Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20150518

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 4 (Haruki Murakami, 1994)



4

Menara yang Tinggi dan Sumur yang Dalam
(Atau, Jauh dari Nomonhan)

*

Begitu kembali ke rumah, aku mendapati Kumiko sedang ceria. Sangat ceria. Waktu menunjukkan hampir pukul enam saat aku sampai di rumah setelah menemui Malta Kano, yang artinya tidak ada cukup waktu untuk menyediakan makan malam yang pantas. Sebagai gantinya, kusiapkan masakan sederhana dari bahan-bahan yang kutemukan di kulkas, dan kami sama-sama minum bir. Ia membicarakan pekerjaannya, sebagaimana biasa diperbuatnya kalau suasana hatinya sedang bagus: siapa saja yang ditemuinya di kantor, apa saja yang dikerjakannya, mana saja koleganya yang berbakat dan yang tidak. Hal semacam itu.

Aku mendengarkan dan menanggapinya dengan sepantasnya. Tidak sampai separuh perkataannya itu yang kudengarkan. Bukannya aku tidak suka mendengarkannya bicara tentang berbagai hal. Terlepas dari isi pembicaraannya, aku suka melihatnya bersemangat menceritakan pekerjaannya pada waktu makan malam. Inilah, kucamkankan pada diriku, yang disebut dengan “rumah”. Kami lakukan dengan sepatutnya tanggung jawab yang telah dilimpahkan untuk ditampilkan di rumah. Ia menceritakan pekerjaannya, sementara aku, setelah menyiapkan makan malam, mendengarkan ceritanya. Sangat berbeda dari gambaran akan rumah yang samar-samar kubayangkan sendiri sebelum menikah. Tapi inilah rumah pilihanku. Tentu saja aku sudah punya rumah sedari aku masih kecil. Tapi bukan aku sendiri yang memilihnya. Aku terlahir ke dalamnya, mengenalinya sebagai kenyataan yang tidak bisa kuingkari. Bagaimanapun juga, sekarang aku hidup di dunia yang telah kupilih berdasarkan keinginanku sendiri. Inilah rumahku. Mungkin tidak sempurna, namun sudah pendirianku untuk menerima rumahku beserta segala masalahnya, sebab aku sendiri yang telah memilihnya. Kalau ada masalah, maka hampir pasti asalnya dari diriku sendiri.

“Jadi bagaimana kucingnya?” tanyanya. Kuringkas pertemuanku dengan Malta Kano tadi di hotel di Shinagawa. Kuceritakan tentang dasi polkadotku yang tidak ada di manapun di lemari pakaian. Bahwa meskipun begitu Malta Kano dapat menemukanku di restoran yang ramai itu. Bahwa caranya unik dalam berpenampilan dan berbicara, dan aku pun menerangkannya. Kumiko senang mendengar soal topi vinil merah Malta Kano, tapi begitu aku tidak bisa memberi jawaban yang jelas mengenai keberadaan kucing kami yang hilang, ia menjadi sangat kecewa.

“Lalu dia juga tidak tahu di mana kucingnya?” desak Kumiko. “Yang bisa diberitahukannya padamu cuma kucing itu sudah tidak berada di perumahan kita lagi?”

“Itu saja,” kataku. Aku putuskan untuk tidak mengatakan apa-apa soal “aliran yang terhambat” di tempat tinggal kami ini atau bahwa ini mungkin saja ada hubungannya dengan hilangnya kucing itu. Aku tahu itu akan meresahkan Kumiko, dan aku sendiri tidak ingin menambah-nambah keresahan yang sudah ada. Kami akan benar-benar dalam masalah kalau Kumiko sampai memaksa pindah karena rumah kami ternyata “tempat yang buruk”. Dengan kondisi ekonomi kami sekarang ini, mustahil kalau kami mau pindah rumah.

“Itu saja yang dia sampaikan padaku,” kataku. “Kucing itu sudah tidak di sekitar sini lagi sekarang.”

“Berarti dia tidak akan pernah pulang lagi?”

“Entahlah,” jawabku. “Dia itu serba tidak jelas. Yang dia sampaikan cuma bayangan sepintas-sepintas saja. Tapi dia bilang akan menghubungiku kalau ada informasi lagi.”

“Kamu percaya sama dia?”

“Siapa tahu? Aku tidak tahu apa-apa soal yang begituan.”

Aku menuang bir lagi dan mengamati bagian atasnya menurun. Kumiko menaruh sikunya di meja, dan menopang dagunya dengan tangan.

“Mestinya dia sudah memberitahumu kalau dia tidak menerima bayaran atau pemberian apa-apa,” ucapnya.

“Eh-heh. Jelas itu kelebihannya,” ujarku. “Jadi apa masalahnya? Dia tidak bakal mengambil uang kita, dia tidak bakal merampas jiwa kita, dia tidak bakal menculik sang putri. Kita tidak bakal rugi apa-apa.”

“Ada satu hal yang kamu perlu mengerti,” ucap Kumiko. “Kucing itu penting sekali  bagiku. Atau baiknya kukatakan, bagi kita. Kita menemukannya pada minggu setelah kita menikah. Bersama-sama. Kamu ingat?”

“Tentu saja aku ingat.”

“Dia mungil sekali, basah kuyup kena hujan. Waktu itu aku keluar untuk menjemputmu di stasiun sambil membawa payung. Bayi kecil yang malang. Kita melihatnya sewaktu pulang. Ada yang membuangnya dalam kotak bir di samping toko miras. Itu pertama kalinya aku punya kucing. Dia penting bagiku, sudah seperti simbol. Dia tidak mungkin pergi begitu saja.”

“Tidak usah khawatir. Aku mengerti kok.”

“Jadi di mana dia? Sekarang sudah sepuluh hari dia menghilang. Itu sebabnya aku menelepon abangku. Kupikir dia mungkin kenal dengan cenayang, penerawang, atau sesuatunya, yang bisa menemukan kucing hilang. Aku mengerti kamu tidak suka minta bantuan apa-apa pada abangku, tapi dia kan menuruti jejak ayahku. Dia tahu banyak yang semacam itu.”

“Ah, iya, tradisi keluarga Wataya,” aku mengucapkannya setenang angin malam yang mengarungi pantai. “Tapi apa sih hubungan di antara Noboru Wataya dan wanita ini?”

Kumiko mengangkat bahu. “Aku yakin wanita itu cuma kebetulan saja dijumpainya. Akhir-akhir ini sepertinya dia berhubungan dengan banyak orang.”

“Pastinya.”

“Dia bilang wanita itu punya kemampuan ajaib tapi orangnya memang agak aneh.” Kumiko memainkan kaserol makaroninya. “Siapa namanya tadi?”

“Malta Kano,” ujarku. “Dia pernah menjalankan semacam gaya hidup religius di Malta.”

“Begitulah. Malta Kano. Menurutmu dia orangnya bagaimana?”

“Sulit bilangnya.” Kupandangi kedua tanganku yang rebah di meja. “Setidaknya dia tidak membosankan. Dan justru itu bagusnya. Maksudku, dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak terjelaskan, dan mestilah ada orang yang mengisi kekosongan itu. Lebih baik kalau orangnya tidak membosankan. Betul tidak? Seperti Pak Honda, misalnya.”

Kumiko terbahak-bahak sewaktu Pak Honda disebut. “Dia kakek-kakek yang ajaib sekali, iya, kan? Aku senang sekali dengannya.”

“Aku juga,” kataku.

*

Selama sekitar setahun setelah kami menikah, aku dan Kumiko biasa mengunjungi rumah Pak Honda sebulan sekali. Ia seorang praktisi alam gaib, salah seorang perantara favorit keluarga Wataya, tapi pendengarannya buruk sekali. Dengan alat bantu dengar sekalipun ia hampir tidak dapat menangkap perkataan kami. Kami harus berteriak sekeras-kerasnya sampai suara kami menggetarkan kertas shoji-nya. Kadang aku penasaran apa mungkin dengan pendengarannya yang buruk itu ia dapat mendengar yang dikatakan makhluk gaib kepadanya. Tapi barangkali cara kerjanya begini: semakin buruk pendengaran telinganya, semakin baik ia dapat mendengar perkataan makhluk gaib. Pendengarannya rusak sewaktu ia turut dalam perang. Ia menjadi bintara dalam garnisun Jepang di Manchuria, Tentara Kwantung. Gendang telinganya pecah saat ada meriam artileri, granat tangan, atau sesuatunya meledak di dekatnya sementara pertempuran dengan unit campuran Soviet-Mongolia Luar di Nomonhan, perbatasan antara Mongolia Luar dan Manchuria.

Kunjungan kami ke tempatnya Pak Honda bukan karena didorong kepercayaan akan kemampuan spiritualnya. Aku tidak pernah tertarik dengan hal begituan, sementara Kumiko kurang menaruh kepercayaan pada persoalan supranatural dibandingkan dengan kedua orangtuanya ataupun abangnya. Memang ia agak percaya takhayul dan bisa galau gara-gara ramalan buruk, tapi tidak pernah sampai melibatkan diri dalam urusan spiritual.

Kami mengunjungi Pak Honda hanya karena disuruh oleh ayahnya Kumiko. Itu syarat yang ditentukannya untuk pernikahan kami. Memang, syaratnya itu agak ganjil, tapi kamimenurut saja untuk menghindari masalah. Kami tidak mengharapkan hubungan dengan keluarganya itu akan mudah. Ayahnya pejabat pemerintahan. Sebagai putra termuda dari keluarga petani yang tidak begitu berada di Niigata, ia berkuliah di Universitas Tokyo yang prestisius dengan beasiswa, lulus dengan penghargaan, dan menjadi warga elite di Kementerian Transportasi. Menurutku semuanya itu mengagumkan. Tapi sebagaimana lazimnya orang yang sukses dengan jalan seperti itu, ia arogan dan terlalu mementingkan diri sendiri. Ia terbiasa memerintah, dan sama sekali tidak meragukan nilai-nilai dalam dunia yang dimilikinya. Baginya, hierarki itu segalanya. Ia membungkuk pada kekuasaan yang lebih tinggi tanpa kesangsian, dan menginjak-injak yang di bawahnya tanpa keraguan. Baik Kumiko maupun diriku tidak yakin orang sepertinya akan menyetujui lelaki miskin berusia dua puluh empat tahun yang bukan siapa-siapa seperti diriku, tanpa jabatan, silsilah, atau derajat yang tinggi, pun masa depan yang menjanjikan sebagai pasangan hidup putrinya. Kami membayangkan, setelah ditampik kedua orangtuanya, kami akan menjalankan sendiri pernikahan kami dan hidup tanpa berurusan dengan mereka sama sekali.

Tapi, masih kulakukan hal yang benar. Aku datang untuk melamar Kumiko secara resmi pada orangtuanya. Tidak saja sambutan mereka dingin terhadapku. Rasanya seakan-akan semua pintu kulkas di dunia ini dibuka seketika.

Pada akhirnya mereka memberi izin kepadaku, walau dengan keengganan namun hampir seperti keajaiban. Itu sepenuhnya berkat Pak Honda. Ia menanyakan pada mereka segala hal yang mereka telah pelajari tentang diriku. Pada akhirnya ia menerangkan bahwa kalau putri mereka hendak menikah, maka akulah pasangan yang terbaik untuknya. Itu kalau memang aku yang ingin dinikahinya. Konsekuensinya bakal buruk kalau pasangan itu ditentang. Pada waktu itu orangtua Kumiko sepenuhnya yakin pada Pak Honda. Jadi, apa boleh buat, diterimalah diriku sebagai suami putri mereka.

Meski begitu, pada akhirnya aku selalu menjadi orang asing, tamu tak diundang. Aku dan Kumiko akan mengunjungi rumah mereka dan makan malam bersama secara teratur setiap dua kali sebulan. Ini pengalaman yang benar-benar memuakkan, rasanya seperti berada persis di tengah-tengah aib yang tak berarti dan siksaan yang keji. Sepanjang hidangan disajikan, aku merasa meja ruang makan mereka sepanjang rel kereta api. Mereka makan dan mengobrolkan sesuatu di ujung satunya, sementara aku berada begitu jauh dari mereka sampai-sampai tidak kelihatan. Ini terus berlangsung selama setahun, hingga terjadi pertengkaran hebat antara aku dan ayah Kumiko, dan setelahnya kami tidak pernah berjumpa lagi. Kebebasan ini rasanya nyaris luar biasa menggembirakan. Tidak ada yang begitu menghabisi seseorang selain usaha yang sia-sia.

Meski begitu, untuk sementara setelah kami menikah, aku sungguh-sungguh mengerahkan diri untuk menjaga hubungan di antara kami atas dasar yang baik. Dan tidak diragukan lagi, kunjungan bulanan ke Pak Honda menjadi usaha yang paling tidak mengilukan.

Semua biaya untuk Pak Honda ditanggung ayah Kumiko. Kami tinggal mengunjungi rumah Pak Honda di Meguro sebulan sekali dengan sebotol besar sake, mendengarkan yang dikatakannya pada kami, lalu pulang. Simpel.

Dengan segera kami menyukai Pak Honda. Ia lelaki tua yang ramah, yang wajahnya akan bersinar kapanpun melihat sake yang kami bawakan untuknya. Kami menyukai segala hal menyangkut dirinya—kecuali mungkin pada kebiasaannya membunyikan televisi keras-keras karena pendengarannya yang terganggu itu.

Kami selalu mengunjungi rumahnya pagi-pagi. Pada musim dingin dan musim panas, ia duduk sementara kakinya di bawah meja pemanas. Pada musim dingin ia membungkus pinggangnya dengan selimut kapas untuk menahan panas dari api arang. Pada musim panas selimut dan apinya tidak digunakan. Sebetulnya ia cenayang yang cukup ternama, tapi hidupnya sangat sederhana—bahkan asketis. Rumahnya kecil. Ruang depannya mungil sampai-sampai orang hampir tidak leluasa kalau hendak menalikan ataupun mengurai tali sepatunya di situ. Alas tatami pada lantainya sudah sangat usang. Kaca jendela yang pecah hanya direkatkan dengan isolasi. Di seberang jalan kecil pedesaan itu berdiri sebuah bengkel reparasi mobil. Dari situ selalu saja terdengar suara orang berteriak sekencang-kencangnya. Pak Honda mengenakan kimono yang gayanya perpaduan antara jubah tidur dan jaket pekerja tradisional. Tidak ada tanda-tanda baju itu pernah dicuci. Ia tinggal sendirian saja dan ada seorang wanita yang datang untuk memasak dan bersih-bersih. Meski begitu, karena sebab tertentu, ia tidak membolehkan wanita itu mencuci jubahnya. Jambang putih yang kasar menjuntai di pipinya yang cekung.

Kalaupun ada sesuatu di rumah Pak Honda yang bisa dianggap menarik, benda itu berupa satu set televisi berwarna yang besar sekali. Di rumah semungil itu, kehadiran benda raksasa itu terasa berlebihan. Televisi itu selalu menayangkan jaringan NHK, yang disokong pemerintah. Entah karena ia menyukai NHK, atau tidak mau bersusah-susah mengganti salurannya, atau ini alat khusus yang hanya mampu menangkap NHK, aku tidak tahu, tapi NHK saja yang ditontonnya. Alih-alih karangan bunga atau gulungan kaligrafi, ruang kecil untuk upacara di bagian tengah rumah itu malah diisi satu set televisi raksasa. Pak Honda selalu duduk menghadapnya seraya menggerak-gerakkan tongkat ramalan di atas meja pemanas, sementara NHK terus memperdengarkan acara memasak, petunjuk merawat bonsai, berita terbaru, dan diskusi politik.

“Pekerjaan hukum bisa jadi tidak tepat untukmu, anakku,” ucap Pak Honda suatu hari, entah padaku atau pada orang yang jauhnya dua puluh meter di belakangku.

“Begitu, ya?”

“Ya, bisa jadi. Pada akhirnya, hukumlah yang mengatur banyak hal di dunia ini. Dunia tempat bayangan adalah bayangan dan cahaya adalah cahaya, yin adalah yin dan yang adalah yang, aku adalah aku dan dia adalah dia. ‘Aku diriku/Dia dirinya:/Malam musim gugur’. Tapi kau tidak termasuk dalam dunia itu, anakku. Duniamu adalah di atasnya atau di bawahnya.”

“Yang mana yang lebih baik?” tanyaku, agak penasaran. “Yang di atas atau yang di bawah?”

“Bukan soal mana yang lebih baik,” ujarnya. Setelah serangan batuk singkat yang tiba-tiba, ia meludahkan segumpal dahak ke tisu dan mengamatinya dari dekat lalu menggumpalkan tisu itu dan membuangnya ke keranjang sampah. “Bukan soal mana yang lebih baik atau lebih buruk. Intinya, yaitu, jangan lawan alirannya. Naiklah kalau kau mesti naik dan turunlah kalau kau mesti turun. Kalau kau mesti naik, temukanlah menara yang paling tinggi dan dakilah sampai puncaknya. Kalau kau mesti turun, temukanlah sumur yang paling dalam dan turunlah ke dasarnya. Kalau tidak ada alirannya, ya diam saja. Kalau kau lawan alirannya, semuanya berhenti. Kalau semuanya berhenti, dunia jadi gelap. ‘Aku dirinya/Dia diriku:/Senjakala musim semi’. Serahkan diri, dan itulah dirimu.”

“Apa sekarang ini alirannya sedang tidak ada?” tanya Kumiko.

“Bagaimana?”

“APA SEKARANG INI ALIRANNYA SEDANG TIDAK ADA?” Kumiko berteriak.

“Alirannya sekarang tidak ada,” kata Pak Honda sambil mengangguk-angguk sendiri. “Sekarang waktunya untuk berdiam saja, jangan berbuat apa-apa. Berhati-hati saja dengan air. Entah kapan pada masa depan, anak muda ini mungkin akan sungguh-sungguh menderita karena air. Air yang hilang dari tempat semestinya berada. Air yang berada di tempat yang tidak semestinya. Bagaimanapun juga, berhati-hatilah sekali dengan air.”

Di sampingku, Kumiko mengangguk dalam-dalam, namun bisa kulihat ia sedang berjuang mati-matian supaya tidak tertawa. “Airnya seperti apa?” tanyaku.

“Tidak tahu,” kata Pak Honda. “Air.”

Di televisi, seorang profesor dari suatu universitas sedang menyampaikan bahwa kacaunya pemakaian tata bahasa Jepang di kalangan masyarakat berhubungan erat dengan kacaunya gaya hidup mereka. “Lebih tepatnya, tentu saja, kita tidak bisa menyebutnya kekacauan. Tata bahasa itu seperti udara. Orang yang di atas bisa saja berusaha menetapkan aturan menggunakannya, tapi orang tidak mesti menurutinya.” Kedengarannya menarik, tapi Pak Honda malah melanjutkan berbicara tentang air.

“Sebenarnya, aku pernah menderita karena air,” ucapnya. “Tidak ada air di Nomonhan. Garis depan kocar-kacir, dan perbekalan terputus. Tidak ada air. Tidak ada ransum. Tidak ada perban. Tidak ada peluru. Mengerikan. Orang-orang penting di garis belakang cuma tertarik pada satu hal, yaitu menduduki wilayah secepatnya. Tidak ada yang memikirkan perbekalan. Selama tiga hari, aku hampir tidak minum sama sekali. Kalau kita menaruh gombal di luar, kainnya akan basah karena embun pagi. Kita bisa memerasnya sehingga ada beberapa tetes yang bisa diminum, tapi cuma itu. Tidak air lainnya sama sekali. Aku ingin mati saja, ingin sekali. Kehausan seperti itu hal paling buruk di dunia ini. Aku sudah siap mati dan pasang peluru. Orang-orang yang perutnya tertembak menjerit-jerit minta air. Beberapa sampai gila gara-gara kehausan. Tempat itu benar-benar neraka. Kami bisa melihat ada sungai besar mengalir tepat di depan kami. Airnya cukup untuk semua orang. Tapi kami tidak bisa ke sana. Di antara kami dan sungai itu ada sebaris tank Soviet yang besar sekali dengan pelontar api. Senapan mesin siap tempur kelihatan seperti bantalan peniti. Para penembak jitu bersiaga di daratan yang tinggi. Mereka melepas suar malam-malam. Sedangkan yang kami miliki cuma senapan infanteri Model 38 dengan pelurunya masing-masing ada 25. Sekalipun begitu, banyak dari kawan-kawanku itu yang tetap ke sungai. Mereka sudah tidak tahan lagi. Tidak ada yang kembali. Semuanya tewas. Jadi mengerti kan, kalau kita harus tetap diam, ya diam saja.”

Ia menarik secarik tisu, mengeluarkan ingusnya keras-keras, dan memeriksa hasilnya sebelum menggumpalkan tisu itu dan membuangnya ke keranjang sampah.

“Menunggu alirannya bergerak itu bisa jadi sulit,” ucapnya, “tapi kalau kau harus menunggu, ya kau harus menunggu. Sementara itu, anggaplah dirimu sedang mati.”

“Maksud Bapak, sekarang ini saya sebaiknya mati saja?” tanyaku.

“Bagaimana?”

“MAKSUD BAPAK, SEKARANG INI SAYA SEBAIKNYA MATI SAJA?”

“Begitulah, anakku. ‘Mati satu-satunya jalan/Bagimu melayang lepas:/Nomonhan’.”

Ia lanjut membicarakan Nomonhan selama sejam berikutnya. Kami duduk saja dan mendengarkan. Kami disuruh “menerima ajarannya”, tapi selama setahun kunjungan bulanan kami ke tempatnya, ia hampir-hampir tidak pernah memberikan “ajaran” untuk kami “terima”. Ia jarang menampakkan penerawangan. Yang dibicarakannya hanya Peristiwa Nomonhan: bagaimana selongsong meriam meledakkan separuh tengkorak letnan di sebelahnya, bagaimana dirinya melompati sebuah tank Soviet dan membakarnya dengan bom Molotov, bagaimana mereka memojokkan dan menembaki seorang pilot Soviet yang terjatuh. Semua kisahnya memikat, bahkan mencekam, tapi sebagaimana lazimnya, dengarkanlah sampai tujuh-delapan kali dan semua kisah itu pun kehilangan daya tariknya. Bukan juga karena ia sekadar “menceritakan” kisahnya itu. Ia meneriakkannya. Seakan-akan ia sedang berdiri di pinggir tebing pada cuaca berangin, sambil berteriak-teriak pada kami melintasi jurang yang dalam. Rasanya seperti menonton film Kurosawa lawas di bangku paling depan dalam bioskop yang tempat duduknya disusun menurun. Setelah meninggalkan rumahnya, sesaat kuping kami jadi pengang.

Meski begitu kami—atau setidaknya diriku—menikmati kisahnya itu. Kebanyakan kisahnya itu berdarah-darah, namun karena datangnya dari mulut seorang lelaki sepuh yang sedang sekarat dan mengenakan jubah tua dekil, rincian pertempuran itu kedengarannya jadi seolah tidak nyata, lebih seperti dongengan. Hampir separuh abad lalu, unit Pak Honda berjuang dalam pertempuran sengit di alam liar yang tandus di perbatasan Manchuria-Mongolia. Sebelum mendengarnya dari Pak Honda, aku nyaris tidak tahu apa-apa soal pertempuran Nomonhan. Padahal itu pertempuran yang besar. Hampir dengan tangan kosong, mereka menghadapi angkatan bersenjata Soviet yang lebih unggul, dan mereka pun ditumpas. Satu per satu unit diceraiberaikan, dihancurkan. Ada beberapa perwira yang dengan inisiatif sendiri memerintahkan pasukan agar mundur untuk menghindari penumpasan. Atasan mereka memaksa agar mereka bunuh diri saja. Banyak dari pasukan yang ditangkap oleh Soviet itu menolak untuk ikut dalam pertukaran tawanan seusai perang, sebab mereka takut diadili telah membelot terhadap musuh. Mereka pun berakhir dengan mendermakan tulang-belulang mereka pada bumi Mongolia. Setelah kehilangan pendengarannya, Pak Honda dikirim pulang dengan pemberhentian secara terhormat. Ia pun menjadi praktisi alam gaib.

“Mungkin memang itu yang terbaik,” ucapnya. “Seandainya pendengaranku tidak rusak, mungkin aku bakal sudah mati di Pasifik selatan. Itulah yang terjadi pada banyak pasukan yang selamat dari Nomonhan. Nomonhan itu aib besar bagi Militer Kerajaan, jadi orang-orang yang selama itu dikirim ke tempat kemungkinan besar mereka akan terbunuh. Para komandan perwira yang membikin kekacauan di Nomonhan itu lalu memiliki karier yang terhormat di komando pusat. Sebagian di antara para bajingan itu bahkan menjadi politisi sesudah perang. Tapi mereka yang telah memperjuangkan jiwa bagi orang-orang itu malah hampir semuanya dihabisi.”

“Kenapa ya Nomonhan itu malah dianggap aib oleh militer?” tanyaku. “Semua pasukannya bertempur dengan gagah berani, dan banyak yang mati, betul? Kenapa yang selamat kok malah diperlakukan dengan buruk?”

Tapi Pak Honda sepertinya tidak mendengar pertanyaanku. Ia menggerak-gerakkan dan menggemeretakkan tongkat ramalannya. “Sebaiknya kau berhati-hatilah dengan air,” ujarnya.

Dan berakhirlah pertemuan hari itu.

*

Setelah perseteruanku dengan ayah Kumiko, kami berhenti mengunjungi rumah Pak Honda. Mustahil bagiku terus mengunjunginya, karena menyadari itu dibayari ayah mertuaku, sedangkan untuk membayarnya sendiri kami tidak sanggup. Pada waktu itu kami hampir selalu berjaga-jaga kalau berada di dekat air. Pada akhirnya, kami melupakan Pak Honda, sebagaimana lazimnya kaum muda yang sibuk cenderung melupakan yang tua-tua.

*

Malam itu di tempat tidur, aku terus memikirkan Pak Honda. Baik dirinya maupun Malta Kano pernah berbicara tentang air padaku. Pak Honda memperingatkanku agar berhati-hati. Malta Kano menjalani laku berkaitan dengan penelitiannya tentang air di pulau Malta. Mungkin ini kebetulan saja, tapi keduanya sama-sama menyangkut soal air. Sekarang aku mulai merasa risau karenanya. Aku beralih membayangkan medan pertempuran di Nomonhan. Tank-tank Soviet dan senapan-senapan mesin. Aliran sungai yang jauh dari jangkauan. Haus yang tidak tertahankan. Dalam kegelapan, kudengar suara sungai itu.

“Toru,” ucap Kumiko pelan, “masih bangun?”

“Eh-heh.”

“Soal dasi itu. Aku baru ingat. Aku membawanya ke binatu waktu Desember. Dasi itu harus disetrika. Sepertinya aku kelupaan.

“Desember? Kumiko, itu kan lebih dari enam bulan yang lalu!”

“Aku tahu. Dan kamu tahu kan aku tidak pernah sampai kelupaan begitu. Dasinya bagus, pula.” Disentuhnya bahuku. “Aku membawanya ke binatu di dekat stasiun. Kira-kira mereka masih menyimpannya tidak, ya?”

“Besok aku keluar deh. Mungkin saja masih ada.”

“Kenapa menurutmu begitu? Enam bulan itu kan lama. Biasanya binatu akan membuang barang yang tidak diambil sampai tiga bulan. Mereka bisa saja seperti itu. Begitu aturannya. Menurutmu dasi itu masih ada di sana?”

“Malta Kano bilang aku akan menemukannya. Di suatu tempat di luar rumah.”

Bisa kurasakan tatapannya padaku dalam gelap.

“Maksudmu kamu percaya perkataannya?”

“Sedang kucoba.”

“Bisa-bisa sebentar lagi kamu dan abangku jadi kompak,” ujarnya gembira.

“Mungkin saja,” kataku.



Aku masih memikirkan medan pertempuran Nomonhan setelah Kumiko terlelap. Semua prajurit sedang tidur di sana. Di atasnya langit dipenuhi bintang-bintang. Jutaan jangkrik mengerik. Kudengar suara sungai itu, dan tertidur sementara mendengarkan alirannya.[]



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...