Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20211219

Welcome to the N. H. K. Bab 10 Terjun Bagian 3 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Amarah menggelegak hebat di dalam diriku. Aku merasa seolah-olah dia sudah membodohiku. Dengan menekan perasaan itu dalam-dalam, aku berucap dengan nada selembut mungkin, “Nah, pulang, yuk! Di sini dingin!”

 “Aku enggak mau.”

Apa-apaan tuh enggak mau?! Dasar, ah sialan, berhentilah mengolok-olokku. Aku hampir saja mulai mencerca dia sekerasku; tapi entah bagaimana, aku bisa mengendalikan dorongan itu.

Aku berusaha mengingat-ingat buku yang pernah aku baca dulu sekali berjudul Psikologi Pencederaan Diri. Buku ini punya teori, “Mereka yang mencoba bunuh diri sebenarnya ingin diselamatkan. Mereka ingin ada orang yang mendengarkan apa yang mereka ingin katakan, maka berusahalah dan dengarkan mereka dengan sikap yang baik, sehalus mungkin, tanpa menyuarakan komentar negatif apa pun.”

Sepertinya begitulah pokok-pokok utamanya.

Aku berpaling kepada Misaki sembari membenahi kerah bajuku, sebagai bukti akan sikap halusku. Kemudian, aku katakan, “Jangan mati. Mari kita terus jalani hidup ini!”

Misaki tersenyum. Senyuman mencemooh.

Aku ingin memberi tahu dia betapa besarnya kerepotan yang kulalui agar sampai kemari. Tentu saja aku tahan. Dengan suara yang ramah, aku bertanya, “Kenapa tahu-tahu kamu mau bunuh diri?”

“Ini bukan salahmu kok, Satou.”

“Aku tahu kok. Jadi ….”

“Aku capek hidup.”

“Jelaskan yang konkret.”

“Aku muak dengan segalanya. Tidak ada alasan buatku untuk terus hidup.” Ia melagukannya secara abstrak, dengan senyum melekat pada wajahnya. Lagi pula, bukankah dia memang sedang membodohiku?

“Yah, benar begitu. Kurasa aku tidak bisa tertolong oleh kamu lagi, Satou. Lagi pula, kamu cuma hikikomori.”

Darah menderu ke kepalaku. “Mati sana!”

“Aku memang mau mati.”

“Enggak! Aku bercanda. Jangan mati. Kalau kamu mati, nanti masuk neraka.”

“Enggak usah panik begitu deh. Dari awal memang aku sudah mati, lihat saja dari banyaknya obat yang aku simpan setahun ini. Kalau saja pamanku enggak memergoki aku, aku pasti sudah akan berhasil. Apa pun yang mau kamu perbuat, Satou, aku sudah bertekad akan mati.”

Pada musim yang dingin itu, sembari berdiri di tanjung dalam kegelapan yang sehitam tinta, kami terus memperdebatkan apakah hendak hidup atau mati. Perbincangan yang bertahun-tahun cahaya jauhnya dari dunia normal sehari-hari.

Saat itu sudah lewat tengah malam dan membekukan. Gigi Misaki bergemeletukan.

“Mau yang mana pun juga, aku akan mati.” Ia mulai menantang. “Cobalah menghentikan aku kalau kamu bisa, walaupun itu enggak mungkin.”

Pandangan tentang bunuh diri yang secara tradisional dipertahankan oleh masyarakat kami jelas tidak lagi ada faedahnya. Tanpa rasa malu sama sekali, Misaki terus membela kematian.

Aku menangkisnya, “Kalau kamu bilang begitu terus, Misaki, kamu enggak merasa benar-benar ingin mati lagi, kan?”

Misaki merespons dengan memasukkan tangan ke saku mantelnya lalu mengeluarkan sebuah benda logam.

“Aku bawa cutter nih.” Bilah meluncur dari pegangan cutter. Serunya, “Sekarang, aku akan menyayat pergelangan tanganku dengan cutter ini!”

“Bahaya, tahu!” aku berusaha menangkap tangan Misaki.

“Jangan dekat-dekat!” Misaki cepat-cepat melompat dari bangku untuk menghindari sambaranku.

“Aku enggak tahu mesti apa. Aku yakin sudah jadi gila. Kalau kamu terlalu dekat, bisa-bisa aku melukaimu!” Sambil berteriak-berteriak begitu, Misaki mengulurkan tangan kanannya, yang mencengkeram cutter, serta menaruh tangan kirinya di balik punggung. Ia terlihat seperti sedang memeragakan jurus anggar.

“Kamu apa-apaan sih?”

“Aku belajar dari buku berjudul Seni Membunuh yang kubaca di perpustakaan. Aku sedang mempraktikkan seni adu pisau dari Mafia Sisilia.”

Menjaga jarak beberapa meter di antara kami, Misaki mengayun-ayunkan cutter itu, mengancamku.

“Kamu enggak muak? Muak karena orang yang mau kamu selamatkan sampai menyusul kemari benar-benar sudah gila? Tapi, Satou, aku enggak bisa apa-apa lagi. Aku yakin kamu juga berpikir seperti itu, kan? Kamu kayak mau menunjukkan betapa kerennya kamu karena menyelamatkan seorang cewek gila yang mau bunuh diri. Begitu kan maksudmu? Tapi itu mustahil. Mustahil!”

Karena membelakangi bulan, penampakannya tidak terlihat jelas, sehingga aku tidak bisa mengetahui bagaimana raut mukanya. Biarpun kedengarannya seperti sedang membanyol, sebetulnya tidak. Sepertinya dia sudah teguh. Aku menanyainya dengan serius, “Kalau aku bilang aku sungguh-sungguh jatuh cinta sama kamu, kamu mau apa?”

“Aku enggak akan berbuat apa-apa. Aku sudah tamat. Maksudku, kamu cuma hikikomori, Satou. Dan kayaknya kamu bakal segera berubah pikiran. Lagian, sebenarnya kamu sama sekali enggak suka sama aku, kan? Kalau seseorang enggak bisa jadi milikku seutuhnya, lebih baik aku mati. Enggak ada seorang pun yang bisa memenuhi keinginanku. Aku tahu dari dulu. Karena itu, makanya, aku mati saja.”

“Aku suka kamu! Aku cinta kamu! Tolong, jangan mati!”

“Ha ha ha. Kamu lucu banget, Satou. Tapi itu enggak ada gunanya. Aku ingin mati!” Dialog kami ini entah bagaimana kedengarannya seperti di komik serial cantik saja.

Meski begitu, aku tahu bahwa kata-kata seperti “cinta” dan “benci” mungkin tidak begitu penting. Masalahnya mungkin ada pada hal yang lebih mendalam dan mendasar. Kupikir aku mesti berusaha keras untuk menjelaskan ini padanya. Bagaimanapun juga aku mesti bisa menerjemahkannya ke dalam kata-kata kepada Misaki. Tapi, kata-kata dapat lenyap begitu saja. Ketika kuucapkan lagi, sudah tidak lagi ada artinya.

Sungguh aku tidak mengerti. Apa yang mesti aku lakukan? Mauku apa sih? Apa yang ada dalam pikiranku …? Sebenarnya tidak apa-apa sih kalau dia mati. Begitulah pikirku.

Pada akhirnya toh sama saja. Bedanya cuma mati secepatnya atau nanti. Kalaupun aku terus hidup, hanya ada lebih banyak penderitaan dan kesusahan. Itu pun tidak ada artinya. Hidup ini tidak ada artinya. Lebih baik mati. Ini kesimpulan yang sepenuhnya logis yang tidak dapat disangkal siapa pun.

Setidaknya, akulah yang tidak bisa menyangkal itu. Malah, aku ragu ada orang yang lebih tidak pantas berperan meyakinkan orang lain supaya tidak bunuh diri daripada aku.

“Itu enggak baik.” Terus saja aku mengucapkan perkataan konyol ini. “Jangan bilang mau mati.”

Segala perkataan itu kedengaran dibuat-buat.

Kuputuskan untuk mengandalkan kekuatan fisik. Aku mendekati Misaki, yang masih mengayun-ayunkan cutter. Ia mundur. Dengan mengabaikan gerakannya yang liar, aku menerjang sembari mengulurkan tangan kananku. Tepat sebelum tanganku menyentuh tubuh Misaki, bilah cutter itu mengiris telapak tanganku. Sedetik kemudian, darah mulai mengalir. Meresap ke salju.

Sakit, tapi rasanya menakjubkan.

Misaki menatap bilah cutter yang berdarah itu, raut wajahnya seperti yang tak sadar. Aku tersenyum kepadanya.

Misaki terlihat seperti yang mau tersenyum juga.

Angin bertiup, dan serbuk-serbuk salju pun menari-nari ke atas.

***

Akhirnya, aku paham. Aku tahu yang harus kulakukan: aku akan menjaga gadis ini agar tetap hidup. Aku akan menyelamatkan dia.

Bagaimana caranya? Apakah hikikomori seperti aku punya kekuatan untuk berbuat demi orang lain? Bukankah yang semacam itu tidak mungkin? Apa tidak semestinya aku sadar diri? Heh?

Tapi, entah di mana, pasti ada solusi yang ajaib. Aku sungguh-sungguh memercayainya. Pasti ada cara untuk memecahkannya. Pasti ada cara untuk memenuhi keinginan-keinginan Misaki begitu pula harapan-harapanku. Tentu saja, aku sudah mengetahui jawabannya.

Aku akan menghapus lukanya dan membuat dia terus hidup, tertawa dan gembira. Aku akan memberi dia semangat untuk menghadapinya hingga esok, memberi dia kekuatan untuk hidup. Caranya—entah bagaimana, semestinya aku sudah mengetahuinya.

Misaki pernah mengatakan padaku, “Seandainya Tuhan yang jahat itu benar-benar ada, maka kita bisa terus hidup baik-baik. Seandainya kita bisa melemparkan tanggung jawab atas kesengsaraan kita kepada Tuhan, maka batin kita akan jauh lebih tenang, iya kan?”

“Seandainya aku bisa percaya pada Tuhan, aku bisa bahagia. Sekalipun Tuhannya jahat, aku tahu aku bisa bahagia. Masalahnya … masalahnya aku tidak pandai berimajinasi, jadi aku tidak mudah percaya pada Tuhan. Begini, bisakah Dia menunjukkan keajaiban padaku, seperti yang ada di Alkitab?”

Misaki ingin percaya pada Tuhan, tapi Tuhannya adalah penjahat. Tuhannya adalah biang kerok utama dari segala keburukan. Seandainya Misaki dapat memercayai keberadaan sesuatu yang begitu jahat, Misaki bilang dia bisa terus hidup. Seandainya keajaiban terjadi di hadapannya, itu akan membuktikan keberadaan si penjahat ini. Misaki pernah mengatakan bahwa kalau ada kejadian seperti itu, ia akan sanggup untuk terus hidup. Aku akan mengabulkan keinginanmu!

Caranya ternyata sulit, mengerikan, kemungkinan mengharuskan pengorbanan yang luar biasa besar. Tapi, itu juga yang aku dambakan. Mengorbankan diriku demi menyelamatkan si protagonis perempuan merupakan tindakan paling mulia yang dapat aku lakukan.

Ah, ingin aku menyombong pada Yamazaki, Betapa bergairahnya aku sekarang, pada saat ini juga, hendak menghabisi hidupku dengan cara yang luar biasa. Aku benar-benar merasa hidup. Aku ingin mendongakkan kepalaku tinggi-tinggi dengan rasa bangga dan menyombong kepada dia.

Memang benar, kalau dilihat secara objektif, malam ini sangatlah dramatis. Seorang gadis mengayun-ayunkan pisau sementara aku berusaha mencegah gadis itu supaya tidak bunuh diri. Semuanya ini terasa cukup menggetarkan. Karena itulah, semestinya ada kata-kata yang tercurah. Dalam situasi begini, semestinya aku menyampaikan kata-kata yang mengesankan.

Misaki gemetaran. Aku mungkin gemetaran juga. Aku ketakutan, jadi aku berusaha menguatkan keberanianku.

Kenangan selama dua puluh dua tahun usiaku melintasi benak. Aku menyadari bahwa aku mengada demi momen ini, ketika aku akan melakukan apa pun yang aku bisa—segalanya yang aku bisa—untuk menjaga gadis ini tetap hidup. Mungkin inilah misi hidupku. Kalau bukan, maka tidak akan ada artinya …. Tidak ada artinya aku hidup sampai sekarang, tidak ada artinya untuk hidup kemudian mati. Seketika itu juga, aku memahami segala sesuatunya. Aku mengetahui segala sesuatunya, dan segala sesuatunya itu berhubungan.

Aku akan menolong Misaki, yang sedang terguncang oleh teror. Aku akan menyerahkan hidupku demi menolong dia. Mestilah situasi semacam ini yang telah aku dambakan selama ini. Bendera-bendera yang menuntunku menuju akhir telah berkibar semua[1]. Yang tersisa untuk menggerakkan adegan ini tinggallah dialogku saja, yang mengarah pada akhir seperti ini. Karena itulah, aku akan berdiri tegak dan menghadapinya. Misaki bisa mendapatkan alasan untuk hidup. Akhirannya akan membahagiakan.

Aku takut. Kumohon, tolonglah aku ….

Meski begitu, aku mengerahkan keberanian dan merangkul Misaki yang gemetaran. “Ini bukan salahmu, Misaki.”

Aku memeluk dia dengan segenap kekuatan dan berbisik ke telingaku. “Ini sama sekali bukan salahmu, Misaki. Kamu tidak berbuat salah sedikit pun.”

Ia kecil kurus. Gemetaran, ia melekat padaku, dan kegelapan pun melingkupi kami berdua.

Malam itu angin kencang. Salju berjatuhan tipis-tipis. Keheningan semakin pekat. Kenapa kami begitu sedih? Kenapa kami begitu kesepian? Tahukah kamu alasannya? Oh, aku tahu. Ini karena kita akan berpisah, akan mengucapkan salam perpisahan. Itu makanya kita gemetar. Selamanya kita sendirian, dan selamanya kita kesepian. Begitulah adanya selalu, sudah jalannya begitu. Semua orang seperti ini, jadi janganlah membenci dirimu. Jangan membenci dirimu. Ada hal-hal lain yang semestinya kamu benci. Kamu harus tahu itu.

“Memang benar, ada orang-orang jahat. Ada orang-orang yang telah menyakitimu, Misaki.”

Yang tersisa untuk menggerakkan adegan ini tinggallah dialogku saja, yang mengarah pada akhir seperti ini.

Kamu sama sekali tidak perlu bersedih hati. Sama sekali tidak perlu. Kenapa kamu mesti sedih? Kalau kamu selalu hidup dalam kesakitan, kesepian dan penderitaan, itu irasional. Aneh, bukan? Itu tidak masuk akal. Itulah makanya pasti ada seseorang, entah di mana, di balik semua ini. Seorang penjahat yang mencekokkan penderitaan padamu.

Itulah makanya ….

Itulah makanya, di dunia ini, ada konspirasi.

Tapi, ada lebih dari sembilan puluh sembilan persen kemungkinan konspirasi yang kedengarannya masuk akal itu, yang kamu dengar dari orang lain, adalah delusi belaka atau malah kebohongan yang disengaja. Kalau kamu mengunjungi toko buku, buku-buku dengan umpan seperti Konspirasi Besar Yahudi untuk Meruntuhkan Ekonomi Jepang! atau Konspirasi Luar Biasa CIA yang Menyembunyikan Pakta Rahasia Bersama Alien! semuanya itu sekadar delusi remeh. Meski begitu ….

Meski begitu ….

Sebagian kecil orang benar-benar terperosok dalam konspirasi nyata. Malah, ada satu orang yang menyaksikan dengan mata kepalanya konspirasi yang ada, pada saat ini juga, secara sembunyi-sembunyi sekali.

Siapakah orang ini?

Aku.

Apakah nama musuhnya itu? Aku mengetahuinya. Aku telah mengetahuinya sejak lama, nama organisasi jahat yang menyiksa kami, Tuhan keji yang sungguh-sungguh diharapkan keberadaannya oleh Misaki. Namanya adalah ….

N. H. K.

Betul! Aku ingat segalanya sekarang: nama musuhku, misiku, alasan keberadaanku, alasan aku terus hidup sampai sekarang, serta alasan aku menghabiskan setiap hari dengan hampa lagi hambar. Ya, hidupku ini ada hanya untuk menyelamatkanmu. Mungkin benar begini. Semua ini benar, jadi dengarkanlah aku!

Sembari masih merangkul Misaki supaya ia tidak menarik diri, aku menjelaskan secara singkat namun terperinci. “Dengar, Misaki. Di dunia ini, ada organisasi jahat. Namanya N. H. K. N. H. K. merupakan organisasi raksasa yang jangkauannya seluruh dunia. Mereka kelompok rahasia yang keji, dan merekalah yang telah mengakibatkan kita tersakiti. Semua ini gara-gara kesalahan N. H. K. Setelah ini, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu akibat perbuatan N. H. K. Semuanya adalah kesalahan N. H. K.!

“Pertama-tama, nama N. H. K. itu sendiri sebenarnya kebetulan saja. Nama yang sesungguhnya tidaklah penting. Kalau kamu enggak suka ‘N. H. K.’, kamu bisa saja menyebutnya dengan apalah kamu maunya. Malah kamu bisa saja menyebutnya Setan. Atau Tuhan yang jahat. Artinya sama saja.

“Betulan. Nama sama sekali enggak penting. Itu bunyi-bunyian saja. Esensi sebenarnya dari N. H. K. adalah: musuh imajiner yang menyiksamu. Contohnya, ada cewek dari klub sastra SMA-ku. Buat dia, nama itu bisa berarti ‘Nihon Hiyowa Kyokai’—Persatuan Orang Lemah Jepang, karena dia terus-terusan dikalahkan oleh kelemahan dirinya. Mental dan jiwanya lemah.”

Mohon berhentilah menyayat pergelangan tanganmu sendiri. Mohon berbahagialah bagaimanapun caranya.

Sambungku, “Kalau Misaki, N. H. K. artinya ‘Nihon Hikan Kyokai’—Persatuan Orang Pesimistis Jepang. Karena nasibmu yang malang itu, Misaki, kamu memandang segalanya secara pesimistis. Mohon maafkan aku karena sudah hidup. Jangan benci aku. Kamu selalu merusak dirimu seperti itu.

“Kalau N. H. K.-ku sendiri ….”

“Yah, sebenarnya ini salah N. H. K. makanya aku jadi hikikomori, seperti karena salah mereka juga kamu menderita, Misaki. Kenyataannya begitu. Aku bisa tahu ini ada caranya. Aku bertarung dengan mereka. Aku sudah melawan mereka sejak lama, tapi sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Akhirnya aku jadi korban mereka, dan tidak lama lagi mereka akan membunuhku. Tapi Misaki, kamu tidak kenapa-kenapa. Kamu mesti terus hidup, sehat-sehat.”

Misaki jelas-jelas ketakutan sementara aku terus mengoceh tidak keruan.

Aku melepas dia lalu melangkah mundur. Sekarang, aku akan menunjukkan pada dia suatu keajaiban, keajaiban hebat, untuk membuktikan keberadaan N. H. K. Aku akan mengungkapkan jati diriku sebagai prajurit kuat yang berjuang menghadapi N. H. K., dan aku akan mengalahkan mereka demi dia.

Dengan begitu, Misaki mungkin akan memercayai ceritaku. Dia akan terus hidup dengan senyuman. Kemungkinan besar dia akan berhenti membenci dirinya sendiri, dan kepribadiannya yang pesimistis itu pun akan tersembuhkan.

Itulah jawabannya. Aku akan memberi dia cinta yang abadi. Kamu takut. Kamu takut dibenci orang lain. Kamu takut orang akan berubah perasaan. Tapi kamu akan baik-baik saja. Perasaanku tidak akan berubah. Aku mencintaimu, dan perasaan itu sama sekali tidak akan pernah berubah.

Dan alasannya …?

“Ah! Aku tidak bisa meneruskannya! Ini serangan psikis dari N. H. K.!” aku berguling-guling di salju.

“Apa aku kelihatan bakal gila? Kalau begitu, itu juga gara-gara N. H. K. Mereka akan segera membunuhku! N. H. K. akan membunuhku! Tapi aku akan membalas serangan itu! Lihat saja nanti!” Aku bangkit lalu berlari, mengarah ke tepi jurang.

Aku memperlambat lariku.

“Selamat tinggal, Misaki! Kakiku ini bergerak sendiri. Aku akan dibunuh N. H. K. Tapi pada saat itu juga, aku berencana untuk membalas serangan mereka. Aku akan menghancurkan mereka!”

Lajuku berangsur-angsur meningkat.

“Betul! Untuk mengalahkan N. H. K., aku harus mengorbankan diriku sendiri supaya aku bisa menggunakan serangan khususku. Makanya aku harus pergi, tapi aku akan melindungimu!”

Aku bergerak dengan kecepatan penuh sekarang.

Aku harus melenyapkan diri ke dalam langit malam dengan segenap kekuatanku. Tepi jurang mendekat. Ah, aku akan loncat. Aku akan menggunakan serangan khususku.

Karena kesudahanku yang bukan main dungunya ini, Misaki mau tak mau akan memercayai organisasi jahat itu. Karena serangan khususku ini, ia bisa menyaksikan akhir dari organisasi jahat itu. Lalu mungkin kebahagiaan akan menghampirinya.

Apa pun yang terjadi, Misaki tidak perlu lagi merasa bersalah. Hanya inilah yang aku inginkan. Memang aku selalu berniat ingin mati.

***

Aku dapat memenuhi tujuan hidupku dan sekaligus menyelamatkan Misaki. Sungguh, inilah cara paling terang untuk menyelam sambil minum air. Akulah yang telah berencana untuk mati. Aku selalu, selalu berencana untuk mati.

Lagi pula, aku malah pernah mencoba mogok makan. Tapi cara itu terbukti tidak ampuh. Orang bertekad lemah seperti aku tidak sanggup menjalankan puasa; aku cuma tahan sampai empat hari. Kemudian, aku bekerja untuk memperoleh biaya hidup. Itu sekalinya aku bekerja keras sebelum mati. Aku selalu mencari cara untuk mati.

Singkatnya, aku orang yang jauh lebih gila daripada kamu. Itu membuktikan bahwa secara emosional aku bukanlah orang normal. Maksudku, kalau aku nomal, aku tidak akan berbuat yang seperti ini, kan? Misaki, walaupun kamu memandang rendah padaku, terimalah juga cintaku atau apalah itu. Aku akan segera mati, tapi Misaki, kamu mesti terus hidup. Aku akan mengalahkan N. H. K. dan mengenyahkan organisasi keji yang nista itu. Mohon percayalah. Kalau kamu memercayainya, kamu bisa terus hidup. Misaki, kamu bisa tetap menjalani hidup.

Saksikanlah serangan khususku dan camkanlah ke dalam benakmu. Hei, bisakah kamu melihatnya? Bisakah kamu melihat Bom Revolusioner, yang bersinar dengan terangnya di tangan kananku. Ini Bom Revolusioner yang tidak jadi digunakan Yamazaki, bom peledak bumi yang akan membinasakan para penjahat. Bom ini sangat, sangat lemah, terlalu lemah untuk memusnahkan N. H. K. Tapi ini lebih daripada cukup kuat untuk menghabisi makhluk hidup nan kerdil, menyedihkan, lagi tak berarti ini—singkatnya, aku. Dan kalau aku mati, N. H. K.-ku juga akan menghilang, sebab N. H. K. lah Tuhan. Ialah seluruh dunia ini. Dan dengan kematianku, duniaku akan lenyap. Dan N. H. K. pun akan menghilang. Itulah persisnya aku harus melancarkan serangan khususku sekarang juga, dengan Bom Revolusioner yang legendaris ini.

Aku akan mati. Aku akan segera terjun dari tebing ini. Di belakangku, Misaki meneriakkan kata-kata. Namun suaranya tidak lagi menjangkauku. Tidak ada lagi yang dapat menghentikanku.

Inilah yang terbaik! Tubuhku berlari seperti angin. Ah, aku merasa enak. Aku merasa tersegarkan, berlari secepat-cepatnya, di atas tebing, dalam kegelapan.

Aku juga takut. Aku tidak mau mati.

Aku tidak ada alasan untuk hidup. Aku tidak mau hidup.

Sebentar lagi, aku akan mati. Tinggal beberapa meter lagi sampai di tepi tebing. Dalam beberapa detik saja, satu degup jantung, aku akan membubung ke langit yang terbentang lebar.

Beberapa detik kemudian, seraya mengayunkan kedua belah tanganku sekencang mungkin serta menjulurkan kedua tungkai kakiku sejauh-jauhnya, aku akan terjun. Untuk yang pertama kali, aku bisa sungguh-sungguh melarikan diri, meninggalkan apartemen satu kamar enam tatamiku dan terbang tinggi, tinggi, ke langit terbuka. Aku akan loncat dan terbang.

Ah, tinggal sebentar lagi. Aku akan segera terbang.

Aku akan loncat ke Laut Jepang, seolah-olah aku sedang melakukan lari loncat jauh. Aku akan meloncat ….

Aku meloncat ….

Aku meloncat.

Aku meloncat!

Kedua kakiku terangkat dari tanah. Tubuhku melayang dan beberapa saat kemudian akan segera jatuh.

Aku akan jatuh dan terempas ke Laut Jepang.

Akhirnya sudah begitu dekat—persis seperti di gim erotis yang diciptakan Yamazaki. Aku akan melancarkan serangan khususku pada N. H. K. Untuk melindungi si protagonis perempuan, aku akan menyerbu masuk ke pertempuran pamungkas. Aku memiliki harapan atas skenario gim itu, dan aku akan mati tepat seperti yang aku inginkan. Ini adalah kesudahan yang paling membahagiakan.

Sebentar lagi, aku akan terselamatkan ….

***

Kemudian, terjadilah. Tahu-tahu ada yang melintas di benakku. Akhir gim tersebut—bagaimanapun juga aku tidak bisa mengingatnya. Apakah tokoh utama gim itu berhasil mengalahkan si organisasi jahat? Malah, memangnya ada akhirnya?

Ada yang bilang, “Tidak ada cara untuk menang.”

Mungkin ini hanya mimpi. Mungkin kesadaranku menghilang selama beberapa saat. Selagi aku menari menembus ketiadaan, Laut Jepang yang hitam pekat serta langit cerah berbintang membentang di depan mataku.

Lalu, aku melihat mereka. Mereka mengolok-ngolokku.

Tubuhku akan segera jatuh. Aku akan mati. Semestinya begitu. Tapi mereka bilang, “Ingatlah.”

Di tebing yang curam ini, di mana sudah terjadi terlalu banyak kecelakaan, konstruksi penghalang telah selesai dibangun. Bom Revolusioner itu pun lenyap tanpa sempat meledak.

Aku menjerit, “Begini ya cara kalian?! Dasar pecundang!”

Tidak ada yang menyahut.


[1] Dalam gim erotis Jepang, pemain harus mencapai “bendera” yang benar, atau adegan-adegan kunci, untuk memperoleh akhir tertentu.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...