Kita—kaum beradab—telah ditanami kepercayaan bahwa barang-barang yang kita miliki lebih penting daripada rasa saling memiliki.
– Derrick Jensen, Endgame Volume I[1]
Saya percaya, siapa pun yang menyatakan ingin melepaskan dunia material untuk menjalani “kehidupan spiritual” itu teperdaya (dengan cara yang sebaik mungkin) pada dua front. Pertama, dunia material itu ibarat kertas lakmus bagi spiritualitas kita, itu kesempatan untuk menguji bahwa kepercayaan spiritual kita bukan sekadar pemikiran abstrak serta perkataan tanpa substansi. Spiritualitas bukanlah untuk berfilsafat ria belaka. Bukan tentang duduk dengan kaki menyilang dalam posisi teratai menggumamkan OM. Membacakan bagian-bagian dari Qur’an, Injil, atau Bhagawadgita secara verbatim pun tidak serta-merta menandakan kehidupan spiritual, begitu pula dengan pergi ke gereja pada Minggu pagi ataupun menyembah matahari. Laku-laku demikian dengan sendirinya memiliki potensi membantu kita menjalani kehidupan yang lebih terhubung, penuh cinta, berempati, berbelas kasih, dan bermartabat—yang saya percaya merupakan peran dalam kisahan mana pun yang kita pilih—tetapi laku-laku tersebut dengan sendirinya boleh jadi kurang spiritual dibandingkan dengan mengeluarkan kotoran yang bagus di toilet kompos
Saya sendiri berusaha mempraktikkan
spiritualitas terapan (sekalipun gagal total setiap hari), di mana
spiritualitas diungkapkan melalui perbuatan kita sehari-sehari, serta cara kita
memenuhi kebutuhan fisik. Saya meyakini bahwa kedalaman spiritualitas itu
diungkapkan melalui cara memperoleh dan memakan makanan, menyalakan api,
seberapa lembut kita berjalan di Alam, cara kita berinteraksi dengan
orang-orang yang mana kita tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap mereka,
tanggapan kita terhadap keputusan yang sulit, cara kita memperlakukan orang
asing serta orang-orang yang kita nyatakan cintai, begitu pula taraf keberanian
yang kita tampakkan bilamana kelemahan diri menjadi opsi yang lebih mudah.
Kedalaman spiritualitas diungkapkan melalui penghormatan kita terhadap air,
udara, dan bumi, elemen-elemen yang membentuk daging dan tulang kita, begitu
pula dengan cara kita berbagi karunia dengan dunia.
Seorang reporter suatu kali
menanyai Mahatma Gandhi mengenai pesannya kepada dunia. Ia menjawab, “hidup
saya adalah pesan saya,” yang artinya ia percaya cara ia menjalani kehidupannya
setiap hari jauh lebih penting dan relevan daripada memberi tahu dunia mengenai
pemikirannya akan bagaimana mereka sebaiknya menjalani hidup atau apa yang
mereka sebaiknya yakini. Berkata-kata itu terlalu mudah. Dengan memparafrasakan
Kahlil Gibran[2], tindakan
adalah cinta yang dibuat nyata.
Bagian kedua dari delusi ini adalah
benar-benar mustahil untuk melepas dunia material kecuali kita menerima
kematian, yang—tidaklah mengejutkan—tak seorang pun yang saya kenal
menghendakinya. Ada kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus kita penuhi jika kita
ingin bertahan hidup, dan kebutuhan itu beraneka ragam dari satu wilayah
geografis ke wilayah lainnya. Mengenali kebutuhan-kebutuhan materi yang pokok
ini mempunyai banyak manfaat positif bagi kita, planet ini, serta semua orang
yang kita ajak berbagi, dan cara kita memutuskan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut merupakan proses pertanyaan spiritual yang mendalam. Berada di bawah
batas minimum ini (yang kebanyakan dari kita, sayangnya, belum dalam bahaya ke
sana!) dalam jangka panjang tidaklah baik bagi kita dan, terlebih lagi,
organisme yang mana kita adalah bagian daripadanya. Sekali lagi, kuncinya
adalah menemukan tingkat optimal kebutuhan material, tingkatan yang memperkaya
diri baik yang egosentrik maupun yang holistik.
Saya percaya bahwa mengeksplorasi
aspek spiritual dari diri kita itu krusial bagi kesejahteraan diri kita dan
akan merupakan pokok bagi seberapa luwesnya kita menghadapi krisis ekologi dan
sosial yang mengarah kepada kita, maka saya tidak bermaksud menyinggung laku
spiritual siapapun sedikit pun. Namun saya merasa ada baiknya untuk berhenti
melihat material dan spiritual sebagai ranah yang terpisah, alih-alih lihatlah
sukma yang secara tak kasatmata bergerak melalui setiap nyamuk, setiap
tindakan, setiap batu, melalui tiap-tiap tanaman dan binatang, melalui diri
kita sendiri. Melihat hal yang duniawi itu diliputi oleh yang luhur
memungkinkan kita untuk memperlakukan Bumi, begitu pula dengan komunitas
kehidupan yang ditopangnya, seakan-akan kualitas kehidupan kita bergantung
padanya—dan oh, bagaimana itu terjadi. Memenuhi berbagai kehidupan kita dengan
cara yang paling berkelanjutan, memperbaiki lingkungan masyarakat, serta
menciptakan hubungan merupakan salah satu laku spiritual paling nyata yang ada
pada kita; yang sedikitnya telah saya alami.
Jika Anda sungguh memutuskan mau
hidup tanpa uang atau jauh lebih sederhana, ada kebutuhan fisik tertentu yang
harus Anda penuhi, terlepas dari apakah Anda memutuskan untuk melakukannya di
kota atau di hutan. Apakah Anda memenuhi kebutuhan itu dengan menggunakan
metode paleolitik atau dengan memasuki deretan situs web ekonomi kasih yang
terus berkembang, atau campuran keduanya, terserah Anda, dan sebagian besar akan
bergantung pada situasi unik Anda, akses yang Anda miliki, alasan sebabnya Anda
ingin hidup dengan sedikit atau tanpa uang, serta kecakapan Anda bertahan hidup
baik di lanskap urban maupun liar. Untuk memenuhi kebutuhan, Anda memerlukan
tenaga kerja (entahkah diri Anda sendiri atau orang lain) serta material sampai
tingkat tertentu.
[1] Jensen, Derrick (2006). Endgame: The Problem of Civilisation Volume I. Seven Stories Press, Amerika Serikat, edisi pertama. p.149.
[2] Gibran, Kahlil (1923). The Prophet. Pan. Edisi keempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar