Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 01 Lahirnya Seorang Prajurit Bagian 1 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Pada malam Januari yang teramat dingin, aku menyadari keberadaan konspirasi. Di dalam apartemen satu kamarku yang kecil seukuran enam tat...

20190106

Si Dukun (Marek Vadas, 2006)


Ike merasa akhirnya ia melewati titik kritis. Ia meminta pengukir kayu jalanan membuatkannya cap bundar bergambar kadal dengan tulisan “Ike Ngoma—Dukun Jiwa”. Istilah tersebut kedengarannya kurang tepat, tetapi udara saat itu sangat panas sehingga ia tidak terpikir yang lebih baik. Kemudian ia memberikan seekor ayam dan tiga ratus Franc pada pejabat yang langsung mengeluarkan izin. Sekarang Ike siap menjalankan praktiknya. Orang selalu senang menghadiahi siapa pun yang mampu mengeluarkan mereka dari kesulitan. Mereka akan membawakanmu buah, ubi rambat, atau gula, sekalipun jika mereka sendiri tidak punya apa-apa untuk dimakan.

Suatu pagi Ike pergi ke pasar seperti biasa, dan bermain mata dengan seorang pedagang yang masih muda hingga gadis itu memberinya sepotong fufu[1] dengan kuah daging secara cuma-cuma. Saat ini Ike sudah menganggur selama hampir enam bulan, sejak bosnya memecat dia dari gudang. Bosnya mengklaim bahwa beberapa peti berisi kola dan bir telah menghilang meski Ike siap bersumpah ia tidak pernah sekali pun menutup mata saat berjaga. Ia yakin benar bahwa si empunya gudang mengarang-ngarang barang yang hilang itu untuk menyingkirkan dia dan mengoper pekerjaannya pada kerabat bajingan si bos yang baru datang ke kota. Namun kini segalanya akan menjadi lain. Ike mengalami mimpi, yang memberinya ide cemerlang. Dalam mimpi itu ia melihat dirinya sedang melewati kerumunan orang yang terpincang-pincang. Mereka menautkan kedua tangan memohon dan ia menyembuhkan mereka dengan sekali sentuh. Ia menaruh tangannya dengan lembut di kening mereka, menggosok pelipis mereka, atau menyentuh pelupuk mata mereka yang separuh terpejam. Orang-orang datang padanya dengan borok bernanah, dengan belatung berkerubung dalam lubang di wajah mereka, orang-orang tak berhidung, serta anak-anak berperut kembung. Orang-orang berkumpul ke arahnya dalam arak-arakan yang tiada akhir—ia bahkan tidak tahu apakah mereka berjalan atau mengambang. Gerakan mereka seperti menaiki eskalator yang dilihatnya tahun lalu di supermarket Yaoundé. Hujan mencurahi wajah mereka. Hujan begitu derasnya hingga bumi menyatu dengan langit. Tetes-tetes merah terangkat dari tanah dan raib dalam awan kelabu. Mata orang-orang dalam kerumunan itu menatap jauh ke depan, seakan-akan mereka telah kehilangan segala harapan dan menerima akhir yang tak terelakkan. Sementara Ike menyentuh mereka seraya menggumamkan empat baris sajak yang diajarkan seorang tua padanya sewaktu ia kecil, kehidupan menyala kembali dalam tatapan mereka yang berkaca-kaca dan darah pun pelan-pelan meniris dari putih mata mereka. Ike yakin bahwa tuah dalam mimpinya berlaku pula di dunia nyata. Ia tahu itu sebab suara-suara yang dipercayainya mengatakan demikian.

Ike datang ke bar dan berbaur dengan para pelanggan hingga ia menemukan botol bir yang belum habis isinya. Sambil berdiri ia menyesap bir itu pelan-pelan dan menonton orang-orang yang bermain dadu. Tahu-tahu ia merasa ada yang memukul kepalanya dengan tongkat. Pandangannya mengabur dan ia terbungkuk nyeri. Setelah pulih ia berpaling dan tidak mendapati apa pun yang mencurigakan di belakangnya. Di jalan para wanita yang tengah menyeimbangkan belanga di atas kepala lambat-lambat mengerumuni pasar dan tak seorang pun memerhatikan dia begitu pula orang-orang yang tengah berdiri di luar bar. Ike menggosok luka di puncak kepalanya dan memandangi telapak tangannya. Darah berlumuran.

Ike ke dapur untuk mencuci tangan dan berusaha mencerna kejadian itu. Ia bahkan tidak yakin apakah ia cenderung marah atau bingung. Dulu sewaktu remaja ia banyak berkelahi, sering pulang dengan benjol dan baret. Namun nyeri kali ini terasa sungguh berbeda. Serangan itu membuatnya merinding.

Ike telah membeli rempah dan mengumpulkan herba, meramunya lalu mengemasnya ke dalam botol-botol kecil yang diperolehnya dari tempat pembuangan sampah di belakang sebuah hotel. Ia menomori botol-botol itu menurut caranya sendiri lalu membagi-baginya berdasarkan asal penyakit—mental dan fisik, yang terakhir ini dibagi lagi menjadi sebelah luar dan dalam.

Baru saja memulai, Ike beruntung bertemu beberapa wanita tua yang memang membutuhkan herba atau arang obat untuk disentri. Pemula mana pun biasanya baru berhasil setelah beberapa hari praktik. Apalagi Ike bisa mengandalkan jampi yang dipelajarinya sewaktu kecil, beberapa kalimat ajaib yang memperlancar awal praktiknya. Kabar keberhasilannya menyebar cepat padahal baru sedikit yang bisa ia bualkan. Di kota kecil seperti Bamenda perkataan wanita tua dikeramatkan.

Dari jasanya itu Ike memperoleh kursi ukiran yang ditempatkannya di samping tempat tidur dan ia dapat membeli sepasang sandal baru. Ia dapat menukar beberapa telur dengan ikan asin di pasar dan mampu membeli bir tanpa mengutang. Hidupnya membaik.

Suatu hari seorang lelaki kurus kering yang putus asa mendatangi pondoknya. Lelaki itu bilang Ike harus menyembuhkan saudarinya. Gadis itu berada di rumah sakit namun dokter tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat untuk menolongnya. Gadis itu sudah dua kali menjalani operasi.

Ike mendatangi rumah sakit itu. Di sana ia menemui seorang wanita muda berkulit pucat yang berbaring diam dengan mata membuka, dikelilingi tembok terang semerah darah. Lelaki yang putus asa itu menyeret Ike ke dalam ruangan dan duduklah ia berhadapan dengan dokter.

Sewaktu dibawa ke rumah sakit, gadis itu menjerit-jerit kesakitan. Dokter mendapati bahwa itu bukanlah penyakit usus buntu melainkan demam siput stadium lanjut. Mereka segera melakukan operasi dan mengeluarkan setengah ember cacing kerawit. Dalam dua minggu kondisi gadis itu membaik namun begitu akan keluar dari rumah sakit kakinya lumpuh dan denyut nadinya hampir tidak teraba. Semua dokter berlarian ke ruang operasi dan ketika mereka membedah perutnya, mereka mendapati isi perutnya lagi-lagi penuh oleh sekawanan cacing tipis yang panjangnya sekitar dua puluh sentimeter. Ada sebanyak lima kilogram cacing yang dikeluarkan. Sejak itu si gadis menderita sekali dan dokternya tidak dapat berpikir apa lagi yang mesti dilakukan selain menyuntikkan morfin.

Ike terhuyung-huyung mundur dan pergi ke luar mencari udara segar. Saat itu siang dan matanya pedih oleh keringat. Mengetahui keadaan ini saja sudah membuatnya sesak. Ia ingin kembali menemui lelaki malang itu dan meminta maaf. Namun baru beberapa langkah hendak melalui ambang pintu rumah sakit, ia lagi-lagi merasakan kepalanya dipukul oleh benda tumpul. Pukulan kali ini lebih dahsyat daripada yang sebelumnya, sehingga Ike pun roboh dan pingsan.

Kabut gelap di hadapannya tercerai lalu muncul seekor burung hitam yang amat besar. Burung itu hinggap di perutnya dan matanya yang amat besar meneliti wajah Ike. Dokterlah yang membawa Ike kembali ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Sembari masih terbaring di kasur, Ike menyangga tubuh dengan siku dan melihat seorang lelaki siluman duduk di sebelah dokter dan lelaki kurus kering yang putus asa itu. Kaki lelaki siluman berjuntai dari kasur dan ia memainkan tongkat panjang yang menyerupai gagang cangkul, seraya mengawasi Ike yang siuman. Gerak tubuh lelaki itu mengisyaratkan bahwa dirinya inkognito. Ia tidak terlihat oleh dokter dan lelaki satunya. Ike seorang yang dapat melihatnya.

Kemudian pada hari itu juga si lelaki siluman mendatangi rumah Ike. Dengan santainya ia meminta maaf karena telah memukul Ike dan mengakui bahwa ia agak keterlaluan. Si lelaki siluman mengelilingi pondok Ike, sembari mengayun-ayunkan tongkat dan mengetukkannya pada perabot, tempat tidur, serta dinding kardus yang lembap. Kadang ia merengut, lalu mengangguk-angguk mengapresiasi dan bergumam pelan seakan-akan sedang menilai barang yang hendak dibelinya.

Walau ia berbicara pada Ike dengan nada yang ramah, memanggilnya “sobatku”, ia tidak terlihat baik. Ike tidak menyukai tatapan bengis nan pucat ataupun nada suaranya yang, alih-alih menyuruhnya berbuat sesuatu, lelaki siluman itu mengatakan hal seperti “sudah pasti kau akan setuju”, “kau tahu sendiri inilah yang terbaik untukmu” atau “aku yakin kau tak akan menolak”. Ike mendengarkan si lelaki siluman seperti yang terpesona dan tidak sanggup melawan, maka ia setuju akan mengobati si gadis yang telah membikin rumah sakit angkat tangan itu. Si lelaki siluman berjanji akan menemani dan membantu jika diperlukan. Seperti yang ia perbuat sebelumnya, tanpa diketahui Ike.

Tamu tersebut singgah hingga tengah malam. Mereka berbagi seporsi fufu dengan kuah ikan, dan mengguyurnya dengan bir buatan sendiri dari kedai seberang jalan. Kemudian si lelaki siluman melambaikan tongkat sebagai tanda undur diri dan raib ke dalam gelap.

Begitu pintu terempas di belakangnya, Ike merasa lega. Ia merasa seolah-olah seharian itu tubuhnya tidak berbuat apa pun selain dalam kendali si lelaki bertongkat. Baru sekarang ia menyadari bahwa lelaki itu telah menguasai dia sepenuhnya. Ia bertanya-tanya apa yang mesti diperbuatnya dalam keadaan ini. Ia memeriksa persediaan herbanya dan terus-terusan merapal jampi dari masa kecilnya. Ia memerban lukanya, lalu meregangkan diri di kasur dan memejamkan mata.

Ike memimpikan si gadis di rumah sakit itu. Tubuhnya diselimuti banyak cacing. Cacing-cacing itu menyeret si gadis ke arah sungai cokelat yang berbuih. Gadis itu mencoba bertahan pada bebatuan tajam yang menyembul di jalan namun cacing-cacing mengerogoti tangannya. Tanpa perlawanan, gumpalan rumput yang dicengkam jemari gadis itu pun merayap dari tanah. Ike berdiri di bantaran, bersama binatang-binatang liar dan makhluk lainnya, memandangi perjuangan sia-sia gadis itu. Kakinya terbuat dari batu dan lidahnya menjadi kayu. Sebelum ia dapat menjangkau si gadis cacing-cacing sudah menyeretnya ke air untuk selama-lamanya.

Ike bangun terengah-engah dan kuyup oleh keringat. Badai mengamuk di luar dan hawa di dalam pondok terasa berat lagi pengap, seakan-akan ada yang menyerakkan mayat di seluruh tempat itu. Luka di balik perbannya masih berborok dan nyerinya tidak juga surut, tidak biarpun dengan perban khusus. Ike menjeritkan sumpah serapah terkasar yang dapat dipikirkannya pada gemuruh guntur. Ia tercengkam oleh amarah tanpa daya melawan si lelaki siluman yang telah menyiksa dia tanpa sebab, dengan terus berpura-pura hendak membantu. Ike telah mengorbankan segala kekuatannya untuk mengobati yang sakit hanya untuk diberi pukulan yang tidak kunjung pulih. Ia berlari keluar pada hujan dan mulai menyusuri jalan panjang ke arah pasar. Ia tidak tahu untuk apa namun merasa terpaksa keluar dari rumah yang dinding-dindingnya mengimpit dia dan menjadikan dia merasa kian kerdil.

Secercah cahaya lentera berkelip-kelip oleh angin di tengah alun-alun. Lubang-lubang di jalan tarmak tertutup oleh banjir. Ike terperosok berkali-kali dan pergelangan kakinya nyeri akibat tergelincir sewaktu berlari keluar dari rumah tadi. Kala matanya separuh terpicing, aliran air hujan menyerupa kaca gelap. Di balik kaca itu samar-samar ia mendapati siluet sosok-sosok dalam mimpinya dulu, ketika untuk pertama kali ia melihat dirinya sebagai seorang dukun. Ia melihat wanita-wanita tua penderita diare, anak-anak pengidap kusta dengan anggota badan yang diamputasi, si lelaki kurus kering yang putus asa, serta penjaja herba di pasar. Sebagian menganggukkan sapa sementara yang lain bergeming. Putih mata mereka berkilauan dalam gelap tanpa bergerak.

Entah bagaimana akhirnya ia sampai di depan bangunan rumah sakit. Suara hujan menggebuk atap seng memekakkan dan nyala api unggun yang dibikin dadakan memancar di koridor. Si lelaki siluman muncul dari keremangan dan mengarahkan Ike pada gadis itu. Si gadis berbaring di lantai dekat api. Ike menyadari hujan yang turun ke balik atap sama derasnya dengan yang di sebelah luar. Ia berlutut pada kubangan air, serta-merta mengikuti perintah si lelaki siluman. Ia menggosokkan minyak pada perut basah si gadis, sambil pelan-pelan mengucapkan jampi ajaib dari mimpinya berulang-ulang. Dari balik punggung ia mendengar suara-suara monoton merapalkan doa yang tak terpahami. Ia merasa kian lemah saja hingga tidak menyadari darah dari luka di kepalanya mulai menetes ke kulit berkilau gadis itu. Darahnya bercampur dengan minyak dan semakin pelan saja ia mengusapkannya. Pandangannya meredup dan sesaat ia mengira melihat benang-benang hitam.

Cacing-cacing itu perlahan mulai mengisar di kedua tangan Ike. Ia tidak sanggup menyingkirkan mereka. Ia berlutut di atas gadis tak bernyawa di tengah-tengah sepetak area terbuka di hutan luar kota. Yang bisa dilihatnya hanyalah api yang membara. Lalu tangan si lelaki siluman dengan lembut menyentuh dahinya. Ike diliputi rasa tak berdaya, serta panas yang membakar. Kepalanya terjatuh ke payudara telanjang wanita itu.

Sementara tubuhnya menggigil sekarat, Ike berusaha mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa untuk mengucapkan sekalimat. Bibirnya membentuk jampi yang telah banyak membantunya, diajarkan padanya oleh orang yang ditemuinya di hutan kala ia kecil:

Kau yang tak berbadan
Kumohon: biarkanku lepas dari nyeri
Kau yang membawa kematian
Kumohon: biarkanku terjaga lagi

[]



Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Julia Sherwood dan Peter Sherwood.



Catatan penerjemah bahasa Inggris

Keterpesonaan penulis Slowakia Marek Vadas pada Afrika Barat dan Tengah dimulai pada 1997 saat ia pertama kali mengunjungi Kamerun dan Gabon sebagai jurnalis muda. Sejak itu ia kembali berkali-kali dengan waktu kunjung lebih lama, sambil membawa obat-obatan dan keperluan dasar lainnya yang dapat diangkut pesawat dan bis kecil.

“Saya mengunjungi Khatulistiwa bukan untuk mengkritik atau mengubah apa-apa,” kata Marek Vadas dalam wawancara baru-baru ini dengan majalah sastra Ceko A2. “ Saya tidak ingat kapan dan bagaimana saya melintasi perbatasan dan mulai melihat adat dan ritual setempat sebagai kelaziman …. Mereka memiliki nilai-nilai yang berbeda, pemahaman yang berbeda akan masa lalu dan masa depan, cara yang berbeda dalam melihat penyebab dari berbagai hal dan mereka sangat terikat pada tradisi. …. Kamerun berubah pesat, jalan-jalan baru sedang dibangun, di kota-kota besar hampir segalanya tersedia di rumah, hidup menjadi semakin ‘beradab’. Kerajaan-kerajaan di perbatasan antara Kamerun dan Nigeria cukup terasing sehingga kebanyakan tradisi mereka terjaga. Sehari-hari mereka masih dalam aturan raja, dewan tetua serta dukun, perselisihan dipecahkan di batu keramat, penjahat diketahui dari kura-kura, tukang sihir melakukan ritual untuk meminta nasihat dari para leluhur, dan sebelum menebang pohon orang berdoa dulu dan meminta ampunan padanya. Akan tetapi, dunia seperti ini akan segera menghilang dan lenyap selamanya sebelum kita sempat untuk mengenali dan memahaminya.”

Seperti yang bisa dilihat dari tanggapan terhadap krisis pengungsi di Eropa Tengah, pemahaman akan budaya lain di kawasan ini sayangnya tidak cukup. Marek Vadas mewakili suara langka yang membantu mendirikan jembatan antarbudaya yang berbeda-beda. Ia telah mendalami budaya, ritual, dan tradisi Afrika. Cerita-cerita karangannya, yang mengaburkan batasan antara mimpi dan kenyataan, diisi karakter-karakter yang jenis kelamin, wujud, warna kulit, dan ingatannya dapat berubah-ubah dalam semalaman. Namun Vadas tidak hendak mengeksotiskan dunia ini. Cerita-ceritanya disampaikan tanpa tedeng aling-aling, dari sudut pandang protagonis dengan bahasa yang mengupas dan memaparkan. Tantangan dan tujuan utama kami dalam menerjemahkan “The Healer” adalah untuk mempertahankan gaya tanpa tedeng aling-alingnya yang berlawanan dengan kualitas mistis dan angker cerita tersebut.




Marek Vadas penulis Slowakia lahir di Košice pada 1971. Ia sering mengunjungi kawasan khatulistiwa Afrika dan menjadi penasihat raja Nyenjei, sebuah kerajaan kecil di Kamerun. Ia pengarang novel Malý román (A Little Novel, 1994), beberapa kumpulan cerpen, meliputi Prečo sa smrtka smeje (Mengapa Malaikat Maut Tertawa, 2003) Liečiteľ (Sang Dukun, 2006), dan Čierne na čiernom (Hitam yang Hitam, 2013), juga buku kumpulan dongeng Afrika untuk anak-anak. Fiksinya menggabungkan bentuk narasi tradisional Afrika dengan modernisme Eropa. Dalam cerita-ceritanya yang sering kali absurd dan ironis, berlatarkan adat dan budaya setempat, kenyataan bercampur dengan mimpi, yang hidup dengan yang mati, dan yang sakral dengan yang profan. Buku-buku Vadas telah diterjemahkan ke bahasa Ceko, Ukrania, Jerman, dan Hungaria. Terjemahan buku-bukunya dalam bahasa Slovenia dan Polandia sedang dikerjakan. Pada 2007 kumpulan cerpennya Liečiteľ  memperoleh anugerah Anasoft Litera, penghargaan sastra paling prestisius di Slowakia.

Julia Sherwood lahir dan tumbuh di Bratislava, Slowakia. Setelah bekerja untuk Amnesty International selama dua puluh tahun lebih, pada 2008 ia menjadi penerjemah lepas. Buku-buku terjemahannya ke bahasa Inggris (bersama Peter Sherwood) meliputi Samko Tále’s Cemetery Book oleh Daniela Kapitáňová, Freshta oleh Petra Procházková, The House of the Deaf Man oleh Peter Krištúfek, Lullaby for a Hanged Man oleh Hubert Klimko-Dobrzaniecki (dari bahasa Polandia ke Slowakia dan Inggris), serta The Memory Chalet oleh Tony Judt ke bahasa Slowakia.

Peter Sherwood mengajar di Pusat Studi Slowakia dan Eropa Timur (kini bagian dari University College London) hingga 2007. Dari 2008 sampai 2014 ia Profesor Budaya dan Bahasa Hungaria di Universitas Carolina Utara di Chapel Hill. Ia penerjemah novel The Book of Fathers oleh Miklós Vámos dan The Finno-Ugrian Vampire oleh Noémi Szécsi serta kumpulan cerpen oleh Dezső Kosztolányi, Zsigmond Móricz, dan lain-lainnya, juga karya-karya berupa puisi, drama, dan filsafat. Saat ini ia menerjemahkan esai-esai tentang sastra dunia oleh Antal Szerb.



[1] Makanan pokok di kawasan Afrika Barat dan Karibia, umumnya terbuat dari tepung ketela

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...