Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita [1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi k...

20191227

The Moneyless Manifesto: Kepemilikan tanah (Mark Boyle, 2012)

Karena dibesarkan dalam peradaban modern, amatlah mudah untuk memercayai bahwa Bumi yang kita tinggali ini selalu ada yang memiliki, dan untuk hidup orang selalu harus memiliki uang. Itulah kebudayaan tempat kita dilahirkan, sehingga hanya itulah yang kita ketahui. Namun kepemilikan pribadi merupakan karangan manusia yang relatif modern. Dulu lahan bebas dijelajahi semua orang. Kemudian lahan dikelola bersama-sama oleh rakyat biasa. Sekarang lahan dimiliki oleh sedikit orang—1% memegang 70%[1] lahan.
Kisah tentang rakyat biasa dan lahan berpagar dibahas secara terperinci oleh penulis seperti Simon Fairlie[2]. Karena sebagian bahasan ini berkait dengan kehidupan tanpa uang, saya akan membicarakannya hanya sejauh yang berkaitan.
Hingga periode Tudor[3], sebagian besar lahan dikelola bersama-sama. Rakyat biasa mencari nafkah dari lahan ini serta memeliharanya bagi kepentingan mereka dan semua orang. Keputusan untuk memagari lahan ini mengakibatkan perpindahan banyak penduduk desa serta pengalihan lahan pertanian menjadi padang penggembalaan. Manusia pun digantikan oleh domba. Setelah beberapa lama, para pengungsi ini—kita—dipaksa untuk menjadi domba itu sendiri, harus angkat kaki ke kota-kota besar serta menyerahkan jiwa raga mereka bagi kemajuan revolusi industri.

20191220

The Moneyless Manifesto: Kecanduan industrialisasi (Mark Boyle, 2012)

Kecanduan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Perhatikan saja pecandu heroin atau alkohol untuk memahami betapa kecanduan dapat menguasai serta melemahkan orang. Pecandu alkohol yang menyadari bahwa mereka memiliki masalah mengetahui bahwa hidup mereka akan jauh lebih baik tanpa minuman keras. Sebagian besar pecandu alkohol mengetahui bahwa minuman keras merusak segala hubungan berharga dalam hidup mereka, sebagian bahkan mengetahui bahwa barang itu pada akhirnya akan membunuh mereka kecuali kalau mereka berhenti. Walaupun meminum alkohol tidak membahagiakan, mereka tetap tidak bisa menghentikannya.
Kini kita telah menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang tiada henti menjadikan planet Bumi tidak layak huni bagi 150-200 spesies setiap harinya (yang berarti hingga 73.000 spesies setahun, dan itu pun hanya spesies yang dikenali)[1], dan saya telah menunjukkan bahwa ini hanya dapat dipermudah dengan sarana seperti uang. Barangkali kita tinggal menunggu waktu untuk masuk ke dalam statistik tersebut, bukan berarti kita harus menganggap diri lebih penting daripada makhluk lainnya: Dodo, Macan Tasmania, Merpati Penumpang, burung Po’ouli, Badak Hitam Afrika Barat—daftarnya sungguh panjang. Walau demikian, kita juga menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak membahagiakan kita—orang yang selalu dahaga tidak pernah bisa dipuaskan.

20191213

The Moneyless Manifesto: Kebudayaan manusia kini (Mark Boyle, 2012)

Yang lebih kuat daripada hukum ataupun tentara ialah budaya. Ambil satu contoh. Berbagi itu bagus bagi kita pada taraf apa pun, demikian pula bagi kesehatan tuan rumah kita, tetapi itu tidak baik bagi makhluk yang kita sebut Ekonomi ini, binatang yang perlu terus-menerus diberi makanan yang semakin besar saja porsinya oleh semua politikus yang berambisi untuk tetap berkuasa. Bagi Ekonomi, berbagi merupakan musuh, berbagi pesaing dalam memperoleh makanannya, dan karena itu berbagi merupakan musuh bagi orang-orang yang besar rekening banknya bergantung pada pertumbuhan Ekonomi. Akan tetapi, polisi tidak bisa menjadikan berbagi sebagai tindakan ilegal, dan pemberi suara tidak akan menyambutnya. Alih-alih, para politikus, arsitek sosial, dan pemasar kita memilih jalur yang lebih halus, bersama-sama mereka menciptakan budaya di mana berbagi tidaklah ilegal, tetapi sangat tidak disukai. Inilah budaya yang mempersoalkan mengapa Anda mesti repot-repot berbagi hasil kerja keras Anda pada orang yang boleh jadi tidak bekerja sekeras Anda. Budaya kekurangan yang menjadikan Anda khawatir orang lain menangguhkan yang telah Anda pinjamkan padanya, atau tidak mengembalikan, sehingga Anda merasa ditipu. Budaya yang menyatakan bahwa jika Anda harus meminjam sesuatu, Anda tidak cukup sukses karena tidak memilikinya sendiri. Orang bersukarela menyesuaikan diri dengan budaya ketakutan, kekurangan, dan status demikian sehingga hukum tidaklah diperlukan.

20191206

Tiket Undian (Jonas Karlsson, 2007)


Begitu Patrik Ohlsson membuka lipatan tiket undian dan melihat nomornya untuk pertama kali, ia memerhatikan adanya ambiguitas yang menarik.
“Kemarilah lihat ini, Linn,” seru Patrik pada anaknya. Linn sedang berdiri di atas kotak trafo, berusaha meraih salah satu balon yang ditambatkan di situ untuk pesta di lapangan tempat penitipan anak. Beberapa anak lain berdiri di sekitarnya sambil menyoraki. Klara merenggut kaki Linn dan ingin naik juga sendirian. Dengan enggan, Linn merangkak turun dan menghampiri Patrik. Patrik menunjukkan tiket undian itu pada Linn.
Linn mengira nomor yang tertera di situ 66, namun ayahnya menerangkan bahwa sebetulnya itu 99. Linn melihat angka tersebut secara terbalik. Ayahnya membalikkan tiket itu ke atas, dan menerangkan kesalahpahamannya.
“Ini namanya palindrom angka.”

20191120

The Moneyless Manifesto: 4. Strategi peralihan dan tantangan (Mark Boyle, 2012)

Lokalisasi mungkin tidak begitu praktis, namun mau tidak mau tidak ada alternatif lain.
– Dr. David Fleming

Orang-orang yang tertarik dengan gagasan hidup sepenuhnya bebas niscaya menghadapi rintangan yang, karena alasan apa pun, tidak berhasil dilalui pada awal percobaan. Alasan yang paling sering disebutkan berupa rintangan dari luar: tidak punya tanah, pajak, persyaratan izin perencanaan berikut pendirian hunian mandiri yang berdampak rendah[1], dan seterusnya.
Semua contoh tersebut merupakan rintangan besar yang mungkin terjadi, sebagian besar berakar dari kenyataan dunia kita kini dan cukup membebani, terutama bagi orang-orang yang sedang berusaha untuk mengurangi keterikatannya dengan ekonomi mesin alih-alih meningkatkannya. Akses terhadap tanah—seperti izin dan peraturan, harga tanah, serta properti pribadi—merupakan persoalan yang terpenting. Namun banyak di antara tantangan ekonomi dan sosiopolitik ini merupakan hambatan pribadi dan internal yang kita ciptakan sendiri yang mencegah kita dari menjalani hidup penuh kesederhanaan, kebebasan, dan petulangan yang semarak. Menganggap persoalan tanah sebagai masalah pokok berarti melewatkan kisahan kebudayaan mendasar yang mengawali timbulnya pemikiran tersebut. Toh peraturan dan kebijakan pemerintah dibuat oleh manusia juga, meskipun adakalanya menggelitik untuk mempertanyakan apakah orang-orang yang memaksakan hal tersebut benar-benar dari genus Homo, terutama ketika kita sedang berhadapan dengan mereka.

20191113

The Moneyless Manifesto: Orang-orang yang Hidup tanpa Uang (Mark Boyle, 2012)

Masih ada kantong-kantong pemukiman tanpa uang di tengah surutnya alam liar yang belum berhasil diserbu peradaban. Sekalipun begitu dalam masyarakat industri modern yang beradab pun ada orang-orang yang bersukarela berhenti menggunakan uang. Ada beberapa orang yang telah hidup tanpa uang selama lebih dari satu dekade, yang lainnya berkelana sejauh puluhan ribu kilometer tanpa uang dengan berjalan kaki atau menggunakan berbagai kendaraan. Ada yang melakukannya di perkotaan dan ada yang di pedesaan.
Alasan kami berhenti menggunakan uang (atau pernah berhenti menggunakannya) sangat bervariasi. Model POP tiap-tiap pribadi bisa sangat berbeda. Sekalipun begitu terdapat suatu benang merah—suatu kenyataan sederhana bahwa kami sama-sama telah melihat dunia berjalan menyimpang dalam setiap taraf kehidupan, dan karena kami sama-sama ingin menciptakan kisahan baru dalam menjalani hidup kami, cara hidup baru yang menggembirakan alih-alih memperbudak. Kami menginginkan hidup yang berdasarkan pada hubungan dan kepercayaan daripada impersonalitas dan kecurigaan.

20191106

Esok Terlalu Jauh (Chimamanda Ngozi Adichie, 2009)

Saat itu musim panas terakhir yang kau lalui di Nigeria, musim panas sebelum perceraian kedua orang tuamu, sebelum ibumu bersumpah kau tidak akan pernah kembali menginjakkan kaki di Nigeria untuk menjumpai keluarga ayahmu, terutama Nenek. Kau ingat dengan jelas panasnya musim itu, hingga sekarang, delapan belas tahun kemudian—betapa pekarangan Nenek terasa hangat lagi lembap, pekarangan dengan begitu banyak pohon hingga kabel telepon berjalinan pada dedaunannya dan cabangnya saling bersentuhan dan kadang terlihat ada mangga pada pohon jambu monyet dan jambu biji pada pohon mangga. Permadani tebal dari remukan daun basah terinjak oleh kaki telanjangmu. Saat sore, kawanan lebah berperut kuning berdengung di seputar kepalamu serta kepala abangmu Nonso dan kepala sepupumu Dozie, dan saat senja Nenek hanya membolehkan abangmu Nonso yang memanjat pohon untuk mengguncangkan dahan yang memuat banyak buah, padahal kau lebih pandai memanjat dari padanya. Buah pun berjatuhan, alpukat, jambu monyet, dan jambu biji, lalu kau serta sepupumu Dozie memasukkannya ke ember bekas.

20191027

Gua Angin (Haruki Murakami, 2018)

Sewaktu aku berusia lima belas tahun, adik perempuanku meninggal. Kejadiannya mendadak. Waktu itu usianya dua belas tahun. Ia baru tahun pertama di SMP. Ia lahir dengan penyakit jantung bawaan, tetapi sejak operasinya yang terakhir, di kelas-kelas atas SD, tidak ada gejala apa-apa, makanya keluarga kami merasa tenang sambil agak berharap bahwa hidupnya akan berlanjut tanpa masalah. Tetapi, pada Mei tahun itu, detak jantungnya menjadi semakin tidak teratur. Detak jantungnya memburuk terutama ketika ia rebah, dan sering kali ia tidak bisa tidur saat malam. Ia menjalani tes di rumah sakit universitas, tetapi betapa pun tesnya sangat mendetail para dokter tidak dapat menentukan perubahan pada kondisi fisiknya. Masalah pokoknya tampak sudah beres oleh operasi, makanya mereka bingung.
“Hindari olahraga berat dan jalani rutinitas yang teratur. Semestinya detak jantungnya akan segera membaik,” kata dokter. Barangkali hanya itu yang bisa ia katakan. Lalu ia menuliskan beberapa resep untuk adikku.

20191020

The Moneyless Manifesto: 3. Model POP (Mark Boyle, 2012)

Jika kita tidak berjuang cukup keras demi hal-hal yang kita junjung, pada suatu saat kita mesti mengakui bahwa kita tidak sungguh-sungguh menjunjungnya.
– Paul Wellstone

Kompromi merupakan bagian yang nyaris tidak dapat dielakkan dari kehidupan kita. Banyak di antara kita yang merasa tidak jelas dengan cita-cita yang, setidaknya, kita idamkan. Karena berbagai alasan—finansial, sosial, hukum, emosional, fisiologis—sering kali kita jauh dari menjalaninya secara sungguh-sungguh hingga taraf yang kita kehendaki, atau tidak sama sekali. Tidak apa-apa. Tidak ada orang yang sempurna. Lagi pula budaya kita dewasa ini berikut manifestasi politik dan ekonominya memang tidak mempermudah kita.
Kemungkinan yang lebih terjangkau daripada langsung menjalani cita-cita puncak kita seratus persen dari mana pun posisi kita masing-masing berada sekarang, ialah dengan mengadakan peralihan menurut serangkaian tahap yang telah dipikirkan masak-masak yang logis bagi kehidupan kita. Kuncinya ialah menjadikan langkah-langkah ini cukup realistis untuk dicapai dalam jangka pendek, namun cukup menantang untuk dianggap sebagai respons yang tepat bagi persoalan-persoalan pokok ekologi dan sosial pada zaman kita.

20191013

The Moneyless Manifesto: Ekonomi berbasis sumber daya dan “balas-kepada-orang-lain” (pay-it-forward) (Mark Boyle, 2012)

Ekonomi berbasis sumber daya (ESD)

Meskipun ekonomi berbasis sumber daya sepintas berkenaan dengan ekonomi kasih berbasis lokalisasi yang saya anjurkan, istilah tersebut umumnya dipahami sebagai ekonomi nonmoneter dalam versi globalisasi yang berteknologi tinggi. Penganjur ekonomi tersebut meliputi Peter Joseph dengan karyanya yang luar biasa populer The Zeitgeist Movement (TZM)[1] serta Jacques Fresco dengan The Venus Project (TVP)[2], dua proyek yang hingga 2011 sering kali dikaitkan dengan satu sama lain.
Premis pokok keduanya ialah untuk menikmati apa yang menurut mereka merupakan standar hidup yang tinggi, masyarakat tidak memerlukan uang, tetapi sumber daya seperti makanan, air, mineral, dan berbagai material lainnya. Bahkan, mereka mengklaim bahwa ekonomi moneter sebenarnya menghalangi persebaran berbagai kebutuhan hidup tersebut secara adil. Para pendukung sistem tersebut berpendapat bahwa dunia ini berkelimpahan, dan bahwa semua sumber daya dapat digunakan secara jauh lebih bijaksana dan dibagi secara merata di antara seluruh umat manusia, bukan hanya untuk mereka yang memiliki kemampuan finansial. Fresco menganjurkan penggunaan teknologi bertaraf tinggi yang mampu diciptakan manusia, namun dengan berfokus pada sumber daya, maka model ekonomi dengan produksi yang dibatasi masa pakainya (built-in obsolescence)[3] tidak akan berlaku lagi. Dalam model ekonomi ini, mesin melakukan pekerjaan apa pun yang dapat diotomatisasi, dan tidak digunakan untuk menggantikan tenaga manusia dengan cara yang mengakibatkan pengangguran dan segala implikasi sosial dari padanya, tetapi untuk memperpendek waktu kerja semua orang, yang artinya lebih banyak waktu luang serta akses penuh lagi cuma-cuma terhadap seluruh sumber daya yang ada di Bumi berikut teknologi yang dihasilkan. Pada model ini kecerdasan manusia dimanfaatkan untuk bersama-sama menciptakan teknologi paling efisien dan berkelanjutan menurut setinggi-tingginya kualitas dan sebaik-baiknya penerapan, dan bukannya dikecilkan oleh tekanan persaingan pasar yang tidak lepas dari dan penuh dengan duplikasi serta penghamburan. Menurut mereka, dan lagi-lagi saya setuju, ekonomi moneter didasarkan pada keadaan berkekurangan, sebaliknya ekonomi berbasis sumber daya didasarkan pada kelimpahan bersama.

20191006

The Fortune Kite (Achmad Chozin, 2000)

From his yard, Pian watched kites in air. They have varied shapes and colors. Ah, if I had a kite, Pian thought. Unfortunately, he could not afford it. He didn’t have much money. Since his father got unemployed he had to save money.

Pian was surprised. Someone touched his shoulder.

"You want to play a kite, don’t you?" His father was standing by his side.

"Ah, I am happy just looking at those kites ...." Pian did not want to be honest. He did not want to make his father sad. However,

"If you want a kite, I can make it. Now I have plenty of time. Not as busy as I used to be. Do you want it?"

Pian nodded quickly.

"There is a bamboo in our backyard. Oh yeah, we still have kite thread from the last season, right? So we just need oil paper. I have money to buy the paper."

20190920

The Moneyless Manifesto: Ekonomi 100% lokal (Mark Boyle, 2012)

Ekonomi dunia dibangun menurut prinsip bahwa satu tempat dapat dieksploitasi, bahkan dihancurkan, demi tempat lainnya.
– Wendell Berry

Ekonomi 100% lokal merupakan model di mana seluruh kebutuhan kita dicukupkan dengan menggunakan material setempat, yang dihasilkan dalam jangkauan berjalan kaki dari tempat tinggal kita (atau dengan kuda atau pedati, misalnya saja, jika pedati tersebut dibuat dengan menggunakan material setempat). Ini termasuk segala hal mulai dari sol sepatu sampai alat pemotong yang mungkin kita gunakan untuk membuat busur penggerek penyala api.
Pendukung hidup tanpa uang paling berapi-api sekalipun, yang menghendaki ekonomi berbasiskan sumber daya, menganggap pandangan ini berada di ujung terujung spektrum hidup tanpa uang. Padahal, demikianlah cara hidup manusia selama sebagian besar sejarah kita, dan nyatanya ada masyarakat yang masih hidup dengan cara begini. Kehati-hatian ini bisa dimaklumi—sekarang ini, benar-benar secara harfiah, kita berada ribuan mil jauhnya dari taraf lokalisasi ini. Hidup dengan cara demikian secara serempak mensyaratkan perombakan besar-besaran yang menyeluruhi masyarakat berikut sistem pemilikan tanah. Sebagian orang akan mengatakan perombakan keduanya memerlukan revolusi, atau keruntuhan hampir seluruh model ekonomi yang sekarang ini kita ikuti (yang mana, mengingat ketergantungannya akan pertumbuhan tidak terbatas pada planet yang terbatas, sangatlah mungkin). Jika pun ada kemauan publik dan politik, perombakan sosial demikian tetap saja merupakan pekerjaan berat bagi populasi sebesar Kerajaan Britania, walau bukannya tidak mungkin. Tanpa kemauan publik dan politik, Alam berikut kerusakan sistem yang inherenlah yang akan berkomplot menciptakan keadaan baru sehingga model lokalisasi dapat berkembang baik. Mana pun jalan yang terbuka, secara pribadi cara hidupnyalah yang saya tuju. Pada bab ini nantinya saya akan mulai mengurai sebabnya ekonomi nonmoneter berbasis globalisasi itu mustahil.

20190913

The Moneyless Manifesto: Ekonomi kasih (Mark Boyle, 2012)

Bahkan setelah sekian lama, matahari tidak pernah berkata pada Bumi, “Kau berutang padaku.” Lihatlah yang terjadi dengan kasih serupa itu. Kasihnya menyinari Segenap Langit.
– Hafiz

Saya kadang menyebutnya ekonomi alam, karena ini merupakan dasar dari petak besar tempat Alam selebihnya bekerja. Ini merupakan pendapat yang hangat diperdebatkan, karena banyak yang berargumen bahwa Alam berdasarkan pertukaran. Toh, lebah madu mengumpulkan nektar sambil menyebarkan serbuk sari di sekitar bunga—itu pertukaran, bukan? Dan di dalam tanah di bawah kaki Anda, dalam satu inci terdapat lebih banyak bentuk kehidupan daripada manusia di seluruh planet, tarian rumit tanpa henti yang berlangsung antara tanaman dan mikrob, masing-masing memberi makan satu sama lain, memelihara satu sama lain dan saling menyokong, menjamin bahwa keduanya selalu memperoleh yang mereka butuhkan. Sekali lagi, di permukaan, ini memang terlihat seperti semacam pertukaran.

20190906

The Red-haired Fake Prince (Widya Suwarna, 1997)

In a kingdom there was a very beautiful princess named Princess Helena. Too bad, this princess had disdainful nature. Therefore there was no prince dare to approach her.

One day King held a party notably for young people. Princes and princesses from any other kingdoms were invited, so were sons and daughters of noblemen.

One of the guests, Prince Jack, got prepared. He had a red-haired male servant. His name was Otto. Before going to the party, Prince Jack said, “Otto, come with me to the party. Wear my dress and behave as a prince does. Importantly, don’t be away from me!”

“Alright, sir!” said Otto obediently.

Then the two departed. Dressed up, nobody supposed that Otto was a servant. To be understood, he was pretty good looking.

In a big ballroom many guests had come. Men spruced up and princesses were beautiful, sweet smelling. Princess Helena was the most striking one, wearing pink dress with blue eyes and blond hair.

20190827

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 7 (Haruki Murakami, 1994)

7

Juru Penatu yang Bahagia
*
Dan Masuklah Kano



Aku membawa blus dan rok Kumiko ke penatu di dekat stasiun. Biasanya, aku membawa cucian kami ke penatu di sekitar pojok jalan rumah kami. Bukan karena aku lebih menyukai penatu yang itu, melainkan karena lebih dekat. Kumiko kadang menggunakan penatu dekat stasiun sekalian pergi-pulang kerja. Ia menaruh cucian pagi-pagi sembari berangkat ke kantor lalu mengambilnya ketika pulang. Menurut Kumiko, tempat yang ini agak lebih mahal, tetapi hasilnya lebih baik daripada penatu di dekat rumah. Pakaiannya yang bagus-bagus selalu ia bawa ke sana. Itulah sebabnya pada hari itu aku memutuskan untuk bersepeda ke stasiun. Kubayangkan ia lebih suka pakaiannya dibersihkan di sana.

20190820

The Moneyless Manifesto: 2. Menu Hidup tanpa Uang (Mark Boyle, 2012)

Dalam kebudayaan tradisional, penduduk desa melengkapkan kebutuhan dasar mereka tanpa uang. Mereka telah mengembangkan kecakapan yang memungkinkan untuk menumbuhkan jelai pada ketinggian 3.600 meter …. Masyarakat tahu cara membangun rumah sendiri dengan material dari lingkungan sekitar …. Sekarang, mendadak, sebagai bagian dari ekonomi uang internasional, masyarakat Ladakh mendapati diri mereka menjadi semakin bergantung—bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan yang vital—pada sistem yang dikuasai oleh kekuatan dari jauh. Mereka rentan oleh keputusan yang dibuat orang-orang yang bahkan tidak mengetahui keberadaan tempat mereka …. Selama dua ribu tahun di Ladakh, sekilo jelai adalah sekilo jelai, namun kini Anda tidak dapat memastikan harganya.
– Helena Norberg-Hodge

Setiap kali gagasan yang mencetuskan penghidupan tanpa uang timbul dalam percakapan, orang cenderung memiliki bayangan yang berbeda-beda yang tergantung pada sejumlah faktor: kondisi hidup yang khas, keyakinan filosofis, kepercayaan mereka akan taraf teknologi yang berkelanjutan ataupun yang sesuai dengan kondisi masing-masing, ketergantungan baik yang disadari maupun tidak pada kenyamanan yang membarengi peradaban industri, dan apakah mereka hidup di perkotaan atau pedesaan. Perbedaan ini sangatlah positif, karena ekonomi tanpa uang seyogianya beragam, oleh faktor-faktor seperti kebutuhan, lahan, kebudayaan, dan iklim mikro setempat. Namun penting juga untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan di baliknya secara akurat.

20190813

The Moneyless Manifesto: Saatnya memilih kisahan baru? (Mark Boyle, 2012)

Yang saya coba sampaikan dalam bab ini ialah bahwa kesilapan kita dalam memaknai dirilah yang merupakan akar dari banyaknya krisis pribadi, sosial, dan ekologi yang kita alami kini, dan bahwa uang membantu memelihara dan memperkuat delusi ini.
Demi memiliki harapan dalam menguraikan permasalahan yang kita hadapi secara memadai, kita perlu menghadapi delusi akan keterpisahan yang telah menerobos dan merembesi pemaknaan diri kita secara fundamental. Demi menjaga tanah, masyarakat, dan pada akhirnya, diri egosentris kita dengan lebih baik, kita perlu bersambung kembali dengan pemahaman akan alam semesta yang saling bergantung. Demi melakukan ini kita perlu mempertanyakan dan meragukan kisahan-kisahan yang mendukung delusi kita. Musuh terbesar yang kita hadapi dalam berbuat demikian ialah alat pemisah itu, uang.
Uang merayapi dan menjiwai semua informasi budaya kita: hubungan kita, makanan kita, pendidikan kita, kesehatan kita, permainan kita, media kita. Lewat semua interaksi ini kita dihargai atas kemandirian dan konformitas kita. Kita didorong untuk hanya melihat harga, serta memutuskan hubungan dengan segala makna lain. Pikirkanlah pertempuran yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita—pertempuran antara integritas dan kemudahan, hasrat dan konformitas, rasa iba dan hiburan. Berapa sering uang menjadi faktor penentu dalam pertempuran-pertempuran ini? Ini semata bagian dari perang tanpa henti melawan pengalaman akan kemanunggalan, melawan pengalaman akan sifat liar kita. Kita diajarkan untuk menjinakkan diri supaya menjadi lebih baik dalam melayani institusi-institusi yang kita bangun—institusi-institusi yang sendirinya melayani uang.

20190806

Vladimiro Si Arab (Guillermo Fadanelli, 2006)

Vladimiro Pérez sebenarnya bukan pakar dunia Islam, walau ia suka menganggap dirinya demikian. Pada dasarnya ia bukan orang yang banyak bergerak dan tidak memiliki ambisi besar. Sudah lama ia tinggal bersama istri dan anak perempuannya di apartemen sederhana yang bukan milik sendiri. Apartemen yang terdiri dari beberapa ruangan kumuh itu ia sewa dengan separuh gajinya. Walaupun istrinya penyabar, wanita itu lelah mendengar suaminya mengutarakan pendapat pada isu yang sangat sedikit kaitannya dengan peri kehidupan keluarga Meksiko.

“Kita tidak akan pernah meninggalkan negara ini seumur hidup pun. Mengapa kita harus merisaukan masalah negara lain?”

“Jika ini persoalan kemanusiaan, maka ini persoalan kita juga,” sahut Vladimiro. Ia menanggapi komentar istrinya dengan raut datar. “Memangnya gringo[1] akan menolong kita bila kita diusir? Atau jangan-jangan kau tidak menganggap kita sebagai bagian dari kemanusiaan?” Vladimiro jengkel dengan celaan tak berotak itu. Ia tidak mengerti betapa mungkin orang memiliki pandangan dunia yang begitu sempit. Kenyataan bahwa orang menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk memeriksa bon di kantor yang sederhana atau memasak untuk anak-anak tidaklah mengecualikan orang itu dari peristiwa yang terjadi di Kashmir atau Afganistan. Demikianlah menurut Vladimiro Pérez. “Kita ini seperti tikus yang moncongnya tersangkut di lubang sarang yang kecil.”

20190720

The Moneyless Manifesto: Menganggap membeli dan menjual sebagai memberi dan menerima sama saja dengan melacur (Mark Boyle, 2012)

Orang sering kali mengatakan pada saya betapa yakinnya mereka bahwa membayar sesuatu sekadar merupakan cara lain untuk memberi. Sedikitnya ini memang benar, apalagi karena kita semua hidup menurut ekonomi moneter dengan tagihan-tagihan yang mesti dibayar. Namun ada perbedaan yang penting sekali, dan itu berkenaan dengan semangat untuk berbuat tindakan tersebut. Ketika kita bebas berbagi semua yang kita sendiri memperolehnya dari pemberian—entahkah itu berupa materi, waktu, pengetahuan, ataupun keterampilan—tanpa alasan apa pun selain untuk menolong orang, perbedaan efeknya sangat besar sekaligus positif. Kebaikan tanpa syarat menggembirakan orang, menciptakan ikatan dan menceriakan dengan cara yang tidak pernah ada dalam transaksi moneter bersyarat. Tentu saja, orang yang diberi bisa langsung balas memberi dengan menggunakan uang, tepatnya melunasi utangnya, namun sebagaimana yang telah saya kemukakan dengan memakai contoh dari Graeber dan Atwood tadi, ini berkesan mengatakan saya tidak lagi ingin merasa bahwa saya mesti terus-terusan berhubungan dengan Anda. Akan jauh lebih bermaslahat bagi masyarakat jika Anda sekadar memberi apa pun yang Anda beri pada dunia ketika Anda sempat, tanpa syarat.

20190713

The Moneyless Manifesto: Ketimpangan bruto melalui penimbunan nilai (Mark Boyle, 2012)

Uang bukan sekadar alat tukar. Di antara berbagai fungsinya yang lain, bentuknya yang mutakhir juga merupakan alat penyimpan nilai. Perkawinannya dengan model ekonomi seperti kapitalisme hanya menggiring pada ketimpangan bruto. Saya rasa ini tidak memerlukan banyak pembatasan. Kita semua tahu ungkapan “yang kaya jadi kaya, yang miskin tambah miskin” merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Anda hanya perlu melihat laporan lembaga PBB untuk kajian ekonomi pembangunan (World Institute for Development Economics Research) pada 2006, yang menyatakan bahwa sekarang ini 1% penduduk dewasa memiliki 40% kekayaan dunia.
Sebagian orang akan menyatakan bahwa berkat sistem kapitalis moneter, semua orang jadi terangkat, sekalipun sedikit saja yang terangkat jauh lebih tinggi daripada yang lain. Pernyataan ini tidak pernah berasal dari mulut tiga juta orang yang hidup dalam kemiskinan mutlak, ataupun 25.000-50.000 orang tua yang setiap harinya kehilangan anak akibat mati kelaparan. Di samping kemiskinan absolut, banyak persoalan sosial dapat berakar dari kemiskinan relatif, yang memahamkan ketidakadilan yang dirasakan orang-orang yang berjuang menjalani hidup dari hari ke hari pada “kaum elite”, yaitu mereka yang menimbun kekayaan yang diciptakan oleh kelas pekerja, dan yang kemudian menggunakan kekayaan tersebut untuk mengetatkan cengkeraman kekuasaan pada kaum di bawahnya. Laporan surat kabar Guardian dan London School of Economics (LSE)[1] menyoroti bahwa ketimpangan yang dirasakan ini merupakan alasan utama di balik kerusuhan di Tottenham dan Kerajaan Britania selebihnya pada 2011.

20190706

Parul Sang Ibu (Selina Hossain, 2005)

Parul menghitung sudah enam bulan sejak lelaki itu menghilang. Ada yang bilang lelaki itu tenggelam di laut, ada yang bilang lelaki itu pergi mencari kerja di Dhaka. Parul persetan dengan ke mana pun lelaki itu minggat, tetapi kenapa lelaki itu pergi tanpa memberi tahu dia? Akankah Parul menghentikan lelaki itu jika bilang padanya dulu? Akankah Parul menangis? Tidak, Parul tidak akan melakukan apa-apa. Parul akan membiarkan siapa saja yang mau pergi, pergilah. Kalaupun hatinya nyeri, itu masalah Parul sendiri. Lantas kenapa lelaki itu pergi? Lelaki itu lari karena tidak dapat mengerti Parul, benarkah begitu? Ataukah lelaki itu pikir sekiranya ia tidak kabur, akan terlalu sulit untuk meninggalkan Parul?
Kepala Parul berpusing kapan pun memikirkan hal-hal begini. Ia tidak suka diabaikan orang, apalagi dari orang yang begitu dekat—yang diakui orang-orang sekitar sebagai suaminya. Nama lelaki itu Abbas Ali, dari desa Thanar Hat, distrik Noakhali. Tidak banyak penghasilannya, ia seorang buruh harian, yang menghabiskan hari-hari secara serabutan dengan apa pun yang dapat diperoleh. Saat Parul memasuki rumah tangga Abbas Ali, kemiskinan lah yang terutama ia dapati di sekitarnya, sehingga ia mengerahkan energinya untuk mencari nafkah, bekerja dari rumah ke rumah, mengumpulkan beras, sayur, apa pun yang berhasil diperolehnya untuk makan. Ia telah tahan oleh kemiskinan. Ia tidak mengeluhkan apa pun pada Abbas Ali. Malah, ia sempat cukup menyukai pemuda yang tangguh itu. Ia baru tidur larut malam setelah membicarakan tentang suka dukanya. Kenapa pria itu tidak betah di rumah ini? Kemarahan Parul berpusat pada pertanyaan ini, namun tetap tak ada jawabnya. Ketika orang-orang menanyainya, ia tidak pernah merasa malu. Malah darahnya akan mulai mendidih.

20190627

Rizana (Kalaivaathy Kaleel, 2013)

(Catatan: Cerita ini berdasarkan pada kehidupan Rizana Nafeek, gadis Sri Lanka yang dihukum dan setelahnya dieksekusi di Arab Saudi atas tuduhan membunuh Naif al-Quthaibi, bayi berusia empat bulan.)

“Bibi, kapan Rizana kembali? Adakah berita tentang dia?”

Raazik sepupu Rizana yang hendak menikahi gadis itu. Ia bekerja di toko serbaada dengan gaji kecil. Sebelumnya ia tidak mengetahui keberangkatan Rizana ke Arab Saudi. Seandainya ia tahu sedari dulu, ia akan mencegah Rizana pergi. Namun ia tidak tahu, segalanya terjadi secara sembunyi-sembunyi.

“Bibi, sekarang sudah hampir tujuh tahun.”

“Ya, ponakanku.”

“Segala usaha telah dilakukan, kami mengerti. Semua orang berusaha supaya dia dibebaskan, semua orang tanpa memandang perbedaan, agama, dan etnik kita. Para politikus berkali-kali mengunjungi Arab dan bahkan berbicara dengan Raja. Organisasi-organisasi HAM bekerja keras supaya dia dibebaskan. Rizana akan segera bebas. Janganlah khawatir, Bibi,” ujar si ponakan. “Serahkan segalanya pada Allah.”

20190620

The Moneyless Manifesto: Uang menyebabkan penghamburan (Mark Boyle, 2012)

Sewaktu saya hidup tanpa uang selama dua setengah tahun, saya tidak membuang apa pun, sebab segalanya berharga. Kapan pun saya meninggalkan karavan untuk kencing di bawah pohon buah pada malam musim dingin yang yang gelap, saya memadamkan lilin lebah untuk menghemat benda yang bagi saya merupakan sumber daya terbatas. Kapan pun saya tersandung batang pohon yang tergeletak mati pada musim panas, saya mengambilnya dan menyimpannya untuk dibakar pada musim dingin. Jika saya menemukan macis di jalan, saya memungutnya dan menggunakannya, karena itu dapat menghemat dua puluh menit waktu saya untuk menyalakan api dengan busur penggerek (bow drill). Setiap potong makanan yang saya punya merupakan sisa, dan makanan buangan orang lain pula. Koran yang tergeletak di selokan menjadi penyulut api. Jika saya memiliki delapan botol sari apel untuk bertahan hidup sepanjang musim dingin, saya meminumnya sedikit-sedikit saat keadaan mendesak, dan bukannya satu botol dalam sekali minum. Segala sesuatunya antara bekas dipakai atau dipakai ulang, termasuk buangan yang asalnya dari tubuh saya sendiri. Hidup itu siklis, bukan linear.

20190613

The Moneyless Manifesto: Divisi Tenaga Kerja dikawinkan dengan uang (Mark Boyle, 2012)

Ini prinsip sederhana lainnya, berawal dari kali pertama manusia bekerja sama. Elemen yang telah berubah hanyalah presisi kejadiannya. Tidak pernah ada spesialisasi tenaga kerja dengan divisi yang semakin klinis sebagaimana pada dewasa ini. Kompleksitas dan spesialisasi yang terus meningkat ini erat hubungannya dengan perkembangan kapitalisme dan masyarakat industri. Keuntungannya hampir sama dengan yang diperoleh dari peningkatan ekonomi skala: pertumbuhan efisiensi, pertumbuhan teknologi ajaib, serta penghematan tenaga kerja per dolar yang dihasilkan. Namun diam-diam ada biaya sangat besar yang mesti dibayarkan, biaya yang masyarakat waras mana pun akan menganggapnya tidak sepadan.
Salah satu biaya peluang ini ialah kebutuhan kita untuk menjalani kehidupan yang bahagia, bervariasi, dan bebas berkreasi, di mana yang kita kerjakan setiap hari adalah pekerjaan yang kita cintai. Tentu masih ada orang-orang yang mencintai pekerjaannya, namun mereka semakin menyerupai pengecualian yang menentukan aturan. Kebanyakan dari kita, yang pekerjaannya menyokong kehidupan sedikit orang yang beruntung ini (mereka yang diminta merancang gambar Google terbaru atau memainkan pertunjukan solo akustik bagi 50.000 penggemar), membenci Senin Pagi dan mencintai Jumat malam karena suatu alasan. Sedikitnya karena kesalahan kita sendiri, pekerjaan yang kita peroleh diulang-ulang, membosankan, tidak memuaskan, dan menyia-nyiakan karunia berharga yaitu kehidupan kita. Lebih buruk lagi, kita mulai menyadari itu. Karena itulah antidepresan, klinik, bunuh diri, kejahatan pidana, dan peralihan pada semua hal semacam itu merupakan upaya untuk mengisi kekosongan eksistensial yang timbul karena melakukan pekerjaan yang tidak memupuk jiwa ataupun raga kita.

20190606

Lebaran Abla Saniya (Na’am al-Baz, 2006)


Dalam sorot cahaya yang luruh dari satu-satunya jendela di ruangan itu, Abla[1] Saniya si penjahit menjalankan mesinnya. Ia sadar untuk memanfaatkan berkas cahaya matahari yang penghabisan sebelum ruangan gelap seluruhnya. Abla Saniya menyalakan lampu yang kabelnya berasal dari jendela. Listrik dibayarnya lima paun sebulan. Uang itu dikumpulkannya dengan amat cermat, sebab penghasilannya selalu melumer oleh senyum anak-anaknya serta jerih payah sehari-hari.
Ruangan itu tidaklah sempit dan terbilang murah di Jalan Turki karena ukurannya yang lapang itu. Di bagian depan terdapat dapur. Kamar mandi pun ada. Sewanya tiga paun. Abla Saniya menyewa ruangan itu sejak bertahun-tahun lalu, sewaktu papan tanda persewaan dipasang di mana-mana di sepanjang jalan. Abla Saniya menganggap dirinya beruntung sebab al-Mualim Tahsin, yang bekerja di kafe, memasangkan listrik untuknya dengan syarat istri dan anak-anak pria itu didahulukan saat mengepaskan pakaian. Jarang-jarang penyewa yang mampu berbaur dengan yang tidak mampu.

20190520

The Moneyless Manifesto: Konsekuensi pribadi, sosial, ekologis, dan ekonomi dari uang (Mark Boyle, 2012)

Kita semua tahu manfaat uang. Setiap hari kita dibombardir olehnya. Ekonom, politikus, wartawan, pimpinan eksekutif perusahaan maupun badan amal, pengiklan, tabloid, semua orang mulai dari Adam Smith sampai Katie Price dan selebriti lainnya yang terkenal karena menghirup dan mengembuskan gas-gas atmosfer—mereka semua memuja kebaikan uang, berulang-ulang, setiap hari. Sudah pasti dunia tidak memerlukan saya untuk turut bertepuk tangan padanya. Oleh karena itu “karena waktu itu pendek”, saya akan berbuat sebagaimana Thoreau[1] dan “saya akan mengabaikan segala puja-puji yang berlebihan itu dan menahankan segala kecaman.”

Ekonomi Skala dikawinkan dengan uang

Konsep uang merupakan pokok bagi cara kerja ekonomi modern, terutama model kapitalis yang dominan pada masa kita. Dua prinsip ekonomi yang terutama, yaitu ekonomi skala dan divisi tenaga kerja, mendapat perhatian khusus dalam cakupan buku ini. Keduanya selalu ada dalam taraf tertentu, ibarat sepasang suami istri yang memasakkan makan malam untuk sepuluh orang, si istri memotong-motong wortel adapun suaminya yang mencucikan kentang. Namun datangnya uang, yang dikawinkan dengan prinsip-prinsip ini, melahirkan suatu unsur yang tidak harmonis, menciptakan keadaan ekstrem yang tidak pernah terbayangkan oleh nenek moyang kita.

20190513

The Moneyless Manifesto: Putusnya hubungan kita dengan apa yang kita konsumsi (Mark Boyle, 2012)

Susutnya kehidupan beserta segala ekspresinya menjadi taksiran nilai keuangan yang hampa hanya dimungkinkan lewat penggunaan benda abstrak, objektif, dan tidak berarti seperti uang. Uang kaku dan tidak berjiwa. Uang berpindah tangah dengan begitu mudahnya, tanpa kepedulian—menjadi angka-angka yang dimasukkan ke layar. Uang menggampangkan hidup, sebab kita tidak harus berpikir. Kita tidak harus mempersoalkan dari mana asalnya deretan mebel Ikea yang tidak ada habisnya, atau bagaimana kita dapat memperoleh stroberi pada Februari. Kita tinggal menyerahkan uang. Simpel.
Biaya sebenarnya dari kemewahan-kemewahan ini tidak meresap ke dalam harganya sebab itu tidaklah mungkin. Bagaimana Anda menghitung hilangnya hutan hujan—matinya seratus ribu pohon, punahnya spesies tanaman dan hewan, serta hilangnya rumah, budaya, bahasa, pengetahuan dan cara untuk menjadi manusia? Bagaimana Anda mengalkulasi biaya perubahan iklim, penipisan tanah, serta pengambilan lahan suatu masyarakat karena airnya, lantas memaksa mereka untuk bekerja dalam perbudakan efektif, melakukan pekerjaan nirjiwa bertani monokultur bagi orang-orang di tempat jauh yang tidak akan pernah dijumpai?

20190506

50 Fatwa untuk Vampir Saleh (Pamela Taylor, 2010)

Sheikha Yasmin al-Binawi menulis dalam bab pertama bukunya, Etiket Kuliner bagi Vampir Islami, “Manusia yang masih hidup pada umumnya meyakini bahwa Alquran melarang semua Muslim memakan darah. Yang sebenarnya disampaikan Alquran adalah, ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[1].’ (Surah 2, Sapi Betina, ayat 173) Jelaslah, sebagai vampir yang membutuhkan darah untuk bertahan hidup, maka diizinkan baginya untuk mengonsumsi makanan alaminya, selama ia tidak rakus, serakah, dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Mahasempurna Nikmat-Nya bagi kita!”
#

20190427

Persoalan Fiksi Islam (Ruqayyah Kareem)

“Orang-orang di sana tidak membaca!” cetus petugas tata usaha di Texas A&M University. Ia membicarakan orang-orang di Qatar. Tentu saja ia keliru; angka melek huruf di Qatar lebih dari 96 persen, di atas Australia, namun di bawah Jalur Gaza.

Si petugas tata usaha barangkali belum mengetahui ini. Jadi apa alasan di balik opininya? Dari mana timbulnya pikiran bahwa “orang-orang di sana tidak membaca”? Yang sebenarnya dimaksudkan oleh si petugas tata usaha yaitu membaca bacaan fiksi atau membaca untuk kesenangan. Di sinilah paling sering terdapat ketidaksesuaian antara apa yang dianggap sebagai melek huruf dan apa yang dibaca. Menurut si petugas tata usaha, ilmu pengetahuan diperoleh melalui bacaan fiksi dan dengan pandangan tersebut ia menyimpulkan bahwa penduduk Qatar tidak membaca.

Menurut pandangan Islam tradional, konsep ilmu pengetahuan secara umum dilihat dari segi yang suci versus yang profan. Bobot ilmu pengetahuan yang diperoleh diukur dari kedua nilai ini. Bagi sebagian umat Islam, ilmu pengetahuan yang suci--Alquran, hadis, dan wejangan agama--memungkinkan manusia untuk memelihara hubungan dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam bentuk fiksi, khususnya bacaan spekulatif, seperti fiksi sains, fantasi, serta komik, menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dan mengarahkan untuk mengejar dunia. Tentu saja, tidak ada dasar agama bagi pemisahan seperti itu, kecuali jika fiksi dicampuradukkan dengan perbuatan dusta. Fiksi, terutama fiksi sains, fantasi, dan komik, merupakan cara yang konkret untuk mendorong aktivitas membaca, menulis, serta berimajinasi yang dapat memacu kreativitas dan inovasi dalam segala bidang pembelajaran bagi umat Islam. Melalui fiksi, pembaca dan penulis juga dapat menjembatani dan memperkuat kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagai pendidik yang meneliti dan mengajar berdasarkan Islam Amerika, saya sering menggunakan apa yang saya sebut sebagai fiksi Islam dalam kerja pedagogis.

20190420

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Elijah selama beberapa jam. Kami pun pergi ke taman. Kami melukis. Ia menendang bokong saya saat bermain tebakan nama hewan. Kami bersenang-senang. Bayangkan pengalaman yang berbeda—bagi teman saya, Elijah, dan saya sendiri—seandainya teman saya menitipkan anaknya pada pengasuh anak yang berbayar. Barangkali ia akan merasa agak bersalah, karena meninggalkan anaknya untuk diurus orang asing, yang boleh jadi menganggap Elijah sekadar anak kecil lainnya. Teman saya juga sudah pasti akan merasa agak terasing, karena tidak ada bantuan dari lingkungan sosial yang dapat diandalkan. Tentu saja akibatnya ia harus mengeluarkan uang (sehingga ia harus bekerja lembur untuk membayarnya, yang berarti jasa pengasuh anak profesional semakin diperlukan). Elijah tidak akan merasa sama nyamannya, ketika menghabiskan waktu dengan orang yang tidak memiliki hubungan yang sinambung dan tepercaya dengan dirinya, dan ia juga tidak akan bisa menghabiskan waktu di luar, bermain di sekitar rumahnya. Saya pun tidak akan menghabiskan pagi itu dengan memperingati bahwa anak usia tiga tahun dapat banyak mengajari kita keindahan dunia. Lebih-lebih, dengan mengambil bagian dalam semangat dan pemahaman terhadap kesalingbergantungan itu kami bertiga dapat memperkuat hubungan antarsatu sama lain—hubungan yang menebalkan dan memperkukuh semangat tersebut. Ketika nanti saya mengalami kesulitan, hubungan tersebut akan terasa sehingga saya tahu bahwa saya memiliki teman yang dapat menyokong saya.

20190413

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa depan sehingga tidak menikmati masa kini. Alhasil ia tidak hidup pada masa kini ataupun masa depan. Ia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu ia mati tanpa benar-benar menghayati hidup.
– Dalai Lama

Uang melekatkan diri dengan apiknya pada perjalanan keterpisahan manusia, menjelma segala yang lebih penting dari padanya, dan membubuhkan sendiri cita rasanya yang tidak nyata. Dengan membangun ilusi akan waktu yang linear serta perkembangan bahasa, pengukuran, dan penjumlahan—menyusutkan mahluk hidup dan tanaman yang khas dan tidak tergantikan menjadi sekadar kata dan angka, serta mengikis “kekhasan-tempat menjadi [homogenitas] kawasan pinggir kota yang mengglobal[1]”—uang berkedudukan cukup tinggi di atas rangkaian ini untuk membutakan kita terhadap segala yang lebih penting dari padanya. Keadaan ini paling terlihat dalam hubungan dengan waktu yang dipaksakan uang pada kita.

20190406

Metamorfosis (Fumiko Enchi, 2004)

1 Nantinya teringat oleh dia bahwa saat itu malam tanpa tidur yang janggal.

Sanogawa Shinsha telah lelap di tempat tidur sembari mendekap naskah di dadanya ketika datang kabar bahwa adiknya, Tojaku, baru meninggal dalam kecelakaan mobil.

Shinsha dan istrinya, Chisa, tidur bersisian masing-masing di ranjang rendah yang serupa. Kamar mereka didekorasi dengan gaya campuran Jepang dan asing. Karena Shinsha punya kebiasaan membaca naskah, menghafal dialog, dan merancang lakon sampai larut malam, tabir antik dengan lukisan monokrom dari Chobunsai Eishi tegak di antara kedua tempat tidur itu untuk mengelakkan cahaya.

Shinsha memandangi naskah drama baru di mana ia akan memerankan tokoh utamanya. Hujan monsun yang bertalu-talu baginya terdengar bak keluhan nenek-nenek yang murung lagi menjemukan, sementara desir lembut napas Chisa selagi tidur memunculkan bayangan gadis yang tertidur nyenyak dalam benaknya. Sehabis membaca babak kedua, ia mulai menerawang ke sosok pelacur yang tengah berdiri seraya melipat kelim jubahnya pada tabir.

20190320

The Moneyless Manifesto: Budaya Uang (Mark Boyle, 2012)

Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, siklus memperlengkapi satu sama lain, tidak seperti sistem linear, yang bermula di satu tempat dan berakhir di tempat lainnya. Kita tuai yang kita tabur yang kita tuai yang kita tabur. Tentu saja, ini artinya dibutuhkan sejumlah perhatian serta pemeliharaan untuk memastikan yang dituai itu bermanfaat, begitu pula pengendalian diri yang kuat agar menjamin siklus tersebut memiliki cukup energi untuk menyokong dirinya sendiri.
Akan tetapi, peradaban Barat telah memutuskan untuk memperjuangkan yang linear. Kerangka ini menghendaki adanya masukan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya berubah wujud dan termuntahkan sebagai keluaran yang “tidak memiliki tempat”. Dari dalam siklus ekologis yang berjalan diam-diam di sekitar kita, kita renggut yang kita senangi, mengolahnya melalui rentetan pabrik, dan menikmati, untuk sesaat saja, yang keluar dari sisi satunya. Lantas kita membuangnya, dan mulai lagi. Secara terus-menerus kita mengambil energi, dan tidak ada yang kita kembalikan. Pada taraf tertentu, siklus ini akan runtuh. Banyak di antaranya yang sudah runtuh.

20190313

The Moneyless Manifesto: Filosofi tanpa uang dan delusi diri (Mark Boyle, 2012)

Bukan umat manusia yang menganyam jaring kehidupan. Kita menganyam satu benang saja di dalamnya. Apa pun yang kita lakukan pada jaring itu adalah demi diri kita sendiri. Semuanya terikat pada satu sama lain. Segalanya berhubungan.
– Chief Seattle

Terlepas dari apakah Anda meyakini dongengan bahwa uang itu baik atau tidak bagi kita—apakah Anda kapitalis atau sosialis, hippie atau yuppie, penganut Kristen atau Buddha—Anda mungkin sering kali menginginkannya lebih banyak. Anggaplah semua orang setuju pada pepatah lama bahwa uang tidak memberikan kebahagiaan, dan bahwa uang tidak sepenuhnya baik bagi kepribadian mereka yang berusaha memperolehnya lebih banyak, maka Anda pun heran mengapa semua orang sangat terpikat pada uang. Tetapi seperti itulah kita. Kita mencintai uang, dan mencemburui mereka yang punya banyak uang. Kita bahkan merelakan waktu kita—saat-saat berharga dan terbatas yang membentuk keutuhan hidup kita—untuk memperolehnya kembali, tanpa mengindahkan betapa banyak yang telah kita miliki, dan betapa merusak serta memuakkannya perbuatan itu. Semua orang, tampaknya, menginginkan lebih banyak uang. Kita semua tidak ubahnya Spike Milligan, saat ia menyentil “yang kuminta hanyalah kesempatan untuk membuktikan bahwa uang tidak dapat membahagiakanku.”

20190306

Tiap Kali Aku Duduk Minum-minum di Bar Seperti Ini, Aku Merasa Betapa Kudusnya Profesi Melayani Bar (Ryu Murakami, 2004)

Tiap kali aku duduk minum-minum di bar seperti ini, aku merasa betapa kudusnya profesi melayani bar. Dilatari rak kaca kotor berisi botol berwarna-warni, si pelayan bar bergerak ke sana kemari secara cermat di ruangan depan yang bercahaya kristal, bak pendeta memimpin ritual. Seraya menuangkan cairan suci ke dalam gelas, ia mendengarkan diiringi senyum takzim lagi simpatik sementara para pelanggan mendeklamasikan duka mereka.

Di ujung bar ada sepasang madam-madam jelek dengan kulit kasar dan riasan tebal. Dengan menjijikkannya mereka mabuk—atau mungkin cuma pura-pura. Percakapan mereka berganti-ganti antara bisik dan pekik. Pesan sesuatu? lantun si pelayan bar, seraya membinarkan senyumnya ke arah mereka.

Di samping kedua madam-madam itu ada pasangan yang terlihat jelas baru menikah. Sepertinya mereka baru menyelenggarakan pesta pernikahan di hotel ini, dan sekarang mereka hendak menghabiskan semalam di sini sebelum pergi berbulan madu. Mereka sama-sama tidak banyak bicara. Si pengantin pria menyesap sedikit gelasnya yang berisi campuran wiski dan air, sedangkan si pengantin wanita mengamati sekitarnya sementara es dalam mai tai miliknya meleleh, sehingga warnanya menjadi oranye keruh. Anda mau camilan? tanya si pelayan bar, seraya menyapukan senyumnya kepada mereka.

20190227

Pertanian keluarga memberi makan negara seiring dengan meledaknya agrobisnis Brasil (Anna Sophie Gross, 2019)

·   “Keajaiban Agraria” Brasil tercapai berkat industri agrobisnis yang telah mengeluarkan negara itu dari kemerosotan ekonomi baru-baru ini, dan menyumbang 23,5 persen PDB pada 2017. Namun keajaiban tersebut bertopang pada lahan bermain yang terjal, karena pemerintah lebih mensubsidi para pengusaha elite.
·    Akibatnya, para industrialis agraria memiliki 800.000 pertanian yang menduduki 75,7 persen lahan pertanian negara, dan secara total menghasilkan 62 persen produk pertanian. Lebih jauh lagi mengenai kesenjangan ini, hanya 1,5 persen pemilik top lahan pedesaan yang menempati 53 persen dari seluruh lahan pertanian.
·    Sebagai perbandingan, ada 4,4 juta pertanian keluarga di Brasil yang mencapai 85 persen dari seluruh operasi pertanian di negara itu. Sektor pertanian keluarga menghasilkan 70 persen pangan yang dikonsumsi di negara itu, namun dengan menggunakan kurang dari 25 persen lahan pertanian Brasil.

20190220

The Moneyless Manifesto: 1. Delusi Uang (Mark Boyle, 2012)

Antara mengulang doktrin konvensional yang sama seperti yang dikatakan semua orang, atau menyampaikan kebenaran yang kedengarannya seolah-olah berasal dari Planet Neptunus.
– Noam Chomsky

Belum lama ini di suatu acara makan malam saya menemukan serbet kertas yang dicetak dengan gambar uang sepuluh paun. Wajah sang Ratu yang tenang namun janggal, ramah namun mengusik, menatap balik pada kami semua, menantang untuk menyeka wajah kotor kami dengan apa yang telah menjadi simbol paling keramat. Tidak ada seorang pun yang berani melakukannya. Semua serbet tergeletak mulus tidak tersentuh sebagaimana sewaktu ditata. Rasanya sangat keliru menggunakan uang sepuluh paun, sekalipun hanya gambarnya, untuk menyeka glasir di mulut.
Pikirkan sejenak paragraf itu, dan Anda akan mulai menyadari betapa konsep uang telah sangat memengaruhi kita. Seandainya serbet itu berwarna putih polos yang biasa kita cekoki dengan tumpahan kopi, burger, koktail, dan irisan lemon di acara penggalangan dana, melayang-layang di latar belakang pada setiap pengalaman kuliner luaruang, saya berani bertaruh bahwa kita tidak akan pikir panjang untuk menggunakannya sekali saja, lantas membuangnya. Kita senang-senang saja memorakmorandakan pepohonan yang tidak terbilang jumlahnya melalui sektor pangan kita yang nyaman, namun kita ragu menyeka wajah kita dengan sesuatu yang sekadar citra dari uang sepuluh paun.

20190213

The Moneyless Manifesto: Seni semata propaganda (Mark Boyle, 2012)

Saya meminta Anda untuk mencamkan beberapa hal selama membaca buku ini. Bagian yang lebih praktis dalam buku ini—yaitu bab lima dan seterusnya—menguraikan aneka bahan bangunan bagi model baru kemasyarakatan yang—sering kali tidak disadari—telah ada di bak sampah Anda. Para pionir telah sejak lama membaktikan hidup mereka pada berbagai peranan dalam ekonomi kasih berbasis lokalisasi. Oleh karena itu, banyak solusi potensial yang telah dicoba dan diuji, menanti kita untuk merancangnya menjadi cara hidup baru yang holistis dan, yang lebih penting lagi, untuk menjalankannya.
Bila memungkinkan, saya akan menguraikan cara melakukan sesuatu secara lengkap, seperti menumbuhkan sampo sendiri atau mencari pelumas kelamin sendiri dari tumbuhan liar. Namun, beberapa solusi tanpa uang dalam bab-bab berikutnya, seperti membangun hutan penghasil pangan di taman belakang rumah yang sempit di kota, merupakan buku tersendiri, dan bila demikian persoalannya maka saya sekadar memberikan sekilas potensinya kalau-kalau Anda tertarik. Jika Anda tertarik, Anda akan menemukan rujukan berupa buku dan sumber-sumber lain (seringnya disajikan dalam catatan kaki) yang menurut pengalaman saya akan memberi Anda keterangan paling akurat dan lengkap mengenai dasar ekonomi tanpa uang yang baru saya singgung. Apakah solusinya besar atau kecil, semuanya merupakan komponen penting.

20190206

Penggalan: Tokyo Ueno Station (Yu Miri, 2019)

Dalam penggalan Tokyo Ueno Station karya Yu Miri, yang direncanakan terbit pada 2019 oleh Tilted Axis Press, seorang pria gelandangan mengingat kegagalan sebagai orang tua.

Terdengar suara itu lagi.

Suara itu—

Aku mendengarnya.

Namun aku tidak apakah suara itu ada di telingaku atau benakku.

Aku tidak tahu apakah suara itu berasal dari dalam diriku atau dari luar.

Aku tidak tahu kapan suara itu datang, atau siapa pemilik suara itu.

Apakah itu penting?

Apakah dulu itu penting?

Suara siapakah itu dulu?

20190120

The Moneyless Manifesto: Pengarang yang sungkan (Mark Boyle, 2012)

Saya menyadari bahwa semakin banyak yang saya pelajari dari kehidupan, semakin sedikit yang saya ketahui, atau yang dapat saya ketahui. Arogan rasanya menulis sebuah buku yang boleh jadi, di luar kehendak, memberi kesan bahwa saya—seorang manusia yang baru mulai memahami seutuhnya bagian-bagian paling pokok dari dirinya sendiri—memiliki jawaban apa pun atas problematik kemanusiaan mutakhir. Maka buku ini pun ditulis dengan sedikit banyak kesungkanan.
Kita hidup di dunia yang terdiri dari banyak kebudayaan manusia. Kenyataannya, kebudayaan-kebudayaan itu dengan gencar tengah dihomogenkan oleh imperialisme dan hegemoni kebudayaan yang telah menjadi sinonim dengan globalisasi dan menggantikan bentuk-bentuk kebudayaan yang lebih tradisional. Di antara kebudayaan-kebudayaan ini terdapat banyak sekali sub-subkebudayaan, yang semuanya hidup berjalinan dengan konvensi-konvensi sosial dan ekologi yang terlalu kompleks untuk dipahami secara intelektual. Kita merupakan gabungan dari para leluhur, dengan kepercayaan religi dan spiritual yang berlainan, begitu pula dengan riwayat berurat berakar yang menyertainya. Selama seribu tahun planet kita diris menjadi negara-negara yang berbatasan, yang telah mengembangkan hukum, taraf pembangunan, etiket sosial, mite kebudayaan, harapan duniawi, persoalan seks dan jenis kelamin, ketergantungan emosi dan fisik, hingga kompleksitas keuangan dan mikroklimatnya sendiri-sendiri. Bahkan di dalam kelompok-kelompok demografis yang beraneka itu pun kepribadian manusia banyak macamnya. Negara yang sama menjadi rumah bagi Noam Chomsky dan Rupert Murdoch.

20190113

The Moneyless Manifesto: Pengantar (Mark Boyle, 2012)

Daripada cinta, uang, dan ketenaran, berilah saya kebenaran.
– Henry David Thoreau

Kami sedang berjalan menembus salju yang baru turun pada petang Januari berlangit biru, ketika sembari menggenggam tangan kecil saya, ibu dengan lemah lembut mengatakan bahwa Sinterklas itu tidak ada. Tentu saja ibu saya bermaksud baik, hendak memberikan secubit cinta tegas untuk menyelamatkan saya dari aib menceritakan hadiah Natal yang dibawakan Sinterklas untuk saya kepada anak-anak lainnya yang lebih berpengalaman. Namun waktu itu usia saya sudah tujuh setengah tahun. Waktu itu saya sudah mulai mempertanyakan kepercayaan saya akan pakar ekonomi kasih yang agak buncit ini. Kecurigaan saya mulai timbul sejak saya berusia sekitar empat tahun.
Hingga waktu itu, Sinterklas mengasihi saya tanpa pamrih, sebagaimana payudara ibu saya, tanpa menghiraukan apakah saya bersikap baik atau nakal. Seiring dengan mendekatnya Natal kelima saya, saya ingat diberi tahu bahwa bagaimanapun juga si pria besar tidaklah segampang itu memberikan barang. Saya tidak lagi patut menerima kebaikan hatinya kecuali saya menjadi anak baik. Kasih Sinterklas, berikut kehidupan bersamanya, serasa berangsur-angsur mengandung pamrih. Namun sewaktu kecil yang kita ketahui kepamrihan bukanlah cara kerja Alam. (Semak berduri tidak pernah menanyakan apakah saya nakal sebelum memberikan beri hitamnya pada saya, begitu juga kali dengan airnya.) Maka saya pun mencium ada yang salah. Namun saya takut bila menyuarakan keraguan tersebut dapat mengakibatkan surutnya mainan baru. Maka selama dua setengah tahun itu saya melupakan pemikiran tersebut, menutup mulut, dan terus bersikap memercayai kisah fantastis Sinterklas. Anak kecil bisa licik juga.

20190106

Si Dukun (Marek Vadas, 2006)


Ike merasa akhirnya ia melewati titik kritis. Ia meminta pengukir kayu jalanan membuatkannya cap bundar bergambar kadal dengan tulisan “Ike Ngoma—Dukun Jiwa”. Istilah tersebut kedengarannya kurang tepat, tetapi udara saat itu sangat panas sehingga ia tidak terpikir yang lebih baik. Kemudian ia memberikan seekor ayam dan tiga ratus Franc pada pejabat yang langsung mengeluarkan izin. Sekarang Ike siap menjalankan praktiknya. Orang selalu senang menghadiahi siapa pun yang mampu mengeluarkan mereka dari kesulitan. Mereka akan membawakanmu buah, ubi rambat, atau gula, sekalipun jika mereka sendiri tidak punya apa-apa untuk dimakan.

Suatu pagi Ike pergi ke pasar seperti biasa, dan bermain mata dengan seorang pedagang yang masih muda hingga gadis itu memberinya sepotong fufu[1] dengan kuah daging secara cuma-cuma. Saat ini Ike sudah menganggur selama hampir enam bulan, sejak bosnya memecat dia dari gudang. Bosnya mengklaim bahwa beberapa peti berisi kola dan bir telah menghilang meski Ike siap bersumpah ia tidak pernah sekali pun menutup mata saat berjaga. Ia yakin benar bahwa si empunya gudang mengarang-ngarang barang yang hilang itu untuk menyingkirkan dia dan mengoper pekerjaannya pada kerabat bajingan si bos yang baru datang ke kota. Namun kini segalanya akan menjadi lain. Ike mengalami mimpi, yang memberinya ide cemerlang. Dalam mimpi itu ia melihat dirinya sedang melewati kerumunan orang yang terpincang-pincang. Mereka menautkan kedua tangan memohon dan ia menyembuhkan mereka dengan sekali sentuh. Ia menaruh tangannya dengan lembut di kening mereka, menggosok pelipis mereka, atau menyentuh pelupuk mata mereka yang separuh terpejam. Orang-orang datang padanya dengan borok bernanah, dengan belatung berkerubung dalam lubang di wajah mereka, orang-orang tak berhidung, serta anak-anak berperut kembung. Orang-orang berkumpul ke arahnya dalam arak-arakan yang tiada akhir—ia bahkan tidak tahu apakah mereka berjalan atau mengambang. Gerakan mereka seperti menaiki eskalator yang dilihatnya tahun lalu di supermarket Yaoundé. Hujan mencurahi wajah mereka. Hujan begitu derasnya hingga bumi menyatu dengan langit. Tetes-tetes merah terangkat dari tanah dan raib dalam awan kelabu. Mata orang-orang dalam kerumunan itu menatap jauh ke depan, seakan-akan mereka telah kehilangan segala harapan dan menerima akhir yang tak terelakkan. Sementara Ike menyentuh mereka seraya menggumamkan empat baris sajak yang diajarkan seorang tua padanya sewaktu ia kecil, kehidupan menyala kembali dalam tatapan mereka yang berkaca-kaca dan darah pun pelan-pelan meniris dari putih mata mereka. Ike yakin bahwa tuah dalam mimpinya berlaku pula di dunia nyata. Ia tahu itu sebab suara-suara yang dipercayainya mengatakan demikian.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...