Suatu hari, suatu saat jauh di masa depan, aku ingin
mengetahui bagaimanakah aku dan istriku akan mengenang bulan Maret 2011. Sudah
pasti kami akan mengingat saat itu sebagai bulan terjadinya gempa bumi besar,
namun aku pun menduga kami juga akan mengenangnya sebagai suatu masa ketika
kami selalu saja bertengkar. Boleh jadi pertengkaran itu telah menjadi awal
dari akhir pernikahan kami. Bisa juga itu telah dimulai dari jauh sebelumnya,
namun kami—atau setidaknya aku—luput memerhatikannya. Tiga minggu dari
sekarang, boleh jadi kami bukan lagi suami istri, dan kemungkinan aku akan
menjadi pria paruh baya mencurigakan yang merengek di balik perosotan taman,
sembari menggali lubang di tanah dengan belencong untuk mengubur satu dekade
lebih kenangan bersama istrinya. Aku tidak hendak menjadi pria itu, namun aku
tidak yakin. Terus terang, aku belum tahu akan bagaimana jadinya.
Pada malam itu pun kami mulai bertengkar lebih awal. Saat itu sedang ada pemadaman listrik bergilir, yang sudah terjadi berturut-turut. Pertengkaran itu dimulai karena hal sepele, seperti di mana pemantik kompor dan siapa yang terakhir kali menggunakannya. Aku tidak ingat bagaimana percekcokan itu berkembang, dan aku pun tidak suka menjelaskannya sekalipun bila aku melakukannya, namun sebagaimana semua pertengkaran kami Maret itu, pada akhirnya sampailah kami pada soal uang. Begitu kami sampai pada titik itu, sedikit selera humor yang biasanya entah bagaimana dapat menjaga agar pertengkaran kami tidak terlalu sengit pun kabur ke tepi medan pertempuran. Uang—atau kekurangan yang fatal dari padanya—merupakan magma yang memompa perselisihan kami.
Pada akhirnya, perbantahan kami
menyurut jadi seperti ini:
“Ini gara-gara penghasilanmu
tidak mencukupi.”
“Aku sudah berusaha
sebaik-baiknya.”
“Aku tidak peduli kalaupun kamu
sudah berusaha sebaik-baiknya.”
“Tunggu, apa kamu bilang? Ini
semua soal uang?”
“Bukannya begitu? Bagaimana
mungkin kita hidup tanpa uang?”
“Kok kamu ini dangkal betul
sih?”
“Kamu yang membuatku begini!”
“Persetan!”
“Dasar tak berguna!”
Benar, kami serupa anjing
kampung yang terbelenggu di tugu masalah finansial. Tentu saja, yang kaya pun
terantai, namun rantai mereka panjang. Sebagian orang rantainya begitu panjang
sehingga kalaupun mereka pergi ke Jupiter dan rantainya terlilit di pohon kapur,
mereka masih bisa kembali ke Bumi. Sedangkan rantai kami pendek. Kami bahkan
tidak bisa berjalan-jalan ke sekeliling tanpa tersentak, sehingga hampir-hampir
mustahil untuk menandai teritori kami.
Biar begitu, entah bagaimana
kami dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, secara berapi-api berusaha untuk
meyakini bahwa keadaan keuangan kami akan menemukan jalan keluarnya sendiri.
Sebagian besar keberhasilan kami berkat nasib baik serta karunia masa muda yang
tidak terhitung, namun kekuatan cinta juga berperan besar. Bukannya aku
berpikir bahwa cinta adalah segalanya, namun tetap saja memiliki pengaruh yang
cukup kuat. Sebagaimana kita, cinta merupakan makhluk hidup. Kadang kita mesti
membawanya piknik supaya dia mendapat sinar matahari. Kalau kita terus-terusan
memberi dia makanan jadi sarat-gula-yang-dibeli-di-toko, akibatnya dia
menderita kurang gizi. Cinta kami telah sepenuhnya terkuras. Hari-hari
belakangan ini, ia bangkit dari tidurnya sore-sore dan hanya memandang TV tanpa
repot-repot membasuh muka. Ia bahkan tidak lagi menanggapi saat dipanggil.
Awal Maret, kami telah
memutuskan untuk menjual rumah yang baru saja kami beli beberapa tahun lalu,
yang biaya hipotek bulanannya kami bayar dengan susah payah. Sebuah
perusahaan real estat menaksir tempat kami, hanya untuk mendapati bahwa teramat
sulit untuk menjualnya dengan harga yang memungkinkan kami untuk melunasi utang
yang tersisa. Di samping kenyataan bahwa kami tidak membayar uang muka dan
bahwa kami telah mengambil hipotek yang mencakup berbagai macam pengeluaran
lain, suatu organisasi keagamaan telah membangun fasilitas di tanah kosong
tepat seberang rumah kami setahun sebelumnya. Bahkan sekalipun anggota kelompok
keagamaan itu hendak membeli tempat kami dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga taksiran, kami harus menyerahkan tiga persennya ke agensi real
estat tersebut. Belum lagi, kami masih butuh tempat tinggal. Kami juga
harus membayar uang jaminan, uang kunci, serta biaya pindahan. Kami telah
menghabiskan semua tabungan kami. Dengan kata lain, kami telah menemui jalan
buntu. Seakan-akan ada pemandangan samudra biru luas yang indah di balik pagar,
namun untuk sampai ke air, kami harus terjun dari karang terjal. Kecuali ada
semacam keajaiban, rumah kecil kami akan disita sedang kami diusir atas
perintah pengadilan atau sesuatunya. Seberapa mungkinkah keajaiban dapat
terjadi? Kukira dinamakan keajaiban karena kemungkinannya yang begitu rendah.
***
Malam itu aku pergi dari rumah,
tak sanggup lagi menahankan adu teriak sia-sia kami yang berpenerangan cahaya
lilin. Lampu penerang jalan, lampu keamanan, dan tentunya lampu di rumah-rumah
orang lain pun pada padam, sehingga lingkungan pemukiman kami segelap dasar
laut. Aku berjalan senyap, kadang-kadang berpapasan dengan manusia bawah laut
lainnya, yang sedang membawa jalan anjing mereka. Lampu depan kapal-kapal selam
menusuki mataku seiring dengan datang dan perginya. Di atas sana, permukaan
samudra tersaput oleh alga kelabu.
Dalam benakku timbul seseorang
yang dapat kuandalkan, setidaknya untuk sementara waktu. Ada teman kuliah yang
tinggal dua stasiun kereta jauhnya, dan walaupun dia tidak ada di rumah, baru
pergi untuk perjalanan bisnis jangka panjang ke Amerika Serikat beberapa hari
lalu (istri dan anak-anaknya telah “diungsikan” ke rumah mertuanya di Kyushu),
ia memberiku kunci mobilnya, dan katanya aku dapat menggunakannya kapan pun aku
mau. Setengah jam lebih kulalui dengan keluar masuk area
pemadaman listrik sebelum tiba di bangunan milik temanku—atau sebetulnya, itu
tempat parkir. Di situ ada station wagon milik temanku, yang
bensinnya sudah terisi setengah penuh. Dengan bahan bakar yang tersedia,
sepertinya aku bisa berjalan cukup jauh, atau setidaknya mengemudi sampai waktu
yang agak lama. Aku menyetir ke arah pusat kota seakan-akan hendak
melarikan diri dari pemadaman listrik. Sulit juga menggunakan mobil ini karena
bangku pengemudinya ada di sebelah kiri, sehingga aku malah menyetel penyapu
kaca saat sebenarnya aku mau menyalakan lampu sein, tapi perjalanannya
tidaklah buruk. Aku memutar CD SMAP—mungkin punya istrinya temanku—yang ada
dalam stereo mobil selagi aku menyetir. Ya, kita adalah / Setangkai bunga
yang tidak seperti bunga lainnya di dunia ini.[1]
Tanpa sadar, aku menuju ke arah
Ogikubo. Ada seorang wanita yang dulu sekali (yah, mungkin belum sebegitu
lamanya) aku pernah terlibat dalam hubungan singkat tinggal di sana. Jelas aku cukup bodoh
sehingga belum sepenuhnya melupakan dia. Kalau tidak, kenapa juga aku mau
menemui dia, setelah selama ini?
Ia tinggal di sebuah gedung
dengan kunci otomatis pada pintu masuk utamanya.
“Ya?”
Dari satu suku kata itu saja,
aku bisa tahu bahwa ia takut. Mungkin saja ia melihat wajahku pada video
interkom. Padahal dulu pernah ada masa ketika ia gembira melihatku. Aku
memberitahukan tentang diriku.
“Hei. Apa kabarmu?” sapaku
dalam nada riang yang putus asa. Rasanya seolah-olah aku telah menderita
amnesia terhadap segala hal yang telah terjadi di antara kami. Ia tidak
menyahut. Aku meresapi kesunyiannya.
“Ada apa?” akhirnya ia
bertanya.
“Ah, anu, mmm …. Apa kamu mau
minum kopi bersamaku?” kataku, sembari teringat bahwa ada adegan serupa dalam
salah satu novel Richard Brautigan. Tidak perlu dikatakan lagi, aku tidak
benar-benar ingin minum kopi.
Tanpa tedeng aling-aling ia
menolakku.
“Tolong pergilah,” katanya, dan
interkomnya tahu-tahu saja padam. Aku tidak dapat menerima yang baru saja
terjadi. Ingin kupercaya interkomnya rusak karena gangguan listrik, sehingga
aku mengebel lagi.
“Apa? Ada apa?” jawabnya. Ia
terdengar jelas-jelas marah sekarang.
“Bisakah kita mengobrol
sebentar? Ada banyak yang bisa dibicarakan,” ocehku.
“Apa sih maumu?” ujarnya. “Kamu
kan sudah janji tidak akan ke sini lagi?”
“Yah, iya sih.” Aku pun mulai
menyadari betapa memalukannya perbuatanku ini. Apa lagi yang lebih rendah
daripada mengentak-entakkan kaki setelah bertengkar dengan istrimu lalu mencari
penghiburan dari wanita lain? Dan bukan pula sembarang wanita, melainkan wanita
yang telah jelas-jelas kau lukai di masa lalu?
“Kalau kamu ke sini lagi ….”
“Aku mengerti,” segera aku
memangkasnya. Aku tidak mau mendengar kata “polisi” keluar dari mulutnya. “Aku
tidak akan datang lagi. Maaf.”
Setelah keheningan yang
menyedihkan, selain bunyi yang kedengarannya seperti sinyal radio yang
terputus-putus, interkom itu mati lagi. Hubunganku dengan dia benar-benar
berakhir kali ini. Tidak, ini sudah berakhir sejak lama. Aku telah melekat pada
sesuatu yang telah mati, dan sekadar diberi tendangan sapuan pamungkas di pantat.
Yang kulakukan itu adalah hal terburuk dalam sejarah dunia. Bahkan tidak perlu
lagi mencerca diri.
Aku merasa ingin sekali minum.
Tapi aku tidak punya uang. Maka aku menelepon orang-orang yang tidak hanya
bakal menemaniku pergi minum tapi juga meminjamiku uang untuk itu. Tapi aduh,
pulsaku cuma cukup untuk menelepon dua orang, dan yang satunya lagi bahkan
tidak sempat memberikan jawaban. Yang satu lagi menjawab, namun tidak biasanya
sungkan. Mungkin keduanya sama-sama sedang tidak ingin ditemani olehku malam
itu.
Sekonyong-konyong aku teringat
pada teman sekelas dari SMP yang jalan hidupnya tampak bersesuaian dengan aku
dari waktu ke waktu, baik dan buruknya. Sekarang ia dokter gigi yang punya
klinik sendiri.
“Yah, tentu, mari minum-minum,”
katanya, seakan-akan sedari tadi ia sudah bersiaga memegang ponsel untuk
menanti undangan tersebut. Dan saat aku bilang padanya aku sedang bokek, ia
berkata, “Jangan khawatir, kapan-kapan kamu bisa balas menraktirku.”
Sejujurnya, aku sesungguhnya tidak menyukai orang ini dan tidak mau menyebut
dia teman, tapi mesti kuakui bahwa hubunganku dengan dia tak terhingga
nilainya.
Kami bertemu di Roppongi dan
menuju ke sebuah bar hostes yang tampaknya kerap dikunjungi bekas teman
sekelasku ini. Aku tidak begitu ingin mengunjungi bar hostes, tapi tampaknya
bagi bekas teman sekelasku ini, pergi minum bersama pria dengan sendirinya
berarti pergi ke bar hostes. Selama dua jam kami di sana, empat gadis
bergiliran duduk bersama kami. Tiap gadis duplikat gadis berikutnya, seperti es
batu yang diproduksi dari cetakan yang sama. Atau mungkin saja aku merasa
demikian hanya karena aku sedang bermasalah. Untuk sementara waktu ini, ada
hujan es yang menabiriku dari dunia luar.
Kiranya aku dan gadis pertama
memulai dengan mengobrol soal gempa bumi serta pembangkit listrik tenaga
nuklir, namun tahu-tahu saja kami sudah membicarakan tentang pusat-pusat
keagamaan serta berbagai topik terkait spiritualitas lainnya, hingga aku
mendapati diriku tersesat di tengah-tengah percakapan kami. Gadis kedua
memiliki banyak desas-desus kehidupan selebriti, namun karena aku benar-benar
tidak mengikuti siapa saja orang terkenal dewasa ini, akibatnya dia yang
kehilangan arah percakapan. Gadis ketiga membicarakan tentang masa lalu dan
masa depannya, namun segala perkataannya jeritan yang semenjana, serupa balok-balok
es yang persis sama. Dan seakan-akan hendak mengimbangi percakapan itu,
aku merepet tentang kehidupanku sendiri pada gadis yang keempat, namun yang aku
bagi bersama dia itu boleh jadi sama usangnya.
Ponsel si dokter gigi berbunyi
saat kami keluar dari bar, dan tanpa banyak penjelasan, ia meminta maaf, masuk
ke sebuah taksi, lalu pergi. Ditelantarkan begitu, aku pun berkeluyuran di
sekitar distrik hiburan itu di mana papan-papan tanda berlampu neon diredupkan
di sana sini untuk menghemat energi, membentuk kekosongan-kekosongan dalam
cahaya. Aku merasa seperti batu ceper di pinggir sungai yang menanti anak-anak
SD bercelana pendek menjumputku untuk digunakan sebagai batu loncatan.
Orang-orang seperti aku yang tidak berkontribusi terhadap aktivitas ekonomi
tidaklah diterima dengan baik.
***
Listrik di lingkungan tempat
tinggalku sudah kembali menyala, dan suasananya tidak lagi seperti di dasar
laut. Aku mampir ke minimarket, bermaksud membeli mi instan untuk camilan larut
malam. Tapi, entah kenapa, aku tidak menemukan petugasnya. Ada kotak sumbangan
yang dibuat terburu-buru di samping mesin kas. Aku bisa melihat ada beberapa
lembar uang di dalamnya. Terkilas dalam benakku ide untuk menyambar kotak itu
dan membawanya kabur, seperti bintang jatuh yang membinasakan pada malam
pertengahan musim panas.
Saat aku pulang, istriku sedang
duduk di sofa sambil memeluk kaki, serta menatap sepenuh perhatian pada berita
larut malam. Ia menonton tayangan terbaru mengenai kawasan-kawasan yang
terdampak berat oleh bencana dengan suara dimatikan.
Yang kutahu kalau istriku sudah
tidur di ranjang kamar kami saat aku pulang, berarti aku mesti meringkuk di
sofa semalaman tanpa tidur lagi menderita, dan kalau dia sedang menonton
tayangan lainnya di televisi, seperti acara komedi atau film yang menegangkan,
lidahku yang pendengki kemungkinan akan menyampaikan komentar yang keliru,
sehingga membangkitkan ronde baru adu kecaman. Tapi alih-alih, kami duduk
berdampingan di sofa tanpa sepatah kata, sambil menatap tayangan berita tanpa
suara mengenai banyaknya orang yang telah tertimpa oleh kemalangan. Orang-orang
yang menggigil kedinginan. Orang-orang yang mengantre panjang demi makanan.
Orang-orang yang menggali reruntuhan mencari barang-barang milik mereka. Orang-orang
yang bercampur aduk untuk menemukan anggota keluarga yang hilang. Orang-orang
yang telah kehilangan rumah, mata pencaharian, serta orang-orang yang mereka
kasihi.
Pemandangan orang-orang yang
terkena bencana itu melubangi hatiku, dan rasanya sakit. Namun, selagi aku
mengalami nyeri ini, aku merasakan kesakitanku sendiri berkurang. Sungguh tak
tahu malu; salah satu hal yang mungkin tidak semestinya dinyatakan. Menurutku
tidak semua kebenaran pantas untuk diungkapkan dengan kata-kata. Namun aku
memilih untuk melakukannya. Kadang-kadang, kita mendapatkan pelipur lara saat
melihat contoh nyata penderitaan orang lain.
Aku mendapati diriku menangis.
Istriku juga menangis. Mungkin hanya rasa sedih dan haru yang membanjir itulah
yang dapat kami tanggung bersama-sama sebagai pasangan pada waktu itu.
Harapanku kepiluan kecil kami ini juga dapat membantu meredakan rasa sakit yang tengah dialami orang lain di mana pun itu.
Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Chikako Kobayashi, “My Wife and Me in March 2011”, dalam Words Without Borders Agustus 2012.
Suzumo Sakurai lahir di Hokkaido, Jepang, pada 1968. Ia pernah memegang beberapa pekerjaan, termasuk petugas pos, pramusaji, dan pembaca meteran, setelah lulus dari Universitas Meiji Gakuin dengan gelar dalam sosiologi. Ia menerbitkan novel pertamanya, Aleluya, pada 2002, dan setelah itu dua novel lainnya, A Day in the Garden of the Cherry dan Wintertime Voyage, serta satu kumpulan cerita pendek, Woman. Ia menyukai kucing, rok alternatif, dan Henry Miller.
Chikako
Kobayashi adalah
penerjemah Jepang > Inggris yang pernah hampir menjadi interpreter Jepang
> Inggris untuk Steven Seagal. Lahir dari orang tua pengelana dan dibesarkan
di Hong Kong, Jepang, dan Amerika Serikat, ia juga pernah tinggal di China
daratan mengajar Bahasa Inggris. Saat ini ia bertempat tinggal di Tokyo.
[1] “Sekai ni Hitotsu Dake no Hana" (https://www.jpopasia.com/lyrics/8480/smap/sekai-ni-hitotsu-dake-no-hana.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar