Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (7) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Ariel Urquiza (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chikako Kobayashi (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kader Abdolah (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (30) Mark Sundeen (1) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (2) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (351) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (2) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Garrett (1) Sam Malissa (1) Samantha Schnee (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Suzumo Sakurai (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (7) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

An Evening of Long Goodbyes, Bab 13 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Mirela menjangkau ke punggungnya lalu menarik ritsleting gaunnya ke atas. Ia bangkit dan menarikku ke kasur di sampingnya. “Kukira aku sud...

20251006

Piercing Bab 1 (Ryu Murakami, 1994)

1

Seonggok makhluk hidup kecil tertidur di ranjang. Seperti hewan laboratorium di kandang, pikir Kawashima Masayuki. Ia menggunakan telapak tangan untuk menaungi senter seukuran pulpennya supaya yang diterangi hanya sosok bayi itu, sehingga ruang tidur itu selebihnya gelap gulita. Seraya mencondongkan badannya lebih dekat, mulutnya tanpa suara mengatakan Yang pulas. Seiring dengan majunya kehamilan Yoko dan kenyataan bahwa Kawashima sungguh-sungguh akan menjadi ayah mulai meresap, ia khawatir bayi itu akan mengalami kesulitan tidur. Kawashima menderita insomnia sejak SD, dan, lagi pula, darahnya akan mengalir di pembuluh anak ini. Ia dengar normal bagi anak baru lahir untuk tidur hampir sepanjang waktu; malah, ia merasa ingat ada ahli pengasuhan anak yang mengatakan tidur itu “pekerjaan” orok. Maka, adakah yang lebih tragis daripada bayi yang mengalami insomnia?

Kawashima menoleh pelan mengawasi Yoko di ranjang untuk dua orang di belakangnya. Napas teratur Yoko meyakinkan Kawashima bahwa perempuan itu masih lelap.

Kawashima melakukan ini tiap malam belakangan ini, berdiri mengamati si bayi kala istrinya tidur. Tepatnya, sudah sepuluh malam berturut-turut. Lewat tengah malam, dan karena Yoko bangun pagi-pagi setiap hari untuk bersiap kerja, kemungkinan perempuan itu tak akan terbangun. Yoko ahli memasak berusia dua puluh sembilan tahun yang sehat walafiat, asing dengan barang seperti insomnia. Ia keluar dari pekerjaannya di pabrik besar penghasil produk-produk panggangan ketika mereka menikah, dan ia mulai mengadakan kursus untuk para tetangga, di apartemen satu kamar tidur ini. Herannya, kelas roti dan pastri yang diadakannya jadi terkenal, dan kini ia telah memiliki puluhan murid—dari ibu-ibu rumah tangga serta gadis-gadis sekolahan sampai janda-janda tua bahkan pria-pria paruh baya. Ia mengajar kelas hampir setiap hari, hanya punya dua hari libur yang tetap dalam sebulan, dan seluruh apartemen itu, termasuk kamar tidur ini, disusupi aroma mentega yang bagi Kawashima telah menjadi simbol kebahagiaan. Rie Kecil (nama yang diusulkan oleh ibu Yoko) sekarang berusia empat bulan, dan Yoko entah bagaimana dapat merawat bayi itu sambil mempertahankan jadwal mengajar yang penuh. Tentu, ada untungnya sebagian besar murid Yoko adalah perempuan yang selalu antusias membantu mengurus si bayi.

Sesaat Kawashima mematikan senter-pulpennya dan mengamati cahaya pucat bulan yang teriris melewati celah di sela tirai. Seiris tipis cahaya itu mencapai bagian tengah tempat tidur bayi, membelah selimut jambon si bayi berikut kantong celana panjang korduroi Kawashima. Ketika masih kecil, dengan bulan sebagai satu-satunya sumber cahaya, Kawashima sering kali duduk di kamarnya sambil menggambar jalan panjang sempit yang lenyap di kejauhan. Mengingat masa itu, seraya berhati-hati supaya tidak menusuk jarinya, Kawashima mengangkat alat pemecah es dari kantong celananya. Tangan kanannya mencengkam pegangan alat itu lalu ia dengan lembut menarik selimut si bayi menggunakan tangan kirinya. Tersingkaplah leher dan dada sebelah atas bayi perempuan itu, lebih putih dan lebih empuk daripada roti yang dipanggang Yoko sekalipun. Kawashima kembali menyalakan senter-pulpennya lalu menyorotkannya ke pipi dan leher si bayi. Terasakan olehnya harum roti yang baru matang tahu-tahu bertambah kuatnya, bercampur dengan aroma lain yang tidak dikenalinya. Ia tidak menyadari butiran keringat pada dahi dan pelipisnya hingga melihat ada yang menetes ke selimut bayi. Panel pemanas di dinding sedikit menghangatkan ruangan itu, tetapi udara sama sekali tidak gerah. Ujung alat pemecah es itu agak bergetar. Setetes lagi turun dari alis Kawashima yang penuh keringat ke sudut matanya.

Memualkan, pikir Kawashima, dan memejamkan matanya erat-erat. Entah kenapa aku berkeringat. Terasa saja tidak. Seperti bukan aku yang berkeringat tetapi patung lilinku, atau orang lain yang kelihatannya menyerupai aku. Sialan.

Ketika membuka matanya, ia merasakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciumannya menjadi kusut dengan satu sama lain, dan sekarang timbul sensasi bergeretak meretih disertai bau tajam suatu benda organik terbakar. Benang rajut atau kuku jari, yang semacam itu.

Ia merintih di balik napasnya: Jangan lagi.

Selalu saja dimulai dengan berkeringat, disusul bau urat daging yang terbakar hangus ini. Lantas rasa letih total yang sekonyong-konyong, dan akhirnya sakit yang tak terperikan. Seakan-akan partikel-partikel udara berubah jadi jarum dan menusuki sekujur tubuhnya. Sakit menusuk-nusuk yang menyebar bagai berdirinya bulu kuduk di seluruh kulit sampai-sampai ia ingin menjerit. Kadang kabut putih mengeruhkan pandangannya dan ia betul-betul dapat melihat partikel-partikel udara berubah jadi jarum.

Tenang, batinnya. Relaks, kamu baik-baik saja, kamu sudah putuskan kamu tidak akan pernah menikam dia. Segalanya akan baik-baik saja.

Seraya menggenggam pelan alat pemecah es itu untuk meredakan gigilnya, ia menaruh ujung benda itu di sebelah pipi si bayi. Tiap kali ia memperhatikan perkakas itu, dengan batang baja yang ramping berkilau meruncing tajam serupa jarum, ia bertanya-tanya apa sebabnya dibutuhkan benda seperti ini di dunia ini. Kalau gunanya hanya untuk membacok es, mungkin bisa dipikirkan desain yang sama sekali berbeda. Orang yang menghasilkan dan menjual barang-barang seperti ini tidak paham, pikirnya. Mereka tidak menyadari bahwa ada sekalangan orang sampai berkeringat dingin hanya karena melihat ujungnya yang lancip berkilat-kilat itu.

Bibir si bayi bergerak-gerak hampir tak kentara. Bibir itu saking kecilnya tak tampak seperti bibir. Lebih menyerupai larva, atau kepompong yang dapat terkembang menjadi serangga dengan sayap yang indah. Pembuluh darah merah kecil lamat-lamat mewarnai kulit pipinya di balik rambut yang halus. Kawashima mengelus permukaan lapisan rambut yang halus itu, mula-mula dengan ujung jari lalu dengan ujung alatnya.

Sungguh tidak apa-apa, aku tidak akan menikam bayi ini.

Seketika ia membatin demikian, suara lembut Yoko memecah kesunyian.

“Kamu sedang apa?”

Sekujur tubuh Kawashima menegang, sampai ujung alat pemecah esnya menyerempet pipi bayi itu. Ia mematikan senter-pulpennya dan perlahan-lahan mengembuskan napas. Seraya beralih menatap wajah istrinya, ia menyembunyikan alat pemecah es itu dengan telapak tangan lalu menyelipkan pegangannya terlebih dahulu ke dalam kantong celana. Yoko separuh duduk di tempat tidur, sebelah sikunya menyangga beban tubuh.

“Apa aku membangunkanmu? Maaf.”

Kawashima berjingkat ke sebelah Yoko dan mencondongkan badan untuk mengecup pipi perempuan itu.

“Jam berapa sekarang?” tanya Yoko.

“Jam satu lewat sedikit.”

“Kamu sedang memandangi Rie?”

“Yah. Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Kamu lelah—tidurlah kembali.”

“Kamu masih kerja?”

“Tata letaknya sebagian besar sudah beres. Tinggal memilih salindia. Biar membuat presentasinya lebih gampang.”

Yoko merebahkan tubuhnya dan kembali tertidur sebelum Kawashima tuntas berbisik. Untung saja. Akan buruk jadinya jika perempuan itu menyalakan lampu untuk ke kamar mandi atau mengambil air minum. Ia akan melihat Kawashima berkeringat dan mungkin saja mendapati ujung alat pemecah es itu mencuat dari kantong celananya.


Piercing pertama kali diterbitkan di Jepang pada 1994, terjemahan bahasa Inggris oleh Ralph McCarthy, 2007.

Tidak ada komentar: