Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita [1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi k...

20141227

Sputnik Sweetheart, Bab I 10/10 (Haruki Murakami, 1999)

Ketika melihat ayahnya Sumire, Miu terkelu. Sumire dapat mendengar helaan napasnya. Seperti tirai beledu yang ditarik ke sisi pada pagi yang damai sehingga sinar matahari dapat menerobos dan membangunkan orang yang amat kita kasihi. Mungkin seharusnya aku membeli kacamata opera, pikir Sumire. Namun ia sudah terbiasa dengan reaksi dramatis yang ditimbulkan oleh paras ayahnya pada orang-orang—khususnya wanita paruh baya. Apakah gerangan keindahan itu? Kualitas apa yang dikandungnya? Sumire tidak pernah mengerti. Namun tidak pernah ada yang memberinya jawaban. Yang ada hanyalah efek yang begitu-begitu saja.
“Bagaimana rasanya punya ayah yang ganteng?” tanya Miu. “Penasaran saja.”
Sumire mendesah—orang begitu mudah ditebak. “Tidak bisa dibilang menyenangkan sih. Semua orang pikirannya sama: Lelaki itu tampan sekali. Sangat menonjol. Tapi anak perempuannya tidak begitu enak dilihat, ya? Pasti itu yang dimaksud dengan atavisme, pikir mereka.”

20141220

Sputnik Sweetheart, Bab I 09/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sewaktu Sumire dan Miu duduk satu meja di resepsi pernikahan, mereka melakukan apa yang setiap orang di dunia lakukan dalam situasi semacam itu, yaitu, memperkenalkan diri masing-masing. Sumire membenci namanya sendiri dan berusaha menyembunyikannya kapanpun bisa. Namun ketika ada yang menanyakan nama kita, satu-satunya perbuatan yang sopan untuk dilakukan adalah memberitahukannya.
Menurut sang ayah, ibunya lah yang memilihkan nama Sumire. Perempuan itu menyukai lagu Mozart yang judulnya demikian dan telah memutuskan sedari lama bahwa jika ia punya anak perempuan maka itulah namanya. Pada rak rekaman di ruang keluarga mereka, ada rekaman lagu-lagu Mozart. Tidak diragukan lagi itulah yang didengarkan oleh ibunya. Sewaktu masih kecil, dengan hati-hati Sumire meletakkan piringan hitam yang berat itu pada alat pemutarnya dan mendengarkan lagu tersebut terus-menerus. Elisabeth Schwarzkopf yang menjadi pemain solo, Waiter Gieseking pada piano. Sumire tidak mengerti liriknya, namun dari melodinya yang anggun, ia merasa yakin lagu itu menyanjung keindahan bunga violet yang sedang bermekaran di padang. Sumire menyukainya.

20141213

Sputnik Sweetheart, Bab I 08/10 (Haruki Murakami, 1999)

"Kepalaku ini seperti gudang yang penuh-sesak dengan hal-hal yang ingin kutuliskan," ucapnya. "Bayangan-bayangan, adegan-adegan, penggalan-penggalan kata... dalam pikiranku semuanya menyala-nyala, hidup. Menulislah! mereka berseru padaku. Aku bisa merasakan adanya sebuah kisah baru yang hebat yang akan lahir. Kisah itu akan membawaku ke sebuah tempat yang sama sekali baru. Masalahnya, begitu aku duduk di balik meja dan menuliskannya di kertas, aku menyadari adanya hal sangat penting yang luput. Kisah itu tidak mengkristal--bukan kristal, cuma kerikil. Jadinya aku tidak terbawa ke mana-mana."
Sambil cemberut, Sumire memungut batu yang ke-250 dan melontarnya ke kolam. 
"Mungkin ada yang kurang dari diriku. Sesuatu yang semestinya dimiliki seorang novelis."
Muncul keheningan yang dalam. Sepertinya ia menunggu pendapatku yang biasa-biasa-saja. 
Sebentar kemudian aku mulai bicara. "Dulu sekali di Cina ada kota-kota yang dikelilingi tembok tinggi, dengan gerbang yang sangat besar dan bagus sekali. Gerbang itu bukan sekadar untuk orang keluar-masuk, tapi juga ada fungsinya yang lebih penting. Orang percaya kalau nyawa kota ada pada gerbang itu. Atau setidaknya itu seharusnya ada di sana. Seperti di Eropa pada Abad Pertengahan, ketika orang menganggap jantung kota ada pada katedralnya atau alun-alun pusat. Karena itulah sampai sekarang di Cina ada banyak gerbang menakjubkan yang masih berdiri. Tahu tidak, bagaimana orang Cina membangun gerbang-gerbang itu?"

20141206

Sputnik Sweetheart, Bab I 07/10 (Haruki Murakami, 1999)

Tiap akhir pekan, Sumire berkunjung ke apartemenku. Draf novel menyembul dari ba­lik kepitan lengannya--naskah bernasib mujur yang selamat dari pembantaian. Bi­ar­pun naskahnya sudah bertumpuk-tumpuk, Sumire memperlihatkannya pada se­o­rang saja di muka bumi ini. Aku.
Di kampus aku dua angkatan di atas Sumire. Mata kuliah kami berbeda. Jadi tak banyak kesempatan berjumpa di antara kami. Kami dapat berkenalan karena mur­ni kebetulan. Saat itu Senin pada bulan Mei, hari setelah serangkaian libur. Aku se­dang berdiri di tempat pemberhentian bis di depan gerbang utama kampus sambil mem­baca novel Paul Nizan yang kubeli di toko buku bekas. Cewek pendek di samping­ku mencondongkan tubuhnya, memandangi buku yang kupegang, dan ber­ta­nya, Ngapain sih baca bukunya Nizan? Kedengarannya seperti mau mengajakku ber­an­tem. Seakan ingin ditendangnya sesuatu sampai terlontar tinggi-tinggi, tapi karena ti­dak ada sasaran yang pantas maka yang diserangnya pun pilihan bacaanku.

20141127

Sputnik Sweetheart, Bab I 06/10 (Haruki Murakami, 1999)

Perjumpaan dengan sang Sputnik Sayang terjadi setelah lebih dari dua tahun Sumire pu­tus kuliah.
Ia menempati apartemen satu-kamar di Kichijoji. Jumlah perabotannya sangat se­dikit sementara jumlah bukunya begitu banyak. Ia baru bangun ketika hari sudah si­ang, lalu sorenya berjalan-jalan di Taman Inogashira dengan gairah seorang pe­zi­a­rah yang hendak mendaki bukit suci. Kalau cuaca sedang cerah, ia duduk-duduk di bang­ku taman dan membaca, sambil mengunyah roti dan mengepulkan asap rokok se­cara bergantian. Kalau cuaca sedang hujan atau dingin, ia mengunjungi kedai kopi an­tik yang memutar musik klasik kencang-kencang, lalu tenggelam dalam sofa usang, dan membaca buku dengan tampang serius selagi mendengarkan simfoni Schu­bert atau kantata Bach. Setelah malam tiba, ia akan menenggak bir dan membeli ma­kan malam siap-santap di supermarket.
Barulah pada pukul sebelas malam ia duduk di balik meja kerjanya. Di de­kat­nya selalu tersedia termos berisi kopi panas, cangkir kopi (bergambar kartun Snafkin yang kuberikan padanya sewaktu ia berulang tahun), satu pak Marlboro, dan asbak. Ten­tunya ia juga memiliki mesin pengolah kata, dengan huruf yang berbeda pada se­tiap tutsnya.

20141120

Sputnik Sweetheart, Bab I 05/10 (Haruki Murakami, 1999)

Obrolan tentang Sputnik itu berlangsung di resepsi pernikahan sepupu Sumire di se­bu­ah hotel mewah di Akasaka. Sumire tidak begitu dekat dengan sepupunya; malah se­benarnya mereka tidak saling bergaul sama sekali. Dengan segera Sumire merasa ter­siksa di resepsi itu, tapi tidak bisa melarikan diri. Ia dan Miu mendapat tempat du­duk yang bersebelahan di salah satu meja. Miu tidak memberi keterangan yang pan­jang-lebar tentang dirinya saat itu, hanya sepertinya ia pernah mengajari sepupu Su­mi­re bermain piano--atau lainnya yang semacam itu--sewaktu akan menghadapi uji­an masuk ke jurusan musik di universitas. Sebenarnya hubungan itu berlangsung sing­kat saja pun tidak begitu akrab, namun Miu merasa harus tetap hadir.
Sumire jatuh cinta seketika Miu menyentuh rambutnya. Rasanya seperti se­dang berjalan-jalan di tanah lapang ketika tahu-tahu jeder! geledek menyambarnya te­pat di kepala. Semacam kesadaran artistik, kiranya. Karena itulah, bukan masalah ba­gi Sumire bahwa orang yang membuatnya jatuh cinta kebetulan seorang wanita.

20141113

Sputnik Sweetheart, Bab I 04/10 (Haruki Murakami, 1999)

Kembali pada pertemuan antara Sumire dan Miu.
Miu pernah mendengar tentang Jack Kerouac, dan samar-samar merasa itu na­ma pengarang suatu novel. Tapi novelis macam apa, ia tidak ingat. "Kerouac... hmmm.... Dia itu Sputnik, bukan, ya?"
Sumire tidak mengerti maksud Miu. Sementara memikirkannya, pisau dan gar­pu yang dipegangnya tertahan di udara. "Sputnik? Maksudnya satelit pertama Soviet yang diberangkatkan tahun limapuluhan itu? Jack Kerouac itu novelis dari Amerika. Me­mang sepertinya mereka muncul pada waktu yang bersamaan...."
"Itu sebutan untuk para penulis zaman dulu, kan, ya?" tanya Miu. Ujung jarinya ber­putar-putar di meja seakan tengah mengaduk-aduk semacam toples yang terisi pe­nuh oleh ingatan.
"Sputnik...?"

20141106

Sputnik Sweetheart, Bab I 03/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sumire ingin menjadi seperti tokoh dalam novel Kerouac--serampangan, menawan, dan hidup tak beraturan. Ia berkeluyuran dengan tangan terbenam dalam-dalam di kan­tong mantelnya, rambut kusut tak tersisir, dan tatapan hampa ke arah langit me­la­lui kacamata berbingkai plastik hitam ala Dizzy Gillespie--biarpun sebetulnya peng­lihatannya normal. Penampilannya dilengkapi mantel kebesaran bermotif lurik da­ri toko pakaian bekas serta sepatu bot yang biasa dikenakan pekerja kasar. Aku ya­kin ia akan menumbuhkan janggut seandainya bisa. 
Sebenarnya Sumire tidak cantik. Pipinya cekung. Mulutnya agak kelewat lebar. Hi­dungnya kecil dan mencuat. Wajahnya ekspresif, selera humornya pun besar, tapi ta­wanya jarang sampai terpingkal-pingkal. Tubuhnya pendek, dan bahkan meski su­a­sa­na hatinya sedang baik, cara bicaranya seperti mau mengajak berkelahi. Aku tidak per­nah melihatnya mengenakan lipstik ataupun pensil alis. Aku bahkan ragu kalau ia ta­hu kutang itu ukurannya bermacam-macam. Biarpun begitu, ada suatu hal yang is­ti­mewa pada dirinya, yang membuat orang tertarik padanya. Menjelaskan hal yang is­timewa itu tidaklah mudah. Tapi cobalah tatap matanya, dan temukan ke­is­ti­me­wa­an­nya itu membayang jauh di dalam sana.

20141027

Sputnik Sweetheart, Bab I 02/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sumire seorang romantis akut, sedikit saja tatanan dalam gayanya--apa ada­nya dalam menghadapi dunia dan senang menjadikannya bergejolak. Buatlah ia bi­ca­ra, ia akan meracau tak henti-henti. Tapi kalau bersama orang yang tidak cocok de­ngannya--dengan kata lain, kebanyakan orang di dunia ini--ia hampir tidak akan mem­buka mulut. Ia kecanduan merokok, dan hitung saja berapa kali ia kehilangan ti­ket tiap kali mau menaiki kereta. Kadang ia begitu asyik dengan pikirannya sendiri sam­pai-sampai lupa makan. Tubuhnya pun sekurus anak-anak yatim piatu korban pe­rang dalam sebuah film Italia lawas--mirip tongkat yang ditempeli mata. Aku mau sa­ja memperlihatkan fotonya, tapi tidak punya. Ia tidak suka difoto. Tak ada ke­ingin­an­nya menunjukkan pada anak-cucu potretnya sebagai seorang seniman muda. Ka­lau saja ada foto Sumire pada waktu itu. Fotonya akan menjadi bukti yang berharga bah­wa orang tertentu dapat menjadi begitu istimewa.
Urutan kejadiannya simpang-siur dalam kepalaku. Wanita yang dicintai Sumire itu bernama Miu. Setidaknya begitulah orang memanggilnya. Aku tidak tahu na­ma­nya yang sebenarnya, yang nantinya akan menjadi masalah, tapi sekali lagi aku ke­ja­uh­an menceritakannya. Miu berkebangsaan Korea. Tapi ia tidak bisa berbahasa Korea hing­ga memutuskan untuk mempelajarinya pada usia pertengahan duapuluh. Ia lahir dan dibesarkan di Jepang lalu melanjutkan studi di sebuah akademi musik di Prancis. Ja­di selain bahasa Jepang, ia juga fasih berbahasa Prancis dan Inggris. Pakaiannya se­la­lu bagus dan sopan, dengan perhiasan yang mahal namun tak mencolok. Selain itu ia mengendarai Jaguar 12 silinder warna biru laut.

20141020

Sputnik Sweetheart, Bab I 01/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sputnik



Pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan satelit buatan manusia per­ta­ma, Sputnik I, dari Baikanor Space Centre di Republik Kazakhstan. Sputnik yang ber­di­a­meter 58 cm dan berbobot 83,6 kilogram itu mengitari Bumi selama 96 menit 12 de­tik.
Pada 3 November tahun yang sama, Sputnik II berhasil diluncurkan dengan mem­bawa seekor anjing bernama Laika. Laika menjadi makhluk hidup pertama yang me­ninggalkan atmosfer Bumi. Namun satelit tersebut tidak pernah ditemukan kem­ba­li. Laika berakhir sebagai korban dari kepentingan penelitian biologi di luar ang­ka­sa.

dari The Complete Chronicle of World History





1



Pada musim semi ketika usianya duapuluh-dua tahun, Sumire jatuh cinta untuk per­ta­ma kalinya. Cinta yang bergelora, bagaikan tornado yang menyapu penjuru da­rat­an--meratakan apapun yang dilewatinya, melontarkan semuanya ke udara, men­ca­bik-cabiknya dan melumatnya hingga menjadi serpihan. Tak sedetikpun kekuatan tor­nado itu mereda kala menggerus samudera, memorak-porandakan Angkor Wat, meng­hanguskan hutan India beserta segala isinya, menjelma badai pasir di gurun Per­sia, hingga meluruhkan kota berbenteng nan eksotis menjadi lautan debu. Sing­kat­nya, cinta yang teramat besar. Orang yang dicintainya itu berusia tujuhbelas tahun le­bih tua. Dan sudah menikah. Dan, perlu kutambahkan juga, seorang wanita. Dari si­ni­lah semuanya bermula, dan berakhir. Hampir.

20141013

Hari Ini Akan Jadi Hari yang Tenang (Amy Hempel, 1986)

“Mestinya ada jalan lain di sekitar sini,” si anak lelaki berkata. “Kalau tahu-tahu ada gempa, jembatannya bakal runtuh. Tinggal jalan di ujung-ujung saja yang tersisa.”

Ia melirik kakaknya dengan puas.

“Kamu menakut-nakuti kakakmu saja,” kata si ayah. “Itu tidak benar.”

“Tidak, sungguh,” anak lelaki itu memaksa, “aku dengar burung-burung waktu tengah malam. Bukannya itu peringatan?”

Si anak perempuan melempar pandangan beracun pada adiknya, lalu meraup setangkup Raisinets. Ketiganya terkurung kemacetan di Jembatan Golden Gate.

Pagi itu, sebelum membangunkan anak-anaknya, si ayah membatalkan les musik mereka. Ia memutuskan untuk melewatkan seharian itu bersama-sama. Ia ingin tahu bagaimana anak-anaknya, itu saja. Hanya—bagaimana sih mereka. Ia pikir anak-anaknya sama mandiri dengan anjing-anjing yang dapat membawa tali kekangnya sendiri. Tapi bisa saja salah.

20141006

Katakan Ya (Tobias Wolff, 1985)

Mereka sedang mencuci piring bersama-sama. Istrinya yang mencuci sedangkan lelaki itu yang mengeringkan dengan lap. Lelaki itu yang mencuci pada malam sebelumnya. Tidak seperti kebanyakan lelaki lainnya yang dia kenal, dia benar-benar rela menyingsingkan lengan bajunya untuk pekerjaan rumah. Beberapa bulan sebelumnya dia mendengar seorang teman mengucapkan selamat kepada istrinya karena memiliki suami yang penuh perhatian. Pikirnya, aku berusaha. Membantu mencuci piring adalah cara yang dilakukannya untuk menunjukkan betapa penuh perhatian dirinya.

Mereka membicarakan berbagai hal. Entah bagaimana mereka sampai pada topik bagaimana bila orang kulit putih menikah dengan orang kulit hitam. Setelah mempertimbangkan banyak hal, menurutnya itu gagasan yang buruk.

“Kenapa?” istrinya bertanya.

Kening perempuan itu berkerut, bibir bawahnya digigit, sementara tatapannya terpaku ke suatu tempat. Dengan tampang seperti itu, lelaki itu tahu dia sebaiknya menutup mulut, tapi dia tidak pernah melakukannya. Sebenarnya itu membuatnya bicara lebih banyak. Istrinya menunjukkan tampang seperti itu sekarang.

20140927

Tersesat di Luar Angkasa (Paul O’Neill, 2001)

Fase tersesat. Tidak diragukan lagi. Pada mulanya, hutan itu tampaknya tempat yang cukup menyenangkan—dihuni oleh banyak burung dan binatang lainnya yang menarik. Pun banyak tanaman yang tampaknya bisa dijadikan bahan bakar-bakaran bertumbuhan di mana-mana.

Empat hari kemudian, semua tanaman menjadi terlalu lembap untuk dapat dibakar, burung-burung membuatnya tidak bisa tidur pada waktu malam, dan Fase tidak kunjung menjumpai binatang yang tidak mencoba-coba menyerangnya. Ralat. Ia tidak kunjung menjumpai binatang yang tidak berhasil menyerangnya.

Kini ia tersesat di sebuah rimba tak berpenghuni yang asing, di sebuah planet yang amat jauh di jagat yang sepenuhnya paralel, dan suara-suara genderang itu membuatnya gila.

Kemustahilan adanya suara-suara genderang di rimba tak berpenghuni menyentaknya, bersamaan dengan melesatnya sebuah tombak dari semak-semak yang lalu menancap di sisi kirinya.

20140920

Laguna Cubelli (Fernando Sorrentino, 2008)

Di sebelah tenggara pedalaman Buenos Aires, Anda dapat menjumpai Laguna Cubelli. Laguna ini lebih dikenal dengan sebutan “Danau Aligator Berdansa”. Kendati jelas-jelas menyatakan keadaan yang sebenarnya, namun Doktor Ludwig Boitus membuktikan bahwa penamaan populer tersebut tidaklah akurat.

Pertama, “laguna” dan “danau” adalah kondisi hidrografis yang berbeda. Kedua, meskipun aligator atau Caiman yacare (Daudin)—dari keluarga Alligatoridae—biasa dijumpai di Amerika, namun laguna yang satu ini bukanlah habitat bagi spesies aligator manapun.

Airnya luar biasa asin. Fauna dan floranya menyerupai makhluk hidup di lautan. Karena itulah, tidak mengherankan bahwa dalam laguna ini terdapat populasi buaya air asin yang jumlahnya sekitar 130 ekor.

“Buaya air asin” ini, yaitu Crocodilus porosus (Schneider), merupakan reptil terbesar yang pernah ada. Hewan ini biasanya mencapai panjang sekitar tujuh meter (23 kaki) dengan bobot lebih dari satu ton. Doktor Boitus menegaskan bahwa dirinya pernah menyaksikan beberapa ekor yang memiliki panjang lebih dari sembilan meter (30 kaki) di sepanjang pantai Malaysia. Sebetulnya, ia juga telah mengambil dan membawa pulang gambar yang seharusnya dapat membuktikan keberadaan makhluk besar itu. Namun karena gambar itu diambil di perairan laut tanpa suatu patokan sebagai perbandingan, menjadi tidak mungkin untuk memastikan secara tepat apakah buaya-buaya itu memang mencapai ukuran sebagaimana yang dinyatakan oleh Doktor Boitus. Tentulah tidak masuk akal untuk meragukan perkataan seorang peneliti yang kariernya begitu cemerlang (bahkan meskipun ia suka menggunakan bahasa yang agak rumit), namun metodologi ilmiah menetapkan bahwa penemuan diabsahkan dengan metode yang sudah baku, yang mana dalam kasus ini tidaklah digunakan.

20140913

Si Pengganggu (Fernando Sorrentino, 1998)

Tanggal 8 November adalah hari ulang tahunku. Kubayangkan cara terbaik untuk merayakannya adalah dengan mengajak bercakap-cakap orang yang tak kukenal.

Kejadiannya sekitar pukul sepuluh pagi.

Di simpang Florida dan Córdoba, aku menghentikan seorang pria berusia enam puluhan tahun yang berpakaian perlente. Tangan kanannya menjinjing tas kantor. Pembawaannya bak seorang pengacara atau notaris yang angkuh.

“Permisi, Pak,” kataku, “ke mana, ya, arahnya menuju Plaza de Mayo?”

Pria itu berhenti, memandangku sepintas lalu, dan melontarkan pertanyaan tak berarti: “Anda mau ke Plaza de Mayo, atau Avenida de Mayo?”

“Sebenarnya, saya mau ke Plaza de Mayo, tapi kalau itu tidak mungkin, ke mana saja boleh.”

“Baiklah, kalau begitu,” ujarnya dengan tak sabar dan tanpa memerhatikanku sama sekali, “lurus ke arah sana”—ia menunjuk ke arah selatan—“melewati Viamonte, Tucumán, Lavalle….”

20140906

Yang Hakiki dan Yang Melengkapi (Fernando Sorrentino, 1982)

Pada 25 Juli, sewaktu sedang mencoba untuk menuliskan huruf A, aku menyadari adanya kutil kecil di kelingking tangan kiriku. Pada tanggal 27, kutil itu tampaknya menjadi jauh lebih besar. Pada 3 Agustus, dengan bantuan kaca pembesar, aku dapat melihat bentuknya. Bentuknya menyerupai gajah kecil: gajah terkecil di dunia, ya, tapi seekor gajah yang sepenuhnya mengerut hingga ke detailnya yang terkecil. Gajah itu melekat di jariku pada ujung ekornya yang mungil. Dengan begitu, gajah itu menjadi tawanan di jari kelingkingku. Ia dapat bergerak dengan bebas namun arahnya sepenuhnya tergantung pada kehendakku.

Dengan bangga, ragu, sekaligus takut, aku menunjukkannya pada teman-temanku. Mereka tidak menyukainya. Mereka bilang tidak baik membiarkan adanya gajah itu di kelingking. Mereka menyarankanku agar memeriksakannya pada ahli kulit. Aku mengabaikan kata-kata mereka. Aku tidak memeriksakan kutil itu pada siapapun. Aku tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Aku mencurahkan diriku sepenuhnya untuk mengamati perkembangan gajah itu.

20140827

Kau Juga Jelek (Lorrie Moore, 1990)

Sesekali kau mesti keluar dari kota-kota di Illinois yang bernama lucu itu: Paris, Oblong, Normal. Pernah, sementara Dow Jones[1] menurunkan dua ratus berita pokok, sebuah koran lokal memajang judul besar-besar: “Pria Normal Menikahi Wanita Oblong”. Mereka juga tahu apa yang pokok. Sungguh! Tapi sesekali kau mesti keluar sebentar saja, sekalipun hanya melintasi perbatasan Terre Haute untuk menonton film.

Di luar Paris, di tengah sebidang lahan yang luas, terpencar beberapa bangunan yang merupakan sebuah kampus ilmu-budaya kecil bernama Hilldale-Versailles. Di sana sudah tiga tahun ini Zoë Hendricks mengajar Sejarah Amerika. Dia mengajar “Revolusi dan Perkembangannya” kepada mahasiswa tahun pertama dan tahun kedua, dan setiap tiga semester ada seminar jurusan bagi mahasiswa tingkat akhir. Kendati hasil penilaian mahasiswa terhadap dirinya keliru selama satu setengah tahun terakhir ini—Profesor Hendricks sering telat memasuki kelas dan biasanya datang dengan membawa secangkir kopi yang ditawarkannya seicip-icip—para pria di jurusannya secara umum senang dengan keberadaannya. Mereka merasa dirinya menambah sentuhan feminin yang dibutuhkan di sepanjang koridor—jejak samar parfum Obsession dan keringat, ketukan hak sepatu yang ringan dan cepat. Selain itu, setelan yang dikenakan oleh kedua jenis kelamin pun berbeda, yang menurut dekan menunjukkan perjalanan masa.

20140820

Cara Berbicara pada Ibu (Lorrie Moore, 1985)

1982. Bertahun-tahun sudah sejak kepergiannya. Gumamkan, “Apa?” “Hah?” “Diamlah”, di dekat kulkas yang tengah dimatikan. Benda itu berkeriat-keriut seakan tengah kesakitan, mengerang, sampai bongkahan es terakhir runtuh dari langit-langit freezer, seakan takluk.

Bermimpilah, dan di dalam mimpimu itu bermunculan bayi-bayi yang tingkahnya seperti anjing dachshund, segembul balon udara pada perayaan Thanksgiving, melayang-layang di dekat puncak pohon.

Operasi penanaman jantung buatan permanen dari poliuretan dilakukan untuk pertama kalinya.

Penghuni lantai atas tengah memainkan rekaman lagu “You’ll Never Walk Alone”. Sekarang “Oklahoma!” yang diputar. Mestilah mereka memiliki albumnya Rodgers dan Hammerstein[1].



1981. Di kendaraan umum, para ibu dengan malaikat kecil mereka yang lembut dan gembil menatapmu. Wajah mereka menyorotkan rasa iba yang bertubi-tubi. Malaikat-malaikat kecil berbaju korduroi itu tampak mungil dan anteng. Ada juga yang tak henti-hentinya merepetkan warna bangku bis: “Biru-biru-biru, merah-merah-merah, kuning-kuning-kuning.” Para ibu melihatmu mengamati anak mereka. Mereka tersenyum simpatik. Mereka yakin kau iri pada mereka. Mereka yakin kau tidak memiliki anak. Mereka yakin mereka tahu sebabnya. Berpalinglah lekas, pada pemandangan di balik noda yang melapisi jendela bis.

20140813

Petunjuk Menjadi Penulis (Lorrie Moore, 1985)

Pertama-tama, cobalah untuk menjadi sesuatu, apapun itu, yang lainnya. Bintang film/astronot. Bintang film/misioner. Bintang film/guru TK. Penguasa dunia. Gagallah segagal-gagalnya. Lebih bagus lagi kalau kau gagal pada usia sedini mungkin—katakanlah, empat belas tahun. Sedini mungkin, dibutuhkan kekecewaan yang hebat supaya pada usia lima belas tahun kau dapat menulis rangkaian panjang haiku mengenai hasrat yang kandas. Ibarat kolam, pohon sakura yang mekar, embusan angin menerpa sayap pipit yang meninggalkan gunung. Hitung ada berapa suku kata.

Tunjukkan pada ibumu. Dia tegar dan andal. Putranya di Vietnam dan suaminya kemungkinan punya hubungan gelap. Dia percaya warna cokelat dapat menyembunyikan noda. Dia akan melihat tulisanmu sepintas, lalu kembali padamu dengan tatapan sekosong lubang donat. Dia akan berkata: “Bagaimana kalau kau mengosongkan bak cuci piring?” Palingkan muka. Masukkan garpu ke rak. Tak sengaja memecahkan gelas hadiah dari pom bensin. Inilah luka dan derita yang dibutuhkan, sekadar untuk permulaan.

20140806

Panduan Menghadapi Perceraian untuk Anak-anak (Lorrie Moore, 1985)

Bubuhkan lebih banyak garam ke berondong jagung. Ibumu akan membutuhkannya, tiap kali dia tersentuh oleh adegan di mana Inger Berman hampir mati sementara tubuhnya tampak memanjang berkat trik kamera.

Terpikir: astaganaga, mulai lagi deh Ibu narikin tisu.

Ibumu akan bilang terima kasih sayang ketika kau menghampirinya lambat-lambat dari sudut ruangan, dengan mengenakan selop dan mantel, ke ruang tengah sembari membawa mangkok-yang-dulunya-biasa-digunakan-Nenek-untuk-wadah-salad yang terisi penuh. Aku sendiri yang bikin lo, ingatkan ibumu, dan secara tidak sengaja jatuhkan sebagian isi mangkok ke lantai. Mittens akan memainkan tumpahan itu.

Mmmmm, enak juga garamnya banyak begini, ibumu akan mengunyah dan tersenyum lembut.

Beri tahu ibumu kalau suster di sekolah, sewaktu selesai menonton bareng film tentang pubertas, pernah bilang garam itu tidak baik untuk jantung.

Puh, ibumu akan mencibir. Palingan bikin jantung jadi kencang detaknya. Deg deg deg—oh lihat! Ibumu akan bicara dengan mulut penuh berondong. Cary Grant mengalihkannya. Kamu sudah mematikan alat pembuat berondongnya?

20140727

Seorang Lelaki Menceritakan Kisah Hidupnya Kepadaku (Grace Paley, 1985)

Vicente berkata: Aku ingin menjadi dokter. Aku ingin menjadi dokter dengan sepenuh hatiku.
              
Aku mempelajari setiap tulang, setiap organ di dalam tubuh. Untuk apa ini? Bagaimana kerjanya?
               
Pihak sekolah mengatakan padaku: Vicente, jadilah insinyur. Itu akan baik bagimu. Kau paham matematika.
               
Aku berkata kepada pihak sekolah: Aku ingin menjadi dokter. Aku sudah memahami bagaimana organ-organ berhubungan. Ketika ada yang rusak, aku akan tahu bagaimana cara memperbaikinya.
               
Pihak sekolah berkata: Vicente, kau benar-benar akan menjadi insinyur yang cemerlang. Seluruh hasil tesmu menunjukkan bahwa kau akan menjadi insinyur yang baik. Hasil tesmu tidak menunjukkan bahwa kau akan menjadi dokter yang baik.
               
Aku berkata: Oh, aku berharap menjadi dokter. Aku hampir menangis. Saat itu aku tujuh belas. Aku berkata: Tapi mungkin kau benar. Sebab kau guru. Kau kepala sekolah. Aku tahu aku masih muda.
               
Pihak sekolah berkata: Dan lagipula, kau akan masuk Angkatan Darat.

20140720

Hari Minggu di Taman (Bel Kaufman, 1985)

Matahari masih hangat pada penghujung petang. Hiruk pikuk kota teredam pepohonan di taman. Perempuan itu meletakkan bukunya di bangku, melepaskan kacamata hitamnya, dan mendesah dengan puas. Morton sedang membaca segmen dalam Times Magazine. Sebelah tangannya melingkari pundak istrinya. Anak lelaki mereka yang berusia tiga tahun, Larry, sedang bermain di kotak pasir. Angin sepoi-sepoi meniup rambut perempuan itu dengan lembut menjauhi pipinya. Saat itu pukul setengah enam pada Minggu petang. Area bermain tersebut, tersembunyi di pojokan taman, lengang. Ayunan dan jungkitan tak bergerak dan terabaikan. Seluncuran kosong. hanya di kotak pasir dua bocah berjongkok bersisian dengan antengnya. Betapa menyenangkannya ini, pikir perempuan itu, tersenyum tipis karena perasaan nyamannya. Mereka harus lebih sering berjemur. Morton sangat pucat, terkurung sepanjang minggu dalam bangunan kampusnya yang kelabu seperti pabrik. Perempuan itu memeluk lengan lelakinya dengan sayang dan melirik Larry. Menikmati wajah mungilnya yang lancip, dahinya yang mengernyit karena sedang berkonsentrasi pada terowongan yang digalinya. Bocah lainnya tiba-tiba berdiri. Dengan ayunan cepat dan disengaja, tangan montoknya melontar sesekop pasir pada Larry. Tidak sampai kena kepala. Larry lanjut menggali; bocah itu tetap tegak dengan sekop terangkat, diam dan tenang.

20140713

Pesta yang Dicuri (Liliana Heker, 1982)

Begitu sampai, ia langsung ke dapur untuk melihat adakah monyet di sana. Ada: betapa leganya! Ia tidak akan senang kalau ibunya yang benar. Monyet di pesta ulang tahun! Ibunya menyeringai. Yang benar saja, percaya yang aneh-aneh saja macam begitu! Ibunya marah, tapi bukan karena monyet, pikir gadis itu; melainkan karena pestanya.

“Ibu tidak suka kamu pergi,” kata ibunya. “Itu pestanya orang kaya.”

“Orang kaya juga masuk Surga,” imbuh si gadis, yang belajar agama di sekolahnya.

“Surga apaan,” sahut si ibu. “Masalahnya itu kamu, nona muda, kamu itu kalau kentut lebih tinggi dari pantatmu.”

Gadis itu tidak senang dengan cara ibunya bicara. Usianya hampir sembilan tahun, dan ia salah satu anak terbaik di kelasnya.

“Aku kan pergi karena aku diundang,” ujarnya. “Dan aku diundang karena Luciana itu temanku. Begitu.”

20140706

Cara yang Lumrah (Raymond Carver, 1981)

Dini hari itu cuaca berubah. Salju leleh menjadi cairan keruh. Alirannya menuruni jendela kecil setinggi bahu yang menghadap ke halaman belakang. Mobil-mobil berlumur lumeran salju di jalanan luar yang mulai gelap. Begitupun di dalam rumah.
               
Lelaki itu sedang berada di kamar, menjejalkan pakaian ke koper ketika perempuan itu sampai di pintu.
               
Aku senang kau pergi! Aku senang kau pergi! ujar perempuan itu. Kau dengar?
               
Lelaki itu terus memasukkan barang-barangnya ke koper.
               
Anak jalang! Aku sangat senang kau pergi! Perempuan itu mulai menangis. Kau bahkan tak sanggup melihat mukaku, ya kan?
               
Perempuan itu menyadari ada potret bayi di kasur, dan mengambilnya.
               
Lelaki itu menatapnya. Perempuan itu menyeka matanya dan balas menatap, sebelum berbalik dan kembali ke ruang tamu.

20140627

Perang Suci Psikis (Fernando Sorrentino, 1982)

Cara yang tepat untuk mengungkap sisi-sisi yang belum diketahui dari manusia dapat dicapai dengan menempatkan subjek dalam situasi yang sama sekali baru dan mengamati reaksinya. Contohnya: apabila saya melakukan panggilan lewat telepon dan mendengar suara di ujung sambungan mengatakan “Halo”, maka percobaan menjadi kurang bernilai ilmiah atau berbobot dikarenakan subjek tidak menunjukkan reaksi lebih dari sikap yang biasanya dalam menanggapi situasi yang juga biasanya. Oleh karena itu, hal tersebut tidak memberi saya kesempatan untuk menyelidiki aspek-aspek tersembunyi dalam kepribadiannya.

Bagaimana saya dapat menelaah, misalnya saja, penjaga toko tertentu—dengan keramahtamahan dan senyuman sementara saya berbelanja—tidak sanggup menahan saya menyangkut perkara recehan? Maka yang terbaik adalah mendorong timbulnya reaksi yang tidak terduga. Hal ini dapat bersifat instruktif.

Saya dapat mengemukakan beberapa contoh.

1. Saya membayar sepotong kecil roti dengan pecahan uang kertas terbesar yang beredar dan dengan tegas menolak menerima kembaliannya. Dengan penuh perhatian, saya mengamati ketamakan penjual roti tersebut, hasratnya untuk mengambil keuntungan dari kesintingan saya sebagaimana disangkanya. Saya pergi. Setelah lima menit saya memasuki toko sekali lagi, kali ini ditemani seorang petugas polisi, dan menuduh penjual roti tersebut telah menolak menyerahkan kembalian saya. Saya mengamati kegusarannya akan perilaku tidak jujur saya, kekecewaannya karena kertas pembungkusnya telah dirobek. Dengan takut dan bingung, ia menggagapkan alasan-alasan yang sulit dimengerti di bawah tatapan curiga petugas polisi, yang tidak memercayai adanya orang yang menolak menerima kembalian sebesar itu. Dengan merendahkan hati, ia menyerahkan sejumlah yang diperlukan dan dengan bermurah hati, saya menyatakan bahwa saya menghendaki agar kejadian yang tidak menyenangkan ini dianggap sudah selesai saja. Petugas tersebut, tampaknya sedikit kecewa, mengatakan “Terserah Anda saja.” Saya memerhatikan kelegaan yang sangat besar di wajah penjual roti tersebut.*

20140620

Berkat Takhayul (Fernando Sorrentino, 1982)

Aku mencari nafkah dari kepercayaan orang akan takhayul. Penghasilanku tidaklah mencukupi, pekerjaannya pun tidaklah mudah.

Pekerjaan pertamaku di pabrik botol minuman bersoda. Bosnya entah mengapa meyakini bahwa salah satu di antara ribuan botol itu (ya, tapi yang mana?) mengandung bom atom. Ia juga meyakini bahwa keberadaan seseorang cukuplah untuk mencegah lepasnya energi mengerikan itu. Ada beberapa orang yang dipekerjakan, satu untuk setiap truk. Tugasku adalah duduk di atas permukaan yang tidak rata, terdiri dari botol-botol minuman bersoda yang akan didistribusikan, selama enam jam setiap harinya. Tugas yang sulit karena truknya berguncang-guncang; tempat duduknya tidak nyaman dan menyiksa; rutenya membosankan; pengemudi truknya biasa-biasa saja sebagaimana kebanyakan orang; dan kadang-kadang ada botol yang meledak (tapi bukan yang mengandung bom atom) dan akibatnya aku menderita luka-luka ringan. Akhirnya, karena lelah dengan pekerjaan itu, aku berhenti. Bosnya cepat-cepat menggantikanku dengan orang lainnya yang dengan keberadaannya saja akan mencegah ledakan bom atom itu.

20140613

Cuma Sugesti (Fernando Sorrentino, 1976)

Teman-temanku bilang aku ini orangnya sangat mudah terpengaruh oleh sugesti. Kurasa mereka benar. Sebagai buktinya, mereka mengungkit-ungkit kejadian kecil yang menimpaku pada Kamis lalu.

Pagi itu aku sedang membaca novel horor. Walaupun pada waktu itu cuaca terang, aku merasa menjadi korban dari kekuatan sugesti dalam cerita itu. Sugesti itu membuatku membayangkan adanya seorang pembunuh haus darah di dapur. Pembunuh haus darah itu mengacungkan belatinya yang besar, menantiku memasuki dapur sehingga dia dapat menyergapku dan menancapkan pisaunya ke punggungku. Walaupun aku duduk tepat di seberang pintu dapur, walaupun senyatanya tak ada seorangpun yang dapat memasuki dapur itu tanpa sepenglihatanku, dan tidak ada akses lain ke dapur kecuali melewati pintu itu; tapi aku sepenuhnya teryakinkan bahwa memang ada pembunuh yang bersembunyi di balik pintu yang tertutup itu.

Jadi karena menjadi korban sugesti itu aku tidak berani untuk memasuki dapur. Aku menjadi cemas. Sebentar lagi waktunya makan siang dan aku perlu ke dapur. Tahu-tahu terdengar dering bel dari pintu depan.

20140606

Semangat Bersaing (Fernando Sorrentino, 1972)

Aku tinggal di sebuah bangunan apartemen di Jalan Paraguay. Di tempat itu semangat bersaing antar penghuninya sangat tinggi.

Sejak lama persaingan di antara mereka hanya sebatas dalam memiliki piaraan. Anjing, kucing, kenari, atau kakatua. Binatang paling eksotis yang pernah ada di antara mereka paling-paling tupai atau kura-kura. Aku sendiri memiliki anjing gembala Jerman yang bagus bernama Joey. Ukurannya hanya sedikit lebih kecil daripada apartemen kami. Selain Joey, ada pula seekor laba-laba cantik dari spesies Lycosa pampeana yang tinggal bersamaku dan istriku. Belum ada orang lainnya yang tahu soal ini.

Suatu pagi, tepat pada pukul satu, aku sedang memberi makan piaraanku ketika tetangga dari 7-C bertamu. Ia hendak meminjam koranku sebentar dengan alasan yang membingungkan. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Setelahnya, tanpa tanda-tanda akan pergi, ia berdiri saja dalam waktu yang lama sambil tangannya memegangi koranku. Rupanya ia sedang memandangi Gertrude dengan terpesona. Ada sesuatu dalam tatapannya itu yang membuatku merinding. Semangat bersaing.

20140527

Aku Dulu Pernah Tinggal di Sini (Jean Rhys, 1976)

Ia berdiri di dekat sungai. Menatap batu-batu pijakan, masing-masing diingat-ingatnya. Di tengah ada satu batu bundar yang goyah, meruncing, dan datar—batu yang aman tempat kau bisa berdiri dan melihat-lihat. Batu yang selanjutnya tidak begitu aman ketika sepanjang sungai sedang dipenuhi aliran air. Bahkan ketika tampaknya kering, batu itu tetap licin. Namun setelahnya tidak sulit. Segera ia sampai di seberang.

Jalan  tersebut lebih lebar ketimbang dahulu, namun dikerjakan secara asal-asalan. Pepohonan yang tumbang tidak dibersihkan. Semak belukar tampak terinjak-injak. Namun ini masih jalan yang sama. Ia menapakinya dengan kegembiraan yang luar biasa.
               
Hari yang indah, hari yang biru. Hanya saja langit terlihat seperti kaca. Hanya itu kata yang terpikirkan olehnya. Seperti kaca. Ia berpaling ke sudut jalan. Ia lihat jalan berbatu yang lama telah dibongkar. Di sana juga ada jalan yang lebih lebar, tapi tampaknya sama-sama belum selesai.

Ia sampai di batu pijakan yang telah aus, yang menuju ke rumah itu. Jantungnya mulai berdebar. Semak pandannya sudah tidak ada, begitupun rumah musim panas buatan yang disebut ajoupa. Tapi pohon cengkihnya masih ada di sana.  Rerumputan tinggi terbentang di puncak anak tangga, sebagaimana diingatnya. Ia berhenti dan memandang ke arah rumah yang telah diperbesar dan dicat putih. Rasanya aneh mendapati mobil di depan rumah itu.

20140520

The Fourth Alarm (John Cheever, 1970)

Aku sedang berjemur sambil menyesap gin. Jam sepuluh pagi. Minggu. Bu Uxbridge entah di mana dengan anak-anak. Dia pengurus rumah tangga. Yang memasak dan menjaga Peter dan Louise.

Sekarang musim gugur. Daun-daun berubah warna. Pagi ini tidak berangin, tapi ratusan daun rontok. Kalau ingin menyaksikan semuanya—sehelai daun, atau sebilah rumput—kau harus, kukira, memahami kekuatan cinta. Bu Uxbridge berusia enampuluh tiga. Istriku sedang pergi. Bu Smithsonian (yang tinggal di sisi lain kota), suasana hatinya kurang baik belakangan ini. Jadi aku merasa pagi ini tidak seperti biasa. Seakan waktu memiliki ambang atau serangkaian ambang yang tidak bisa aku lintasi. Bisa saja aku melewatkannya dengan sepak bola, tapi Peter terlalu kecil. Satu-satunya teman sepak bolaku pergi ke gereja.

Istriku Bertha diharapkan datang pada hari Senin. Iapun keluar kota hari itu dan kembali Selasa. Ia wanita muda yang menarik dengan rupa yang elok. Matanya, menurutku, agak berdekatan. Kadang ia suka mengeluh. Sewaktu anak-anak masih kecil, ia gunakan cara menjengkelkan untuk mendisiplinkan mereka. “Kalau kamu tidak habiskan sarapan ini sampai hitungan ketiga,” ujarnya, “Mummy bakal kurung kamu di kamar. Satu. Dua. Tiga…” Aku mendengarnya lagi waktu makan malam. “Kalau kamu tidak habiskan makanan ini sampai hitungan ketiga, Mummy bakal kurung kamu di kamar dan tidak bakal kasih kamu makan. Satu. Dua. Tiga…” Aku mendengarnya lagi. “Kalau kamu tidak bereskan mainanmu sebelum hitungan ketiga, Mummy bakal buang semuanya. Satu. Dua. Tiga…” Berlangsung terus sampai kamar mandi dan waktu tidur, satu-dua-tiga menjadi ninabobo mereka. Kadang aku pikir ia mestinya sudah belajar menghitung sejak kanak-kanak. Ketika ajalnya tiba, ia akan menghitung mundur kedatangan Malaikat Maut. Kalau kau mengizinkan, aku mau tambah segelas gin.

20140513

A & P (John Updike, 1961)

Melangkah tiga orang cewek yang tidak mengenakan apapun selain baju renang. Aku di kasir urutan ketiga, punggungku menghadap ke pintu, jadi aku tidak melihat mereka sampai mereka melewati rak roti. Yang menarik perhatianku mula-mula adalah cewek berbikini hijau kotak-kotak. Dia gemuk dan pendek, dengan kulit cokelat yang bagus, dan bokong lebar di puncak bagian belakang kakinya. Di bawah bokongnya terdapat sepasang bulan sabit yang tampak lembut dan indah, sepertinya tidak pernah kena sinar matahari. Aku mematung sementara tanganku memegang sekotak biskuit HiHo, mengingat-ingat apakah aku sudah membunyikannya atau belum. Aku membunyikannya lagi dan si pembeli mulai jengkel. Dia ini semacam pengamat mesin-kasir, seorang penyihir yang usianya sekitar lima puluhan tahun dengan pemerah di tulang pipinya dan tanpa alis. Aku mengerti kesenangannya adalah mencari-cari kesalahanku. Dia telah menjadi pengamat mesin-kasir selama setengah abad dan kemungkinan tidak pernah mendapati kesalahan sebelumnya. 

Kejengkelannya berkurang sementara kumasukkan barang-barangnya ke dalam kantong. Dia mendengus sedikit sembari berlalu. Jika saja dia lahir pada masa yang tepat, orang-orang akan membakarnya di Salem. Sementara itu, para cewek telah memutari rak roti dan kembali tanpa kereta dorong, memunggungiku selama di konter, di lorong antara kasir dan tempat penyimpanan barang curah. Mereka bahkan tidak memakai alas kaki. Ada si gemuk-pendek tadi dengan bikini hijau terang. Keliman kutangnya masih runcing. Perutnya tampak pucat jadi aku kira pakaiannya itu baru. Wajahnya semontok buah beri. Bibirnya terkatup rapat di bawah hidungnya. Yang jangkung, rambutnya hitam dan tidak begitu keriting; kulitnya terbakar matahari yang antara lain melintang tepat di bawah matanya; dan dagunya terlalu panjang—kau tahulah, jenis cewek yang cewek-cewek lain pikir terlalu “mencolok” dan “atraktif” tapi tidak benar-benar begitu, dan mereka sangat tahu itu, itu sebabnya mereka sangat menyukai cewek seperti itu. Dan yang ketiga, yang tidak begitu jangkung, dialah sang ratu. Dia seolah pemimpin mereka. Sementara dua yang lainnya mengerling ke sekitar dan memutar bahu mereka, dia tidak celingukan, si ratu ini. Dia melangkah lurus saja pelan-pelan, dengan kaki-kakinya yang putih panjang bak primadona. Dia menjatuhkan tumitnya dengan agak kaku, seolah dia tidak berjalan dengan kakinya yang telanjang itu. Dia meletakkan tumitnya lalu membiarkan bebannya berpindah ke jari kaki seolah dia sedang mencoba lantai dengan setiap langkahnya, sedikit berhati-hati. Kau tidak pernah tahu pasti bagaimana otak para cewek bekerja (apa kau benar-benar berpikir ada otak di sana atau sekadar dengungan kecil bagaikan lebah di toples kaca?) tapi kau menyangka bahwa dialah yang mengajak dua lainnya agar datang kemari bersamanya. Sekarang dia sedang menunjukkan pada mereka bagaimana cara melakukannya, melangkahlah pelan-pelan dan buat dirimu tegak.

20140506

Si Pejalan Kaki (Ray Bradbury, 1951)

Merambah sunyinya kota pada pukul delapan malam yang berkabut di bulan November, memijakkan kaki di lengkung jalan beton, melangkah di atas lapisan berumput dan melaju, tangan di dalam saku, menembus keheningan, itulah yang Leonard Mead paling gemar lakukan. Dia akan berdiri di liku perempatan jalan dan menatap lama keempat ruas trotoar yang diterangi bulan, memikirkan arah mana yang dia hendak lalui. Tapi toh tidak ada bedanya; dia sendirian di dunia ini pada 2053 Masehi, atau seakan-akan sendirian. Keputusan akhirnya dibuat. Arah telah dipilih. Dia pun melangkah, mengembuskan uap akibat dingin bagaikan asap rokok.

Kadang dia berjalan-jalan selama berjam-jam dan bermil-mil dan baru kembali ke rumahnya pada tengah malam. Dalam perjalanannya dia melihat pondok-pondok dan rumah-rumah berpenghuni dengan jendela-jendela yang gelap. Tak ubahnya dengan melewati pekuburan. Kelap-kelip samar terlihat di balik jendela-jendela itu bak cahaya redup kunang-kunang. Mendadak bayangan kelabu tampak menjelma pada dinding sebelah dalam ruangan yang tirainya belum ditarik menutupi malam, terdengar bisik-bisik dan gumaman dari jendela yang masih terbuka pada sebuah bangunan yang mirip makam.

20140427

Sang Putri dan Peti dari Timah (James Thurber, 1945)

Pada suatu masa, di sebuah negeri yang jauh, hiduplah Raja yang memiliki seorang anak perempuan yang merupakan putri tercantik sejagat raya. Matanya bak bunga berwarna biru, rambutnya melebihi harumnya bunga bakung, dan lehernya membuat angsa tampak usang.

Dari semenjak satu tahun usianya, sang Putri telah dihujani oleh hadiah. Kamarnya terlihat seperti etalase toko perhiasan. Semua mainannya terbuat dari emas, platina, intan berlian, atau zamrud. Ia tidak diperbolehkan memiliki balok-balok dari kayu, boneka porselen, anjing-anjingan karet, ataupun buku-buku dari linen, karena bahan-bahan tersebut dianggap murahan bagi anak perempuan seorang raja.

Ketika berusia tujuh tahun, ia menghadiri pernikahan saudara laki-lakinya dan melempari mempelai wanita dengan mutiara sungguhan alih-alih beras sebagaimana tradisi. Hanya burung bulbul, dengan kecapi emasnya, yang diizinkan menyanyi untuk sang Putri. Burung hitam biasa, dengan serulingnya yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan, tinggal di luar pekarangan istana. Sang Putri berjalan dengan selop sutra-peraknya menuju kamar mandinya yang terbuat dari safir dan topas, dan tidur di ranjang gading bertatahkan batu delima.

20140420

Kotak untuk Bersembunyi (James Thurber, 1931)

Aku menunggu wanita bongsor dengan topi yang sangat jelek itu mengangkat karung belanjaannya dan pergi, menatap tajam tomat dan seladanya. Pegawai toko menanyakan keperluanku.

“Apa Anda punya kotak,” pintaku, “kotak yang lapang? Saya ingin kotak untuk bersembunyi.”

“Anda ingin kotak?” tanyanya.

“Saya ingin kotak untuk bersembunyi,” kataku.

“Maksud Anda bagaimana ya?” ucapnya. “Apa maksud Anda kotak yang besar?”

Kukatakan bahwa maksudku adalah kotak yang besar, cukup besar untuk menampungku.

“Kami tidak punya kotak,” ujarnya. “Paling-paling karton untuk wadah kaleng.”

Aku mencoba ke beberapa toko lainnya. Tidak satupun memiliki kotak yang cukup besar untukku bersembunyi.

Tak lain dan tak bukan untuk menentang kehidupan. Aku tidak merasa bersemangat, ada hasrat yang amat kuat padaku untuk bersembunyi di dalam kotak dalam waktu yang lama.

20140413

Fabel-fabel James Thurber (II)

Ngengat dan Bintang

Satu ketika seekor ngengat muda yang masih rentan membulatkan tekadnya untuk menggapai bintang. Ia memberitahu ibunya yang lantas menasihatinya untuk mengalihkan tujuannya pada lampu saja. “Bintang itu bukan tempat untuk keluyuran,” kata ibunya; “lampu itulah tempatnya keluyuran.”

“Dengan begitu kau bisa sampai ke tujuanmu,” kata ayah ngengat. “Kalau mengejar bintang kau tidak akan sampai ke mana-mana.”

Tapi ngengat itu tidak mengindahkan perkataan kedua orangtuanya. Setiap malam menjelang, ketika bintang itu muncul, ia memulai penerbangannya menuju ke sana. Dan saat fajar menyingsing, ia merayap pulang dalam keadaan letih akibat upaya kerasnya yang sia-sia.

Satu hari ayahnya berkata, “Sudah berbulan-bulan ini tak selembar pun sayapmu yang terbakar, nak, dan sepertinya tidak bakalan sama sekali. Semua saudaramu yang laki-laki sudah terbakar habis selagi mengitari lampu jalanan, sedang saudara-saudaramu yang perempuan pada gosong selagi mengitari lampu-lampu rumah. Ayolah, sekarang, hanguskan dirimu! Kau ini ngengat yang besar dan kuat tapi tidak ada apa-apanya!”

20140406

Fabel-fabel James Thurber

Gadis Kecil dan Serigala

Suatu sore, di dalam hutan yang gelap seekor serigala besar menunggu kedatangan gadis kecil yang membawa sekeranjang makanan untuk neneknya. Akhirnya sang gadis kecil datang juga, dan ia membawa sekeranjang makanan.

“Apakah kamu membawa keranjang itu untuk nenekmu?” tanya serigala.

Sang gadis kecil berkata, ya.

Serigala pun bertanya di mana neneknya tinggal.

Sang gadis kecil memberitahunya. Serigala itu pun menghilang ke dalam hutan.

Ketika sang gadis kecil membuka pintu rumah neneknya, ia melihat ada satu sosok di tempat tidur yang mengenakan topi dan gaun tidur. Ia berjalan mendekat. Namun tidak sampai sembilan meter jaraknya dari tempat tidur, ketika ia menyadari bahwa sosok itu bukanlah neneknya melainkan serigala. Bahkan dengan topi tidur itu si serigala lebih tidak mirip nenek-nenek ketimbang singa di Metro-Goldwyn dengan presiden Amerika Serikat ke-30.

20140327

Silas yang Budiman (Herbert Ernest Bates, 1939)

Pada usianya yang ke-95 tahun, Pamanku Silas punya waktu untuk mencoba berbagai hal. Pada suatu waktu ia menjadi penggali kubur.

Halaman gereja Solbrook menghampar luas di sisi luar desa, tepatnya pada sebuah bukit kecil yang lapang di lembah sungai.

Di sanalah dengan pakaiannya yang kumal Pamanku Silas menggali kira-kira satu kuburan tiap bulannya.

Ia bekerja sepanjang hari menggali tanah lempung cokelat-kebiruan tanpa bersua siapapun. Tak ada yang menemaninya selain burung-burung yang mencungkili cacing dari permukaan bumi yang telah dikuliti. Dengan penampilannya yang jauh dari menawan lagi ganjil, ia tampak seperti patung yang habis menggelinding jatuh dari atap gereja mungil itu, pria kecil yang seakan sudah berusia sangat tua dan akan terus hidup dengan menggali kuburan orang lain selama-selamanya.

Pada suatu hari yang panas namun nyaman di bulan Mei, ia sedang menggali kuburan di sisi selatan halaman gereja. Rerumputan telah merimbun tinggi. Bunga-bunga keemasan tumbuh berpencar di sela-sela nisan.

20140320

Mabel (William Somerset Maugham, 1934)

Waktu itu aku sedang berada di Pagan, Burma. Dari sana aku naik kapal uap menuju Mandalay. Namun dua hari sebelum aku sampai di tujuan, sewaktu kapal sedang berlabuh semalam di sebuah perkampungan tepi sungai, aku terpikir untuk berjalan-jalan di daratan. Kapten kapal memberitahuku bahwa ada sebuah klub kecil yang menyenangkan. Aku bisa pergi ke sana dan menyamankan diri. Tempat itu biasa didatangi orang-orang asing dari kapal. Pengelolanya pun amat ramah. Mungkin aku bisa main kartu di sana. Karena tidak tahu mau melakukan apa, aku pun naik ke salah satu kereta yang menanti di area pelabuhan, dan diantarkan ke klub tersebut.

Ada seorang pria sedang duduk-duduk di sana sewaktu aku masuk. Ia menyambutku dan bertanya aku mau minuman apa. Ia tidak memikirkan kemungkinan aku tidak mau minum apapun sama sekali. Aku memilih minuman campuran dan duduk. Pria itu berbadan jangkung dan ramping. Kulitnya cokelat terbakar oleh matahari. Aku tidak tahu namanya. Namun setelah mengobrol sebentar, pria lain muncul dan memberitahuku kalau dirinya pengelola klub tersebut, dan menyebut teman baruku itu George. 

20140313

Sungguh Kamu Baik-baik Saja (Dorothy Parker, 1929)

Seorang lelaki muda nan pucat menurunkan tubuhnya dengan hati-hati di kursi. Kepalanya bergulir ke samping. Ademnya kain cita membuat pelipis dan dagunya terasa nyaman.
               
“Aduh,” ucapnya. “Aduh, aduh, aduh. Duh.”
               
Seorang perempuan bermata jernih dengan ringannya du­duk tegak di sofa. Tersenyum cerah pada lelaki itu.
               
“Lagi kurang enak badan ya?” ujarnya.
               
“Oh, aku baik-baik saja,” kata lelaki itu. “Bukan main ba­ik­nya, aku ini. Tahu jam berapa aku bangun? Jam empat sore ini, pas. Aku berusaha untuk tetap bangun. Dan setiap kali aku mengangkat kepala dari bantal, malah oleng lagi ke bawah kasur. Seperti bukan kepalaku saja. Kukira ini yang biasa dirasakan oleh para penyair. Aduh, aduh, aduh.”

“Mungkin minuman bisa membuatmu baikan?” tanya pe­rem­puan itu.

“Sakit kepala yang menyerangku?” ujar lelaki itu. “Oh, ti­dak, terima kasih. Tolong jangan pernah membicarakan itu lagi. Aku sudah selesai. Aku sungguh-sungguh, sungguh-sungguh selesai. Lihat tangan ini; gemetaran seperti burung kecil. Beritahu aku, apa aku buruk sekali semalam?”

20140306

Nona Brill (Katherine Mansfield, 1920)

Sungguhpun hari itu cerah cemerlang—birunya langit dipupuri titik-titik cahaya keemasan nan indah bagai anggur putih dipercikkan ke atas taman kota—Nona Brill merasa senang karena telah memutuskan untuk mengenakan syal bulunya. Udara tak bergerak, namun begitu kau membuka mulut, terasa hawa dingin nan lemah, seperti hawa dari segelas air es sebelum kau menyesapnya, dan kini selembar daun lagi yang melayang—tidak dari manapun, dari langit. Nona Brill menaikkan tangannya dan menyentuh syal bulunya. Benda kecil tersayang! Nyaman rasanya meraba benda itu lagi. Dia mengeluarkan benda itu dari kotaknya sore itu, membubuhkan kapur barus, menyikatnya dengan baik, dan menggosok sepasang mata mungil nan redup itu hingga tampak kembali hidup. “Apa yang telah terjadi padaku?” kata sepasang mata mungil nan sendu itu. Oh, betapa manisnya melihat keduanya menjeratnya lagi dari alas kasur yang berwarna merah itu! . . . Tapi hidungnya, dari suatu bahan yang berwarna hitam, tidak begitu keras. Mestinya itu berbunyi kalau diketok, bagaimanapun juga. Tak apalah—sedikit polesan dengan lak hitam kalau ada kesempatan—kalau benar-benar diperlukan. . . . Bocah nakal! Ya, dia benar-benar merasakannya seperti itu. Bocah nakal yang mengigit ekornya sendiri, tepat di dekat telinga sebelah kiri. Dia telah menurunkannya tadi, meletakkannya di pangkuan, dan membelai-belainya. Dia merasakan geli di kedua tangan dan lengannya, tapi pikirnya itu akibat dari berjalan kaki. Ketika ia menarik napas, ia merasa ringan dan sendu—tidak, bukan sendu, tepatnya, seperti ada sesuatu yang lembut bergerak-gerak di dalam dadanya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...