Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita [1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi k...

20151227

Maut di Antara Gemunung Es (Mehis Heinsaar, 2015)

Conchita Suárez datang ke Tartu dari Cile untuk mempelajari bahasa dan sejarah Estonia. Kedatangannya ke tempat itu bukan semata karena ada kesempatan. Sebenarnya kakek Conchita terpaksa melarikan diri dari Estonia ke Jerman bersama kedua orang tuanya pada 1944 sewaktu ia masih kecil. Dari situ ia pindah lagi ke Amerika Selatan. Itu berarti Conchita berdarah seperempat Estonia. Sekarang sudah lebih dari dua tahun Conchita berada di Estonia. Setelah menguasai bahasa setempat dengan amat cepat (bukti akan bakat alamnya dalam bahasa), menemui kerabat jauhnya, dan berteman dengan banyak orang baik yang sebayanya, akhirnya Conchita berlabuh di Pulau Hiiumaa—“Tanah Raksasa”. Sebabnya yaitu dia ditawari bekerja di museum sejarah Kassari selama beberapa bulan pada musim panas.

Conchita segera menyukai pulau berangin itu. Dia agak terkejut karena orang-orangnya berbeda sama sekali dengan penduduk daratan utama Estonia, dan bukan saja dalam adatnya. Banyak ciri fisik mereka yang mengingatkan dia pada orang Spanyol. Namun cara berpikir dan birunya mata mereka jelas seperti orang Utara. Perkataan penduduk pulau terdengar ganjil di telinganya, dan dia lebih tidak mengerti lagi akan selera humor mereka. Namun dia tetap menyukai mereka. Penduduk keturunan dan kelahiran Kassaria yang paling menarik baginya adalah Aale Häggblom. Ia lelaki raksasa yang mulai agak botak, namun rambutnya yang keriting kecil-kecil masih lumayan lebat. Hidungnya besar dan matanya berwarna biru langit. Conchita melihat Aale setiap hari, sebab ia bertanggung jawab memelihara museum, merawat segalanya mulai dari pemasangan listrik sampai memperbaiki hewan awetan.

20151218

Bapak Boleh (Ann Beattie, 2015)

Si wanita tunawisma berambut merah ditahan setelah ambruk di jalan dan sebuah taksi nyaris menggilasnya. Tepat sebelum ia melesat keedanan ke jalan (siapa juga sih yang dapat menjelaskan tingkahnya?), ia menuding seekor anjing hitam yang sedang dirantai sebagai Iblis, tuduhan yang telah dibantah kuat-kuat oleh si pemilik hewan. Nama anjing itu Bapak Boleh, dan di lingkungan kami cerita tentang dia lebih terkenal ketimbang tentang si wanita berambut merah. Peternaknya menyebut anjing itu Bapak, dan keluarga yang mengadopsinya—yaitu tetangga sebelah kami, keluarga Leavell—ingin memanggilnya dengan sebutan yang mirip supaya dia tidak bingung. Mereka mencoba memanggilnya Blacky atau Bobby, tapi anjing itu tidak menanggapi nama apa pun yang diawali dengan huruf “B”, hingga anak perempuan keluarga tersebut, yang berusia empat tahun dan senang sekali bicara pada boneka-bonekanya, mengatakan pada mainannya itu bahwa mereka boleh pergi ke Barneys, dan mereka boleh pergi ke taman, dan mereka boleh makan kue kalau mereka jadi anak baik …. Seperti yang bisa ditebak, si kecil Corey Leavell telah mengajukan satu-satunya nama yang diterima anjing itu. Lantas, terpikir lucu juga memanggil anjing itu Bapak Boleh[1].

20151209

Penggalan: Mice in the Wind (Mihkel Mutt, 1982)

Viktor tidak membuang botol yang kosong itu melainkan berbuat sepatutnya dengan menaruhnya di samping susuran tangga, sehingga pekerja yang datang pagi-pagi sekali dapat mengambilnya. Sesudah itu sejenak ia diliputi perasaan damai, bagaikan orang yang telah mencapai suatu kesadaran, tidak lagi menjadi misteri bagi dirinya sendiri. Tanpa kerisauan ia berjalan pulang. Lalu apa? Pengalaman apa pun merupakan suatu pengalaman! Seorang sastrawan pun harus bersentuhan dengan kehidupan, pikirnya senang, sebuah alasan yang dapat menjadi pembenaran bagi apa pun tindakannya. Nanti ia akan membuat tulisan tentang itu. Toh hingga kini ia tak pernah meninggalkan apa pun tanpa menyelesaikannya. Bagaimanapun kualitasnya, betapapun mepetnya, ia selalu menuntaskan pekerjaannya. Dalam hal ini, Viktor percaya takhayul. Dengan jelas ia membayangkan bahwa satu kejadian saja sudah cukup, sekalipun jika itu suatu preseden buruk untuk menarik dirinya berbuat yang sama lagi dan lagi. Tak ada bedanya apakah kita menjatuhkan seseorang sekali atau sepuluh kali—kita telanjur dicap tak setia.

20151127

Terlalu (Fernando Sorrentino, 2001)

Aku tidak begitu suka bergaul dan sering kali aku lupa pada teman-temanku. Setelah dua tahun berlalu, pada suatu hari di bulan Januari 1979—cuacanya panas sekali—aku mengunjungi seorang teman yang mengidap semacam ketakutan berlebihan. Namanya tidak penting. Panggil saja dia—sebut saja—Enrique Viani.

Pada suatu Sabtu di bulan Maret 1977, jalan hidupnya berubah.

Rupanya, sewaktu sedang berada di ruang tamu rumahnya, di dekat pintu menuju balkon, Enrique Viani mendadak melihat seekor laba-laba yang “sangat besar”—menurutnya—di sepatunya sebelah kanan. Seketika dia berpikir inilah laba-laba terbesar yang pernah dia saksikan dalam hidupnya, saat tahu-tahu hewan itu beranjak dari sepatunya dan menyusup ke dalam kaki celananya, di antara kaki dan kain celana.

Enrique Viani merasa—menurutnya—mati ketakutan.  Belum pernah dia mengalami kejadian yang sebegitu tak mengenakkan. Saat itu juga dia teringat pada petunjuk yang pernah dibacanya entah di mana, yaitu: 1) semua laba-laba, tanpa kecuali, sekalipun yang berukuran paling kecil, mengandung bisa dan dapat menyuntikkannya; dan, 2) laba-laba menyengat hanya ketika merasa diserang atau diganggu. Oleh karena itu, laba-laba berukuran besar pasti mengandung banyak bisa yang berdaya racun tinggi. Maka Enrique Viani berpikir bahwa tindakan paling bijaksana yang dapat diperbuatnya adalah tetap diam. Sedikit saja dia bergerak, serangga itu pasti akan menyuntikkan bisa dalam dosis yang mematikan.

20151118

On The Road Bagian 1 Bab 2 (Jack Kerouac, 1957)

Pada Juli 1947, setelah menabung sekitar lima puluh dolar dari tunjangan veteran, aku siap untuk pergi ke Pesisir Barat. Temanku, Remi Boncœur, telah menulis surat padaku dari San Fransisco. Katanya aku boleh ikut berlayar bersamanya dengan kapal pesiar keliling-dunia. Dia berjanji dapat menyusupkan aku ke ruang mesin. Aku membalas suratnya dan berkata aku bakal puas dengan kapal pengangkut usang yang mana saja asalkan aku bisa jalan-jalan ke Pasifik beberapa lama dan pulang membawa cukup uang untuk menunjang hidupku di rumah bibi sementara aku menyelesaikan bukuku. Dia bilang dia punya pondok di Mill City dan aku bisa menulis sepuasnya di sana sementara kami membahas soal cara masuk ke kapal. Dia tinggal dengan seorang perempuan bernama Lee Ann. Menurutnya Lee Ann pintar masak jadi segalanya akan beres. Remi itu kawan lama dari SMA, orang Prancis yang besar di Paris dan edan betul—entahlah seedan apa dia sekarang. Jadi dia berharap aku sampai dalam sepuluh hari. Bibiku setuju soal lawatanku ke Barat. Menurutnya ini akan baik untukku. Aku telah bekerja keras selama musim dingin dan terlalu lama di dalam rumah. Ia bahkan tidak keberatan saat aku bilang aku mungkin harus menebeng. Yang dipintanya cuma supaya aku kembali dengan utuh. Maka, setelah melipat selimutku yang nyaman untuk terakhir kali, dan meninggalkan naskah pentingku yang separuh jadi di atas meja, pagi-pagi aku berangkat demi Samudra Pasifik dengan tas kanvas berisi beberapa barang pokok beserta lima puluh dolar di kantong.

20151109

Dunia Alam (John Clare, ----)

Aku sering menudungi mataku dengan topi demi mengamati burung lark[1] membubung atau elang bergantung di langit musim panas, serta layang-layang berputar mengitari hutan. Aku sering berlama-lama di tepi hutan demi mendengar burung-burung merpati mengepakkan sayap di antara pohon-pohon ek hitam. Aku senang mencari bunga-bunga yang unik dan menggumamkan pujian padanya. Aku cinta padang rumput dan keriuhannya, tumbuhannya yang berduri, serta jalur jejak biri-biri yang membelahnya. Aku memuja rawa liar serta bangau penyendiri yang melintas di atas langitnya yang muram. Aku senang menjelajahi padang di antara liang-liang kelinci dan furze[2] yang berbunga emas. Aku merebahkan diri di atas bukit berlumut atau gundukan tikus mondok yang ditumbuhi thyme demi melihat pemandangan musim panas … Aku memerhatikan ladang-ladang yang terhampar rata, dengan petak-petak yang berbeda-beda warnanya seperti pada peta; semanggi berwarna tembaga yang sedang berbunga; rumput hijau kecokelatan yang sudah masak; jelai dan gandum yang warna-warninya lebih cerah seperti campuran antara sorot matahari senja pada bunga charlock[3] dan tiruannya pada orang yang mengidap sakit jengkering[4]; tongkol-tongkol jagung biru[5] menyesakkan warnanya yang indah menyerupai lautan luas pada tanah, mengusik ladang dengan kecantikannya yang rawan; pepohonan hutan yang hijaunya beragam-ragam, pohon ek hitam, pohon ash pucat, pohon limau ranum, dan pohon poplar putih menatap dari atas tumbuhan lainnya bagaikan menara berdaun, pohon willow hijau yang bersinar sejuk dalam terang matahari, seakan embun pagi masih bergelayut pada hijaunya yang adem. Aku cinta padang rumput di danau serta bendera-benderanya dan warna ungu di sepanjang tepian airnya. Aku suka mendengar bisikan angin di sela alang-alang bermahkota bulu, melihat lidi air mengangguk-angguk lembut pada air yang beriak; dan pada malam-malam panen aku suka menyaksikan matahari yang keras kepala turun di balik penjara dan mengintip lagi dalam rupa lengkung setengah lingkaran seakan ia tak ingin pergi … Aku terpesona mengamati semua ini sejak dulu. Namun aku tak tahu apa-apa tentang puisi. Itu terasakan namun tak terutarakan.[]



Dari  Nature Writing: The Tradition in English, Ed. Robert Finch & John Elder, 2002, W. W. Norton & Company. Teks rujukan dapat dilihat di sini.




[1] Sejenis burung kicauan dari famili Alaudidae
[2] Sejenis semak berduri dari genus Ulex dan famili kacang-kacangan, tumbuh sepanjang tahun di Eropa
[3] Sejenis rumput yang tumbuh di kawasan Eropa dan Asia, berbunga kuning, dengan daun dan batang berbulu
[4] Penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman. Kuman tersebut menghasilkan zat racun yang menimbulkan bercak-bercak merah menyala pada kulit.
[5] Varietas jagung yang tumbuh di Meksiko dan Amerika Serikat barat daya, pertama kali dibudidayakan oleh suku Hopi (penduduk asli Amerika)

20151027

Kecanduan Bir (Robert Coover, 2011)

Dia sadar dirinya sedang duduk-duduk di bar sekitar sambil minum bir kira-kira pada waktu yang sama dengan ketika dia terpikir untuk pergi ke situ dan minum segelas. Sebetulnya dia sudah menghabiskan segelas. Mungkin dia akan minum satu lagi, pikirnya, sambil minum gelas kedua dan minta gelas ketiga. Ada seorang wanita muda duduk-duduk tidak jauh dari dia yang tidak begitu cantik tapi cukup cantik, dan barangkali pandai bercinta, dan memang begitu. Apakah dia menghabiskan birnya? Tidak ingat. Yang betul-betul penting adalah: Apakah dia menikmati orgasmenya? Atau apakah dia orgasme? Ini yang dipikirkannya ketika pulang menyusuri jalanan malam yang berkabut dari apartemen si wanita muda. Yang disesaki oleh banyak boneka bayi, semacam yang dimenangkan di karnaval-karnaval, dan mereka berjanji, seingat dia, untuk kencan di sana. Di situ wanita itu menang lagi—wanita itu memang jago. Lalu mereka ke apartemen wanita itu lagi, bugil, dan wanita itu memeluk boneka barunya di sebuah ranjang yang penuh oleh banyaak boneka serupa. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia tidur, dan dia lebih tidak yakin lagi, sementara terhuyung menapaki jalanan malam, yang masih berkabut, akan letak apartemennya sendiri, orgasmenya, jika dia mengalaminya tadi, sudah mengabur dari memorinya. Mungkin dia perlu mengajak wanita itu ke karnaval lagi, pikirnya, dan wanita itu pun memenangkan boneka bayi lagi (pada kencan kedua mereka, atau mungkin keempat), dan kali ini mereka minum-minum romantis di bar tempat mereka pertama kali jumpa. Di situ seorang pria berotot mulai mengganggu wanita itu. Dia turun tangan dan wanita itu menjenguk dia di ranjang rumah sakit sambil membawakan salah satu boneka bayi miliknya untuk menemani dia. Yang merupakan caranya untuk menunjukkan ikatan di antara mereka, atau begitulah yang dia duga, sewaktu dia meninggalkan rumah sakit dengan penopang ketiak, bingung di sebelah mana kota dirinya tengah berada. Atau pada tanggal berapa. Dia memutuskan bahwa inilah saatnya untuk menghentikan hubungan—wanita itu bikin dia edan—tapi si pria berotot hadir di pernikahan mereka dan minta maaf karena telah memukul dia waktu itu. Dia tidak sadar, ujarnya, betapa seriusnya hubungan mereka. Hadiah pernikahan dari pria itu berupa selembar kupon untuk dua minuman gratis di bar tempat mereka bertemu dan sepasang pita satin putih untuk tongkat penyangganya. Selama upacara pernikahan, keduanya membawa boneka bayi yang boleh jadi mengandung suatu makna yang agak tersembunyi, dan memang begitu. Anak yang dikandung wanita itu, anaknya atau anak orang lain, mengingatkan dia, seakan dia perlu mengingat itu, bahwa waktu melaju begitu cepat. Sekarang dia punya tanggung jawab dan dia memutuskan untuk mengecek apakah dia masih bisa bekerja di tempat yang dulu sewaktu dia pertama kali berjumpa istrinya. Dia masih bisa bekerja di situ. Tidak ada yang mempermasalahkan ketidakhadirannya, jika dia absen, tapi tidak ada juga yang memberi selamat atas pernikahannya. Itu tidak mengherankan sebab—sekarang dia ingat—sebelum dia bertemu istrinya, dia sudah bertunangan dengan salah seorang koleganya dan rekan-rekan mereka telah merayakan pesta pertunangan itu, jadi mestilah mereka marah karena uang yang dihabiskan untuk memberi hadiah. Itu memalukan dan suasananya kurang nyaman, tapi dia punya satu anak yang sudah TK dan satu lagi akan lahir, jadi mau bagaimana lagi? Nah, dia masih belum menukar kupon hadiah pernikahannya, jadi, pertama-tama, masa bodohlah, dia bisa minum segelas-dua bir, malah tiga pun dia sanggup. Ada seorang wanita muda duduk-duduk di dekat dia yang kelihatannya pandai bercinta, tapi wanita itu bukan istrinya dan dia tidak ingin menyeleweng, atau begitulah yang dia katakan pada dirinya, selagi duduk di tepi ranjang dengan celananya melorot di pergelangan kaki. Apakah dia tengah melucuti celana itu atau justru mengenakannya? Dia ragu, tapi kini dia memakai celananya dan terpincang-pincang pulang, penyangga ketiaknya yang berpita tertinggal entah di mana. Setibanya di apartemen, dia mendapati semua boneka bayi, yang asalnya ditaruh di rak begitu bayi-bayi mulai berdatangan, berserakan dengan kepala dan anggota tubuh terpotong-potong. Salah satu dari bayi-bayi itu menangis, maka, sambil menghangatkan sebotol susu di kompor, dia masuk ke kamar dan memberi bayi itu dot dan menemukan selembar catatan dari istrinya tersemat di piyama bayi itu, yang menerangkan bahwa wanita itu telah berangkat ke rumah sakit untuk melahirkan lagi dan dia sebaiknya sudah minggat ketika wanita itu kembali, sebab jika tidak wanita itu akan membunuhnya. Dia meyakini wanita itu, jadi dia segera ke jalanan lagi, sambil berpikir kalau-kalau dia sudah memberikan botol pada si bayi, atau itu masih mendidih di kompor. Dia melewati bar yang dulu dan tergoda namun memutuskan bahwa dia tidak perlu menambah masalah lagi dalam hidupnya dan hendak berjalan terus saat si raksasa yang dulu pernah menghajar dia menghentikannya dan memberinya sebatang rokok sebab pria itu baru saja jadi ayah dan menyeretnya ke bar untuk merayakan itu dengan segelas minuman, atau lebih, tak terhitung olehnya. Perayaan itu sudah berakhir, tapi, si ayah baru, yang telah menikahi wanita yang sama dengan yang mendepak dia, kini mencucurkan air mata ke dalam gelas bir atas kesengsaraan hidup berkawin dan menyelamati dia karena beruntung terbebas dari itu. Tapi dia tidak merasa beruntung, terlebih saat dia melihat seorang wanita muda duduk-duduk di dekat mereka yang kelihatannya pandai bercinta dan memutuskan untuk menyarankan mereka supaya pergi ke tempat wanita itu, namun terlambat—wanita itu sudah keluar bersama pria yang pernah menghajarnya dan mencuri istrinya. Maka dia pun minum lagi, sambil memikirkan di mana dia bisa tinggal sekarang, dan menyadari—si bartender lah yang berkata-kata sambil menawari dia bir lagi secara cuma-cuma—bahwa hidup itu singkat dan brutal dan sebelum dia menyadari itu dia keburu mati. Bartender itu benar. Setelah beberapa kali lagi bir dan orgasme, sebagian samar-samar saja teringat, sering kali tidak, salah satu putranya, yang kini pembalap mobil sekaligus pimpinan perusahaan tempatnya bekerja, mengunjungi dia pada akhir hidupnya dan, sambil minta maaf karena baru bisa datang (aku minum-minum dulu, Ayah, ada masalah), berkata bahwa ia akan merindukan dia tapi mungkin inilah yang terbaik. Apanya yang terbaik? tanyanya, namun putranya sudah pergi, kalau memang ada tadi. Yah … begitulah … hidup, ucapnya pada perawat yang datang untuk menghamparkan kain pada wajahnya dan membawanya pergi.[]



Diterjemahkan dari cerpen Robert Coover, “Going for a Beer”, dalam The New Yorker edisi 14 Maret 2011

20151018

Cinta Itu Buta dan Tuli (Jonathan Safran Foer, 2015)

Adam dan Hawa hidup bahagia selama beberapa hari. Adam yang buta tak pernah melihat tanda lahir bebercak-bercak memanjang di pipi Hawa, atau giginya yang gingsul, atau kuku jarinya yang geripis. Hawa yang tuli tak pernah mendengar betapa payahnya narsisme Adam, betapa tak peka dan kekanak-kanakkannya dia dalam hal tertentu. Mereka baik-baik saja dengan keadaan itu.

Mereka makan apel dan kemudian terungkaplah segalanya. Hawa mengerti maksud penderitaan (yaitu tidak ada), dan Adam memahami kehendak bebas (menyangsikan istilah itu). Mereka tahu mengapa tanaman yang baru tumbuh berwarna hijau, dari mana angin sepoi-sepoi bermula, dan apa yang terjadi jika suatu kekuatan dahsyat bertemu benda tak bergerak. Adam melihat bintik; Hawa mendengar denyut. Adam melihat bentuk; Hawa mendengar bunyi. Tanpa menyadari proses lainnya yang menyebabkan itu, mereka sembuh total dari buta dan tuli. Sembuh pula dari kebahagiaan perkawinan mereka.

20151009

Injil Markus (Jorge Luis Borges, 1970)

Cerita ini berlangsung di peternakan La Colorada, di sebelah selatan kotapraja Junín, pada akhir Maret, 1928. Tokoh utamanya seorang mahasiswa kedokteran bernama Baltasar Espinosa. Sementara ini kita bisa bayangkan dia seperti pemuda kebanyakan di Buenos Aires, tanpa ada keistimewaan apa pun dari padanya selain kebaikan hatinya yang teramat sangat serta kecakapannya bicara di muka umum yang membuatnya memperoleh beberapa penghargaan sewaktu di sekolah Inggris di Ramos Mejía. Dia tidak suka debat, dan lebih senang jika lawan bicaranya yang benar ketimbang dirinya. Walau dia menggemari permainan peluang dalam setiap pertandingan yang diikutinya, dia itu pemain yang buruk sebab dia tidak senang jika dia yang menang. Kecerdasannya yang luas tak terarahkan. Pada usia 33 tahun, nilainya masih belum mencukupi untuk lulus, pada satu mata kuliah—mata kuliah yang paling tidak diminatinya. Ayahnya, yang seorang ateis (seperti lazimnya pria pada masa itu), mengenalkannya pada ajaran Herbert Spencer[1]. Namun ibunya, sebelum pergi ke Montevideo, pernah memintanya untuk mengucapkan Doa Bapa Kami[2] dan membuat tanda salib setiap malam. Sampai bertahun-tahun, dia tidak pernah memenuhi janji itu.

20150927

Lelaki Jompo Bersayap Raksasa: Sebuah Dongeng untuk Anak-anak (Gabriel Gárcia Márquez, 1968)

Pada hari ketiga hujan mereka telah membunuh begitu banyak kepiting di dalam rumah sehingga Pelayo harus mengarungi halamannya yang basah kuyup dan membuang bangkai-bangkai binatang itu ke laut. Mereka pikir si anak yang baru lahir demam semalaman akibat bau amis kepiting. Dunia muram sejak Selasa. Laut dan langit sama-sama kelabu. Pasir di pantai, yang pada malam-malam Maret berkilauan bak taburan cahaya, menyerupai rebusan lumpur dan kerang busuk. Siang begitu suram, hingga ketika Pelayo pulang dari membuang kepiting, ia sulit mengenali apakah gerangan yang bergerak-gerak dan merintih di bagian belakang halamannya. Ia mesti mendekat, barulah dapat melihat bahwa itu adalah seorang lelaki tua, sangat tua, yang wajahnya terbenam di lumpur. Meski telah bersusah payah, lelaki itu tak sanggup bangkit karena terhalang oleh sayapnya yang besar sekali.

Ketakutan akibat pemandangan yang mengerikan itu, Pelayo lari mencari Elisenda, istrinya, yang sedang mengompres si anak yang sakit. Ia membawa istrinya ke bagian belakang halaman. Mereka memandangi tubuh yang tumbang itu sambil diam-diam pingsan. Pakaian lelaki itu seperti pemulung. Pada tengkoraknya yang gundul tinggal beberapa helai rambut yang tersisa dan sudah pudar warnanya. Giginya amat jarang. Keadaannya yang menyedihkan, yang serupa kakek-buyut kebasahan, mengenyahkan segala keluhuran yang barangkali pernah dimilikinya. Sayap elangnya yang besar sekali itu kotor dan separuhnya gundul, terjebak dalam lumpur. Pelayo dan Elisenda mengamatinya begitu lama dan begitu dekat, hingga keduanya lekas mengatasi keterkejutan mereka dan akhirnya terbiasa. Lalu mereka memberanikan diri bicara padanya. Ia menjawab dengan dialek yang tak dapat dipahami. Suaranya kencang seperti pelaut. Mereka mengabaikan adanya sayap yang ganjil itu dan merasa sangat yakin bahwa lelaki itu seorang penyintas yang terkoteng-koteng dari suatu kapal asing yang celaka akibat badai. Meski begitu, mereka memanggil seorang perempuan tetangga yang tahu segala hal tentang hidup dan mati supaya menjumpai lelaki itu. Dengan sekali tengok saja perempuan itu meruntuhkan dugaan mereka.

20150918

Persetan dengan Kematian (Alice Walker, 1967)

“Persetan dengan kematian,” kata ayahku. “Anak-anak ini menginginkan Mr. Sweet!”

Mr. Sweet seorang pengidap diabetes, alkoholik, dan pemain gitar. Ia tinggal di ujung jalan dari rumah kami, di sebuah ladang kapas yang telantar. Kakak-kakakku yang paling beruntung dengannya. Mereka mampu menjemputnya kembali dari ambang kematian berkali-kali—kapan pun suara ayahku menggapai-gapainya yang sedang terbaring sekarat. “Persetan dengan kematian, bung,” ayahku akan berkata, sambil mendorong istri Mr. Sweet menjauh dari sisi pembaringan. (Istrinya itu berurai air mata walaupun ia tahu bahwa kematian bukanlah penghabisan kecuali Mr. Sweet benar-benar menginginkannya.) “Anak-anak ini menginginkan Mr. Sweet!” Mereka benar-benar menginginkannya. Begitu ada isyarat dari Ayah, mereka akan mengerubungi tempat tidur dan menghamburkan diri ke selimut. Siapa pun anak yang paling kecil pada waktu itu akan menciumi seluruh wajahnya yang cokelat keriput, dan menggelitiki perutnya sampai ia tertawa. Kumisnya yang panjang dan terjurai akan bergoyang-goyang seperti lumut Spanyol, dan memang begitulah warnanya.

20150909

Dalam Pelukan Kubur (Mahmud Marhun, 2007)

Oh, aku pasti sudah lama sekali tertidur. Tempat ini terasa sempit. Sulit untuk bernapas. Tunggu, biar kunyalakan dulu lampunya. Betapa gelapnya di sini. Dan mengapa aku sulit sekali untuk bernapas? Aduh! Membentur apa kepalaku ini, masak atap rumahnya ambruk menimpaku, bagaimana bisa? Eh, tunggu dulu, biar kupikir sebentar, aku di mana dan tempat apa ini?

Oh! Tampaknya ada orang yang sedang menuju kemari. Sepertinya dia membawa lentera. Tunggu dulu, sepertinya dia bukan temanku. Tidak, aku tidak mengenali orang ini, dan dia juga tidak membawa lampu. Mungkinkah yang datang itu dua orang, dan cahaya dari mana itu? Cahaya apa yang menyala-nyala di atas itu? Sepertinya mereka sedang membicarakanku. Tunggu sebentar. Aku akan bertanya pada mereka.

“Hei kalian, tempat apa ini?”

“Kami tidak akan memberitahumu, tapi cepat atau lambat kau akan mengetahuinya. Kau harus memikirkannya sendiri, mencermati dirimu sendiri sejenak dan kau akan ingat. Kau akan menemukan sendiri jawabannya.”

20150827

Sandi (Ed Park, 2013)


Kau terus mengutak-atik sandimu. Mereka menyampaikan rahasia. Apa yang paling penting bagimu, hal-hal yang menurutmu tak dapat diurai. Kata-kata dan angka-angka yang tersimpan dalam lapisan kalbu.

Nama anak perempuanmu.

Nama anak perempuanmu dibalik.

Nama anak perempuanmu dibalik plus tahun kelahiranmu.

Nama anak perempuanmu dibalik plus dua digit terakhir tahun kelahirannya.

Nama anak perempuanmu dibalik plus tahun sekarang ini.

Mereka terus berganti. Mereka mengabur dalam otak. Setiap hari kau memasukkan tiga atau empat untaian memori ini untuk mengakses laptop rumah, laptop kerja. E-mail, Facebook, surat suara. Akun frequent-flyer. Setiap hari, kau diminta untuk menggantinya sekurang-kurangnya sekali, untuk meningkatkan keamanan. Kau merasa suci saat pengukur tingkat keamanan berubah warna dari merah ke hijau.

20150818

Selendang (Cynthia Ozick, 1980)


Stella, dingin, dingin sedingin neraka. Betapapun mereka melangkahi jalan bersama-sama, Rosa dengan Magda bergelung di antara payudaranya yang nyeri, Magda dalam balutan selendang. Kadang Stella yang membawa Magda. Namun ia iri pada Magda. Seorang gadis kurus berusia empat belas tahun, tubuhnya begitu kecil, dengan sepasang payudara yang tipis, Stella pun ingin dibungkus dalam selendang, tersembunyi, tertidur, terguncang-guncang oleh barisan, menjadi seorang bayi dalam gendongan. Magda meraih puting susu Rosa, sementara Rosa tak henti-henti berjalan, buaian berjalan. Susunya tak cukup; kadang Magda mengisap udara; lalu ia menjerit. Stella begitu kelaparan. Lututnya tumor yang menyembul pada batang kayu, sikunya tulang ayam.

Rosa tak merasa kelaparan; ia merasa ringan, tak seperti orang yang sedang berjalan melainkan seperti orang yang sedang pingsan, tak sadarkan diri, tertawan dalam serangan yang mendadak, orang yang telah menjelma malaikat yang melayang-melayang, siaga dan mengawasi segalanya, namun di udara, tidak di situ, tidak menyentuh jalan. Seakan tengah meniti jalan dengan ujung-ujung kuku jarinya. Ia mengintip wajah Magda melalui sela-sela selendang: seekor bajing dalam sarangnya, aman, tak seorangpun dapat menjangkaunya dalam belitan selendang yang serupa rumah kecil itu. Wajahnya, begitu bundar, bagaikan cermin saku: namun cahaya wajahnya itu tidaklah segelap Rosa, yang sekelam kolera, wajahnya itu sepenuhnya lain, matanya sebiru udara, rambutnya yang lembut hampir sekuning Matahari tersemat dalam mantel Rosa. Bisa saja ia dikira sebagai salah seorang dari bayi mereka.

20150809

Cerita yang Ada Burungnya (Kevin Canty, 2014)


Entah sejak kapan, ia memutuskan bahwa persoalannya adalah kebiasaan minum-minum. Maka kami pun tidak lagi kena masuk angin pada pertengahan Februari. Pada musim dingin itu langit membayangi kota bagaikan atap kelabu yang tak pernah berganti-ganti. Selokan terisi oleh es yang sudah lama dan salju yang menghitam. Barangkali itu suatu kesalahan.

Barangkali itu suatu kesalahan, tapi mungkin juga ia benar. Aku berhenti minum-minum sejak itu karena ada pertimbangan tersendiri. Tapi pada suatu waktu itu menjadi suatu ujian—segalanya memang ujian—seberapa kuat ketahanan kami untuk tetap bersama.

Dan sepanjang musim dingin itu kami berhasil tidak mabuk. Sedikit banyak itu menarik. Awal dari kebiasaan yang baru bagi kami, sejak malam-malam panjang yang diisi dengan minum-minum, tertawa-tawa, bergelut, dan seks. Kami akan makan malam yang sederhana saja dan menyehatkan, lalu menonton film, dan setelahnya seakan tidak ada lagi yang hendak dilakukan. Ia akan bekerja di kantornya yang kecil di lantai bawah, sementara aku ke tempat tidur dan mendengarkan angin di atap, ranting-ranting yang menggaruki kaca jendela. Tentunya keseharian pun jadi lebih baik: tidak pengar, punya banyak energi. Aku akan bangun pukul enam, sebelum fajar, dan ada banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan kami berdua. Ya, sesekali terasa ada penyesalan, tapi lain waktu rasanya seakan kami telah memecahkan suatu persoalan, menjalankan gaya hidup yang baru, menuntaskan suatu hal penting bersama-sama.

20150727

Sekarang Kamu Bisa Menemukan Cinta (Ramona Ausubel, 2014)

 
Kamu kesepian, tapi tidak semestinya kamu merasa begitu. Kamu punya banyak kualitas yang hebat! Bayangkan saja semua wanita lajang di luar sana yang menanti kabar darimu. Apakah kamu mencari cinta abadi atau kesenangan saja, ini satu-satunya panduan kencan daring yang kamu butuhkan. Dalam sejam, kamu akan menuju kebahagiaan abadi.

Mari kita mulai. Ketika membuat nama pengguna, ingatlah bahwa itu harus singkat dan gampang diingat. Sesuaikan dengan pribadimu. Kalau kamu penari, bisa coba: hipdancer21.

Temukan aku di cypclops15. Cyclops 1-14 sudah ada yang pakai.

Sekarang pilihlah kata-kata perkenalan yang akan memikat wanita yang kamu inginkan. Rahasianya: Jadilah yang lain daripada yang lain.

Tinggiku enam meter dan aku punya satu mata yang sangat besar.

Apa saja minatmu? Yang jujur tapi menarik, ya.

20150718

Labirin (Amelia Gray, 2015)


Dale telah membaca banyak tentang mitologi Yunani. Jadi sewaktu ia bilang kalau ada kejutan untuk kami di Jambore Labu yang diadakannya, kami tahu ia tidak main-main. Jambore itu dilangsungkan pada akhir minggu di lahan miliknya dalam rangka mengumpulkan warga kota dan menggalang dana untuk dinas damkar. Acaranya menampilkan hayride[1], melukis wajah, dan cakewalk[2] yang menempati seluruh sisi pelataran, namun labirin jagungnyalah yang paling menjadi sorotan. 

Belum juga ia selesai bersiap-siap, para penggila susur labirin sudah mengantre. Kumasukkan lima dolar ke dalam ember seperti yang lainnya.

“Cuma kali ini labirinnya bukan labirin biasa,” ucap Dale sambil menata bal jerami terakhir di dekat labu-labu yang diambil dari persil. “Labirin yang satu ini benar-benar labirin.”

Bisik-bisik bermunculan. Wanita yang memegang arumanis ingin mengetahui perbedaannya.

20150709

Penggalan: Idle Days in Patagonia (W. H. Hudson, 1893)



[Kesunyian Gurun Pasir]

. . . Jika ada suatu hal serupa ingatan bersejarah dalam diri kita, maka tidaklah aneh bahwa momen terindah dalam hidup—baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan—ialah ketika Alam menghampiri dan mengambil alat musiknya yang terabaikan, lalu memainkan sepenggal melodi purba yang lama tak terdengar di muka bumi.

Barangkali timbul pertanyaan: Jika sewaktu-waktu Alam memberikan pengaruh yang ganjil ini kepada kita, sekonyong-konyong memulihkan harmoni yang telah lama hilang di antara organisme dan lingkungan, mengapa pengalaman itu lebih terasakan di gurun Patagonia ketimbang di tempat-tempat terpencil lainnya—sebuah gurun tanpa air, tempat suara-suara hewan jarang terdengar, dan vegetasinya berwarna kelabu alih-alih hijau? Saya dapat mengajukan satu alasan sehubungan dengan keadaan saya sendiri yang begitu terpengaruh olehnya. Di hutan dan belukar subtropis, begitupula di rimba di wilayah beriklim sedang—apabila kita telah terbiasa mengamatinya—perhatian terpikat oleh vegetasi hijau yang elok, bebungaan dan serangga berwarna cerah, serta nyanyian dan hiruknya kehidupan burung. Ada pergerakan dan kecerahan. Wujud-wujud baru hewan dan tumbuhan terus-menerus bermunculan, membangkitkan rasa ingin tahu dan terkaan. Saking sibuknya pikiran oleh objek-objek baru sampai-sampai keseluruhan pengaruh alam liar tidak begitu terasa. Di Patagonia, monotonnya daratan, luasnya bebukitan rendah, kelabunya semesta yang tak ada habisnya, serta tiadanya wujud-wujud hewan dan objek yang baru bagi mata, membukakan pikiran dan membebaskannya untuk menyambut kesan penampakan alam secara menyeluruh. Pemandangannya menyerupai lautan, sebab terbentang sedemikian jauhnya tanpa peralihan, tanpa batas; namun tanpa kemilau air, corak akibat bayangan dan sinar mentari maupun jauh-dekatnya jarak, serta gerakan ombak dan putihnya buih. Pemandangan itu tampak purba, tandus, damai senantiasa, seakan sudah berupa gurun sejak dahulu kala dan akan tetap gurun selamanya. Kita tahu penghuni manusianya hanyalah segelintir pengembara liar, yang hidup dengan berburu sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur mereka selama ribuan tahun. Selain itu, boleh jadi tidak ada tanda-tanda pendudukan manusia di savana dan pampa yang subur, namun seorang pengelana tahu bahwa pada akhirnya laju pertumbuhan umat manusia akan menyebabkan kedatangan mereka disertai gerombolan dan gembalaan, sehingga tidak akan ada lagi ketandusan dan kesunyiannya yang bahari. Pemikiran ini selayaknya hubungan antar manusia, mengurangi pengaruh dari nuansa alam liar. Di Patagonia, pikiran tidak dapat dipengaruhi oleh gagasan ataupun khayalan untuk mengadakan perubahan-perubahan melalui tangan manusia. Di sana tidak ada air, tanahnya yang kersang berupa pasir dan kerikil—bebatuan koral yang dibentuk oleh tenaga lautan purba, sebelum Eropa ada. Tidak ada yang tumbuh selain benda-benda tandus yang dikasihi alam—onak, semak-semak berkayu, serta berkas-berkas rumput liar yang berpencaran.

20150627

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 5 (Haruki Murakami, 1994)



5

Kecanduan Permen Lemon
*
Burung yang Tidak Bisa Terbang 
dan Sumur yang Tidak Ada Airnya



Sehabis sarapan, aku bersepeda ke binatu dekat stasiun. Pemiliknya seorang lelaki kurus berusia empat puluhan akhir. Ada kerutan yang dalam di dahinya. Ia sedang mendengarkan kaset orkestra Percy Faith dari boom box yang terletak di sebuah rak. Mereknya JVC dan ukurannya besar, dengan pengeras suara tambahan dan setumpuk kaset di sisinya. Orkestra tersebut sedang memainkan “Tara’s Theme”, bagian alat musik geseknya terdengar amat menggairahkan. Pemiliknya itu sendiri sedang berada di belakang toko, sambil bersiul mengiringi musik sementara menyetrika sehelai pakaian. Gerakannya tangkas dan bersemangat. Aku mendekati meja pajangan dan meminta maaf dengan sepatutnya bahwa akhir tahun lalu aku membawa sebuah dasi dan lupa mengambilnya. Dalam dunia kecilnya yang damai pada pukul setengah sepuluh pagi, pemberitahuan itu pasti menyerupai kedatangan seorang kurir pesan yang membawa kabar buruk dalam lakon tragedi Yunani.

“Tiketnya juga tidak ada, ya,” ucapnya, yang entah kenapa terdengar tidak ramah. Bicaranya tidak tertuju padaku, melainkan pada kalender di dinding dekat meja pajangan. Gambar pada bulan Juni menampilkan pegunungan Alpen—lembah yang hijau, sapi-sapi merumput, awan putih bertepi tajam melayang di atas Mont Blanc, atau Materhorn, atau sesuatunya. Lalu ia menatapku dengan raut yang kurang lebih menyatakan, Kalau kamu mau melupakan barang sialan itu, sebaiknya kamu melupakannya sedari dulu! Tatapannya menyentak dan penuh perasaan.

20150618

Pikirili (Fernando Sorrentino, 1982)



Selama beberapa waktu, rak bukuku telah terisi penuh dan sesak. Seharusnya aku memperbesar ukurannya, tapi biaya kayu dan pekerjanya itu mahal, jadi aku menangguhkannya dulu hingga nanti waktunya mendesak. Sementara itu, aku terpaksa mengambil solusi seadanya. Aku menaruh buku-bukuku itu di rumah, karenanya aku berusaha sebaik mungkin supaya ruangan yang sempit ini dapat memuatnya.

Barulah kemudian kusadari kalau buku-buku itu—entahkah disusun secara vertikal ataupun horisontal—menampung debu, serangga, dan sarang laba-laba. Aku tidak ada waktu, kesabaran, ataupun dedikasi untuk membersihkannya secara rutin.

Pada suatu Sabtu yang mendung berbulan-bulan lalu, akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan bukuku satu per satu, membersihkan debunya, dan mengelap rak dengan kain basah.

Di salah satu rak bagian bawah, aku menemukan Pikirili. Meskipun pojok tempat tinggalnya itu berdebu, penampilannya, seperti biasanya, tanpa cela. Namun baru nanti aku menyadarinya. Pada awalnya, bagiku ia terlihat seperti seutas tali sepatu atau secarik kain. Tapi aku salah. Memang seperti itulah Pikirili, dari kepala sampai kaki. Dengan kata lain, seorang pria kecil utuh setinggi lima sentimeter.

20150609

Yang Punya Kuasa (James Thurber, 1942)

Mr. Martin membeli satu pak rokok pada Senin malam di toko paling ramai di Broadway. Pada waktu itu sedang ada pertunjukan teater dan ada sekitar tujuh-delapan orang yang sedang membeli rokok. Karyawannya bahkan tidak menatap Mr. Martin, yang menaruh pak itu di dalam kantong mantelnya dan pergi. Sekiranya ada staf F & S yang melihatnya membeli rokok, mereka akan kaget, sebab biasanya Mr. Martin tidak merokok, dan memang tidak pernah. Tidak ada yang pernah melihatnya merokok.

Saat itu persis seminggu sejak Mr. Martin memutuskan untuk menyingkirkan Mrs. Ulgine Barrows. Ia menyebutnya “menghapus” Mrs. Barrows. Ia suka dengan istilah tersebut sebab tidak menyiratkan sesuatu pun selain memperbaiki suatu kesalahan—dalam hal ini ialah kesalahan Mr. Fitweiler. Mr. Martin telah menghabiskan setiap malam selama seminggu itu untuk menyusun rencananya dan mengkajinya. Sekarang sekembalinya ke rumah ia meninjaunya lagi. Ratusan kali sudah ia merasa gusar karena tidak dapat memperkirakan usahanya itu secara terperinci. Rencana yang disusunnya itu terasa serampangan dan nekat, risikonya sangat besar. Bisa saja terjadi kesalahan. Dan justru di situlah letak kecerdikannya. Tidak seorang pun yang akan melihat adanya peran yang dimainkan Erwin Martin dengan cermat, kepala sebuah departemen di F & S, yang pernah dibicarakan oleh Mr. Fitweiler sebagai demikian, “Orang bisa saja berbuat kesalahan, tapi Martin tidak pernah.” Tidak seorang pun yang akan mendapati perannya, kecuali kalau ia tertangkap basah.

20150527

Lukas Temanku (Fernando Sorrentino, 2008)

Aku punya seorang teman yang mestilah orang paling baik sekaligus paling pemalu di dunia. Namanya rapuh dan kuno (Lukas), dan usianya tingkat menengah (empat puluh tahun). Badannya agak pendek dan ceking, kumisnya tipis, dan malah lebih tipis lagi rambut di kepalanya. Karena penglihatannya kurang bagus, ia memakai kacamata. Kacamatanya kecil, bundar, dan tanpa bingkai.

Ia selalu berjalan menyamping supaya tidak mengganggu orang di sekitarnya. Daripada mengucapkan “permisi”, ia lebih memilih berlalu lewat satu sisi. Apabila celahnya begitu sempit sehingga ia tidak bisa lewat, Lukas menunggu dengan sabarnya sampai penghalangnya bergerak dengan sendirinya. Anjing-anjing dan kucing-kucing yang tersasar membuatnya panik, dan supaya terhindar dari mereka ia terus-terusan menyeberang dari satu sisi jalan ke sisi lainnya.

Ia berbicara dengan suara yang sangat lemah dan halus, saking tidak kedengarannya sampai-sampai sulit diketahui apa ia memang betul-betul sedang berbicara. Ia tidak pernah menyela siapapun. Di sisi lain, ia tidak pernah dapat berbicara lebih dari dua kata tanpa ada yang menyelanya. Sepertinya ini tidak membuatnya jengkel: malah, ia betul-betul terlihat senang dapat mengucapkan dua kata tersebut.

20150518

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 4 (Haruki Murakami, 1994)



4

Menara yang Tinggi dan Sumur yang Dalam
(Atau, Jauh dari Nomonhan)

*

Begitu kembali ke rumah, aku mendapati Kumiko sedang ceria. Sangat ceria. Waktu menunjukkan hampir pukul enam saat aku sampai di rumah setelah menemui Malta Kano, yang artinya tidak ada cukup waktu untuk menyediakan makan malam yang pantas. Sebagai gantinya, kusiapkan masakan sederhana dari bahan-bahan yang kutemukan di kulkas, dan kami sama-sama minum bir. Ia membicarakan pekerjaannya, sebagaimana biasa diperbuatnya kalau suasana hatinya sedang bagus: siapa saja yang ditemuinya di kantor, apa saja yang dikerjakannya, mana saja koleganya yang berbakat dan yang tidak. Hal semacam itu.

Aku mendengarkan dan menanggapinya dengan sepantasnya. Tidak sampai separuh perkataannya itu yang kudengarkan. Bukannya aku tidak suka mendengarkannya bicara tentang berbagai hal. Terlepas dari isi pembicaraannya, aku suka melihatnya bersemangat menceritakan pekerjaannya pada waktu makan malam. Inilah, kucamkankan pada diriku, yang disebut dengan “rumah”. Kami lakukan dengan sepatutnya tanggung jawab yang telah dilimpahkan untuk ditampilkan di rumah. Ia menceritakan pekerjaannya, sementara aku, setelah menyiapkan makan malam, mendengarkan ceritanya. Sangat berbeda dari gambaran akan rumah yang samar-samar kubayangkan sendiri sebelum menikah. Tapi inilah rumah pilihanku. Tentu saja aku sudah punya rumah sedari aku masih kecil. Tapi bukan aku sendiri yang memilihnya. Aku terlahir ke dalamnya, mengenalinya sebagai kenyataan yang tidak bisa kuingkari. Bagaimanapun juga, sekarang aku hidup di dunia yang telah kupilih berdasarkan keinginanku sendiri. Inilah rumahku. Mungkin tidak sempurna, namun sudah pendirianku untuk menerima rumahku beserta segala masalahnya, sebab aku sendiri yang telah memilihnya. Kalau ada masalah, maka hampir pasti asalnya dari diriku sendiri.

20150509

Penggalan: The Wind Birds (Peter Matthiessen, 1973)


. . . Keresahan burung-burung pantai, pertalian mereka dengan jarak dan musim yang lekas berlalu, isyarat pilu dalam suara mereka di sepanjang garis pantai di dunia menjadikan mereka, bagiku, makhluk liar yang paling menggugah. Aku merasa mereka seperti terbuat dari angin, “burung angin”. Bagi pengembara yang bingung dengan burung-burung eksotis, di samping spesimen eksotis dari jenisnya sendiri, barangkali suara burung angin menjadi satu-satunya bebunyian yang dikenal di daratan yang asing, dan sudah berkali-kali aku dibuat senang saat mendapati mereka. Sewaktu menjumpai seekor burung gajahan penggala [Numenius phaeopus] pada suatu hari musim panas yang cerah pada Februari di Tierra del Fuego, aku heran apabila tidak melihat burung yang sama setengah tahun sebelumnya, di rumah. Burung kedidi berbokong putih dan berbintik-bintik serta burung plover emas berperut hitam terdapat di Sagaponack [New York, AS], namun aku dibuat senang pula oleh burung kedidi berbintik-bintik yang memamerkan gayanya berjalan di Amazon dan di tempat yang tinggi seperti Andes (dan begitupula rekan Eurasianya, burung kedidi biasa, di Nil Putih, Galway [Irlandia], dan pegunungan yang jauh sekali di Papua Nugini); lalu pada suatu siang yang terang di Selat Magellan, burung kedidi berbokong putih berlalu di sepanjang pantai secara berkelompok. Aku pernah melihat burung plover emas di tundra Alaska dan ladang tebu di Hawaii, dan mendengar kicauan ribut si perut hitam pada sore hari di pantai laut yang jernih dan berangin dari Yucatán hingga Karang Penghalang Besar.

20150427

Penggalan: Sweetness (Toni Morisson, 2015)

Ini bukan kesalahanku. Kalian tidak bisa menyalahkanku. Bukan aku yang melakukannya dan aku tidak tahu bagaimana terjadinya. Tidak sampai sejam begitu mereka menariknya ke luar dari selangkanganku kusadari ada yang salah. Benar-benar salah. Saking hitamnya ia hingga aku merasa ngeri. Sehitam malam, sehitam orang Sudan. Kulitku cerah, rambutku bagus, selayaknya yang kita sebut dengan high yellow[1], begitu juga ayahnya Lula Ann. Tidak seorangpun di keluargaku yang warnanya begitu. Menurutku warnanya itu nyaris seperti ter, tapi rambutnya tidak cocok dengan kulitnya. Rambutnya lain—lurus tapi berombak, seperti rambut suku-suku telanjang di Australia. Kalian mungkin mengira ia mewarisi sifat-sifat dari leluhurnya, tapi dari leluhur yang mana? Mestinya kalian lihat nenekku; ia dipandang sebagai kulit putih, menikahi seorang pria kulit putih, dan tidak pernah bicara lagi pada anaknya yang manapun. Setiap surat yang diperolehnya dari ibuku atau bibi-bibiku dikirimnya balik tanpa dibuka. Akhirnya mereka mengerti pesan dari tiadanya pesan balasan itu dan melepasnya. Dulu hampir semua tipe mulato dan quadroon[2] melakukannya—ya, tergantung pada rambutnya. Bisakah kalian bayangkan ada berapa banyak orang kulit putih yang diam-diam berdarah Negro? Tebak saja. Katanya sih dua puluh persen. Ibuku sendiri, Lula Mae, bisa saja dipandang sebagai kulit putih, tapi ia memilih tidak. Ia menceritakan padaku harga yang mesti dibayarnya atas keputusan itu. Sewaktu ia dan ayahku ke kantor pengadilan untuk menikah, ada dua Injil, dan mereka harus meletakkan tangan mereka pada Injil yang diperuntukkan bagi orang Negro. Injil yang satunya lagi untuk tangan orang kulit putih. Injil! Percaya tidak? Ibuku pernah menjadi pengurus rumah tangga bagi pasangan kulit putih yang berada. Mereka makan setiap hidangan yang dimasaknya dan menyuruhnya menggosok punggung mereka selagi mereka duduk-duduk di bak mandi, dan Tuhan tahu perbuatan intim apa lagi yang diperintahkan mereka padanya, kecuali menyentuh Injil yang sama.

20150418

On the Road Bagian I Bab 1 (Jack Kerouac, 1957)


Aku pertama kali bertemu Dean tidak lama setelah aku dan istriku berpisah. Aku baru sembuh dari sakit keras dan tidak mau bersusah-susah menceritakannya, selain bahwa itu ada hubungannya dengan perceraianku yang menjemukan lagi tak keruan, serta perasaanku bahwa segalanya sudah berakhir. Dengan hadirnya Dean Moriarty, dimulailah episode dalam hidupku yang dapat disebut sebagai sebuah perjalanan. Sebelumnya aku sering berangan-angan pergi ke Barat untuk melihat-lihat pedalaman, selalu samar-samar merencanakannya, dan tidak pernah berangkat. Dean orang yang sempurna untuk perjalanan ini sebab ia benar-benar lahir di jalanan, sewaktu orangtuanya melewati Salt Lake City pada 1926, di sebuah mobil tua, dalam perjalanan menuju Los Angeles. Cerita tentangnya mula-mula sampai padaku lewat Chad King. Ia memperlihatkan beberapa surat dari Dean yang ditulis dari sebuah sekolah untuk anak-anak nakal di New Mexico. Aku sangat tertarik pada surat-surat itu. Dengan naif dan manisnya ia meminta Chad mengajarinya tentang Nietzsche serta persoalan intelektual hebat lainnya yang diketahui Chad. Sekali waktu aku dan Carlo membicarakan surat-surat itu dan bertanya-tanya akankah kami bertemu dengan Dean Moriarty yang aneh. Kejadiannya sudah lama sekali, sewaktu Dean belum seperti yang sekarang, melainkan bocah tahanan yang diselubungi misteri. Lalu datanglah kabar bahwa Dean keluar dari sekolah itu dan akan mengunjungi New York untuk pertama kalinya; juga selentingan bahwa ia baru menikahi seorang perempuan bernama Marylou.

20150409

Kedatangan Petugas Pajak (Mark Twain, 1875)


Yang pertama-tama menjadi perhatianku sewaktu aku “beristirahat” baru-baru ini ialah seorang pria yang mengaku sebagai juru taksir, istilah yang tidak begitu kumengerti. Kukatakan aku tidak pernah mendengar usaha seperti itu sebelumnya, namun aku senang berjumpa dengannya meskipun—akankah ia duduk? Ia pun duduk. Aku tidak tahu apa yang hendak dibicarakan, sekalipun begitu aku merasa bahwa orang yang telah mencapai kedudukan penting dalam urusan rumah tangga mestilah pandai bercakap, santai, dan ramah dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, karena tidak terpikir hendak membicarakan apa, aku bertanya padanya apa dirinya hendak membuka usaha di sekitar sini.

Ia membenarkan. (Aku tidak ingin terlihat tidak tahu apa-apa, namun tadinya aku berharap ia akan mengatakan apa yang diusahakannya itu.)

Aku cukup berani menanyakan padanya, “Bagaimana penjualannya?” Dan ucapnya, “Lumayan.”

Lalu aku mengatakan kalau kami akan mengunjungi tempat usahanya itu, dan kalau kami tertarik begitu juga yang lainnya, kami akan mampir lagi.

20150327

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 2/2 (Haruki Murakami, 1994)



*

Akibatnya, aku tidak usah lagi mencari wanita itu. Ia yang menemukanku. Begitu sampai di restoran itu, aku berkeliling sebentar, mencari-cari topi warna merah. Tidak ada wanita yang memakai topi warna merah. Jam tanganku menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Aku pun mengambil tempat duduk, meminum air yang dibawakan untukku, dan memesan secangkir teh. Tidak lama setelah pramusaji meninggalkan mejaku, aku mendengar seorang wanita di belakangku berkata, “Anda pasti Bapak Toru Okada.” Kaget, aku pun berbalik. Belum juga tiga menit sejak aku meninjau ruangan itu. Di balik jaketnya yang putih, ia mengenakan blus sutra berwarna kuning, dan topi vinil merah pada kepalanya. Refleks aku berdiri dan menghadapnya. “Cantik” sepertinya kata yang sangat pas untuk dirinya. Setidaknya ia jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan dari suaranya di telepon. Tubuhnya ramping dan indah, sementara dandanannya tipis saja. Ia tahu caranya berpenampilan—kecuali untuk topi merahnya itu. Jahitan pada jaket dan blusnya tampak halus. Pada kerah jaketnya berpendar sebuah bros emas yang berbentuk bulu. Penampilan selebihnya sih tampak mewah, tapi aku tidak mengerti kenapa ia mesti melengkapinya dengan topi vinil merah yang tidak pas itu. Mungkin saja ia selalu mengenakannya untuk memudahkan orang mengenalinya dalam situasi seperti ini. Kalau begitu sih itu bukan gagasan yang buruk. Kalau tujuannya supaya terlihat menonjol dalam ruangan yang penuh orang tak dikenal begini, gagasan itu sudah pasti berhasil.

20150318

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 1/2 (Haruki Murakami, 1994)



3

Topi Malta Kano
*
Sherbet Tone, Allen Ginsberg, dan Prajurit Perang Salib



Aku sedang menyiapkan makan siang ketika telepon berdering lagi. Aku telah mengiris dua lembar roti, mengolesnya dengan mentega dan mostar, mengisinya dengan irisan tomat dan keju, menata semuanya di talenan, dan baru saja akan memotongnya jadi dua sewaktu telepon mulai berdering.

Aku membiarkan telepon itu berdering tiga kali dan memotong roti isinya jadi dua. Lalu aku memindahkannya ke piring, menyeka pisau, dan menaruhnya di laci perabotan, sebelum menuang secangkir kopi yang telah kuhangatkan untuk kuminum sendiri.

Telepon masih saja berdering. Mungkin ada lima belas kali. Aku menyerah dan mengangkatnya. Aku lebih suka tidak menjawabnya, tapi mungkin saja itu Kumiko.

“Halo,” suara seorang wanita yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Bukan suara Kumiko ataupun wanita asing yang meneleponku kapan itu sewaktu aku sedang memasak spageti. “Apa saya sedang berbicara dengan Bapak Toru Okada?” ucap suara itu, seakan-akan yang empunya sedang membacakan sebuah teks.

20150309

Ngengat (Helena Maria Viramontes, 1982)


Usiaku empat belas tahun sewaktu Abuelita[1] meminta bantuanku. Dan sepertinya memang sudah sepantasnya. Abuelita yang menyembuhkanku dari demam tinggi dengan meletakkan, melepaskan, dan mengganti irisan kentang di pelipisku. Ia juga yang menanganiku sewaktu aku mendapat cambukan berkali-kali, patah lengan akibat nekat melompat dari gudang perkakas milik Tio, mengalami pubertas, dan berbohong untuk pertama kalinya. Sungguh, kataku pada Amá, memang sudah sepantasnya.

Bukan berarti aku ini cucu kesayangannya atau sesuatunya yang istimewa. Aku bahkan tidak cantik atau baik hati seperti kakak-kakakku, dan aku tidak pandai mengerjakan hal yang kecewek-cewekkan seperti mereka. Tanganku terlalu besar untuk merajut atau menyulam, dan selalu saja jariku tertusuk atau berkali-kali benangku menyimpul dengan sendirinya sementara kakak-kakakku menertawakanku dan menyebutku si tangan sapi dengan suara mereka yang imut-imut dan bening. Jadi akupun mulai menyimpan kerikil di kaus kakiku dan menimpuk kakak-kakakku atau siapa saja yang menyebutku si tangan sapi. Pernah, sewaktu kami semua sedang duduk-duduk di kamar, aku menyambit dahi Teresa, tepat di atas alisnya dan ia pun lari pada Amá, mulutnya terbuka, tangannya menutupi mata, sementara darah merembes di sela-sela jarinya. Sejak itu aku biasa dicambuki.

20150227

Siasat Bertahan Menghadapi Kalajengking (Fernando Sorrentino, 1982)


Penduduk terkejut, takut, sekaligus jengkel atas masifnya perkembangbiakan kalajengking yang mengancam Buenos Aires, kota yang hingga baru-baru ini bebas sama sekali dari spesies Arachnida yang satu ini.

Mereka yang tidak punya imajinasi telah menggunakan cara yang kelewat tradisional dalam menghadapi kalajengking, yaitu dengan racun. Yang punya imajinasi lebih memasukkan katak, kodok, dan kadal ke rumah, dengan harapan binatang-binatang itu akan mengganyang kalajengking. Kedua kelompok tersebut gagal habis-habisan: kalajengkingnya sama sekali tidak mau menelan racun sementara reptilnya tidak mau melahap kalajengking. Kesembronoan dan kejanggalan cara mereka itu hanya berhasil dalam satu hal: memperbesar—bahkan bisa jadi lebih besar lagi—kebencian yang dirasakan bangsa kalajengking pada seluruh umat manusia.

Aku punya siasat yang lain daripada yang lain. Aku telah mencoba menyebarluaskannya, namun tidak berhasil; seperti yang pada galibnya dialami seorang pelopor, aku salah dimengerti. Dengan segala kerendahan hati, aku yakin siasatku ini bukan saja yang terbaik, melainkan satu-satunya cara yang tepat dalam bertahan menghadapi kalajengking.

20150218

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 2 (Haruki Murakami, 1994)


2

Bulan Purnama dan Gerhana Matahari
*
Tentang Kuda-kuda yang Sekarat di Kandang



Mungkinkah seorang manusia memahami manusia lain seutuhnya?

Kita bisa saja mengerahkan waktu dan energi yang sangat besar untuk mengenal orang lain, tapi pada akhirnya, bisa sampai seberapa dekatkah kita dengan esensi orang itu? Kita yakin mengenal orang itu dengan baik, tapi apakah kita benar-benar tahu apa pun yang penting mengenai siapa pun?

Aku mulai serius memikirkannya seminggu setelah aku berhenti dari pekerjaanku di biro hukum. Hingga waktu itu, belum pernah aku—seumur-umur belum pernah—bergelut dengan pertanyaan seperti ini. Dan kenapa seperti itu? Mungkin karena selama ini aku sibuk dengan hidupku sendiri. Aku benar-benar sibuk memikirkan diriku sendiri saja.

Pemicunya sepele saja, seperti yang terjadi pada kebanyakan peristiwa penting di dunia ini. Suatu pagi setelah Kumiko terburu-buru sarapan dan pergi bekerja, aku memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, merapikan tempat tidur, mencuci piring, dan menyedot debu. Lalu, ditemani si kucing, aku duduk di beranda sambil melihat-lihat kolom iklan. Siangnya, aku makan siang dan pergi ke supermarket. Di sana aku membeli bahan makanan untuk makan malam dan, dari meja obralan, deterjen, tisu, serta kertas toilet. Kembali di rumah, aku menyiapkan makan malam dan merebahkan diri di sofa bersama buku, sambil menunggu Kumiko pulang.

20150209

Kembali ke Asal (Fernando Sorrentino, 1987)

Aku cenderung menerima begitu saja gagasan apa pun yang dikemukakan oleh sosiolog atau psikoanalis di acara televisi. Seorang pria berkacamata dan berjenggot sembari mengepulkan asap dari cangklongnya menyatakan dengan suara tinggi dan tak dapat disangkal lagi bahwa manusia modern telah menjadi objek, dan bahwa sedikit demi sedikit masyarakat konsumen telah melahap mereka.

Aku menjadi ketakutan dan sebuah proses mental yang memusingkan—yang tak ada gunanya dijelaskan, namun dapat dibayangkan dengan mudah—mendorongku untuk cepat-cepat mematikan televisi dan bergegas ke toko sepeda Suasorio Hermanos di lingkungan perumahanku di Villa Urquiza. Entah ada berapa orang Suasorio bersaudara itu sebab di toko hanya ada seorang lelaki sangat kurus dengan tulang pipi yang tinggi. Ia ternyata cerdas, efisien, dan sigap.

Sewaktu menawarkan sepeda kepadaku, caranya menyampaikan kalimat seperti seorang guru menjelaskan pada muridnya:

20150127

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 3/3 (Haruki Murakami, 1994)


Lama sekali gadis itu baru kembali, dengan Coca Cola di tangannya. Aku mulai kepanasan. Duduk di bawah matahari membuat otakku serasa berkabut. Hal terakhir yang ingin kuperbuat adalah berpikir.

“Menurutmu,” ucapnya, mengangkat kembali pembicaraan semula. “Kalau kamu jatuh cinta dengan seorang gadis dan ternyata dia punya enam jari, bagaimana reaksimu?”

“Menjualnya ke sirkus,” jawabku.

“Serius?”

“Tidak, tentu saja tidak,” sanggahku. “Aku becanda. Kukira aku tidak bakal terganggu.”

“Sekalipun anak-anakmu mungkin saja mewarisinya?”

Aku memikirkannya sejenak.

“Tidak, sepertinya aku betulan tidak bakal terganggu. Apa salahnya punya jari tambahan?”

“Bagaimana kalau dia punya empat payudara?”
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...