Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170120

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (2/6) (Paul Murray, 2003)

Jam berdentang pukul tujuh. Untuk terakhir kali, aku meracikkan diriku gimlet yang menenangkan, dan bergegas ke kamar. Kupasang ban leher dan kuikat dasiku; kusematkan manset dan kusemir sepatuku. Di bawah tempat tidur menyembul tas kecil berisi barang yang telah kusediakan untuk kubawa serta: buku ungkapan bahasa Amerika Latin, secukupnya uang dalam dolar dan peso, celana dalam dan kaus kaki pilihan yang sama-sama bersahaja; potret keluarga; tiara plastik kesayangan Bel pada masa ia menjadi putri, bertahun-tahun lalu, sebagai ganti potret dirinya; cetakan pertama kumpulan syair W. B. Yeats milik Ayah; potret ukuran 8 x 10 Gene pada awal kariernya—sewaktu orang-orang menyebutnya the GET girl, kependekan dari Gene Eliza Tierney, sebab ia selalu memperoleh keinginannya, atau setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan.

Foto-foto Laura di buku tahunan tersusun secara kronologis di alas tilam sedari aku mengamatinya awal malam itu. Sekarang ketika mataku menjatuhi mereka, aku menyadari bahwa dengan penataan seperti itu foto-foto tersebut hampir menyerupai rol film: tiap tahun terpahat dalam bingkai tersendiri, yang kalau diproyeksikan sesuai urutan akan mempertunjukkan kedatangannya—secara tersentak-sentak, remang-remang—menjelma hidup di depan bola matamu sendiri; berlalu dari masa kanak-kanak yang polos menjadi bintang film pujaan sungguhan yang berpendar-pendar dalam hitungan detik saja, muncul keluar dari eter bagaikan jin seluloid …. Sekarang, dengan sendirinya, benakku mulai memutar rol film terakhir yang hilang: adegan ketika bel pintu berdering dan, seraya menyapu rambutku dengan mantap untuk yang terakhir kali, aku berlari menuju tangga, dan tiba tepat ketika Mbok P mengantar masuk seorang wanita muda ramping dengan rambut panjang sewarna madu, yang mengangkat bahu melepaskan mantel musim dinginnya demi menampakkan bahu putih telanjang serta gaun hitam dan berkelok-kelok serupa lidah api; di tangga, tanpa terlihat olehnya, aku termegap-megap mengamati dirinya—hingga tahu-tahu kami bertatapan, dan saat itulah kami terhantar ke alam lain: tempat gairah terlepas dengan mudahnya dan mendalam serta tercetus lewat lelucon dan aksi berani, dengan ruang sesekali untuk mengutarakan monolog penuh emosi di akhir; ketika segalanya berada pada tempatnya tanpa ada orang-orang lain yang menanti di sisi panggung untuk mengalihkan dialog, atau menutup adegan dengan acara pelelangan.

Di luar kini bintang-bintang mulai bermunculan dan di balik cahaya oranye dan ungu tercetak bayang-bayang ganjil yang mengusik. Kupalingkan mata ke menara, dan sesaat mendapati penampakan. Dewa-dewa hutan berloncatan dan bidadari mengintip dari puncak menara. Aku mengejap, mereka lenyap, dan yang tinggal cuma sosok Mbok P, yang jelas-jelas bukan halusinasi, baru kembali dari ziarah tanpa tujuan yang belakangan sangat gemar dilakukannya. Mulai sekarang untuk siapa ia bakal memasak, pikirku, seraya menyesap gimlet; siapa yang akan menerawang lewat jendela ini dan menghitungi bintang-bintang ….

Bel pintu pun berbunyi. Seraya menyapu rambut dengan mantap untuk terakhir kali aku berlari ke tangga, berhenti di bordes lalu menunggu Mbok P tergopoh-gopoh dari taman dan terengah-engah di pintu, seraya menggenggam susuran tangan sementara pintu berayun membuka dan ia mengantar masuk sosok yang tidak diragukan lagi ….

Tidak ada yang bisa menyiapkanku untuk menghadapi momen ini, aku langsung menyadari. Aku merasa kewalahan, bahkan gelisah. Ia cantik, pastinya, amat sangat sekali; sementara itu, melihatnya bergerak dalam wujud tiga dimensi terasa agak mengejutkan. Bagi pikiranku yang sudah kepanasan ini, kepuasan saat melihat kehadiran fisiknya terasa lancang, hampir-hampir janggal—ketimbang jin ia lebih menyerupai patung yang menjadi hidup, berwarna, dan berdiri di ruang depan rumah orang. Selain itu, aku tidak tahan mendapati satu atau dua penyimpangan dari versi angan-anganku mengenai kedatangannya. Rambut mengilaunya, misalkan saja, diikat ekor kuda secara fungsional. Lalu tampak ada kebingungan seperti apakah Mbok P memang boleh mengambil mantelnya; dan ketika akhirnya ia betul-betul melepaskan mantel itu, yang terlihat bukanlah gaun malam tanpa tali bahu melainkan setelan pantalon kelaki-lakian dengan model ala toko-toko biasa di pinggir jalan yang tidak diketahui perancangnya. Selagi mengamatinya dari tangga aku bertanya-tanya jikalau aku telah membuat kesalahan besar: tetapi kemudian ia melayangkan pandangannya padaku, dan segala ketakutan serta kekhawatiran yang membungkusku pun sirna.

Bagaimana melukiskan planet-planet yang mustahil ada itu tanpa jadi klise? Yang dapat kukatakan cuma di tempat-tempat itu aku melihat kehidupan kekal yang gemerlapan, alam selanjutnya yang subur dan penuh rahmat tempat susu dan madu merupakan menu sehari-hari; dan sebuah lagu pun mengalun di hatiku. “Kamu pasti Charles,” ucapnya.

“Benar sekali,” sahutku kikuk, berusaha mengerahkan bintang-bintang yang tersisa di atas awan kecil.

“Entah kenapa aku tahu kamu jangkung,” ucapnya, sambil mendongak. “Aku tahu saja.”

“Terima kasih,” ujarku, malu, “meski kurasa tepatnya bukan jangkung, sebenarnya tinggiku cuma di atas rata-rata.”

“Kukira itu karena Bel jangkung,” ia berpikir-pikir, “untuk ukuran cewek, mengerti kan.”

“Ya, ya,” aku setuju saja tanpa mendengarkan—sebab sudah jelas bahwa percuma saja bagi kami berkata-kata, bahwa maksud yang sebenarnya mestilah diwahyukan lewat kibasan kedua tangannya, kilauan kulitnya.

“Jadi mana vasnya?” ia bertanya.

“Lewat sini,” sahutku, seraya menggamit tangannya dan menggiringnya dengan penuh nafsu ke ruang makan yang sudah ditata ulang. “Ada barang-barang lainnya juga ….”

“Wow ….” Pipinya memerah sewaktu ia melihat-lihat pameran yang gemerlapan itu. “Apa cuma vasnya yang kamu mau asuransikan, atau …?” Dalam suaranya terdengar ketamakan yang sedap.

“Oh, semuanya, sepertinya,” sahutku gegabah.

“Wow,” ucapnya lagi.

“Kupikir kamu akan menyukainya,” aku mulai mengoceh. “Biasanya barang-barang ini disimpan saja dalam peti, sudah sejak lama sekali aku menunggu ada orang datang dan meninjau semua ini ….”

“Buat daftarnya,” ia bergumam.

“Daftar …” ulangku, sambil mendesahkannya.

“Taksir harganya,” matanya yang indah melayang dan bergerak-gerak.

“Ya, ya ….”

“Entah berapa jumlah jaminan yang paling layak … pastinya nilainya sangat besar.”

“Oh, yah, aku serahkan itu padamu deh. Bagiku barang-barang itu cuma pernak-pernik, sungguh, mainan … toh ada yang lebih berarti dalam hidup ini ketimbang uang.”

“Jangan bilang begitu, Charles,” sahutnya sengit, seraya berpaling menatapku. “Enggak ada orang yang suka memikirkan soal kebakaran dan perampokan, tetapi, yah, itu terjadi setiap hari. Kamu yang bertanggung jawab menjaga barang-barang berhargamu, sebab kalau bukan kamu, siapa lagi?”

“Benar sekali,” sahutku, seraya menatapnya lembut, “kamu memang benar.” Dalam cara tertentu, dari sudut tertentu, kecantikannya memang memesona. Selagi menatapnya aku menyadari diriku nyaris melupakan yang terbentang di hadapan. Kebingunganku semula benar-benar telah berlalu kini: aku senang ia berada di sini, sebagai rekan pada malam khayali yang penghabisan ini, membantuku mengalihkan momen yang berat ini, kehilangan kekayaan yang menyedihkan ini, menjadi korsel pribadi yang benderang, riang, dan menyenangkan. “Tetapi itu nanti saja. Mengapa tidak kita makan dulu, berkenalan.” Aku menuju pintu dan meredupkan lampu-lampu. “Kan penting memiliki kesepahaman, hubungan, dalam mengurus ini …. Silakan duduk. Kamu mau minum?”

“Tidak usah repot-repot ….” Matanya menyorot licik. “Baiklah, ada Le Piat d’Or?”

“Sepertinya kami baru saja kehabisan—tetapi barangkali kamu mau minum gimlet bersamaku? Vodka dan air jeruk, benar-benar sangat nikmat …” dan aku pun membunyikan bel untuk hidangan pembuka.

Mbok P telah membenahi diri: hidangannya luar biasa, menggugah selera, memikat. Tiap sajiannya menggoda, pada tiap bumbunya selembar tudung Salome[1] melayang turun ke langit-langit mulut. Akan tetapi, bukannya memasukkan tiram ke kerongkongannya, Laura tampak tidak tergugah. Ia makan sambil lalu, tanpa terlihat mengindahkan isi piringnya; sepanjang hidangan pembuka hingga sajian utama ia tidak ubahnya Laura anggun versi foto yang kucintai. Sewaktu mengobrol pun, terbukti ia buruan yang sulit ditangkap. Jauh dari dua jiwa yang melebur jadi satu, aku menyadari berbicara padanya lebih seperti mendaki gunung; gunung kaca.

Selain itu, berapa kali pun aku meredupkan lampu, perhiasan kecil-kecil atau yang lainnya terus saja menggaet mata Laura dan ia pun bangkit untuk memandanginya. “Wow,” begitu yang diucapkannya, sembari melambungkan telur-telur Fabergé[2] tolol di antara kedua telapak tangannya, “ini pasti kuno banget.”

“Memang,” sahutku. “Omong-omong, tentang aku dan Pongo McGurks, ada helm polisi di—“

“Ini antik banget.”

“—sangat diburu-buru oleh tim kriket daerah—“

“Dan ini, ya Tuhan, ini pasti sangat, sangat kuno ….”

Sulit mengendalikan percakapan saat teman bicara kita terus-terusan memelesat dan menjauh dari jangkauan pandang. Meski begitu, bahkan sewaktu ia duduk tenang tidak ada satu pun ucapanku padanya yang tampak berpengaruh. Anekdot-anekdot berharga, yang kusiapkan untuk kesempatan semacam ini, sama-sama tidak diacuhkannya seperti sewaktu dengan makanan: “ … dan pada pagi ia meninggal—aku mengingatnya jelas sekali, meski usiaku masih sekitar lima tahun—Ayah keluar dengan wajah kelam kabut. Ia diam saja, cuma menyerahkan cermin bercukur kecil padaku. Granny menyuruh suster membawakan benda itu untuknya terutama supaya ia bisa memberikannya padaku, mesti dokter bilang ia tidak lagi mengenali siapa-siapa—“

“Kenapa nenekmu punya cermin bercukur?”

“Yah itu punya Kakek, kurasa aku sudah memberitahumu tadi, kalau kamu mengingat-ingat lagi sekitar semenit lalu—“

“Oh iya,” ia menanggapi, sambil mengunyah. “Terus, apa kondisinya membaik?”

“Tidak, seperti yang kubilang tadi, itu kejadian saat ia meninggal, mengerti kan ….”

“Oh iya.”

Lalu kesunyian mencekam hingga aku dapat menyiapkan anekdot demi anekdot lain seumpama babi yang didorong dari atas jurang, lalu berguling-guling menuju kehampaan laut biru nan memeningkan!

“Yah, mari bicara tentang dirimu,” ucapku akhirnya, karena biasanya orang tidak begitu mudah teralihkan saat bicara mengenai dirinya sendiri.

Ini terbukti membawa bencana.

“Jadi, aku sekolah di Holy Child[3],” Laura memulai, “yang barangkali sudah kamu ketahui semuanya dari Bel. Masa yang brilian, aku bersenang-senang. Aku bukan orang yang menyeni kayak dia—aku senang sih kalau bisa, yah, duduk-duduk di kafe sepanjang hari sambil merokok dan menyeni—tetapi kukira pada dasarnya aku ini orang yang praktis, seperti masa depanku tuh selalu penting banget buatku. Seperti orang harus berpikir soal mendapatkan pekerjaan bagus dan sebagainya.”

“Kamu berhasil,” sahutku. “Kamu benar-benar berhasil.”

“Lagi pula, setelah lulus aku kuliah di Bisnis dan Teknologi Smorfett Institute—“

“Apa di situ tempatnya orang mengadakan eksperimen pada monyet?” selaku.

“Bukan,” sahutnya. “Sebenarnya itu salah satu pusat solusi teknologi informasi terbaik di Eropa.”

Aku tidak benar-benar mengerti maksudnya, selain itu ada hubungannya dengan komputer dan menyiratkan banyaknya “peluang”; tetapi apa pun itu, setelah lulus ia memutuskan untuk mencari yang “berorientasi pada masyarakat”. “Aku suka bergaul,” ucapnya.

“Siapa yang tidak?” sahutku.

Dengan begitu, lanjutnya, secara alamiah ia tertarik pada dunia asuransi yang dinamis.

“Permisi sebentar,” ucapku. Karena mendadak merasa agak haus, aku menuju dapur dan mengambil sebotol anggur Fetzer yang belum dibuka dari kulkas. Sepertinya aku terus berdiri di sana lebih lama daripada yang kusadari, sebab Mbok P menanyakan apakah aku baik-baik saja.

“Tuan Charles, makan malamnya baik-baik saja? Makanannya enak?”

“Hah? Oh—ya, ya, Mbok P. Enak banget. Prestasi cemerlang.”

“Tampaknya Tuan lelah.”

“Aku? Enggak tuh, semangat banget.”

“Tetapi Tuan menggosok-gosok mata ….”

“Ah, cuma beristirahat, tahulah …. Eh, Mbok P, pernahkah Mbok mendengar orang tersedak karena tiram?”

“Karena tiram?” Ia berpikir-pikir. “Tidak, Tuan Charles, tiram saya pikir tidak mungkin.”

“Begitulah yang kupikirkan. Oh yah, enggak apa-apa deh. Coba lagi saja, kurasa ….” Aku membawa anggur tersebut dan kembali ke ruang makan. Laura tersenyum sementara aku mendudukkan diri dan kemudian ia mulai menceritakan padaku tentang hubungannya selama masa menggairahkan dalam hidupnya ini. Hubungan itu sangat serius; malah mereka berpacaran selama hampir lima tahun.

“Lima tahun?”

Namanya Declan. Ia manager SPBU di Bray Road. “Ia sangat sukses,” ucap Laura, “pengecer lapangan menghasilkan banyak uang dan ia sedang diperdebatkan untuk mengisi SPBU yang lain, di Deansgrange. Tetapi ada perbedaan di antara kami, mengerti kan?” Mereka berpisah jalan enam bulan lalu saat Delan memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya dan pergi ke Australia selama setahun: “Di sana asyik banget!” ucap Laura. “Bayangkan, merayakan natal di pantai! Edan enggak sih!”

“Terus, kenapa kamu enggak ikut?” tanyaku, sambil mulai mengharapkan itulah yang terjadi.

“Ah, ceritanya sedih sekali,” lamunnya, “beberapa lama aku sedih sekali gara-gara itu, sebab aku benar-benar mencintainya, dia sangat menyenangkan, lucu, dan benar-benar teman yang penuh kegilaan—“

“Penuh apa?”

“Tetapi, yah, ia benar-benar rela melepaskan pekerjaannya, cabut, dan bersenang-senang selama setahun, tetapi mengerti kan, aku punya tanggung jawab. Aku enggak ingin orang-orang di tempat kerja kecewa. Dan lagi pula, aku perempuan, mengerti kan?”

Ada jeda ketika aku tidak begitu yakin mesti berbuat apa. Pada akhirnya kuucapkan, “Oh ya?” dengan nada yang mudah-mudahan terdengar tertarik namun tidak terkejut.

“Yah iya, jadi, aku merasa aku juga bertanggung jawab atas diriku sendiri, dan atas semua perempuan yang telah tertindas selama bertahun-tahun, untuk membangun karier yang mantap bagi diriku sendiri. Aku enggak akan melepaskan itu hanya karena laki-laki.”

Dalam sekali teguk aku meminum anggur di gelas dan menuangnya lagi. “Kamu merasakan tanggung jawab atas semua wanita yang tidak diperbolehkan bekerja di industri asuransi?” ucapku, sekadar kalau-kalau aku melewatkan sesuatu.

“Yeah,” angguknya penuh semangat, “dan tahu enggak, Charles, keputusan itu sepenuhnya tepat. Aku galau sekali soal Dec, tetapi orang-orang di kantor sangat baik padaku. Sekarang rasanya sudah seperti keluarga sendiri. Dan sebagai individu aku merasa sangat puas mengekspresikan diriku lewat pekerjaan itu. Aku hampir langsung mendapat promosi, sekarang aku Pemimpin Tim, padahal aku baru setahun di sana. Awalnya beberapa cewek iri dan mereka pikir itu cuma karena aku sekolah di Holy Child, tetapi sekarang kami semua bersahabat dan tim yang benar-benar cakap dan kami bersenang-senang bersama.”

“Selamat, ya,” potongku. “Kamu tahu, mungkin sebaiknya kita ….”

“Dan aku punya mobil, ponsel, dan kalau aku berhasil mendapat bonus ada apartemen yang bagus—yah, lokasinya di daerah yang kurang baik tetapi ada penjaga keamanan dan pagar listrik, jadi enggak apa-apa—mungkin aku bakal pindah bareng cewek sekantor. Pekerjaanku enak. Aku iri pada Bel, mengerti kan, aktris, punya banyak waktu luang dan sebagainya, tetapi aku senang punya jaminan dan peluang, dan upah liburnya lumayan juga—“

“Liburan,” renggutku putus asa. “Apa kamu berlibur ke tempat yang asyik?”

“Oh iya,” wajahnya berseri-seri dan akhirnya ia melepaskan jaket serta menopang sikunya di meja. “Tahun lalu aku bareng sebagian geng kantor pergi ke Yunani—oh, gila lah, kami bertemu gerombolan cowok asyik, cowok-cowok Irlandia, mengerti kan—oh, mereka gila banget. Suatu malam, ya, ada malam tequila di pub Irlandia tempat tujuan kami dan kami semua terjebak, lagian tahu-tahu cowok-cowok ini datang lalu merobek kaus kami—“

“Parah banget!” jeritku, berusaha terdengar mendukung feminis.

“Kami tertawa gila-gilaan,” sambungnya, “Ya Tuhan, belum pernah aku semabuk itu seumur-umur, hampir tiap malam kami berakhir di pantai memandangi matahari terbit, minum-minum vodka ….”

“Korintus[4]?” aku menggagap lemah. “Minos[5]?”

“Hah?”

“Hah?” bisikku putus asa, dengan suara tercekik.

Sunyi, dan aku menatap Laura—benar-benar menatap padanya—dan mendadak mendapat kesan bahwa aku sedang makan malam dengan suatu simulakrum, imitasi murahan. Aku merasa seperti orang yang membeli peti berisi memorabilia asli semasa perang di pelelangan, dan membawanya pulang demi mendapati, di balik lapis pertama, beronggok-onggok carikan kertas koran.

“Yah, sangat menarik,” aku berhasil menggaok, “tetapi mungkin sebaiknya kita mulai, ah, vasnya ….”

“Kamu benar,” ujarnya, seraya memundurkan kursi dari meja dan mengambil perangkat elektronik dari kantong jaketnya. “Tadi itu menyenangkan, omong-omong. Sebenarnya ini gagasan yang sangat bagus, makan malam dulu dan mengenal satu sama lain, aku mesti menyampaikan ini pada manajer bagianku.” Ia melangkah ke lemari rias dan sambil berjingkat memeriksa rak atasnya. “Barang-barang ini jelas mesti dihargai, jadi aku akan menginventarisasi dan memberimu taksiran kasarnya, oke?”

“Baiklah,” sahutku. Sambil mengisi gelasku sekali lagi, aku mengamati dia mengangkat barang-barang dan menurunkannya lagi, menyematkan label harga dalam benaknya pada masing-masing benda itu dan membuat catatan yang rajin di alas elektroniknya. Bahkan entah mengapa wajahnya tampak keliru. Dari dekat kemiripannya dengan gadis dalam buku tahunan sekolah Bel hanyalah sepintas lalu, dan saat menyesuaikan cahaya lampu sebisaku ia tidak lagi terlihat seperti gadis itu. Mengapa ini yang terjadi? Apa Laura yang kucintai cuma ada dalam buku tahunan? Gambar yang terpenjara dalam tujuh halaman buram, sebagaimana diriku yang terperangkap dalam alam jasadi ini?
Sepintas kulihat jam. Ya Tuhan, masak sih baru pukul setengah sepuluh? Laura terus mengoceh selagi memulai operasinya, sementara aku menggilas-gilaskan kuku pada kedua telapak tanganku. Malam penghabisanku di Amaurot tersia-siakan, kisah cintaku yang agung terporak-porandakkan, dan hasilnya cuma vas-vas yang jumlah jaminannya di atas harga pasaran! Kemudian--bagaikan seberkas harapan--aku mendengar suara kunci di pintu depan. “Permisi sebentar.” Aku memelesat dan berlari ke ruang depan, mencegat yang baru datang selagi mereka menyelinap menaiki tangga. “Bel! Terima kasih, ya, Tuhan! Dan Frank kah yang bersamamu? Kawanku tersayang, kejutan menyenangkan!”

“Baik-baik saja?”

“Charles, kami benar-benar sangat lelah, kurasa kami mungkin langsung saja--“

“Ya, ya, tetapi kamu mau kan mampir ke ruang makan sebentar? Laura ingin sekali bertemu denganmu ... tolonglah, Bel ....”

“Aduh, Charles, ayolah ... iya deh, tetapi sebentar saja, ya.”

“Aku mau ke kamar mandi dulu mau pipis,” kata Frank.

“Ya, bagus, lakukanlah.” Frank berjalan gontai sementara Bel, disertai desahan ahli bedah yang dipanggil kembali ke ruang gawat darurat tepat ketika hendak pulang, melepaskan sarung tangannya dan mendahuluiku ke ruang makan.

Laura,” ucap Bel, seraya meletakkan tas tangannya di kursi, “betapa senangnya berjumpa denganmu!”

“Oh, ya, Tuhan, Bel!” Laura berpaling dari inventarisasinya diiringi seruan girang. “Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja. Charles terus menghiburmu, ya?”

“Oh ya, kami bersenang-senang--tahu enggak, kemarin aku baru saja membicarakanmu dengan Bunty, belum pernah ada yang melihatmu entah sudah berapa lama ....”

“Ah, kalian cewek-cewek Smorfett pada sibuk bergaul,” Bel menjawab dengan senyum, sembari menuang segelas anggur. “Sepertinya aku tersingkir.”

“Ah, kamu masih terlihat cantik, kamu sangat artistik, pakaianmu bekas, ya?”

“Terima kasih, kamu juga--di mana kamu mendapatkan setelan bagus itu? Dengan baju itu kamu terlihat sangat dewasa--“

“Ah, cuma asal ambil, aku benar-benar enggak punya waktu buat belanja belakangan ini, aku sibuk banget kerja--“

“Laura baru dipromosikan,” aku memberi tahu Bel.

“Tetapi bagaimana denganmu, Bel, kamu masih bersandiwara, atau ...?”

“Ah, tahulah, mencari jati diri,” sahut Bel. “Kan butuh waktu.”

“Mmm,” angguk Laura, sambil mengembalikan perhatiannya pada batu giok. “Tahu enggak, sebelumnya aku enggak terbayang keluargamu memiliki begitu banyak--“ ia terdiam sendiri, wajahnya memerah. “Maaf--tetapi, pasti ada gunanya memiliki semua ini sebagai jaminan ....”

Pertumpahan darah mungkin sudah terjadi kalau seketika itu Frank tidak mengeluyur masuk membawa sekantong bakso ayam--makanan favoritnya, sebelum bertemu dengannya aku tidak tahu bahwa ayam bisa dibikin jadi bakso. “Baik-baik saja?” tanyanya pada siapa pun di ruangan, lantas, matanya jatuh pada Laura, “Jancuk.”



[1] Simbol wanita penggoda yang berbahaya dalam tradisi Nasrani
[2] Pandai emas Rusia yang menciptakan telur Paskah hias bertatah untuk keluarga raja Eropa (1846-1920)
[3] Sekolah Katolik untuk perempuan di Irlandia
[4] Kota pelabuhan di Yunani dekat situs kota kuno
[5] Putra Zeus dan Eropa, raja Kreta kuno, memerintahkan Daedalus untuk membangun labirin, setelah mati menjadi hakim di neraka
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...