, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mungkin juga suku tersebut tidak pernah berkumpul bersama-sama. Tiap orang mengembara sendiri-sendiri dalam rimbunnya hutan basah, suami istri bertemu sesekali saja, selalu di tempat yang berbeda-beda, selalu pada waktu yang ditetapkan menurut aturan yang berbeda-beda. Walaupun seringnya, supaya aman, mereka tidak mengadakan pertemuan sama sekali. Atau yang lebih mungkin, lelaki suku itu mengembara di hutan, dengan berserah pada nasib atau para dewa jika ia bertemu seorang perempuan, dan jika itu terjadi, maka perempuan itu akan menjadi istrinya, dan jika ia bertemu seorang lelaki, maka lelaki itu akan menjadi kawan atau lawan.

20170927

Sebuah Kisah yang Mencerahkan (Fernando Sorrentino, 2001)

Ada seorang pengemis yang sangat jujur.
Suatu hari ia mengetuk pintu sebuah rumah besar yang mewah. Seorang pelayan keluar dan berkata, “Ya, tuan. Apa yang kau inginkan, bujang?”
Si pengemis menjawab, “Demi kasih Tuhan, sedekah barang sedikit saja.”
“Saya harus bilang dulu pada nyonya rumah ini.”
Si pelayan pun menanyakan pada nyonya rumah. Nyonya rumah yang sangat kikir menjawab, “Jeremiah, berilah si bujang itu roti. Satu saja. Kalau bisa, roti yang kemarin.”
Jeremiah, yang diam-diam jatuh cinta pada majikannya, karena ingin menyenangkan hati nyonyanya itu pun mencari roti yang sudah basi dan sekeras batu, kemudian menyerahkannya pada si pengemis.
“Nih, bujang,” ucapnya, tidak lagi memanggil tuan pada pengemis itu.
“Tuhan memberkatimu,” sahut si pengemis.

20170920

An Evening of Long Goodbyes, Bab 13 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Mirela menjangkau ke punggungnya lalu menarik ritsleting gaunnya ke atas. Ia bangkit dan menarikku ke kasur di sampingnya. “Kukira aku sudah menjelaskannya padamu,” ucapnya. “Dulu aku punya kehidupan. Tetapi kehidupan itu sudah berakhir. Kenanganku berasal dari hal-hal yang sudah tidak ada lagi. Dunia diam saja dan membiarkannya terjadi dan sekarang yang kumiliki dari rumah tinggal ini—lihat, Charles,” seraya mengangkat gaunnya memperlihatkan belat kasar yang terbuat dari baja serta kayu gosong koyak-koyak. Terkelu aku menatap benda itu, lantas kembali menjauh dari dirinya. Setidaknya ia terlihat cukup tenang. “Tidakkah kamu mengerti, Charles?” ucapnya lembut. “Apakah aku harus mengejakannya untukmu? Tidak ada satu pun dari semua ini yang berarti bagiku. Tidak kamu, tidak juga adikmu, tidak juga rumah tempat kalian dibesarkan. Aku akan bermain di teater. Aku akan berada di papan iklan jika mereka menginginkannya. Aku akan berusaha keras supaya sukses. Tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar berarti bagiku. Ketika melihat orang-orang di sekitarku, yang kudapati hanyalah bidak-bidak kecil di papan permainan.”

20170913

An Evening of Long Goodbyes, Bab 13 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Bel tidak kembali. Aku tahu ia tidak akan kembali. Meski begitu, aku tetap menunggu sekitar sejam, di pinggiran ruang pesta, sambil meminum gimlet dan terkatung-katung di sekitar percakapan orang lain. Tuan-tuan bersetelan membicarakan investasi lepas pantai, properti, golf. Nyonya-nyonya membicarakan properti, liburan, operasi plastik, aksi sosial.

Selagi berjalan ke luar rumah, aku mendengar percekcokan berlangsung di ruang penitipan barang. “Saya tidak yakin kamu mengerti peliknya masalah ini,” seorang nyonya memberi tahu Frank dengan suara nyaring dibuat-buat yang dapat memecahkan kandil. “Ini bukan cuma soal harganya. Bulu rubah itu tidak tergantikan. Itu benda bersejarah, bisa kamu mengerti?”

“Yah, kan enggak ada,” kata Frank dengan nada memungkas.

“Tetapi di mana lagi dong?” suara perempuan itu naik lagi beberapa oktaf. “Di mana lagi, coba?”

“Kabur kali,” imbuh Frank. “Dia enggak mau diam di rumah terus kali.”

20170906

Picasso (César Aira, 2014)

Semua ini dimulai ketika si jin keluar dari botol susu dan bertanya padaku, mana yang lebih kuinginkan: memiliki sebuah lukisan Picasso atau menjadi Picasso. Ia dapat mengabulkan setiap permintaanku, tetapi ia memperingatkan, hanya satu di antara dua. Aku harus memikirkannya sejenak—atau agaknya, dialah yang menyuruhku untuk memikirkannya. Dalam cerita rakyat dan kesusastraan, banyak cerita tentang orang tamak yang menderita karena bertindak sembrono, sehingga timbul anggapan bahwa segala tawaran itu terlalu indah untuk jadi nyata. Tidak ada catatan ataupun bukti yang dapat diandalkan untuk dijadikan dasar dalam mengambil keputusan, sebab hal semacam ini cuma ada dalam karangan atau guyonan, maka tak ada orang yang pernah memikirkan ini secara serius. Lagi pula, di dalam karangan selalu ada jebakan. Kalau tidak begitu, jadinya tidak akan seru dan namanya bukan karangan. Namun terkadang diam-diam aku suka membayangkan peristiwa ini terjadi. Kuingat-ingat sekuatku, namun yang tebersit cuma cerita klasik tentang “tiga permintaan” itu. Tawaran yang diajukan si jin padaku sungguh tak kira-kira. Mana pun yang kupilih sangat menentukan, sehingga aku perlu waktu untuk mempertimbangkannya.

20170827

An Evening of Long Goodbyes, Bab 12 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Gemilang, begitulah yang dikatakan ulasan-ulasan keesokan harinya: melodrama yang ramah dari Harry Little meninabobokan audiens dengan rasa keamanan palsu, lantas melontarkan pukulan telak, saat cinta yang bersemi di antara adiknya (Mirela Pribicevic yang berseri) dan pengacara muda yang trendi (Little) mendorong Mary (dengan simpatik diperankan oleh Belle Hithloday) yang terkungkung oleh kursi roda agar secara harfiah memijakkan kakinya serta membawa langkah-langkah awalnya yang terhuyung-huyung menuju kebebasan yang sunyi namun menebus. Apa yang pada awalnya tampak seperti karya ringan kendati pemurah dalam menelaah kesulitan-kesulitan yang dialami kaum dengan mobilitas rendah untuk keluar-masuk bangunan, menyatakan diri melalui pemecahan yang bertentangan lagi mengejutkan, hampir-hampir Lacanian pada masa prematurnya—sebagian akhir sandiwara ini durasinya hanya tujuh belas menit—sebagai tafsir yang meledak-ledak akan sifat kebebasan serta kekuatan cinta yang rawan namun tetap katarsis dan begitu pula teater di dunia modern—dst, dsb.

20170820

An Evening of Long Goodbyes, Bab 12 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Rencana awalnya sih sandiwara itu diselesaikan dan diserahkan pada Bel sebelum pembukaan sandiwara baru Harry, dengan harapan mereka membatalkan punyanya dan alih-alih mementaskan milikku. Akan tetapi, penulisan sandiwara itu memerlukan waktu lebih lama daripada yang diperkirakan—maksudku, kalau ingin mengerjakannya betul-betul. Sebelum kami menyadari keadaan, malam pembukaan Titian sudah di hadapan.

Mereka masih kekurangan tenaga, sehingga aku menyetujui sementara waktu tidak berada di pembuangan demi bekerja sebagai Petugas Penitipan Barang pada malam itu. Dengan susah payah, aku berhasil mengajak Frank supaya serta sebagai bantuan moril. Bunda menyediakan meja kecil di ruang masuk tempat kami mengambil mantel serta menyambut tokoh-tokoh yang datang. Di luar, malam dingin menggelenyar, namun di dalam ada lilin-lilin, tangkai-tangkai bunga liar musim gugur, serta aroma hangat yang menarik tamu-tamu ke ruang resital, tempat mereka disambut dengan anggur merah Bordeaux yang dipanaskan, berikut musik pengiring yang dibawakan Vuk, Zoran, dan teman-teman mereka dari antrean di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

20170813

Orang-orang yang Meninggalkan Omelas (Ursula K. Le Guin, 1973)


Festival Musim Panas hadir di Omelas, kota yang menjulang terang di dekat laut, diiringi gempita genta yang membubungkan burung-burung. Tali temali pada perahu-perahu di pelabuhan berkilauan oleh bendera-bendera. Pawai berarak di jalanan, di antara rumah-rumah beratap dan berdinding merah, di antara kebun-kebun tua berlumut dan di bawah jalur pepohonan, melewati taman-taman besar dan bangunan-bangunan umum. Sebagian di antara mereka merupakan orang-orang yang terhormat: para orang tua berjubah panjang dan berat berwarna kelabu dan lembayung muda, para ahli pembuat makam, serta para wanita penggembira yang membawa bayi mereka sambil berbincang pelan sementara berjalan. Di jalanan yang lain pawainya berupa tarian, musik berdentum lebih cepat, gong dan tamborin berkelap-kelip, dan orang-orang pun menari. Anak-anak berkeliaran, jeritan nyaring mereka melangit bak burung layang-layang yang terbang melintasi musik dan nyanyian.

Seluruh pawai itu mengulir ke utara kota. Di situ terdapat padang lamun luas yang disebut Padang Hijau, tempat pemuda dan pemudi bertelanjang dalam suasana riang. Mereka berlumuran lumpur mulai dari kaki, tumit, hingga lengan mereka yang jenjang dan lentur, melatih kuda mereka yang gelisah menghadapi balapan. Kuda-kuda itu tidak ada yang mengenakan pelana, hanya tali tanpa kekang pada leher. Rambut di tengkuk mereka dijalin dengan pita perak, emas, dan hijau. Mereka mendengus-dengus, berjingkrak-jingkrak, dan membusung pada satu sama lain. Mereka sangat bergairah. Hanya kuda satu-satunya hewan yang merasa ikut memiliki seremoni kita.

20170806

An Evening of Long Goodbyes, Bab 11 (Paul Murray, 2003)

Bukan pidato Bel yang menggelisahkanku. Orang tidak hidup bersama Bel selama dua puluhan tahun tanpa terbiasa menjadi sasaran pidatonya sewaktu-waktu. Diusir dari Amaurot pun aku sudah terbiasa.

“Tetapi ia meminta dukunganku. Bel enggak pernah meminta dukunganku. Selama aku mengenal dia, enggak pernah sekali pun dia memintaku untuk memberi dukungan atau nasihat, bahkan bantuan untuk merakit dapur bonekanya ….” Aku memutar-mutar gelas dan memberengut pada golakan air di dalamnya. “Aku tahu ada yang aneh. Dan itu ada hubungannya dengan Harry si bangsat itu.”

“Memang dia itu biang kerok,” Frank berkomentar dari sofa.

“Bukan cuma karena dia itu biang kerok,” kataku. “Dia itu aktor. Ini musibah. Secara pribadi aku enggak memercayai aktor sama sekali. Sebab lihat saja kenyataannya. Kenyataannya Bel sudah empat tahun kenal dia tanpa ada tanda-tanda suka, lantas ketika gagasan mengadakan teater ini terwujud dengan sendirinya ia muncul lagi dengan membawa-bawa naskah dan mendadak segalanya jadi tentang Doris Day serta menara SUTET yang menyanyi dalam embusan angin. Ia juga mencocoki hidung Bunda dan mencampuri urusan rumah.” Aku melangkah ke pintu dapur. “Maksudku, belum lagi peran yang khusus dibikinnya untuk Bel.”

20170727

Naga Rabieh (Alexandre Najjar, 2008)

Berdasarkan kisah nyata

Inspektur Syarbel Barud tengah mencungkili giginya sambil mendengarkan penjelasan para petugas damkar. Kasus ini mulai mengusik dirinya. Selama lima hari ini ia telah menghabiskan waktu mengunjungi warga Rabieh untuk mengumpulkan keterangan mengenai makhluk ganjil yang tengah merebakkan kepanikan di kawasan pemukiman kalangan atas di Gunung Lebanon. Fakta-fakta yang telah terkumpul sejauh ini belum meyakinkan. Sebagian saksi menyatakan telah melihat naga, yang lainnya menyebut dinosaurus.

Di suatu negeri yang mayoritas penduduknya sangat percaya takhayul dan memperlakukan ramalan bintang bak Injil serta lebih memilih dukun ketimbang dokter, tidak mudah membedakan antara fakta dan fiksi, maupun khayalan dengan kenyataan. Pada dasarnya ia orang yang skeptis dan tidak mempraktikkan kepercayaan ibunya secara serius. Ibunya menyalakan lilin supaya ia kembali dengan selamat dari penugasannya, serta memohon dengan khusyuk pada Santo Syarbel[1] supaya ia menemukan jodoh yang sepadan dan tidak melewatkan Rabu sebelum Paskah—disebut juga Rabu Ayub—supaya tidak diganyang semut saat tidur….

20170720

An Evening of Long Goodbyes, Bab 10 (2/2) (Paul Murray, 2003)

TITIAN, tertera pada halaman pertama, berikut nama Harry dalam huruf besar di bawah judul tersebut. Pada halaman selanjutnya terdapat PARA PELAKU: MARY—gadis berkursi roda yang sakit hati; ANN—adiknya yang cantik dan pengasih, model; IBU—ibu mereka; JACK REYNOLD QC—pengacara baru berjiwa sosial yang keren.

“Tentang apa nih?” tanyaku, sembari mengekori Bel ke kamar.

“Itu tentang,” Bel menerangkan, sambil mengambili penjepit dari rambutnya lalu menaruh pernak-pernik tersebut di meja rias, “gadis yang menggunakan kursi roda, yaitu aku, dan ibunya yang sedang sekarat karena kanker dirawat di rumah sakit, tetapi aku enggak bisa menjenguknya karena enggak bisa menaiki tangga gedung, sehingga aku ke pengadilan mengupayakan supaya ada titian yang dipasang dan akibatnya terjadi pertarungan hukum yang sengit dan menarik perhatian masyarakat luas.”

20170713

An Evening of Long Goodbyes, Bab 10 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Halloween di Bonetown berjalan mulus memasuki November. Tiap malam kerusakan yang terjadi semakin heboh saja. Sembari tergesa-gesa dari halte bis sepulang kerja aku khawatir benar akan nyawaku—meski karena penampilanku yang mencolok para peramai pesta cenderung memandangku sebagai semacam maskot musiman, dan rata-rata menyambutku dengan sorak-sorai serta acungan jempol.

Akhirnya, sekitar tengah bulan, kekerasan mencapai puncaknya. Aku ingat telah mengunci pintu sampai dua kali, dan sedang duduk-duduk bersama Frank berusaha menyimak berita. Namun nyaris mustahil menangkap apa pun, sementara kerusuhan berlangsung di luar jendela. Kaca dipecahkan seakan-akan sudah ketinggalan zaman. Flat dihujani telur, gulungan tisu toilet, serta bom pupuk buatan sendiri. Barang-barang yang secara teoretis tidak mungkin dicuri—tiang listrik, bak sampah, serta satu set mebel kulit imitasi—dicuri pula pada waktunya dan ditambahkan pada tumpukan bahan bakar yang menanjak dan menyala kian tinggi bak mercusuar yang menandakan akhir dunia.

20170706

Memahami Bacaan: Teks No.1 (Alejandro Zambra, 2015)


Setelah begitu banyaknya bimbingan belajar, uji latihan, serta uji prestasi dan kecakapan, pastinya ada sesuatu yang kami pelajari. Tapi kami nyaris langsung melupakan semuanya, dan, khawatirnya, untuk selama-lamanya. Hal yang kami pelajari secara sempurna—hal yang akan kami ingat sepanjang sisa umur kami—adalah cara menyontek sewaktu ujian. Demikian kusampaikan penghormatan pada lembar sontekan. Semua materi ujian disalin menjadi tulisan kecil-kecil yang bisa dibaca seukuran karcis bis. Tapi kecakapan yang mengagumkan itu manfaatnya kecil sekali kalau tidak dibarengi dengan keberanian dan keterampilan yang terutama saat momennya tiba, yaitu saat guru lengah dan sepuluh sampai dua puluh detik yang berharga pun dimulai.

Di sekolah kami khususnya, yang secara teori merupakan sekolah paling ketat di Cile, ternyata menyontek itu agak mudah. Ujiannya sering berbentuk pilihan ganda. Masih bertahun-tahun lagi hingga kami menempuh Tes Potensi Akademik dan melamar ke perguruan tinggi, tapi guru-guru kami ingin segera mengakrabkan kami dengan soal-soal pilihan ganda. Meski mereka merancang soal sampai empat versi pada setiap ujian, kami selalu punya cara untuk mendapatkan informasi. Kami tidak perlu menulis apa-apa, memiliki pendapat, ataupun mengembangkan gagasan sendiri. Yang perlu kami lakukan tinggal mengikuti permainan dan memutar akal. Tentu kami belajar. Kadang kami belajar giat sekali. Tapi itu tidak pernah cukup. Kukira caranya adalah dengan merendahkan moral kami. Bahkan kalaupun kami tidak berbuat apa-apa selain belajar, kami tahu bahwa akan selalu ada dua-tiga soal yang sulit dipecahkan. Kami tidak mengeluh. Kami tahu maksudnya: menyontek itu bagian dari kesepakatan.

20170627

An Evening of Long Goodbyes, Bab 9 (3/3) (Paul Murray, 2003)

Sepanjang waktu Pak Appleseed memerhatikan kami, tanpa lelah berpatroli melewati panas yang tak tertahankan di Zona Pengolahan B, atau mengintai ke bawah dari bilik akrilik mandornya bak monster laba-laba bercelana jengki. Bila berdiri tegak, tingginya mesti hampir tiga meter, namun ia tidak pernah berdiri tegak. Ia suka membungkuk hingga kedua bahunya mengitari leher, sambil terus-terusan menggerutu penuh laknat dengan suara serak parau. Badannya kerempeng, kacamatanya tebal, bibirnya berkeluk ke bawah, dan kami semua takut padanya. Pada hari-hari pertama, ketika aku masih menggenggam asa untuk memberontak, lari, atau membebaskan diri bagaimanapun caranya, selalu saja bayangan akan Pak Appleseed yang mencegahku.

Kuduga karena bahasa Inggrisku paling baik maka ia membedakanku sebagai orang kepercayaannya. Bukan berarti ia ada perhatian pribadi padaku, begitulah katanya blakblakan.

“Aku benci haram jadah seperti kamu, tahu itu, Goblok?” katanya.

20170620

An Evening of Long Goodbyes, Bab 9 (2/3) (Paul Murray, 2003)

Hari-hari berikutnya amatlah berat. Aku tercengkeram oleh kejemuan nan melumpuhkan. Sekali aku kembali ke alun-alun, namun aku tidak sanggup melanjutkan pencarian kerja. Yang mampu kulakukan cuma menyeret diri dari lantai kamar ke sofa. Seiring dengan berlalunya hari, masalah keuanganku kian binasa. Bahkan semakin sulit saja membayangkan cara yang memungkinkan bagi diriku supaya bisa keluar dari masalah ini, yang hanya memperparah kejemuanku berikut keenggananku mengatasinya. Alih-alih aku menyibukkan diri dengan proyek Gene Tierney. Kusaluti diriku dengan film-filmnya, terserap ke dalam film-filmnya, sebagaimana dahulu ia berusaha untuk mencurahkan dirinya. Aku bernafsu menonton tiap-tiap film, berhati-hati merujuk silang masing-masingnya dengan biografi Gene, dan memetakan yang terlintas.

Jika mengamati kehidupan Gene dari awal sampai akhir, terlihat jelas bahwa pernikahannya dengan Oleg Cassini merupakan peristiwa yang menyebabkan segala bencana lain yang menimpanya—pelanggaran mula yang membangkitkan Murka, yang hingga saat itu bergeming di tubir-tubir kehidupannya. Malah, menikahi Oleg Cassini merupakan satu-satunya pemberontakan yang pernah diperbuat Gene. Gene dibesarkan supaya menjadi gadis baik-baik, dan ia selalu penurut—hidup bersahaja bersama ibunya di Hollywood, menyerahkan cek bayaran ke perusahaan yang didirikan ayahnya, kena marah jika bermewah-mewah. Kemudian muncullah Cassini.

20170613

An Evening of Long Goodbyes, Bab 9 (1/3) (Paul Murray, 2003)

Aku menganggap perjumpaanku dengan Hoyland jelas merupakan peringatan dari dewa-dewa, sehingga hari itu aku tidak mencoba agen pencari kerja lain. Hujan mencurah dan begitu sampai kembali di Bonetown suasana hatiku kacau-balau. Makin parah lagi sejak dari halte bis aku mesti berurusan dengan pemuda setempat, yang tampaknya sedang pada mengamuk. Langit menyala oleh ledakan. Jalan dipenuhi bocah-bocah nakal yang saling meneriaki sambil menyeret kayu, ban mobil, dan sasaran mudah terbakar lain ke onggokan di depan blok flat.

“Halloween,” Droyd menerangkan, saat aku menyampaikan ini.

“Halloween masih berminggu-minggu lagi,” tukasku masam, seraya melepas syal sementara di luar rentetan rintih dan gerit logam disusul sorak-sorai serta suara tubrukan yang kedengarannya akan makan biaya besar. “Mereka enggak bakal begini terus semalaman, kan? Maksudku sepertinya sebagian dari bocah-bocah itu punya orang tua, yang mungkin nantinya mulai bertanya-tanya—“

20170606

Pertunjukan (Khan Mohammad Sind, 2007)


Sudah larut malam saat ia pulang. Istrinya duduk di serambi di depan rumah. Ia mendekati anak lelaki mereka yang berusia lima tahun dan sedang terbaring sakit di tempat tidur. Ia melepaskan syalnya. Sambil menyeka kepala dan jenggotnya yang pendek, ia menanyakan keadaan Bari pada istrinya.

Hampir menangis, istrinya menjawab, “Demamnya masih tinggi. Ia sangat lemah dan berbaring saja seharian. Ia juga tidak berselera makan. Aku sudah memberinya sup berkali-kali, tapi ia tidak mau memakannya.”

Sang ayah bersandar pada tempat tidur, dan berkata pada anak lelakinya, “Bari, putraku. Bari, anakku. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?”

Bari membuka matanya pelan-pelan, menatap kedua orangtuanya, dan berkata dengan suara lemah, “Seluruh badanku sakit.”

Sang ayah berlutut, menimang kepala bocah itu, dan berkata, “Tidak apa-apa. Kau akan sembuh, dengan doa…. Sekarang duduklah, ayo, dan cobalah makan sedikit saja. Ayah membawakan pisang untukmu.”

20170527

An Evening of Long Goodbyes, Bab 8 (2/2) (Paul Murray, 2003)

“Era baru jahanam,” suara Hoyland melalui sesuap selada kepiting. Ia menatap mulas pada kawanan orang keuangan yang sedang makan sajian siang penuh selera di ruangan panjang dengan banyak hiasan itu. Kami berada di salah satu kafe baru. Ruangannya lega, berpenyangga kayu, dan dilapisi poster-poster dari 1920-an. Aku baru saja menanyai Hoyland sebabnya ia mengenakan setelan yang menyesalkan itu.

“Kamu tahu, seharusnya aku enggak berada di sini sama sekali,” ujarnya. “Aku telah mengundurkan diri dari kehidupan ramai. Pindah kembali ke Inggris, berpikir untuk memancing barang beberapa bulan sebelum memulai lagi malapetaka—yah, tahulah. Rencana paling sempurna belum tentu menjamin keberhasilan, Hythers. Balik ke Kerry sedang ada perang habis-habisan antara si babe dan dewan kota.”

“Perang? Eh, kamu benar soal roti lapis ini ….”

20170520

An Evening of Long Goodbyes, Bab 8 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Kolese Trinity, tempat aku bersilang pedang sejenak dengan pendidikan tinggi, terletak tepat di jantung Dublin. Karena sebagian besar waktuku di sana kuhabiskan dengan membolos kuliah untuk bermain croquet[1] bersama Hoyland, atau kelayapan bareng dia di jalan, aku jadi mengenal baik kota itu. Tempatnya mengasyikkan, agak terseok-seok, menyerupai sepatu tua, yang sebagian besarnya mencakup restoran kecil cepat saji, pusat perbelanjaan kelas kambing, serta pub-pub kumuh yang dilanggani orang-orang tua penyakitan. Pada waktu itu teman-teman sebayaku biasa mengobrolkan tempat tujuan emigrasi setelah lulus—pada masa itu Dublin bukanlah jenis kota yang dipertimbangkan orang sebagai tempat menetap, jika ia punya semangat dan ambisi. Kukatakan “pada masa itu”, walaupun baru beberapa tahun lalu. Itu bukti begitu aku melangkah ke luar dari bis bahwa segalanya telah berubah.

Frank benar. Ke mana pun melihat ada saja yang sedang digali, dibangun ulang, atau dibongkar. Hostel-hostel dan toko-toko bobrok telah tiada, di tempatnya kini berdiri kafe-kafe mewah, toko-toko mungil nan elok penuh furnitur kromium bergaya minimalis, serta modiste-modiste mempertunjukkan mode terkini dari Paris dan London. Suasana mendedas oleh uang dan potensi. Papan tanda Lowongan Kerja digantung di jendela-jendela. Jalan dipadati orang dan klakson mobil. Rasanya seperti berada di balik layar pertunjukan musikal—semua orang bergegas menuju posisinya, dekor dinaik-turunkan—atau salah satu film komedi Ealing[2] lawas di mana ada kapal karam dan kargonya yang berisi wiski terdampar di pantai suatu pulau teramat kecil di Skotlandia, kecuali di sini alih-alih wiski petinya penuh setelan produksi Italia serta ponsel, dan alih-alih mabuk para pribumi berlari mondar-mandir mengepas celana serta menelepon satu sama lain.

20170513

Bayangan (Isaac Bashevis Singer, 1965)


Sejak pindah ke desa, aku merasa diriku mulai mengantuk pada pukul sepuluh malam. Aku pergi tidur bersamaan dengan burung-burung betet dan ayam-ayamku di kandang. Di tempat tidur, dengan saksama aku membaca Phantasm of the Living[1], meskipun semestinya aku segera mematikan lampu. Hingga pukul dua pagi aku dicengkam oleh tidur tanpa mimpi—atau pernah juga dengan mimpi yang tak dapat kuingat. Pada pukul dua, aku bangun dalam keadaan segar sepenuhnya. Kepalaku berdengung dengan banyaknya rencana dan kemungkinan. Pada malam musim dingin yang hendak kukisahkan, muncul ilham padaku untuk menulis tentang seorang Komunis—sebetulnya, teoritikus Komunis—yang menghadiri sebuah konferensi sayap kiri mengenai perdamaian dunia dan melihat hantu. Aku melihat semuanya dengan jelas: ruang pertemuannya, potret Marx dan Engels, mejanya yang dilapisi selembar kain hijau, serta si Komunis, Morris Krakower, seorang pria gemuk pendek berambut cepak dan sepasang mata laksana baja di balik pince-nez[2] berlensa tebal. Konferensi itu berlangsung di Warsawa pada tahun tiga puluhan, pada era terjadinya teror oleh para pengikut Stalin dan Pengadilan Mokswa. Morris Krakower menyembunyikan pembelaannya terhadap Stalin dalam jargon teori Marxis, tapi semua orang dapat menangkap maksudnya. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa hanya kediktatoran proletariat yang dapat menjamin kedamaian, dan, oleh karena itu, tidak ada penyelewengan baik ke kanan maupun ke kiri yang boleh dibiarkan. Perdamaian dunia ada di tangan NKVD[3].

20170506

An Evening of Long Goodbyes, Bab 7 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Apartemen Frank merupakan bagian dari bangunan tinggi berbata merah—dari era Georgia[1], menurut penampakan jendela berbentuk busur di atas pintu—yang dulu mestilah pernah menjadi rumah bandar terhormat, bahkan dimuliakan. Di mana-mana terdapat jejak masa lalu yang lebih mulia lagi, berupa fragmen-fragmen ukiran halus dari karya plester asli. Namun fragmen ukiran itu tidak lebih daripada sekadar jejak, bak potongan tembikar di lumpur. Bagian depan bangunan telah menghitam dan rusak akibat debu puluhan tahun, dan sebagian besar perabotnya yang asli pecah sewaktu bagian dalamnya dibagi menjadi rumah-rumah petak yang teramat kecil. Induk semangnya kini mantan Garda[2] yang memiliki beberapa properti di kawasan itu dan, menurut Frank, “bajingan biar Garda juga”.

Hampir seluruh bagian dari Apt C berupa pojok, seakan-akan siapa pun yang membangun tempat itu menambal ruang tambahan dari sudut dan ceruk yang tersisa. Ruangan-ruangannya bergoyang secara tidak lazim, dan dinding tertentu tidak bisa disandari karena, begini yang kukutip, “menyangga langit-langit”. Bahkan cahaya matahari pun agaknya sulit mengatasi kenyentrikan flat tersebut. Bisa dibilang, cahaya datang melalui jendela, dan seketika terhenti, sambil menautkan jari ke bibir. Akibatnya di dalam selalu agak gelap—atau lembap, mungkin lembap kata yang lebih tepat. Tidak ayal lagi inilah apartemen terlembap yang pernah kutinggali.

20170427

An Evening of Long Goodbyes, Bab 7 (1/2) (Paul Murray, 2003)

“Kamu benar-benar sangat baik sekali.”

“Enggak usah sungkan-sungkan, Charlie.”

“Maksudku, ini cuma untuk sekitar seminggu, sampai aku berhasil menyelesaikan problemku ….”

“Sudah sampai, Charlie.”

“Aha, iya.” Kami berhenti di sebelah luar pintu kayu putih polos. Gugup aku bersenandung sendiri sementara Frank merogoh-rogoh mencari kunci.

“Silakan,” ucap Frank. “Yang tua duluan.”

“Ha ha, terima kasih,” seraya berjalan perlahan-lahan memasuki kegelapan. “Oh. Yah. Bukankah ini …?”

“Ini rada berantakan. Aku belum sempat beres-beres.”

“Enggak kok, enggak, ini sangat—oh ya ampun, rupanya aku menginjak, ah, makan malam seseorang ….”

“Enggak usah khawatir, Charlie, aku enggak bakal makan itu lagi kok.”

20170420

Bangau (Dorthe Nors, 2008)


Aku tidak suka memberi makan burung, tapi kalau bagimu itu wajib, sebaiknya kau melakukannya di Taman Frederiksberg. Di sana ada bangau-bangau yang jinak, dan dengan menata bangku-bangku taman pada jarak tertentu antar satu sama lain, pengelola taman berharap dapat menghindarkan datangnya terlalu banyak burung sekaligus ke satu area. Ada beberapa masalah di ujung taman yang merupakan tempat berkumpulnya para alkoholik, terlebih lagi dengan adanya bebek-bebek, tapi aku tidak pernah ke sebelah sana, sementara bangaunya bisa kau lihat di mana-mana. Tentang bangaunya sendiri, bisa dibilang hanya dari kejauhan saja binatang itu terlihat menarik, tapi ternyata tidak seperti itu jadinya begitu didekati. Bangaunya terlalu kurus, dan terlebih lagi yang jinak-jinak tampaknya kekurangan gizi. Kemungkinan besar roti yang diberikan pada bangau-bangau di Taman Frederiksberg itu membuat sakit perut sehingga akibatnya mereka tidak kuat terbang. Pada musim dingin yang lalu aku melihat ada salah seekor yang sedang membungkuk di balik sebuah bangku. Lehernya panjang dan kurus. Kakinya putih dan hampir tidak bereaksi sedikitpun sewaktu aku lewat. Cara angin mengibarkan bulu-bulu di lehernya membuatku ingin kembali dan duduk di sampingnya. Begitulah cara penderitaan ditarik-ulur berlarut-larut, cara yang membuat bangau-bangau itu tidak pernah benar-benar mengerahkan gairah. Tapi aku tidak akan menyentuh burung, hidup ataupun mati. Sebaiknya kita tidak bermain-main dengannya, dan kalau kau mau bermain-main dengannya, kau sebaiknya berhati-hati supaya tidak menyentuh orang dengan tanganmu yang telah terinfeksi. Kalau ada burung yang mati kau harus memastikan supaya tidak bersentuhan baik dengan binatang itu ataupun dengan kotorannya. Gunakan sarung tangan sekali pakai, dan burungnya harus diambil dengan kantong plastik, seperti memungut kotoran anjing. Kantong itu harus disegel dan dibuang bersama sampah rumah tangga kalau tidak dikubur. Seberapa sulitnyakah itu, dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh?

20170413

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (4/4) (Paul Murray, 2003)

Inilah dia. Inilah rasa terima kasih yang kuterima karena berusaha menyelamatkan serpihan martabat keluarga. Nasibku telah diputuskan sementara aku terbaring koma di ranjang rumah sakit. Kerja! Dinding-dinding ruang resital menyerbuku. Kerja!

Tentu saja aku menentang. Aku menyoroti betapa ironisnya menyuruhku, darah dagingnya sendiri, pergi bekerja di pabrik stoples sementara ia mengundang gerombolan aktor pengangguran agar tinggal di sini tanpa berbuat apa-apa. Aku menuding Bel yang tidak disuruh mencari kerja, padahal dialah yang selalu cerewet soal betapa bencinya ia pada tempat ini dan betapa inginnya ia bergesekkan bahu dengan rakyat jelata. Kupungkas dengan pidato menghasut yang intinya Bunda sedang menyuruhku menggantang asap, sebab sekalipun ia telah mengakui bahwa aku sama sekali tidak punya mimpi maupun ambisi, maka menempatkanku di dunia kerja hanya akan membuang waktu berharga milik orang lain. Bunda mendengarkan dengan raut dingin, seakan-akan perkataanku justru seperti yang telah diperkirakannya.

20170406

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Seseorang mendorong pintu ruangan dansa hingga terbuka. “Nah, ketemu juga. Kamu enggak menungguku.”

“Oh—kukira kamu enggak benar-benar memintaku menunggumu ….”

“Udaranya dingin sekali, ya.” Mirela menggosok-gosokkan kedua tangan pada lengannya yang telanjang. “Kamu sedang apa di sini? Kamu melewatkan pestanya.”

“Ah, tahulah … cuma merasa butuh udara segar.”

“Kamu dicari ibumu.”

“Aku tahu,” sahutku muram.

Ia duduk di sisi seberang lorong. “Kamu baik-baik saja? Kepalamu sakit?”

“Enggak, enggak ….” Kusilangkan kedua kakiku ke arahnya, sepertinya tampak kecewek-cewekkan, lantas kembali kusilangkan. “Kurasa cuma karena ini pertama kalinya aku menyaksikan semua telah dibereskan. Aku jadi masygul.”

20170327

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Aku gelagapan saat bangun dari koma, seperti komuter yang terjaga dalam perjalanan pulang naik kereta. Di sampingku Bel sedang menekuri buku. Aku berdeham sopan.

“Charles!” Ia meletakkan bukunya sambil menjerit. “Oh ya ampun!” Ia melonjak dan mencondongkan badan padaku, seraya mengamati mataku. “Kamu mengenaliku? Ada berapa jari yang kuangkat? Bisakah kamu mengerti yang kukatakan? Mengediplah kalau kamu mengerti.”

“Tentu saja aku mengerti,” sahutku. “Berhentilah menjerit-jerit. Aku baik-baik saja kok.”

Sikapnya terasa berlebihan, sementara setiap detiknya satu per satu anggota tubuhku terasa bangkit dan merengek kesakitan. Sepelan mungkin aku menoleh dan memandang sekelilingku. Kami berada di ruangan sempit dengan dinding berwarna hijau kapri serta gorden jelek bercorak papan permainan dam menutupi jendela. Berbagai peralatan disusun di sekelilingku, memetakan keadaanku lewat layar serta cakra angka yang sulit dimengerti. Infus di lenganku menyalurkan tetesan dari botol di samping tempat tidur. Tepat di seberangku ada poster bergambar kilauan sinar matahari menembus pepohonan dengan tulisan di bawahnya Hari ini awal sisa hidup Anda. Entah mengapa aku jadi merinding.

20170320

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (1/4) (Paul Murray, 2003)

“Kau! Kau! Kau!” Bel menghantam-hantam lantai pentas. Gelang-gelas emas bergemerincing di bawah lengannya. “Kaulah yang membuatku kecanduan putauw!”

“Aku?” ujar Mirela sangsi, seraya bangkit dari meja. “Bagaimana mungkin diriku?”

“Tidakkah kau mengerti?” Bel merengek. “Kecanduanku itu jeritan memohon pertolongan. Heroin menggantikan cinta yang kau, maupun masyarakat yang lebih luas, tidak berikan padaku.”

Mirela menjangkau punggung kursi untuk menopang diri. Gaun panjangnya menyapu lantai. “Bagaimana bisa kau mengatakan aku tidak mencintaimu?” ujarnya perlahan-lahan. “Bukankah aku yang memberimu makan dan pakaian selama ini? Bukankah aku yang menabung supaya kau bisa selalu membeli buku untuk sekolah?”

“Ma, kau masih tidak mengerti,” sahut Bel. “Kau tidak ubahnya pemerintah, tidak mengerti generasi yang lebih muda. Kami butuh lebih dari sekadar klinik metadon[1] dan rencana untuk kembali ke dunia kerja. Kami butuh menghormati diri kami sebagai manusia yang sesungguhnya, selayaknya orang-orang lainnya. Ya, kau telah berbuat segalanya untukku. Tetapi kau tidak pernah sanggup memberi kami tiga kata sederhana yang merupakan hal terpenting bagi setiap anak.”

20170313

Si Pramusaji (Robert Coover, 2014)


“Hei, manis, bokongmu bagus,” ucap si sopir taksi bermata sendu dari balik meja pemesanan kedai 24 jam itu. Sepotong donat menggeliat dalam rahangnya yang tak dicukur. Si pramusaji mendelik padanya. Ia muak dilirik-lirik, ataupun ditatap dengan jijik, kapanpun ia membungkuk untuk memungut lap. “Kalau ada kambing yang kesasar, mereka bakal lirak-lirik dan mengatakan kekonyolan serupa,” keluhnya pada wanita tua di dekat mesin kas. Sebelumnya ia telah memberi semangkuk gratis sup panas pada wanita itu. “Aku sudah muak. Kuharap tidak ada yang bisa melihatku.” Ternyata wanita itu adalah ibu peri yang sedang menyamar, dan sebagai rasa terima kasihnya atas sup gratis, ia mengangkat sendoknya seperti tongkat dan mengabulkan permintaan si pramusaji. Ketika pramusaji itu hendak menyerahkan tanda terima pembayaran pada si sopir taksi, kepala lelaki itu seketika berpaling. Apa lelaki itu menolaknya? Si pramusaji bergeser ke jangkauan pandang si sopir taksi dan kepala lelaki itu menyeruduk ke arah lain. “Ya Tuhan, sakit tahu,” sungutnya. Si pramusaji membelalak ke arah wanita tua, namun lansia baik hati itu telah raib.

20170306

An Evening of Long Goodbyes, Bab 5 (Paul Murray, 2003)

Hal pertama yang kuingat—setelah potongan batu yang memelesat itu—yaitu rencanaku telah terwujud, sebab selama beberapa waktu setelah terbakarnya Folly, aku mengalami kesan bahwa aku tengah berdiam di Cile, di suatu hacienda[1] dari masa yang memikat, bersama penyair dan pemenang Nobel, W. B. Yeats. Kedengarannya mustahil, ya, tetapi mimpi kan memang begitu, kita tidak tahu itu mimpi saat kita sedang mengalaminya. Lagi pula, aku dan Yeats bersenang-senang, dan aku tidak merasa seperti yang sedang berbuat onar. Kami tinggal dinaungi keteduhan Andes, di lereng Lembah Casablanca. Santiago berada di sebelah timur adapun Samudera Pasifik di barat. Aku bisa menyaksikan laut dari beranda, garis biru samar di seberang kebun anggur. 

Saat itu memasuki musim panas, sehingga siangnya panjang, dan segalanya di lembah terasa bergairah oleh warna-warni kehidupan. Adakalanya hawa begitu panas sehingga aku merasa sedang dibekap, seperti ada selimut tebal membungkus wajahku, sementara urat-uratku nyeri seolah-olah habis dilumatkan. Namun penderitaan itu tidak pernah berlangsung lama-lama. Ketika sudah tidak terasa panas lagi, aku biasa pergi ke kebun di belakang rumah dan berjalan-jalan dengan riang di antara lebah-lebah serta kembang-kembang sepatu yang mekar. Pepohonan limau yang tumbuh di sudut kebun merebakkan aromanya. Yeats suka memetiki buahnya untuk membuat gimlet yang rasanya lain daripada yang lain, begitu segar, kuat, dan dingin hingga aku termegap-megap meminumnya, seperti meloncat ke lautan es.

20170227

Referensial (Loorie Moore, 2012)


Untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun ini, mereka membicarakan hadiah ulang tahun apa yang pantas untuk putra perempuan itu, yang mengidap kelainan jiwa. Begitu sedikit barang yang boleh dibawa ke dalam ruangannya. Hampir semuanya dapat dijadikan senjata. Maka sering kali barang harus diserahkan di meja depan. Kalau ada permohonan, barulah barang itu dibawa ke dalam oleh petugas—yang akan terlebih dulu memeriksanya kalau-kalau dapat melukai. Pete membawa sekeranjang selai. Namun karena wadahnya berupa toples kaca, barang itu tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk. “Aku lupa,” kata Pete. Toples-toples itu disusun berdasarkan warna, dari yang paling terang yaitu selai jeruk, beri, lalu ara, seakan-seakan isinya berupa urine milik orang yang sakitnya bertambah-tambah parah. Memang sebaiknya disita saja, pikir perempuan itu. Mereka akan mencari hadiah lainnya.

Pete sudah hadir dalam kehidupan mereka selama enam tahun, sewaktu putra perempuan itu berusia dua belas tahun dan baru mulai linglung, berkomat-kamit diam-diam, dan berhenti menyikat gigi. Kini empat tahun telah berlalu sejak itu. Cinta mereka pada Pete panjang dan berlika-liku, dengan kelok-kelok tersembunyi tanpa benar-benar ada pemberhentian. Putra perempuan itu menganggap Pete semacam ayah tiri. Perempuan itu dan Pete menua bersama, walau tanda-tandanya lebih tampak pada si perempuan. Ia mengenakan blus terusan berwarna hitam supaya terlihat ramping. Rambutnya yang mulai kelabu tak disemir, sering kali dijepit dengan helai-helai menjuntai bak lumut Spanyol. Segera setelah putranya ditelanjangi, dipakaikan baju pasien, dan menetap di rumah sakit, ia juga melepaskan kalung, anting, syal—segala perangkat artifisial untuk mengganti anggota tubuhnya yang rusak atau hilang, begitu katanya mencoba menghibur Pete—dan menaruh semuanya itu di dalam map berkantong banyak di bawah tempat tidur. Ia tidak diperbolehkan mengenakan perhiasan selama kunjungan ke rumah sakit, maka ia tidak mengenakannya lagi sama sekali, semacam tenggang rasa pada anaknya, seperti menjanda kembali kendati ia memang sudah menjanda. Tidak seperti wanita lain pada usianya (yang cenderung berusaha terlalu keras, dengan pakaian dalam mengerikan dan perhiasan berkilauan), kini ia merasa bahwa upaya semacam itu menggelikan. Maka sewaktu bepergian penampilannya pun menyerupai wanita Amish, atau, bisa jadi lebih buruk bila cahaya musim semi yang tanpa ampun menyambar wajahnya, seperti pria Amish. “Buatku, kamu selalu kelihatan cantik,” Pete tidak pernah bilang begitu lagi.

20170220

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (6/6) (Paul Murray, 2003)

“Eh, kamu,” sahut gadis itu.

“Ya,” ujarku, merasa agak terlampaui.

“Kemarilah,” ucapnya sopan, sambil meletakkan buku ke sampingnya.

“Terima kasih.” Bergeming saja ia menatapku menghela diri melewati pintu kolong. “Aku tahu kamu akan kemari cepat atau lambat,” ucapnya. “Ada apa?”

“Oh, ada sedikit cekcok di rumah. Saudara, ah, saudaramu baik juga mau membantu ….”

Bahkan dengan penerangan remang-remang aku bisa menilai dia ini gadis yang menarik, dengan rambut hitam sebagus saudara-saudaranya serta raut tegas memesona. Warna biru matanya tajam menyetrum, dengan tatapan yang seolah-olah membenamkan dirinya dalam-dalam di mata orang yang ia lihat tanpa menjurus langsung. Terasa agak melegakan saat ia mengejap.

“Mungkin itu yang terbaik,” ucapnya enteng, dengan nada yang sama-sama lunak lagi samar; lantas mengangguk, seakan-akan bersepakat dengan dirinya sendiri. Aksennya lebih halus ketimbang ibunya sehingga suaranya terkesan bak beledu, menghipnotis. Mendadak aku merasa tidak lagi terburu-buru harus pergi. Ia mulai bersenandung sendiri, sambil jarinya memilin-milin rambut, lantas tahu-tahu ia terdiam, seakan-akan ada yang terpikir olehnya. “Kamu mau minum? Rupanya tahu-tahu kami punya anggur pilihan.”

20170213

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (5/6) (Paul Murray, 2003)

“Apa, apa?” ia berkomat-kamit, sambil membuka separuh mata yang disebutnya penerawang-segala. “Aku sudah bangun kok.”

“Enggak lah, kamu ini gampang ketiduran, tahu.”

Sambil mengerang ia mengangkat dirinya dari tanah. “Lo, sampean belum mati?”

“Belum—sialan kamu, MacGillycuddy, enggak bisa, ya, kamu ini berjaga barang sejam saja?”

“Videonya berhasil, kan?” jawabnya bersungut-sungut, sambil menariki ranting-ranting kecil dari punggungnya.

“Yah, ada yang tertangkap,” sahutku. “Tetapi ini tuh enggak masuk akal banget. Menurut rekaman ini Frank sama sekali enggak bersalah dan malah Mbok P yang ada di balik segalanya, dengan bantuan semacam makhluk, boleh jadi makhluk halus.” Aku menyodorkan kamera ke tangannya. “Lihat sendiri deh.”

20170206

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (4/6) (Paul Murray, 2003)

“Sekarang memang sudah larut,” ucapku rancu, sambil mengitari ruangan memasang lilin-lilin pada kandil. Diiringi goyangan yang hampir tak kentara, ia mengikuti jalanku, sembari menganugerahiku senyuman ganjil penuh kasih.

“Sepertinya aku harus memanggil taksi.” Nada suaranya merendah jadi berat dan datar yang memanggil-manggil sisi tersembunyi dari diriku.

“Sepertinya,” sahutku. Ia bergeming. Aku terus memasang lilin-lilin. Seiring dengan api yang berturut-turut menyala pandanganku mengabur dan gairahku meningkat sedikit demi sedikit; hingga aku serasa dikelilingi api dalam pesta pora, yang melaluinya wajah Laura berlenggak-lenggok bak jarum kompas. Aku merasa seperti Nero, yang memimpin Roma melalui tarian wals Laura yang penghabisan. “Pasti menyenangkan, ya, mengobrol lagi dengan abang Frank seperti tadi,” ucapku begitu saja.

20170127

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (3/6) (Paul Murray, 2003)

Enggak percaya aku,” Laura menempelkan sebelah tangan ke dadanya.

“Apa kabar, cuk?” Frank melenguh, sambil membentangkan kedua lengannya lebar-lebar.

Laura melambung ke dalam rengkuhan Frank disertai pekikan gembira. “Enggak percaya aku,” sahutnya lagi, agak teredam oleh pelukan Frank.

“Enggak percaya apa?” Bel menanyai Laura saat akhirnya muncul kembali.

Dengan wajah merah akibat kemujuran yang tak disangka-sangka, Laura mulai tak putus-putusnya menceritakan. Kepayahan aku duduk dan mulai meminum gelas anggurnya. Tampaknya Frank salah seorang penggembira-liburan yang jangak itu di Yunani: malah, ialah salah seorang penjambret-kaus kesayangan Laura.

“Aku enggak akan pernah melupakan malam itu,” tawa Laura, berulang-ulang.

“Aku juga,” Frank mengerling, seraya memandangi dada Laura yang molek.

20170120

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (2/6) (Paul Murray, 2003)

Jam berdentang pukul tujuh. Untuk terakhir kali, aku meracikkan diriku gimlet yang menenangkan, dan bergegas ke kamar. Kupasang ban leher dan kuikat dasiku; kusematkan manset dan kusemir sepatuku. Di bawah tempat tidur menyembul tas kecil berisi barang yang telah kusediakan untuk kubawa serta: buku ungkapan bahasa Amerika Latin, secukupnya uang dalam dolar dan peso, celana dalam dan kaus kaki pilihan yang sama-sama bersahaja; potret keluarga; tiara plastik kesayangan Bel pada masa ia menjadi putri, bertahun-tahun lalu, sebagai ganti potret dirinya; cetakan pertama kumpulan syair W. B. Yeats milik Ayah; potret ukuran 8 x 10 Gene pada awal kariernya—sewaktu orang-orang menyebutnya the GET girl, kependekan dari Gene Eliza Tierney, sebab ia selalu memperoleh keinginannya, atau setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan.

Foto-foto Laura di buku tahunan tersusun secara kronologis di alas tilam sedari aku mengamatinya awal malam itu. Sekarang ketika mataku menjatuhi mereka, aku menyadari bahwa dengan penataan seperti itu foto-foto tersebut hampir menyerupai rol film: tiap tahun terpahat dalam bingkai tersendiri, yang kalau diproyeksikan sesuai urutan akan mempertunjukkan kedatangannya—secara tersentak-sentak, remang-remang—menjelma hidup di depan bola matamu sendiri; berlalu dari masa kanak-kanak yang polos menjadi bintang film pujaan sungguhan yang berpendar-pendar dalam hitungan detik saja, muncul keluar dari eter bagaikan jin seluloid …. Sekarang, dengan sendirinya, benakku mulai memutar rol film terakhir yang hilang: adegan ketika bel pintu berdering dan, seraya menyapu rambutku dengan mantap untuk yang terakhir kali, aku berlari menuju tangga, dan tiba tepat ketika Mbok P mengantar masuk seorang wanita muda ramping dengan rambut panjang sewarna madu, yang mengangkat bahu melepaskan mantel musim dinginnya demi menampakkan bahu putih telanjang serta gaun hitam dan berkelok-kelok serupa lidah api; di tangga, tanpa terlihat olehnya, aku termegap-megap mengamati dirinya—hingga tahu-tahu kami bertatapan, dan saat itulah kami terhantar ke alam lain: tempat gairah terlepas dengan mudahnya dan mendalam serta tercetus lewat lelucon dan aksi berani, dengan ruang sesekali untuk mengutarakan monolog penuh emosi di akhir; ketika segalanya berada pada tempatnya tanpa ada orang-orang lain yang menanti di sisi panggung untuk mengalihkan dialog, atau menutup adegan dengan acara pelelangan.

20170113

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (1/6) (Paul Murray, 2003)

“Rasanya sangat drastis ….”

“Enggak sama sekali. Sampean bakal terkejut betapa banyaknya orang yang berbuat itu akhir-akhir ini.”

MacGillycuddy tengah duduk di bangku seberang, sekarung kiriman bersandar di tumitnya. “Orang dari segala profesi, dari pengacara hebat sampai penjual sayur bersahaja. Jauh lebih lazim daripada yang sampean kira.”

Seekor jalak hitam melompat-lompat pada lis atap rapuh di atas kami. Suara MacGillycuddy serasa terdengar dari kejauhan. “Bagian matinya itulah yang mengusikmu. Itu respons alamiah, sampean mendengar kata itu lalu jadi cemas. Tetapi pokoknya, sampean enggak mati. Sampean pura-pura mati. Ah, itu langkah besar, aku enggak menyangkal. Tetapi sebetulnya itu enggak jauh lebih besar daripada, katakanlah, memperbaiki dapur, atau membeli mobil baru.”

20170106

Paman Si Tukang Cukur (William Saroyan, 1943)


Bu Gamma bilang aku perlu potong rambut. Ibuku bilang aku perlu potong rambut. Abangku Krikor bilang aku perlu potong rambut. Seluruh dunia ingin aku potong rambut. Kepalaku terlalu besar untuk dunia ini. Rambut hitam yang terlalu lebat, kata dunia.

Semua orang bilang, Kapan kamu mau potong rambut?

Ada pengusaha besar bernama Huntingdon di kota kami yang biasa membeli koran sore dariku setiap hari. Ia lelaki dengan berat seratus dua puluh kilo, punya dua mobil Cadillac, tanah seluas seribu lima ratus hektar, dan uang sebanyak lebih dari sejuta dolar di bank, begitu juga kepala yang kecil, tanpa rambut, tepat di bagian atas tubuhnya sehingga siapa pun dapat melihatnya. Ia suka membuat para pegawai kereta api yang datang dari luar kota berjalan jauh-jauh hanya untuk melihat kepalaku. Inilah California, begitu yang biasa diserukannya di jalan. Ada cuaca dan kesehatan yang baik. Ada kepala dengan rambut yang menarik, begitu teriaknya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...