Cara yang tepat untuk mengungkap sisi-sisi
yang belum diketahui dari manusia dapat dicapai dengan menempatkan subjek dalam
situasi yang sama sekali baru dan mengamati reaksinya. Contohnya: apabila saya
melakukan panggilan lewat telepon dan mendengar suara di ujung sambungan
mengatakan “Halo”, maka percobaan menjadi kurang bernilai ilmiah atau berbobot
dikarenakan subjek tidak menunjukkan reaksi lebih dari sikap yang biasanya
dalam menanggapi situasi yang juga biasanya. Oleh karena itu, hal tersebut
tidak memberi saya kesempatan untuk menyelidiki aspek-aspek tersembunyi dalam
kepribadiannya.
Bagaimana saya dapat menelaah, misalnya
saja, penjaga toko tertentu—dengan keramahtamahan dan senyuman sementara saya
berbelanja—tidak sanggup menahan saya menyangkut perkara recehan? Maka yang
terbaik adalah mendorong timbulnya reaksi yang tidak terduga. Hal ini dapat
bersifat instruktif.
Saya dapat mengemukakan beberapa contoh.
1. Saya membayar sepotong kecil roti
dengan pecahan uang kertas terbesar yang beredar dan dengan tegas menolak
menerima kembaliannya. Dengan penuh perhatian, saya mengamati ketamakan penjual
roti tersebut, hasratnya untuk mengambil keuntungan dari kesintingan saya
sebagaimana disangkanya. Saya pergi. Setelah lima menit saya memasuki toko
sekali lagi, kali ini ditemani seorang petugas polisi, dan menuduh penjual roti
tersebut telah menolak menyerahkan kembalian saya. Saya mengamati kegusarannya
akan perilaku tidak jujur saya, kekecewaannya karena kertas pembungkusnya telah
dirobek. Dengan takut dan bingung, ia menggagapkan alasan-alasan yang sulit
dimengerti di bawah tatapan curiga petugas polisi, yang tidak memercayai adanya
orang yang menolak menerima kembalian sebesar itu. Dengan merendahkan hati, ia
menyerahkan sejumlah yang diperlukan dan dengan bermurah hati, saya menyatakan
bahwa saya menghendaki agar kejadian yang tidak menyenangkan ini dianggap sudah
selesai saja. Petugas tersebut, tampaknya sedikit kecewa, mengatakan “Terserah
Anda saja.” Saya memerhatikan kelegaan yang sangat besar di wajah penjual roti
tersebut.*
2. Saya mengundang teman untuk makan
malam bersama di rumah. Begitu ia datang, saya menghalanginya masuk sambil
menuduhnya telah mencuri gadis yang saya cintai—sekitar tiga belas tahun yang
lalu. Saya mengamati keheranannya (kami baru mengenal satu sama lain selama beberapa
bulan ini), keraguannya (barangkali justru saya yang…), penyesalannya,
kegusarannya….
3. Saya menaiki bis dan mengatakan “Ke
tempat anu.” Ketika sopir bis, yang sembari sibuk mengawasi jalan, menyodorkan
telapak tangannya untuk menagih ongkos, saya memberinya bidak catur dan tangkai
peterseli. Pertanyaannya: bagaimanakah sopir bis tersebut—orang yang biasanya
mudah meledak—mengartikan pemberian yang membingungkan ini?
4. Saya bepergian ke kota peristirahatan
Mar del Plata dan memesan kamar di salah satu hotel termewah. Begitu pelayannya
pergi, saya memindahkan kasur ke gang dan tidur di sana supaya segar lagi
setelah perjalanan yang melelahkan.
5. Dengan menggunakan kunci maling, saya
memasuki rumah mana saja yang pemiliknya kebetulan sedang tidak ada. Saya
menunggu mereka sambil duduk dengan tenang, merokok, meminum wiski, menonton
televisi. Subjek datang. Selanjutnya saya memarahi mereka dengan kasar. Saya
mengacungkan tinju pada mereka, dan berkata “Berani-beraninya Anda memasuki
rumah saya?” Dengan tidak memedulikan penjelasan mereka, atau memedulikan
(tidak ada bedanya), saya meminta mereka menunjukkan akta kepemilikan rumah.
Saya tidak mengizinkan mereka membuka laci. Tidak masuk akal mereka mengklaim bukti
itu berada di dalamnya, sebab laci itu merupakan bagian yang menyatu dengan
perabot yang merupakan bagian yang menyatu dengan rumah saya dan, maka dari
itu, tidak mungkin menyimpan akta rumah kepunyaan orang yang tidak dikenal,
yang wataknya mencurigakan, kemungkinan penjahat, anggota kenamaan dari dunia
kriminal, dan seterusnya.
6. Saya berkenalan dengan seorang gadis
yang apik, lumayan lucu, dan bisa dibilang cukup cantik. Saya mengajaknya
berkencan, mengatakan padanya bahwa saya mencintainya. Saya menjadi tunangannya
hingga hari pertunangan kami tiba. Perayaannya diadakan di rumahnya. Seseorang
mengucapkan selamat. Yang lain-lainnya juga mengucapkan selamat. Akhirnya,
momen yang sedari lama dinanti-nanti tiba, yakni ketika si tunangan—seorang
pemuda yang berbudi, jika yang seperti itu memang sungguh ada—mempersembahkan
pada kekasihnya kejutan indah yang sudah sangat sering dibicarakan. Sambil
tersenyum penuh kasih dan kebahagiaan, saya menyerahkan sebuah bungkusan yang
sangat besar. Calon pengantin wanita menimbang-nimbang bobot bungkusan yang
terasa luar biasa baginya itu. Keingintahuan yang tinggi tersirat di wajah para
tamu. Orang-orang berkerumun dan para wanita berjejalan di sekitar calon
pengantin wanita yang sedang sangat bergembira. Pembungkus hadiah yang menarik
itu terlempar ke udara, begitu juga pita yang menghiasinya. Lalu tampak sebuah
kotak yang mewah dilapisi kulit berwarna hitam. “Ini pasti permata yang mahal!”
pikir kekasih saya. Kilas ketamakan yang terpancar dari matanya membenarkan hal
itu sedari awal. Jarinya cepat-cepat membuka kunci otomatis. Penutupnya
terangkat seiring dengan bunyi ceklek yang elegan. Seekor ular yang cantik,
berwarna-warni, lincah, dan sangat berbisa meluncur meliak-liuk, mencari
kebebasan, di sepanjang lengan kekasih saya yang berwarna gading.
7. Saya menunggu sampai manajer
perusahaan tempat saya bekerja berada di kantornya yang mengesankan dan
berlapis permadani, bercakap-cakap dengan kliennya yang paling penting yang
hendak menyepakati perjanjian pembelian dalam jumlah yang amat besar. Saya mengetuk
pintu dengan malu-malu, mendengar tanggapan “Masuk”, dan memasuki ruangan
dengan langkah-langkah yang sopan dan cermat. Saya berkata dengan senyum
hati-hati sekaligus penuh maksud, “Maaf, ya, Pak,” berjalan menuju lemari kaca,
membukanya, dan mengencingi portofolio, buku, peralatan, kontrak, dokumen, dan
surat-surat yang bisa jadi atau bisa juga tidak penting.
Tentunya, ada beberapa cara yang lebih
sederhana. Saya bagikan pada siapa saja yang masih memerlukan latihan dan
hendak mengamalkan perang suci psikis ini sebagai berikut.
Mengucapkan kata-kata yang penuh nafsu
bahkan erotis pada anggota Bala Keselamatan tanpa memerhatikan jenis kelamin
dan usia. Berdiri di timbangan di apotek dan tetap di sana sepanjang hari tanpa
membolehkan siapa saja menaikinya. Membeli dua ratus gram sosis, mengirisnya
tipis-tipis sekali, membuka pembungkusnya, dan dengan menggunakan irisan-irisan
tipis itu, membuat bentuk hati dan tulisan AKU CINTA KAMU pada konter makanan.
Bepergian dengan bis, duduk di sisi dekat gang, lalu menunggu sampai orang di
samping Anda, pria atapun wanita, harus turun dan mengatakan “Permisi,” dan
Anda menjawab dengan mentah-mentah, “Tidak boleh,” dan sama sekali menolak
orang tersebut lewat.
Perang suci psikis dapat menyebabkan
kecemasan dalam kadar tertentu (sebagaimana pada perang suci yang mana saja),
mengarahkan orang pada kesulitan yang berat (sebagaimana pada perang suci yang
mana saja). Tapi, apalah artinya segala kesulitan itu dibandingkan dengan
kesenangan dari mengamati reaksi yang ditimbulkan oleh perang suci psikis?
Bagaimanapun juga, ini bayangan saya
saja, sebabnya—saya mengakui—saya hanyalah seorang teoretikus, boleh jadi saya
tidak pernah mengamalkan gagasan-gagasan saya. Tapi Anda bisa—dan sebaiknya—melakukannya.[]
*Perhatikan bahwasanya ini berkenaan
dengan hipotesis belaka. Penjual roti yang satu akan bereaksi sebagaimana yang
telah ditunjukkan, yang tokonya di ujung blok mungkin saja tidak akan takut
dengan keberadaan petugas polisi dan dengan lancangnya bersikeras telah memberi
kembalian pada saya, dan seterusnya. Sebagaimana yang telah diketahui, dengan
mengulangi percobaan ini—dengan penjual roti yang berbeda dan, terutama,
petugas roti yang berbeda, kita akan berhasil menggali kedalaman jiwa penjual
roti. Begitu juga lebih kurangnya dengan segala hormat pada petugas
polisi.
Dari cerpen pengarang Argentina, Fernando Sorrentino, "Una cruzada psicológica" (1982), yang diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Inggris oleh Clark M. Zlotchew dengan judul “A Psychological Crusade”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar