Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20211226

Lagu untuk Benzaiten (Catherine Rose Torres, 2012)

Musim sakura berlalu lebih cepat daripada biasanya saat musim semi aku tiba di Tokyo, begitulah yang dikatakan oleh kakak asuhku, Hiro. Ia bilang akulah yang mesti disalahkan. “Parah sekali kalau sampai hujan pada musim begini,” katanya, seraya menggeleng-geleng padaku. “Kita mesti cari nama yang lebih ceria buat kamu.” Maka namaku pun menjadi “Aya”, yang artinya “cerah” dalam bahasa Jepang. Bapak dan Ibu Nojima, orang tua asuhku, pasti lega dapat memanggilku dengan nama yang tidak semengusik nama asliku, “Rain”—hujan.

            Tiga hari setelah aku datang, Hiro terbang kembali ke California, di mana dia sedang belajar arsitektur di UCLA. Seolah-olah dia ada di sini sekadar untuk membaptisku dengan nama panggilan Jepang. “Jangan terlalu baik, ya?” katanya ketika naik ke mobil bersama ayahnya, yang akan mengantarkan dia ke Bandara Narita. “Bisa-bisa orang tuaku memutuskan untuk mengadopsimu dan mendepakku.”

            Semestinya ia tidak perlu khawatir. Aku berusaha sebaik-baiknya untuk bersikap sopan dan menyenangkan kepada keluarga Nojima, tapi ada yang menahanku untuk berakrab-akrab dengan mereka. Aku bahkan tidak sanggup memanggil mereka Otosan dan Okaasan walaupun mereka lekas menyebutku dengan panggilan karib Aya-chan. Aku telah menyaksikan yang dapat terjadi ketika orang mengklaim apa yang bukan milik mereka.

            Begitu sekolah dimulai, kehidupanku di Tokyo merupakan rentangan pekerjaan sekolah yang tidak terputus. Walaupun aku bersekolah di SELHi[1] dan kebanyakan pelajarannya menggunakan bahasa Inggris, aku harus mengikuti pelajaran bahasa Jepang yang cukup intensif bersama murid pertukaran lainnya. Bukannya aku berkeberatan—sebaliknya, kegiatan ini merupakan cara bagus untuk mengalihkan pikiranku dari berkelana ke masa lalu.

            Kadang-kadang mereka membawaku melakukan studi lapangan untuk lebih mengenal kebudayaan setempat. Tempat pertama yang kami datangi adalah kuil di Asakusa dengan lentera merah besar digantung pada gerbangnya. Tapi yang paling kuingat dari kunjungan itu bukanlah lenteranya, melainkan sesosok patung perunggu yang tengah bermeditasi di halaman, dengan halo berbentuk teratai yang berasal dari kepalanya. Aku saking terpesona oleh air mukanya yang tenteram sehingga tidak menyadari salah satu guru menghampiriku dari belakang dan aku pun terkejut saat ia bersuara.

            “Kannon adalah bodhisatwa untuk belas kasih dan rasa iba,” katanya. Ia menunjuk benda berbentuk bohlam di tangan patung itu. “Yang dipegangnya itu permata pengabul harapan.” Aku mengangguk sopan, lalu memicing pada buku panduan hingga dia pergi hendak menjepret murid lain. Lantas aku menyapukan tanganku pada permata itu dan membisikkan harapan untuk adikku.

 

=

 

Kami sama sekali berbeda, aku dan adikku—maksudku, Rigel, saudara asliku yang sedarah di Filipina. Aku sudah bisa memainkan irama lagu anak-anak pada umur tiga tahun, saat ibuku melahirkan dia. Aku ingat Ibu duduk di sebelahku di bangku piano, perutnya yang bundar menekan kibor, sementara aku memainkan “Mary Had a Little Lamb” atau “Twinkle, Twinkle Little Star” untuk adikku yang belum lahir itu. Sewaktu usiaku dua belas tahun, aku bisa memainkan piano dan biola dengan cukup baik sehingga surat kabar setempat menampilkanku sebagai fitur dan menyebutku anak berbakat.

            Tapi sekalipun “bakat”ku tumbuh subur—begitulah orang tuaku dan guru-guruku menyebutnya—Rigel tampaknya terperangkap dalam lengkung waktu perkembangan. Sebagai anak, ia lambat memulai berjalan dan berbicara, namun orang tuaku tidak menganggap keadaannya sebagai akibat alamiah dari lahir dan tumbuh di bawah bayang-bayang kakak yang super berbakat. Di sekolah, kami jadi terkenal sebagai Nona-Mozart-Cilik-dan-adiknya-yang-bodoh. Kasihan, kata orang, adiknya dapat yang jelek-jeleknya—jatah IQ-nya mesti dimakan sama kakaknya.

            Adikku berusia delapan tahun saat orang tuaku akhirnya memutuskan untuk membawa dia ke spesialis dan ia pun didiagnosis mengalami disabilitas intelektual. Aku sedang di ruang tunggu bersama dia saat psikolog berbicara dengan orang tua kami, dan aku menguping orang itu menanyai mereka kenapa adikku tidak segera diperiksakan. Aku ingat tangis ibuku pecah saat psikolog itu melanjutkan. “Saya tidak bermaksud menyinggung Anda, tapi bisa jadi bakat putri Anda, boleh dibilang, mengalihkan perhatian yang sangat diperlukan oleh putra Anda.”

            Aku tidak bisa memercayai pendengaranku. Aku tidak mengerti kenapa aku yang disalahkan karena keadaan adikku, padahal aku mencintai dia dan tidak pernah membayangkan untuk menyakitinya. Tapi walaupun aku bisa mengabaikan omongan tolol tetangga tentang kami yang seperti “the Lone Ranger dan Tonto[2]” itu, rasanya lebih sulit untuk tidak mengacuhkan perkataan psikolog itu. Aku tersinggung karena mereka sepertinya menuding pada—bahwa aku telah merampas kasih sayang orang tuaku dari adikku.

            Sejak itu, aku menjaga jarak dari Rigel. Aku biasa memainkan piano dan biola untuk dia, bahkan mencoba mengajari dia cara melakukannya, membimbing tangannya, jari-jarinya, walaupun ia sepertinya paling suka mendengarkan saja permainanku. Musik itu berpengaruh padanya. Ia suka duduk di tempat tidurku atau di sebelahku di bangku piano dan mengamati kedua tanganku sembari melongo, dan begitu aku menyelesaikan satu lagu, ia akan menatapku, mengejap, kemudian perlahan-lahan mulai tersenyum, seakan-akan ia baru kembali dari suatu tempat rahasia yang sangat indah. Tapi aku berhenti memainkan musik untuk dia setelah dia mendapat diagnosis. Pada minggu-minggu pertama, ia akan berjalan menyisi padaku selagi aku berlatih, menantiku bermain untuk dia. Tapi aku mengeraskan diri. Jauh di lubuk hati, aku merasa seperti korban. Ini yang aku dapat dari menjadi kakak yang baik untuk kamu, batinku. Setelah beberapa lama, ia pun meninggalkanku, matanya membesar dan berkaca-kaca.

 

=

 

Hiro pulang pada akhir Juni untuk melewatkan liburan musim panas di Tokyo. Ketika sekolah berakhir pada pertengahan Juli, ia menetapkan untuk berlagak menjadi pemandu wisata bagiku selama satu setengah bulan yang tersisa itu sebelum ia mesti kembali ke Amerika Serikat. Ia mengajakku ke mana-mana: Menyambar semangkuk ramen atau sepiring nasi kari di warung-warung favoritnya. Ke Harajuku, di mana dia menunjuk-nunjuk sebagian spesimen bergaya paling nyentrik, seraya bercanda bahwa aku bisa memperoleh tips berpakaian dari mereka. Ia bahkan pernah mengajakku mendaki Gunung Takao di pinggiran Tokyo, melarikan diri dari panas dan lembapnya kota.

            Kadang selagi kami berkeluyuran, berdua saja, aku merasakan ada samar-samar kehangatan yang berdesir di dalam diriku—saat ia memegang tanganku untuk menunjukkan cara menggunakan sumpit dengan benar, atau saat kami berdempet di bawah satu payung karena mendadak terjebak hujan. Tapi, perasaan itu tak pernah bertahan lama, selalu tergusah oleh pikiran akan adikku. Aku bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang dia lakukan di rumah. Kadang aku menetapkan untuk mencari alasan berhenti jalan-jalan bareng Hiro, tapi aku tidak berhasil melakukannya. Apa masalahnya, kutanya diriku sendiri—lagi pula dia akan pergi saat musim panas berakhir.

 

=

 

Seiring dengan semakin dekatnya kepergian Hiro, aku memeras otak mencari cara untuk membalas kebaikannya. Aku tidak punya cukup uang untuk menraktir dia di restoran keluarga atau Mos Burger sekalipun. Maka suatu sore, aku membeli onigiri serta kopi dingin Mt. Rainier kesukaannya dari Family Mart kemudian meletakkannya dalam cangkir dan piring keramik yang bagus di atas baki pernis, semuanya aku pinjam dari dapur ibunya. Kami makan di lantai tatami kamarnya, yang jadi kamarku sejak kedatanganku pada April. Ia bilang rasanya lebih enak daripada makan di luar.

            Ia memindai kamarnya, seolah-olah hendak membiasakan kembali dirinya, lalu pandangannya jatuh pada hegalong yang bertopangkan dinding di kaki tempat tidur. Aku membeli lira berdawai dua asal tanah kelahiranku itu dari seorang pengrajin T’boli di sisi Danau Sebu saat aku berkunjung bersama orang tuaku dulu saat hidup masih terasa lebih indah. Benda itu satu-satunya penghubung dengan diriku di masa lalu yang aku hampir tidak ingat lagi, dan aku pun tidak begitu yakin menghendakinya.

            “Itu apaan?” tanya Hiro, seraya menyorot alat musik yang bersandar pada dinding di kaki tempat tidur itu. Ia tampak sama bingung dengan orang tuanya ketika melihat barang itu tersandang di pundakku pada hari kami berjumpa di bandara.

            Aku meraih hegalong itu dan menyerahkannya pada dia. “Nih, coba deh.”

            Ia mengambilnya, membuainya di pangkuan selayaknya gitar, kemudian menggeleng. “Bagaimana caranya memainkan ini? Senarnya cuma dua?”

            Dengan lembut aku melepaskan barang itu dari dia, menyesuaikan dawainya, kemudian mulai memetik sebuah melodi.

            Aku berhenti di tengah-tengah lagu, mendadak teringat pada janji yang kubuat pada diriku sendiri sebelum meninggalkan Manila. Bagaimana aku bisa lupa?

            Hiro tengah menatapku setengah menganga, saat aku membuka mataku. Ia juga tampaknya baru terjentik dari suatu tempat jauh yang hanya diketahui olehnya.

            Sugoi, Aya-chan! Permainan yang brilian.”

            Kata-katanya menyentakku.

            “Kamu bisa main apa lagi?”

            “Dulu aku main piano dan biola,” kataku seraya menggigit bibir. Berharap mengganti topik, aku menambahkan, “Sekarang kibor yang aku mainkan cuma kibor komputer.”

            Syukurlah, ia tidak bertanya terus. Malah, ia tampak sama leganya untuk mengganti topik. Kami pun beralih membicarakan kehidupannya di UCLA saat ponselnya berbunyi. Itu temannya—mereka mengadakan acara makan malam perpisahan dadakan untuk dia di Shinjuku.

            Ja, mata ne,”—sampai jumpa lagi—katanya, setelah berterima kasih padaku atas kudapan ini. Ia menyelip keluar sembari membawa baki berisi barang-barang tembikar yang telah digunakan, mengabaikanku saat aku bilang bahwa akulah yang mengadakan acara sehingga semestinya aku yang membereskannya. Sebelum menuruni tangga, ia berhenti dan berpaling padaku. “Hei, bagaimana kalau kamu ikut saja?”

            Aku menatap wajahnya yang mengharap. Aku hampir saja mengiyakan saat kenangan akan wajah adikku melayang dalam benak. Apa yang kupikirkan ini? Aku ke sini bukan untuk bersenang-senang ataupun mencari kasih sayang, melainkan menderita sebagai orang buangan atas perbuatanku terhadap dia. “Aku ada esai yang mesti dikumpulkan Senin,” kataku, seraya menutup pintu dengan lembut kemudian menyandarkan kepalaku. Sesaat hanya ada keheningan, disusul bunyi langkah kaki yang kembali memudar jadi keheningan.

 

=

 

Keesokan sorenya, Hiro mengetuk pintu kamarku. Saat aku membukanya, ia mengigal masuk, mengambil hegalong kemudian menyandangnya di bahu.

            Aku melongo mengamatinya, dan ia membalas tatapanku, seraya mengangkat alis. “Kenapa? Yuk, kita jalan-jalan.” Ia menolak menyebutkan tujuannnya, sehingga aku pun melompat ke sepedaku dan berkendara mengikuti dia, rasa penasaran menundukkanku. Kami mengunci sepeda di sisi taman dekat Stasiun Kichijoji. “Inokashira Koen,” begitu yang tertera pada petunjuk jalan. Aku mengikuti Hiro sementara ia berjalan susah payah di jalur penuh rumput yang dinaungi pepohonan, hegalong milikku berdebuk-debuk di belakangnya bersebelahan dengan ranselnya. Napasku tertahan saat kami sampai di suatu tempat terbuka, tampak sebuah danau cantik dengan banyak perahu di tengah-tengahnya.

            Aku semakin takjub saat mengedarkan pandang. Di seputar danau, anak-anak muda berambut gimbal dan Afro dan segala macam topi serta gaya rambut menghamparkan sarung-sarung bercorak ikat celup serta selimut-selimut tenun di atas permukaan yang gundul untuk memamerkan karya seni mereka: sketsa dan potret seukuran kartu pos, kotak korek api yang dilukis, ornamen dari kawat yang dipuntir, perhiasan manik-manik, jimat pelindung, dan pernak-pernik. Yang tidak punya barang untuk dijajakan mempertunjukkan bakatnya. Ada yang bermain lempar tangkap botol anggur kosong, ada yang meniup didgeridoo[3], ada yang memukuli tabla, dan ada juga yang melakukan pantomim. Aku merasakan hatiku mencelus saat melihat mereka.

            Hiro sepertinya dapat membaca benakku. “Mereka di sini cuma dari akhir musim semi sampai awal musim gugur, kemudian mereka beristirahat sepanjang musim dingin. Ketika aku mendengar kamu main … barang bersenar dua itu, aku merasa harus membawa kamu ke sini. Tapi pertama-tama kita mesti memberikan penghormatan pada penjaga tempat ini.”

            Ia meraih tanganku lalu menggiringku ke seberang danau, di mana ada sebuah kuil, yang lebih kecil daripada yang ada di Asakusa, tegak merapat di antara pepohonan. Kami berdiri di depan bangunan kayu berlantai satu yang dicat merah terang itu. Hiro membunyikan bel yang menggantung dari tepian atap kemudian mengatupkan kedua belah tangannya sembari membungkuk dalam. Aku berbuat yang sama, dan saat menegakkan badan aku berucap, “Kannon.”

            “Hampir mirip.” Hiro mengangguk. “Ini Benzaiten, dewi musik, pengetahuan, dan cinta.”

            Aku melongok lewat jalan masuk ke kuil, dan memang dewa di dalamnya, yang hampir tidak terlihat karena gelap, memegang sesuatu yang tampaknya semacam kecapi alih-alih perhiasan berbentuk bohlam.

            “Yuk, sekarang kita sudah dapat berkat. Aku sudah memilih tempat yang sempurna buat kamu.” Ia menggandeng tanganku lalu, setengah berlari, menarikku ke arah suatu tempat di dekat danau yang tampak paling ramai dilalui pejalan kaki. Di bawah pohon tua yang berbonggol-bonggol, pada celah di antara dua permadani yang ditutupi pernak-pernik jualan, ada papan kardus bertulisan cakar ayam “Sudah Dipesan”. Hiro mengambil kardus itu, melipatnya jadi dua, kemudian menjejalkannya ke dalam ransel.

            “Ayo, duduk,” katanya. Ayunan tangannya menggiringku ke arah pagar yang membatasi danau, yang digunakan para penampil lain sebagai tempat bertengger. Ia menurunkan hegalong dari bahunya kemudian menyerahkannya kepadaku seperti karangan bunga. “Ini saatnya dunia mendengar musikmu.”

            Aku berdiri mematung di sampingnya, darah terkuras dari wajahku. “Tidak, tunggu, Hiro, aku tidak bisa melakukannya, maafkan aku.” Aku mengedarkan pandang, mencari-cari alasan. “Danau ini kelihatannya sangat indah—kenapa kita tidak jalan-jalan saja naik perahu?” Aku memutar tumit dan menuju dermaga. Saat menoleh ke belakang, aku melihat dia berdiri di tempat yang disiapkannya untukku, cemberut. Aku melambaikan padanya dan membuat gerakan mengayuh, tapi dia hanya menggeleng dan mundur hingga bersandar pada pagar. Mendadak aku merasa marah. Bisa-bisanya dia menjebakku di tempat ini? Aku tidak pernah meminta dia untuk membawaku ke tempat ini. Tapi aku juga merasa sedih menyadari bahwa persahabatan kami telah menyerpih pada sore itu. Aku berusaha untuk menarik perhatian dia sekali lagi, namun ia menunduk saja memandangi kedua belah tangannya. Aku membalik badan menjauhi danau ke arah tempat kami memarkir sepeda lalu memancal pergi sementara air mataku mulai berjatuhan.

            Aku tidak mendengar ia pulang malam itu. Keesokan paginya saat aku turun dengan berseragam sekolah, ia menunggu di landasan tangga sambil memegang hegalong. “Maaf, ya, kemarin. Bodohnya aku mengajak kamu ke sana dan berharap kamu main begitu saja.” Ia langsung pergi sebelum aku sempat mengerahkan jawaban, meninggalkan alat musik itu bersandar pada pegangan tangga. Sepanjang hari di sekolah aku mencemaskan perkataan yang mesti kusampaikan pada dia bila aku bertemu dia malam itu. Tapi dia tidak ada saat aku pulang. Ia pergi bersama ibunya untuk berpamitan pada neneknya di Chiba. Aku berjaga selarut mungkin, namun mestilah aku tertidur, karena saat aku bangun, matahari sudah naik dan aku tahu dari sunyinya bahwa ia telah pergi. Aku berlari menuruni tangga dan benarlah Ibu Nojima sendirian di dapur. “Ah, ohayo gozaimasu,” katanya. “Hiro sudah pergi ke bandara bareng ayahnya. Dia tidak mau membangunkan kamu untuk berpamitan.”

 

=

 

Untuk pertama kali sejak aku datang kemari, aku berbohong kepada Ibu Nojima dengan memberi tahu dia bahwa aku merasa tidak enak badan. Mataku yang merah bengkak meyakinkan dia. Memang benar—aku merasa tidak enak. Sudah berakhir, pikirku. Tapi beberapa minggu kemudian, Hiro mengirimiku surel yang isinya melantur. Aku tidak bermaksud kasar waktu sore di danau itu, begitu ia memulainya. Danau itu punya cerita. Orang bilang Benzaiten mengutuk tempat itu sehingga pasangan bahagia yang berperahu di sana akan berpisah. Kemudian ia membeberkan bahwa mantan pacarnya dulu suka bermain shamisen di taman itu tiap Minggu. Ia selalu menemani pacarnya, rasa bangganya menggelembung saat orang-orang berkerumun dan bertepuk tangan untuk pacarnya, malah sebagian orang bertanya apakah pacarnya itu selebriti. Suatu hari, ketika pacarnya sudah selesai bermain, ia memberi tahu Hiro bahwa ia mau jalan-jalan di danau. Saat itulah, di perahu berbentuk angsa ia memutuskan hubungan dengan Hiro. Ketika pertama kali aku mendengar kamu bermain, aku merasa seolah-olah dia kembali. Sore itu di taman, aku ingin kamu menjadi dirinya.

            Aku duduk di depan komputer, membaca kata-katanya berkali-kali. Aku merasakan kepedihan yang tajam, bertanya-tanya apakah selama ini dia baik padaku hanya karena aku mengingatkan dia pada mantannya. Tapi bukankah dia sudah mau repot-repot menghabiskan waktu bersamaku bahkan sebelum dia mendengarku bermain? Aku tidak tahu bagaimana mesti membalas surelnya. Yang kutahu yang bisa kulakukan sedikitnya untuk membalas dia yang telah memercayaiku atas apa yang diceritakannya padaku, adalah dengan menjelaskan alasannya aku menolak bermain hari itu, walaupun mungkin pada akhirnya ia akan membenciku setelah mengetahui ceritaku. Aku pun menulisi Hiro surel panjang, menceritakan segalanya tentang adikku dan apa yang telah aku lakukan padanya. Beberapa lama tidak ada balasan dari Hiro, dan aku membayangkan ketakutan terbesarku—bahwa ia tidak mau berhubungan lagi dengan aku setelah mengetahui pengakuanku—menjadi nyata. Tapi persis ketika aku hendak menyerah menanti surelnya, balasannya datang: Bukan hanya danau itu yang dikutuk. Aku dan kamu, kita juga, dikutuk—jenis kutukan yang paling sulit untuk dipatahkan, karena kita yang mengadakannya bagi diri kita sendiri. Barangkali, hidup mempertemukan kita untuk membantu sama lain mematahkan kutukan itu.

            Kutukan. Aku tidak pernah menganggapnya begitu, tapi sepertinya ia benar bahwa aku telah membiarkan peristiwa pada masa laluku mencengkamku bagai kutukan.

            Kejadiannya saat aku baru masuk SMA kesenian di lereng Gunung Makiling. Tiap tahun, kami harus menampilkan konser untuk para patron sekolah serta orang tua kami. Aku bertekad untuk mempersembahkan pertunjukan yang mengesankan, sehingga aku menetapkan untuk memainkan “Caprice No.24” Paganini dengan biola, sepotong lagu yang sulit. Aku menguping para guruku bahwa kepala dua konservatorium dalam negeri akan hadir dan bahwa media akan meliput acara ini.

            Seminggu sebelum konser, Ibu mendatangi kamarku lalu duduk di tepi tempat tidurku sementara aku memoles biolaku. “Begini, Rain. Ibu dan Ayah sama-sama ingin hadir Minggu besok, tapi karena kamu tidak mau adikmu datang juga—“

            Aku bahkan tidak membiarkan ibuku menyelesaikan kalimatnya. “Seberapa sering sih ada acara ini, Bu, setahun sekali? Aku malah sudah jarang ketemu Ayah dan Ibu lagi, paling-paling akhir pekan. Dan Ibu tahu kan bagaimana orang kalau melihat Rigel—omongan mereka menyakitkan dan nanti bisa-bisa acaranya jadi rusak.”

            Ibuku terdiam. Aku terus mengilapkan permukaan biolaku, tidak hendak menoleh dan menatap padanya. Akhirnya, ibuku bangkit dan bertatih-tatih. Aku merajuk sepanjang akhir pekan itu, tidak mau turun untuk makan, beralasan harus berlatih. Aku bahkan tidak repot-repot mencium pipi Ayah seperti biasanya saat ia mengantarku ke sekolah Seninnya.

            Saat Ayah datang menjemputku pada Jumat berikutnya, ia menyambutku dengan mengatakan bahwa ia dan Ibu sama-sama akan hadir menyaksikan pertunjukanku di konser itu. “Pokoknya kami tidak akan melewatkannya,” katanya, seraya mengacak rambutku. “Kami sudah meminta Aling Cora menjaga Rigel nanti.” Aling Cora adalah tetangga kami, seorang janda tua.

            Aku tidak ingat pernah bermain begitu bagus seperti pada Minggu malam itu, ketika permainan biola soloku disambut tepuk tangan bergemuruh. Barangkali, sebagian dari diriku tahu bahwa, setelah itu, bagiku musik akan ternodai oleh rasa bersalah, ibarat kutukan. Karena malam itu, adikku, yang ingin pergi dan menonton permainanku, mencoba memanjat jendela kamar tempat Aling Cora, yang tidak sanggup menenangkan dia, mengurungnya—ia jatuh, sehingga kedua kakinya patah, dan mencederai tulang belakangnya, dan setelah itu ia tidak dapat lagi menggerakkan seluruh tubuhnya. Seakan-akan belum cukup dengan ketidakmampuannya menggunakan seluruh otaknya.

            Malam itu, sementara aku berdiri di luar ruang operasi rumah sakit bersama orang tuaku, kata-kata si psikolog berdering di telingaku. Kemudian aku tahu yang mesti aku lakukan. Aku akan membawa diriku ke suatu tempat di mana aku tidak dapat merebut milik adikku—tempat aku tidak harus menjulang di atas dia, menyerap segala udara dan sinar matahari sehingga dia layu di bawah bayanganku.

            Bulan berikutnya, aku melamar untuk bergabung dalam program pertukaran pelajar di tahun kedua. Di mana saja boleh, dan mereka pun menempatkanku di sekolah Jepang. Sebelum pergi, aku membuat janji lain pada diriku: bahwa aku tidak akan bermain musik—tidak dengan piano, biola, atau alat musik apa pun—kecuali untuk diriku sendiri. Aku sadar musiklah yang telah menyimpangkanku, membuatku rela mempertaruhkan segalanya, bahkan Rigel, agar dipuji dan disoraki.

            “Kamu tidak bawa biolamu?” tanya Ayah saat mengangkat barang-barangku untuk dimasukkan ke mobil pada perjalanan ke bandara. Aku tidak tahu mesti menjawab apa, sehingga aku menyambar hegalong yang bersandar pada dinding, dan berkata, “Aku bawa ini—aku mau belajar alat musik baru.”

            Kukira saat itu aku telah menyerahkan segalanya: adikku, orang tuaku, musikku …. Tidak terlintas bahwa mungkin kepergianku merupakan cara untuk kembali menemukan mereka sehingga kami dapat memulai lagi.

 

=

 

Sakura kembali mekar tepat sebelum waktunya aku pulang ke Manila. Begitu juga Hiro. Ketika pulang pada hari terakhir sekolah, aku mendapati Hiro mendengkur di sofa. Aku bengong dan memandangi dia seolah-olah dia itu siluman. Sampai waktu itu, aku tidak hendak percaya bahwa ia akan repot-repot pulang sebelum aku pergi. Sebelumnya ia sudah memberitahuku bahwa ia hanya punya beberapa hari sebelum term musim semi dimulai. Aku masih melongo memandangi dia saat matanya mengedip-ngedip terbuka.

            “Hei.” Sengiran lambat-lambat melebar di wajahnya yang masih letih. Ia mengulurkan tangan dan meremas tanganku saat aku menyambutnya.

            “Kamu balik.”

            “Masih ada yang harus kita lakukan, bukan?” Ia menahan kuap. “Kita balik ke sana besok pagi, dan kali ini kita lakukan dengan sungguh-sungguh.”

            Aku menatap kedua belah telapak tanganku. Bagaimana dengan kutukan di danau itu, batinku, meskipun aku tidak berani menanyainya. Tapi sepertinya ia dapat membaca pikiranku.

            “Jangan takut sama danau itu. Kita akan mematahkan kutukan itu.”

            “Bagaimana?”

            “Kamu ingat siapa yang memberikan kutukan?”

            “Benzaiten.”

            “Dewi musik.”

            Aku biarkan kata-katanya itu meresap, lantas mengangguk paham.

            Langit berlapis fajar saat kami melompat ke sepeda keesokan harinya, dengan hegalong tersandang melintang di punggungku. Kami mengayuh menyusuri jalanan yang masih sepi menuju Inokashira Koen, meninggalkan sepeda kami di tempat parkir yang kosong, tanpa repot-repot merantainya. Kami menuju ke arah danau dan melintasi jembatan ke sisi seberang. Kami membalikkan salah satu perahu dan, setelah masing-masing mengambil dayung, mengayuh ke bagian danau itu yang paling dalam. Dengan lembut, aku mengayunkan hegalong dari bahuku lalu membuainya dengan kedua lenganku.

            Ditonton Hiro, satu-satunya audiensiku, aku memetik sebuah melodi, dan melodi lainnya, dan melodi yang lain lagi. Dalam benakku, aku sedang bermain untuk Rigel di kursi rodanya, dan aku menetapkan, seketika itu, bahwa hal pertama yang akan kulakukan begitu pulang nanti adalah memainkan musik yang kutampilkan pada malam yang menentukan itu untuk dia. Aku tidak berhenti main hingga matahari memijarkan kabut dari danau sementara jari-jariku lecet dan merah. Sesudah itu, anehnya aku merasa tebersihkan. Hiro menggenggam kedua tanganku dan berbisik, “Lihat, kan? Kutukannya sudah patah.” Aku menatap dia dan bertanya-tanya apa maksudnya. Jauh di lubuk hati, aku berharap maksudnya bukan sekadar beban dari masa lalu yang kubawa-bawa bersamaku, melainkan kutukan danau itu. Aku tidak hendak menanyai dia.

 

=

 

Hiro benar saat mengatakan bahwa kutukan yang paling sulit dipatahkan itu adalah yang kita adakan bagi diri kita sendiri: rasa bersalah, marah, duka …. Pagi kemarin di danau itu, ia menolongku membebaskan diri dari kutukan yang kutimbulkan sendiri sehingga berisiko mendatangkan kutukan yang lain. Entahkah kutukan yang lain itu terpatahkan juga atau tidak, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Tiga hari lagi, aku akan meninggalkan Jepang untuk kembali pada adikku, orang tuaku, dan, ya, musikku. Kami akan berpamitan, barangkali untuk selamanya. Tapi aku berharap kami dapat berjumpa lagi—bahwa permainanku menyenangkan Benzaiten. Kurasa hanya waktu yang dapat menjawabnya.[]

 

Catherine Rose Torres adalah diplomat Filipina dan penulis yang tinggal di Singapura. Ia penerima penghargaan Palanca untuk fiksi, dan karya-karyanya telah terbit di Ceriph, TAYO Literary Magazine, serta The Philippines Graphics. Ia berperan dalam Write Forward, kursus menulis daring oleh Birbeck College Writing Programme serta British Council Singapura. Ia pernah tinggal di Jepang dalam rangka pertukaran budaya yang disponsori oleh JAL pada 1999 dan menjadi mahasiswi pertukaran di Universitas Tokyo dari 2000 sampai 2001.


Cerpen ini diterjemahkan dari "A Song for Benzaiten" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.



[1] Super English Language High Schools. https://educationinjapan.wordpress.com/the-scoop-on-schools/what-are-selhis/

[2] Mengacu pada tokoh fiksi kesatria bertopeng The Lone Ranger dan pendampingnya seorang Indian Gila bernama Tonto. Cerita mereka diangkat ke layar lebar pada 2013 dengan dibintangi oleh Johnny Depp sebagai Tonto. Dalam bahasa Italia, Portugis, dan Spanyol, “tonto” berarti “orang bodoh”.

[3] Alat musik tiup yang berasal dari Australia

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...