Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20140820

Cara Berbicara pada Ibu (Lorrie Moore, 1985)

1982. Bertahun-tahun sudah sejak kepergiannya. Gumamkan, “Apa?” “Hah?” “Diamlah”, di dekat kulkas yang tengah dimatikan. Benda itu berkeriat-keriut seakan tengah kesakitan, mengerang, sampai bongkahan es terakhir runtuh dari langit-langit freezer, seakan takluk.

Bermimpilah, dan di dalam mimpimu itu bermunculan bayi-bayi yang tingkahnya seperti anjing dachshund, segembul balon udara pada perayaan Thanksgiving, melayang-layang di dekat puncak pohon.

Operasi penanaman jantung buatan permanen dari poliuretan dilakukan untuk pertama kalinya.

Penghuni lantai atas tengah memainkan rekaman lagu “You’ll Never Walk Alone”. Sekarang “Oklahoma!” yang diputar. Mestilah mereka memiliki albumnya Rodgers dan Hammerstein[1].



1981. Di kendaraan umum, para ibu dengan malaikat kecil mereka yang lembut dan gembil menatapmu. Wajah mereka menyorotkan rasa iba yang bertubi-tubi. Malaikat-malaikat kecil berbaju korduroi itu tampak mungil dan anteng. Ada juga yang tak henti-hentinya merepetkan warna bangku bis: “Biru-biru-biru, merah-merah-merah, kuning-kuning-kuning.” Para ibu melihatmu mengamati anak mereka. Mereka tersenyum simpatik. Mereka yakin kau iri pada mereka. Mereka yakin kau tidak memiliki anak. Mereka yakin mereka tahu sebabnya. Berpalinglah lekas, pada pemandangan di balik noda yang melapisi jendela bis.



1980. Benda-benda yang berkeletak, berbenturan, dan berdesis di dapur menjadi sebagian dari suara-suara yang mengendalikan hidupmu. Denting peralatan makan di dalam rak, bertindihan bagai tulang-belulang di kuburan massal. Kau mulai mengarang perumpamaan yang muram, dan payah.

Reagan terpilih menjadi presiden, padahal kau membagi-bagikan donat dan brosur pada orang-orang agar mereka memilih Carter.

Kencani orang Italia. Ia mengelus perutmu dan berucap, “Ini tanda peregangan kulit, bukan? Stretchmark?” sementara dalam benakmu yang keruh kau terpikir: Marks of Harpo, Gagasan-gagasan Marx, Ides of March, Awas. Ia membenamkan kecupan di lereng lehermu. Kau tertidur menghadapnya. Celana dalammu tanggal dan bergantung di sebelah pahamu seperti kait stoking.



1979. Sesekali lakukanlah perjalanan malam melewati rumah tua tak laku tempatmu dulu bertumbuh. Rumah itu menebarkan suasana menyeramkan di persimpangan jalan pedesaan dua jam dari tempat tinggalmu sekarang. Rasanya seperti Halloween: penggaru, padang rumput yang diterangi cahaya bulan, mamut, pepohonan yang mekar, dahan dan rantingnya terangkat ke langit yang tak berbintang bagaikan lidah api, retakan, peta aliran sungai. Bayang-bayangnya yang kelam memantul ke sisi serambi sebelah timur. Lainnya menjelma bayang-bayang lamunan. Berputarlah di pojokan jalan perlahan-lahan sembari terus mengamati dari balik jendela mobil. Rumah itu terpendam jauh di dalam dirimu. Kau menyadari adanya satu hal yang tak berubah dari tempat ini, begitu menurutmu, entahkah itu suara di atas gemintang sana, bayangan di serambi, atau selembar kain yang entah bagaimana tersangkut di ranting. Dalam embusan angin yang rasanya terlalu hangat  pada malam musim gugur, ada satu hal yang tak beres pada jendela di menara kecil yang tampak olehmu dari kejauhan. Terlihat dari sebelah luar, namun tak bisa dijangkau dari sebelah dalam. (Ada cerita seram dari masa kanak-kanakmu: “Ada sebuah ruangan yang misterius. Jendelanya kelihatan dari depan, tapi kau tidak bisa memasukinya. Tidak ada pintu. Seorang dokter tinggal di sana bertahun-tahun lalu dan melakukan operasi diam-diam. Sekarang jendelanya ditutup.”) Jendela itu bergeming pada menara bagai mata yang buta.

Kau melihat bayangan di semak-semak. Penampakannya bagai patung yang bergerak.



1978. Makamkan ibumu di sisi selatan halaman rumah bernuansa Halloween itu. Abangmu dan anak-anaknya hadir di sana. Peluklah mereka. Pendeta yang mengenakan mantel olahraga dari wol, lahan-lahan yang tak berpenghuni, persimpangan jalan, semuanya tampak seperti Kansas yang sebenarnya. Doa dilantunkan, lalu seseorang menyekop tanah. Orang-orang berjalan menuju mobil, dan berpelukan lagi. Masuklah ke dalam mobil dengan keponakanmu. Tunggu sejenak. Tataplah kaca depan. Di langit November sekawanan burung melintas ke arah selatan. Baris yang paling pinggir dan yang paling ujung dalam formasi secara misterius berubah posisi, bergantian, mengalir seperti air, menyilang bagai kaki peselancar. “Insting akan menuntun mereka untuk mendarat di pohon di suatu tempat,” katamu, “tapi nanti setelah bermil-mil jauhnya.” Kau mengamati dengan kagum, sampai, selamban ameba, mereka berupa titik-titik hitam yang tersemat jauh di horizon. Kau belum juga menjalankan mobil. Keponakan yang sedari tadi bergeming di sampingmu akhirnya bersuara: “Bibi Ginnie, akankah kita menyusul yang lainnya ke restoran?” Tataplah ia. Sadarilah kehadirannya: gadis berusia sembilan tahun dalam balutan mantel bertudung. Tersenyumlah dan nyalakan mobilnya.



1977. Ibumu menua, terayun-ayun dalam kursi goyang kepunyaanmu, sehening angin. Helai-helai bagian depan rambutnya yang putih menjuntai kekuningan di depan matanya akibat sering terpapar oleh asap rokok. Sekarang ia merokok terus-terusan. Suaranya parau akibat dahak. Kadang pada waktu makan malam di dapurmu yang mungil, ia akan sepenuhnya menatapmu dengan matanya yang redup, lalu batuknya meledak hingga tubuhnya yang ringkih terguncang-guncang bagai didera badai.

Kau berhenti memakan kentang panggangmu. Tanyakan apakah ia baik-baik saja. 

Ia akan menggeram: “Kau ingat, Ginnie, ayahmu sering bilang kalau suatu hari, gara-gara merokok, aku akan ‘bermasalah dengan dahak’?” Ia tertawa kecil, kehabisan napas, terengah-engah lagi.

Bantulah ia berdiri.

Sandarkan ia padamu.

Tepuk tonjolan di punggungnya perlahan-lahan.

Mohonlah padanya demi tuhan agar berhenti merokok.

Ia akan tersenyum dan berucap: “Demi tuhan? Begitukah caranya bicara pada ibumu?”

Ketika sudah malam kau masuk ke kamarnya untuk mengecek. Ia berbaring di kasur dan masih terjaga. Bibirnya bercelah, terbuka dan kering. Kau membawakan jus untuknya. Ia bergumam, “Terima kasih, sayang.” Tercium aroma mulutnya yang menganga bagai lahad.



1976. Perayaan dua ratus tahun kemerdekaan Amerika Serikat. Di binatu, kau menunggu sampai waktunya koinmu habis. Melalui jendela di mesin pengering, kau mengamati handuk dan lap kepunyaanmu melompat-lompat dan jatuh. Dari corong di langit-langit radio melantunkan lagu yang lamban dan pilu; mengungkungmu dalam pengharapan yang sirna akan adanya pemuda yang mau mengajakmu berdansa di pesta, dan kaupun menangis. Sekembalimu ke apartemen, campakkan barang-barang ke tempat tidur. Ibumu sedang merajut secara serampangan: merah, putih, dan biru. Kecup ibumu dengan sapaan. Katakan: “Di binatu tadi udaranya hangat kok.” Ia sepertinya tidak akan mendengarmu.



1975. Hadiri acara pembacaan puisi di perpustakaan lokal, sendirian. Sadari bahwa kau tidak benar-benar mendengarkan. Pandangi pahamu yang bersilang. Pikirkan ibumu. Kadang kau membingungkannya dengan lelaki yang pernah kau cintai untuk pertama kalinya, yang pernah mencintaimu, yang mengubur kepalanya di balik swetermu dan mengucapkan perkataan yang mengagumkan seperti “Oh tuhan, oh tuhan,” yang mengasihimu tanpa syarat, dengan amat sangat, bagai seorang ibu.

Sesaat sang penyair tampak kehilangan rasa percaya diri, merah merona di sepanjang leher dan telinganya, namun ia dapat mengendalikan dirinya kembali. Ketika ia selesai, orang-orang bertepuk tangan. Anggur dan keju disuguhkan.

Tinggalkan tempat itu sendirian, pulang sendirian. Jalanan kota bagai koridor yang merengkuhmu, mendekapmu. Lewati gereja, lewati balai pertemuan. Berderaplah lurus-lurus seperti Barbara Stanwyck dalam film Stella Dallas. Lalui deretan kotak pos dan telepon serta lampu jalanan yang memancarkan nuansa melodramatik, mengarah ke rumah kaca di seberang Borealis Avenue, menuju bagian belakang apartemen.

Menurut horoskopmu: Bersikap ramahlah pada orang lain, tegaslah.

Kau hamil lagi. Putuskan apa yang mesti kau lakukan.



1974. Ibumu berjibaku dalam keringkihannya yang menggila. Ia meneleponmu ketika kau sedang bekerja. “Tak ada makanan di rumah! Tolonglah! Ibu kelaparan!” padahal kemarin kau baru saja membelanjakan empat puluh dolar untuk bahan makanan. “Bu, di rumah kan sudah ada banyak makanan!”

Begitu kau pulang, kulkas nyaris kosong. “Bu, ke mana susu, keju, dan lain-lainnya?” Ibumu menatapmu dari tempatnya duduk di depan TV. Air matanya tahu-tahu bercucuran. “Makanannya habis, Ginnie.”

Terdengar suara berdesir dan menggaruk dari mesin cuci piring. Kau membukanya. Sepasang mata mungil seekor hewan pengerat berkilau balik ke arahmu. Hewan itu memanjat ke luar, menghilang di balik kulkas. Ibumu, sepertinya, telah menaruh semua makanan di dalam mesin cuci piring. Susunya tumpah, membentuk kolam putih di atas permukaan yang biru. Keju, sosis, dan apelnya telah digerogoti.



1973. Di suatu pesta, ketika ada seorang wanita yang memberitahumu di mana ia membeli sepatu yang bagus, katakan bahwa berbelanja pakaian itu seperti bermasturbasi—semua orang melakukannya, tapi itu tidak sebegitunya menarik dan oleh karena itu mestinya dilakukan sendirian, dengan rasa malu, dan tidak sepatutnya dijadikan bahan pembicaraan di pesta. Wanita itu akan mengerutkan bibir dan alisnya, lalu berujar, “Oh, kalau begitu mestinya kau punya topik yang lebih menarik untuk dibicarakan.” Mulai merasa canggung dan gelisah. Katakan, “Tidak,” lalu minggatlah untuk mencari bir jahe. Beri tahu orang di sebelahmu kalau bagian dalam tubuhmu terasa berat dan keras seperti toilet karya perupa Claes Oldenburg. Mereka akan berucap, “Oh?” dan memberitahumu bahwa corak pada gaunmu berupa paisley yang berisi paisley lagi. Tuangkan lebih banyak bir jahe untuk dirimu.



1972. Nixon menang dengan kelebihan suara yang amat banyak.

Kadang ibumu menyebutmu dengan nama saudara perempuannya. Katakan, “Bukan, Bu, aku ini Virginia.” Belajarlah untuk mengulang-ulang perkataan. Belajarlah bahwa entah bagaimana secara kebetulan kalian menemukan cara untuk mengenal satu sama lain, dan setelah berbagai cara yang ada kalian menyadari bahwa kalian sama sekali tidak mengenal satu sama lain.

Kau membuat keripik apel untuk pertama kalinya.



1971. Berjalan-jalanlah yang lama untuk menghindari ibumu. Berjalanlah memasuki kawasan hutan; di sana ada kehidupan yang telah kau lupakan. Bebauan dan bebunyian menyergapmu, persis sebagaimana dulu. Derak dedaunan, jejak pada lumpur. Pepohonan bagaikan punggung yang bungkuk. Tonggak-tonggak yang dulunya pagar telah menyerpih, kini pasrah dan rawan dalam cengkeraman dahan pepohonan. Bunga-bunga aster yang putih dan ramping, layu dan terabaikan bagai Miss Havisham[2] akibat cuaca dingin. Pungut sebuah batu berwarna kemerahan yang cantik dan bawalah pulang untuk diberikan pada ibumu. Kecup ibumu. Katakan: “Ini untuk Ibu.” Ia mengambilnya dan tersenyum. “Dari dulu kau ini anak yang perasa,” ucapnya.

Katakan: “Ya, begitulah.”



1970. Kau hamil lagi. Cobalah memutuskan apa yang mesti kau lakukan. Potong rambutmu hingga pendek seperti anak laki-laki.



1969. Manusia melakukan lompatan di bulan.

Popok sekali pakai untuk pertama kalinya dijual di supermarket.

Jalin hubungan asmara yang singkat dengan lelaki-lelaki konyol lagi tolol yang menyuruhmu untuk memanjangkan rambut sampai ke pinggang, dan menggelitik rusukmu untuk membuatmu ceria kala kau sedih. Cahaya bulan menerobos celah-celah kerai, membentuk setrip-setrip pada tubuhmu bagaikan pola pada zebra. Kau tertawa. Kau tidak pernah menikah.



1968. Jangan membenci ibumu. Pikirkan situasinya, semisal, ketika kau mengangkat kantong sampah dari wadahnya: kau mesti membuang wadah tersebut dengan memasukkannya ke dalam kantong sampah yang itu juga. Apa yang sebelumnya diisi, kini menjadi isi. Wadah itu, jadinya, yang mengisi, yang dibungkus, yang menempati. Sadari lagi dan lagi bahwa kau suka sekali memikirkan hal-hal seperti ini secara berlebihan.



1967. Ibumu sakit dan tinggal bersamamu. Tidak ada tempat lainnya yang bisa dituju oleh ibumu. Kau merasakan berlipat-lipat kehampaan yang lain daripada biasa.

Transplantasi jantung sukses dilakukan untuk pertama kalinya di Afrika Selatan.



1966. Kau membuat bingung para kekasihmu, mengacaukan siapa yang punya bekas luka apa, mobil yang mana, ibu yang bagaimana.



1965. Isap mariyuana. Cobalah memecahkan apa yang telah menyesatkan hidupmu. Rasanya seperti berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan kulkas berbau busuk. Apapun bisa menjadi penyebabnya. Mayones yang hilang tutupnya, anggur madu kepunyaan Paman Ron yang sudah empat tahun lamanya tersimpan di pojok sebelah kiri. Brokoli yang menguning, berbunga dengan cepatnya. Semua itu hanyalah metafora. Semua itulah yang menjadi masalahnya. Menurut horoskopmu: Bicaralah dengan lembut pada orang yang kau kasihi.



1964. Ibumu menelepon melalui sambungan jarak jauh dan menanyakan apakah kau akan pulang pada waktu Thanksgiving, abangmu dan anaknya akan datang. Buatlah alasan.

“Kalau ibumu sudah menua,” ucap ibumu, “liburan semacam ini menjadi makin terasa pentingnya.”

Katakan: “Maafkan aku, Bu.”



1963. Terjaga pada suatu pagi di samping seorang lelaki. Kau merasa akan menghabiskan hidupmu dengannya, lalu nyalimu goyah. Kau menyadari bahwa kau bahkan tidak menyukai lelaki itu. Kau menghabiskan sepanjang petang dalam tangis di kamar mandi lelaki itu, tidak menanggapi ketukannya di pintu. Kau tidak bisa mempercayai perasaanmu lagi. Bisa jadi orang dan tempat yang kau sukai sekaligus merupakan orang dan tempat yang kau benci.

Kennedy ditembak.

Jantung buatan temporer telah diciptakan, untuk digunakan selama operasi dilakukan.



1962. Cobalah makanan Cina untuk pertama kalinya, dengan seorang pengacara dari Kalifornia. Ia akan memberitahumu bagaimana caranya memegang sumpit. Ia akan menyenggol betismu. Singgung profesinya. Tanyakan padanya apakah ia merasa hukum banyak berbual untuk kepentingan yang sifatnya jangka pendek saja.



1961. Nenek Moses meninggal.

Kau menyimpan banyak kegelisahan. Kau menuangkan brendi ke dalam kopimu pagi-pagi dan terlalu gampang jatuh cinta. Kau melakukan aborsi.



1960. Kau memperoleh uang dari warisan dan asuransi mendiang ayahmu. Kau membeli mobil dan gaun beledu hijau yang tidak kau butuhkan. Kau berkendara selama dua jam untuk makan siang bersama ibumu pada hari Sabtu. Ibumu menyarankan beberapa hal untuk kau tulis, hal-hal yang didengarnya di radio: wanita yang bisa melakukan telepati dengan kembarannya, wanita yang tidak punya kaki.



1959. Di pemakaman ayahmu, ibumu berkata: “Dia memang tidak sempurna, tapi dia orang yang murah hati,” padahal setahumu dalam pengeluaran ayahmu seketat simpul pramuka, dan tidak suka mendengarkan orang lain. Satu-satunya ingatan bahwa kau pernah mencintainya adalah ketika ia menangkap maksud leluconmu lebih cepat daripada ibumu. Di balik jurnal ilmiahnya, ia terbahak-bahak dengan kencangnya bagaikan tawa raksasa. Kalian berdua, untuk sesaat itu, akrab laksana sepasang malaikat yang berbagi pikiran cemerlang dalam kehangatan di tengah ruangan.

Katakan: “Dia memang baik.”

“Jangan dingin begitu dong,” semprot ibumu. “Ayahmu yang membiayai kuliahmu dan abangmu.” Ia mengancingkan mantelnya. “Ayahmu juga yang pertama kali memisahkan isotop partikel helium, Ibu lupa namanya, tapi ayahmu seharusnya mendapatkan Penghargaan Nobel.” Ia mengusap hidungnya.

Katakan: “Ya, Bu.”



1958. Pada hari pernikahan abangmu, ayahmu dibawa pergi dengan menggunakan ambulans. Sepupu kecilmu berbisik keras-keras pada ibunya, “Paman Will kena serangan jantung?” Selama tujuh hari berturut-turut ucapkan pada ibumu perkataan-perkataan seperti: “Aku yakin Ayah akan baik-baik saja,” dan “Aku saja yang menunggu di sini, Ibu pulang saja dan tidur.”



1957. Tarikan kalipso dengan pemuda-pemuda dari kampus lain. Jungkir-balik akibat burgundi di New York, kehilangan keperawanan, dan belilah salah satu keluaran pertama mesin ketik listrik portabel.



1956. Beri tahu ibumu semua buku yang kau baca di kampus. Ibumu akan senang.



1955. Bubuhkan warna pada lukisan Elvis Presley berdasarkan nomor yang tertera pada kanvas[3]. Beri tahu ibumu kau jatuh cinta pada lelaki itu. Ia akan menggeleng-gelengkan kepalanya.



1954. Curi sweter kasmir dari toko.



1953. Isap rokok bersama Hillary Swedelson. Berbagi rahasia mengenai pujaan hati satu sama lain. Menjadi saudara sedarah.



1952. Ketika ibumu bertanya adakah anak lelaki baik-baik di sekolahmu, balik bertanya dengan protes bagaimana mungkin kau bisa tahu kalau kau sudah harus pulang ke rumah pada jam sembilan! setiap malam. Alisnya akan terangkat bak tirai di panggung teater. “Kasihan sekali kau,” ia akan berucap.

Katakan, “Enggak tahu ya,” dan banting pintu.



1951. Ibumu menyampaikan tentang menstruasi padamu. Tepat pada hari berikutnya kau mendapat menstruasi. Tubuhmu rupanya menanti lampu hijau, sinyal. Kau bangun pada pagi hari dengan perasaan malu.



1949. Kau belajar bagaimana menggembungkan permen karet dan mengurangi angka.



1947. Ditemukan gulungan perkamen di Laut Mati.

Kau menonton terlalu banyak pertunjukan musikal Hollywood. Kau menyaksikan begitu banyak orang bernyanyi di tempat-tempat umum dan kau menyangka kau bisa melakukannya juga. Berlatihlah. Gurumu mengajukan pertanyaan padamu. Kau menjawabnya dengan nyanyian: “Jawaban untuk nomor dua adalah dua belas.” Sebagian besar isi kelas menertawakanmu. Sebagian lagi menatap saja dengan mata berkilauan bak permata, terpesona. Di rumah ibumu menyuruhmu untuk membersihkan lemarimu. Jawab dengan nyanyian bervibrato—hanya truk yang tahan melalui getarannya: “Kenapa aku harus melakukannya sekarang?” dan entakkan kakimu melintasi ruang makan. Ibumu memintamu agar diam dan tidur siang. Berserulah: “Ibu tidak peduli padaku! Ibu tidak peduli padaku sama sekali!”



1946. Abangmu memutar lagu “Shoofly Pie” dengan gramofon sepanjang hari.

Tanyakan pada ibumu apa kau boleh makan malam di rumah Ellen. Ia akan berkata, “Tanyakan pada ayahmu,” dan kau, seraya menarik-narik jemarimu, menuju ruang keluarga dan merengek di dekat kursi yang diduduki ayahmu. Ia sedang membaca. Tepuk lengannya. “Yah? Ayah? Yah?” Ia melanjutkan membaca jurnal ilmiahnya. Tarik-tarik jemarimu dengan lebh keras lagi dan berlarilah kembali ke dapur untuk memberi tahu ibumu, yang lalu menyembur masuk ke dalam ruang keluarga, berujar, “Kenapa kau tidak pernah mendengarkan anak-anakmu sewaktu mereka mencoba bicara padamu?” Kau mendengar mereka bertengkar. Benamkan wajahmu pada lap dapur, merasa malu. Deru mesin kulkas dan tetesan air di bak cuci membuatmu merasa takut.



1945. Ayahmu pulang dari tugasnya di medan perang. Ia menggendongmu di punggungnya, bermain kuda-kudaan mengitari halaman luas yang ditumbuhi alang-alang kuning. Jendela suram pada menara kecil, sekelam luka, mengawasimu. Tanpa berkata-kata, ayahmu mengayunkanmu dengan kencang.

Abangmu punya teman-teman baru, bersikap sok dewasa dan menjauh, bahkan sewaktu kalian sedang menunggu bis sekolah bersama-sama.

Kau menghabiskan begitu banyak waktu sendirian. Kau memberi tahu ibumu bahwa ketika kau sudah dewasa kau akan membawa anak-anakmu ke Australia supaya mereka bisa melihat kanggru.

Empat puluh ribu orang tewas di Nagasaki.



1944. Pakaikan baju dan timanglah boneka bayi kecil yang kau namakan “si Sue”. Bawalah boneka itu ke mana-mana. Kau tersesat di pasar buah Wilson Creek, dan memanggil-manggil ibumu dengan suara pelan, “Ibu, Ibu di mana?” Amati anak-anak lainnya mengambili anggur, namun kau tidak berani ikut-ikutan. Matamu meredup. Tenggorokanmu sesak. Tanganmu menggenggam si Sue.



1943. Tanyakan pada ibumu tentang bayi. Mintalah padanya untuk membacakanmu cerita tentang bayi saja. Tanyakan padanya apa ia akan memiliki bayi. Tanyakan padanya tentang bayi yang mati. Menangislah dalam pelukannya.



1940. Genggam rambutnya dalam kepalan tanganmu. Gosokkan pada pipimu.



1939. Tangisanmu melintasi cuping, menyusup ke dalam lubang telinga. Kau bukan lagi kilasan mimpi, melainkan kehidupan yang baru.

Kaki yang terentang. Tubuh yang terpisah. Berdua kalian berjuang meraih napas. Baginya antara asa dan nestapa ketika kau belajar untuk berbicara padanya, walaupun pada waktu itu kau sendiri tidak memahaminya.

Jerman menyerbu Polandia.

Lagu yang sedang populer pada tahun itu adalah “Three Little Fishies” dan seseorang, di suatu tempat, sedang memainkannya.[]



[1] Tim pembuat musik teater Broadway di Amerika Serikat. Rodgers adalah komposer sedangkan Hammerstein penulis lirik. “Oklahoma!” adalah karya awal mereka (1943).
[2] Tokoh wanita dalam novel Charles Dickens, Great Expectations, yang sejak ditinggalkan mempelai prianya di altar tidak pernah melepaskan baju pengantinnya, dan menghabiskan hidupnya dengan menyepi.
[3] Istilahnya “paint-by-numbers




Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...