2
Kawashima
menyimpan alat pemecah es itu di laci dapur, membasuh mukanya di wastafel kamar
mandi, dan melangkah ke ruang keluarga. Ia duduk di meja kerja dan sia-sia saja
menunggu detak jantungnya melambat. Tenggorokannya kering saking tegangnya, dan
ia terpikir untuk mengambil minuman tetapi segera menyangkal pikiran itu. Pada
waktu-waktu seperti ini, ia berpantang minuman keras, karena tahu pada akhirnya
ia akan mencampakkan sabuk punggung pada suatu benda keras—cara yang
membantunya relaks hanya sekejap, setelah sebelumnya kehilangan kendali. Ia
akan minum sampai pingsan, dan hampir-hampir tak mengingat apa-apa hari
berikutnya.
Ia memandang seputar ruangan itu, mencoba bernapas dalam-dalam dan pelan-pelan. Mereka masih menyebut ruangan itu sebagai ruang keluarga padahal telah mengubahnya jadi ruang kerja untuk mereka berdua. Tidak ada sofa atau kursi yang nyaman, tetapi meja berat berbentuk L dari kayu tanpa pelitur yang memakan sebagian besar area lantai. Raksasa ini, yang diimpor dari Swedia dan cukup besar untuk menampung delapan sampai sepuluh murid sekaligus untuk mengadon, merupakan barang milik Yoko yang paling berharga. Barang itu hadiah pernikahan Kawashima untuk Yoko. Kawashima menguras rekening banknya untuk membayar barang itu.
Perasaan Kawashima terhadap Yoko masih sama seperti
yang dulu: ia tak percaya dapat berjumpa, jatuh cinta, dan sungguhan menikahi wanita seperti ini.
Kawashima dan Yoko berusia sebaya. Mereka berjumpa enam
tahun lalu, pada awal musim panas, di sebuah galeri seni di Ginza. Ketika itu
pembukaan pameran karya seniman Perancis kelahiran Rusia bernama Nicolas de Staël, pelukis abstrak yang suram.
Seniman tersebut tidak terkenal di Jepang dan, walaupun kala itu Minggu sore,
hanya mereka berdua pengunjungnya. Yoko yang mula-mula berbicara.
“Kamu seniman?” tanya Yoko.
Kawashima sedang mengepit buku sketsa.
“Aku suka menggambar, benar,” sahut Kawashima.
Wanita itu mengenakan kacamata berbingkai warna krem.
Kacamata itu tampak pantas untuk Yoko, tetapi menurut Kawashima wanita itu akan
lebih cantik lagi bila tidak memakainya. Mereka bersama-sama meninggalkan galeri itu dan mendatangi kedai kopi
berdinding kaca yang pemandangan di sebelah bawahnya berupa persimpangan Ginza. Kawashima memesan espreso dobel sementara Yoko keik
keju yang terkenal dari toko itu beserta secangkir teh apel. Matahari awal musim panas menyinar miring dengan
lembutnya melalui kerai, dan di tiap meja terdapat vas kaca yang tinggi-ramping
berisikan setangkai anggur. Yoko berbau harum. Kawashima mengira ada wewangian lain
yang bercampur dengan parfum Yoko, karena waktu itu ia belum tahu itu adalah
aroma roti yang baru dipanggang. Kawashima sekadar merasa bahwa aroma itu menyenangkan,
barangkali karena ia sungguh-sungguh menyukai orang ini dan merasa sangat
relaks bersamanya. (Sebaliknya, kapan pun ia sedang tertekan atau terperangkap
bersama orang yang ia tak acuhkan, bahkan aroma-aroma di sekitar saja cenderung
menjijikkan baginya.) Yoko
memakan keik kejunya pelan-pelan selagi mempelajari halaman-halaman buku sketsa
Kawashima. Satu ketika, ada repihan yang jatuh ke gambar Kawashima, dan Yoko
berhati-hati mengambilnya dengan ujung saputangan. Ada suatu hal pada cara Yoko yang amat menyenangkan
hati Kawashima.
Mereka pun mulai bertemu sekitar sekali seminggu untuk
makan malam, mengunjungi museum, atau menonton film bersama-sama. Kawashima
bekerja di sebuah firma rancang grafis dan menggambar pada waktu senggangnya.
Gambar-gambarnya semua berupa jalanan sempit dalam terang bulan; tak ada subjek
lain yang menarik bagi dia. Namun satu hari dekat penghujung musim panas, ia
menggambar berdasarkan pada ingatannya sebuah sketsa pensil wajah Yoko. Ketika
Kawashima menunjukkan sketsa itu kepada Yoko pada kencan berikutnya, untuk
pertama kali Yoko mengajak Kawashima ke apartemennya. Di sana Yoko
tersendat-sendat membuat pengakuan yang jelas-jelas sangat menyakitkan. Sampai
sekitar setahun lalu, ia mengencani seorang pria yang lebih tua dari
perusahaannya, dan manakala mereka putus, ia menelan segenggam pil tidur lalu
dilarikan ke rumah sakit. Apa yang Kawashima pikirkan mengenai wanita yang
berbuat hal seperti itu? Kawashima bilang itu bukan soal besar, dan ia
bersungguh-sungguh.
“Memangnya siapa yang tidak mau mati sewaktu-waktu?”
ujar Kawashima.
Tidak lama sesudah itu, mereka hidup bersama. Mereka
telah berbagi tempat tinggal selama sekitar enam bulan manakala, pada larut
malam musim dingin yang membekukan, Kawashima terbangun dan terlompat dari
tempat tidur basah kuyup sepenuhnya dalam keringat sampai menembus selimut.
Terkaget dari lelapnya, kebingungan Yoko bertanya ada apa, tetapi Kawashima
hanya sanggup berkata ia perlu berjalan-jalan sebentar. Ia mengenakan pakaian
dan meninggalkan apartemen. Setelah kembali, sekitar dua jam kemudian,
Kawashima memberi tahu Yoko suatu hal yang belum pernah ia ungkapkan kepada
siapa pun sebelumnya.
“Aku seperti itu kadang-kadang,” kata Kawashima.
“Terjadi padaku sejak aku kecil, tapi aku tidak tahu apa sebutannya sampai aku
besar dan menemukannya di buku psikologi. Istilahnya pavor nocturnus—teror
malam. Malah lebih parah sewaktu aku kecil. Aku bangun dalam keadaan panik
sampai melompat dari tempat tidur, seperti yang terjadi malam ini, hanya saja
waktu itu aku akan menjerit sekencang-kencangnya. Kadang aku sampai lari
berputar-putar di kamar sekitar, entahlah, dua-tiga menit. Setelah itu aku
tidak dapat mengingat apa-apa, kecuali ada hal yang sangat membuatku takut
karena aku tidak tahu siapa diriku dan juga tidak dapat mengenali orang-orang
di sekitarku. Seolah-olah mereka lebur bersama mimpiku, menjadi tokoh-tokoh
dalam mimpi buruk. Sangat menyeramkan. Sungguh menyeramkan. Sekarang aku sudah
dewasa, rasanya tidak seberapa buruk. Maksudku, aku tetap ingat siapa diriku,
dan seperti malam ini, aku sadar kamu sedang bicara kepadaku, menanyakan ada
apa.”
“Jadi kenapa,” tanya Yoko, “kamu terburu-buru keluar
sendirian? Kenapa kamu tidak mau kupegang?”
Kawashima menggelengkan kepalanya.
“Aku selalu merasa itulah yang terbaik, bila aku
kehilangan kendali seperti itu, tidak berada dekat-dekat siapa pun. Lebih baik
pergi ke mana sendirian dan berjalan-jalan sampai membaik, sambil bernapas
dalam-dalam untuk menenangkan diri.”
Seketika Kawashima memutuskan untuk memberi tahu Yoko
segala hal yang telah dirahasiakannya selama ini—kecuali untuk satu waktu, pada
usianya yang kesembilan belas tahun, bahwa ia telah menusuk seorang wanita dengan
alat pemecah es. Ia
tidak mau membahas itu, sebagian karena kejadiannya begitu samar dan tak
menentu dalam ingatannya, dan sebagian karena ia takut itu bakal menakuti Yoko.
Ia tidak mau kehilangan Yoko.
“Aku
pikir yang melatarinya, melatari teror malam itu, adalah setelah kematian
ayahku, sewaktu aku berusia empat tahun, ibuku mulai memukuliku. Ia memukuliku sampai aku
ketakutan. Aku sama sekali tidak ingat tentang ayahku, kecuali samar-samar ia
suka mengajak kami jalan-jalan dengan mobil. Dan aku tahu ayahku memang punya mobil,
setidaknya sebentar, karena ibuku selalu menceritakan tentang dia sebagai
semacam orang tolol yang membayar di muka untuk mobil yang ia tidak sanggup
melunasinya. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu ibuku, tetapi kali terakhir
kami berjumpa, pada waktu aku lulus SMA, ia bilang ia memperlakukanku demikian
karena aku mengingatkan dia pada ayahku—maksudnya orang tolol itu. Aku
takut dipukuli, karena rasanya benar-benar menyakitkan, tetapi aku selalu
mengira ibuku melakukannya karena aku nakal. Anehnya, kita bisa belajar agar tahan dipukuli, dengan
penyiksaan semacam itu. Kita bisa mengatakan kepada diri sendiri bahwa
sebenarnya bukan kita yang sedang dipukuli. Kalau kita berkonsentrasi dengan
sangat keras, kita bisa mencapai tempat di mana kesakitan itu tidak terasa
lagi. Sering
kali ibuku memukuliku tanpa peringatan, itulah sesungguhnya yang menakutkan,
sehingga aku berusaha untuk siaga sepanjang waktu. Aku terus-terusan mengingatkan
diri: Ibu bakalan memukulku, Ibu bakalan memukulku ….
“Namun, yang paling mengusikku adalah aku satu-satunya
yang dia pukuli. Ia tidak pernah menyentuh adik lelakiku. Kamu tahu, kami
tinggal di kota kecil yang terpencil, dan kota paling dekat adalah Odawara. Di
Odawara ada toko serba ada dengan arena bermain untuk anak kecil di lantai
paling atas. Kami bertiga pergi ke sana bersama-sama beberapa kali, tetapi ketika
aku berusia sekitar lima atau enam tahun, ibuku mulai mengurungku di rumah dan
hanya membawa adikku. Sekali waktu, aku memanjat keluar dari jendela dan
berlari di jalan mengejar mereka, lalu ibuku menyeretku kembali ke rumah dan
mengikatku ke pipa air di kamar mandi. Aku mengingat itu dengan begitu jelas,
seakan-akan baru terjadi kemarin. Aku pun tertidur di ubin, dan ketika bangun,
di luar sudah gelap, yang bisa aku lihat hanyalah jalan kecil sempit yang
lengang di luar jendela ….
“Tidak lama setelah itu, seorang guru SMP-ku
mengupayakan sehingga aku ditempatkan di panti untuk anak-anak teraniaya, dan
ketika itulah aku mulai menggambar. Sejak awal yang aku gambar hanyalah jalanan
sempit pada malam hari.” Kawashima menunduk. “Aku belum pernah menceritakan ini
kepada siapa pun,” katanya, dan Yoko meraih tangannya dan meremasnya.
Mereka menikah satu tahun delapan bulan sejak bertemu
di Ginza. Yoko memberi tahu orang tuanya bahwa berkenaan dengan nilai-nilai
yang ia dan tunangannya sama-sama miliki, ia tidak menghendaki pesta
pernikahan, dan dengan enggan orang tuanya menyetujui. Padahal nyatanya ini
bukan sungguh-sungguh mengenai nilai. Yoko paham Kawashima belum memaafkan
ibunya beserta adiknya, dan tidak mau membuatnya merasa canggung.
“Aku berada di Panti itu dua tahun lebih sedikit,”
Kawashima memberi tahu Yoko, “dan lalu aku tinggal bersama nenekku, dari pihak
ayah. Pada acara kelulusan SMA-ku, entah kenapa ibuku meminta maaf kepadaku.
Permintaan maaf yang agak mementingkan diri tetapi, tetap saja, itu sebuah
permintaan maaf. Kemudian, akhirnya, ia berkata, ‘Kamu memaafkanku, kan? Kamu
memaafkan ibumu?’ Aku mengangguk tanpa berpikir, tetapi lalu ada suatu hal
dalam diriku yang tahu-tahu menyergah dan aku pun menampar wajahnya keras-keras.
Itu sekalinya aku memukul dia.”
Kawashima tidak menentang keputusan Yoko untuk berhenti
bekerja. Sejak awal ia telah memutuskan untuk mendukung Yoko apa pun
pilihannya. Ia pun tidak menyatakan keberatan apa-apa ketika Yoko berkata ingin
punya bayi. Rekan-rekan prianya di kantor sering mengolok dia karena betapa
berubahnya ia sejak menikah, betapa jauh lebih ceria dirinya. ‘Apa gerangan
yang Yoko-chan taruh di roti buatannya?’—ledekan semacam itu. Kawashima
sendiri tidak sungguh meyakini dirinya berubah. Namun sejak bertemu Yoko,
terutama sejak hari mereka memutuskan, atas usul Yoko, agar mereka menikah, momen-momen
kebencian-diri yang dideritanya hampir-hampir berhenti. Tidak sekali pun ia
diliputi teror dan kepanikan yang biasanya, tidak bahkan ketika Rie lahir dan kali
pertama ia menimang bayi itu. Tidak, malahan, sampai sepuluh malam lalu.
Siksaan mental dan emosional dari siklus kecemasan yang
dahulu—ketidakmampuan untuk menanggung kesendirian, keinginan agar selalu ada
orang yang dekat tetapi makin cemas manakala ada yang benar-benar mendekat,
ketakutan bahwa jika mereka mendekat mana tahu apa yang bakalan terjadi, hingga
ketakutan itu sendiri menjadi tak tertanggungkan dan kesendirian tampak sebagai
satu-satunya solusi—segera terasa menjadi kisah masa silam.
Sampai sepuluh malam lalu, Kawashima bergumam sendiri,
seraya menjentikkan sakelar lampu kotak di atas meja kerjanya. Pada penutup
kaca lampu itu, ia menata beberapa klise berukuran tiga puluh lima milimeter
yang diambilnya dari arsip perusahaan. Klise itu berisikan foto-foto yang ia
sedang pertimbangan untuk poster yang mengiklankan Festival Jaz Yokohama,
walaupun tak satu pun di antaranya berhubungan dengan jaz. Memilih gambar yang
tidak berhubungan langsung dengan produk adalah suatu keistimewaan dari
dirinya. Ketika di Kyushu akan dibuka lereng ski dalam-ruang untuk pertama
kalinya, presentasi Kawashima—dengan kopi yang bertulisan ADA SAAT PERTAMA
UNTUK SEGALA HAL bagai percikan melintasi sebuah foto bergambar sepasang anak
kecil lelaki dan perempuan kaukasoid yang sedang berciuman—menang mengalahkan
semua agensi lain, sehingga ia menjadi pahlawan kecil di kantornya. Foto-foto
yang dia kumpulkan untuk festival jaz itu adalah foto-foto hitam putih model
fesyen dari 1940-an. Gadis-gadis itu semuanya spesimen sehat lagi murah senyum,
berbaring di pantai berpasir atau akan terjun ke kolam atau berjalan-jalan di
bawah parasol atau minum koktail di teras ….
Namun mustahil memedulikan hal ini sekarang.
Sepuluh malam lalu. Ia sedang di bak mandi bersama bayi
itu, baru saja selesai memandikannya. Ia menyerahkan si bayi kepada Yoko, yang
telah menunggu dengan handuk halus, kemudian ia menyandarkan punggungnya ke
bak, membiarkan pintu pancuran dari kaca bermotif koral itu terbuka sebagian.
Yoko sedang bergumam-gumam kepada si bayi sembari mengeringkannya, dan
Kawashima sadar dirinya sedang tersenyum kepada mereka. Lalu, tanpa aba-aba
ataupun peringatan, suatu pikiran timbul merembes masuk ke otaknya dan ia
merasakan otot-otot pipinya berkedut dan membeku.
Aku tidak akan membacok bayi itu dengan alat pemecah
es, ya kan?
Sesaat, ia tak yakin siapakah yang sedang duduk di situ
dalam bak penuh uap. Yoko membuka pintu kamar mandi hendak pergi, lalu menoleh ke belakang dan mengatakan sesuatu hal kepada Kawashima, tetapi tidak digubris. Masayuki?
Masayuki, kenapa? Ada apa? Yoko memanggil Kawashima berkali-kali hingga
lelaki itu tersadar.
“Oh, masih di situ? Sepertinya aku tadi melamun,” katanya,
dan seketika matanya kembali berfokus pada
Yoko dan si bayi, kulitnya—padahal air sangat hangat—meremang.
Ujung alat pemecah es yang tajam berkilat: sejak saat
itu, ia tidak dapat mengenyahkan bayangan itu dari benaknya. Kamu tidak akan
melakukan hal seperti itu, kamu tidak akan pernah membacok si bayi, ratusan kali
ia katakan kepada dirinya, tetapi suara di dalam dirinya tidak pernah berhenti menjawab:
Mungkin saja. Dan tiap malam sejak saat itu ia mendapati dirinya tak
bisa tidur hingga ia berdiri menaungi ranjang bayi itu, sembari memegang alat
pemecah es, untuk menguatkan diri bahwa segalanya baik-baik saja, ia tidak akan
menusuk bayi itu.
Kawashima mematikan lampu. Ia mengeluarkan jaket kulit
dari lemari dinding, mengenakannya melapisi sweter, dan menuju pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar