Ia berdiri di dekat sungai. Menatap batu-batu pijakan, masing-masing
diingat-ingatnya. Di tengah ada satu batu bundar yang goyah, meruncing, dan datar—batu yang aman tempat kau bisa berdiri dan melihat-lihat. Batu yang
selanjutnya tidak begitu aman ketika sepanjang sungai sedang dipenuhi aliran
air. Bahkan ketika tampaknya kering, batu itu tetap licin. Namun setelahnya
tidak sulit. Segera ia sampai di seberang.
Jalan tersebut lebih lebar ketimbang dahulu, namun dikerjakan secara
asal-asalan. Pepohonan yang tumbang tidak dibersihkan. Semak belukar tampak
terinjak-injak. Namun ini masih jalan yang sama. Ia menapakinya dengan
kegembiraan yang luar biasa.
Hari yang indah, hari yang biru. Hanya saja langit terlihat seperti kaca. Hanya itu kata yang terpikirkan olehnya. Seperti kaca.
Ia berpaling ke sudut jalan. Ia lihat jalan berbatu yang lama telah dibongkar.
Di sana juga ada jalan yang lebih lebar, tapi tampaknya sama-sama belum
selesai.
Ia sampai di batu pijakan yang telah aus, yang menuju ke rumah itu.
Jantungnya mulai berdebar. Semak pandannya sudah tidak ada, begitupun rumah musim
panas buatan yang disebut ajoupa. Tapi pohon cengkihnya masih ada di sana. Rerumputan tinggi terbentang di puncak anak tangga, sebagaimana diingatnya.
Ia berhenti dan memandang ke arah rumah yang telah diperbesar dan dicat putih.
Rasanya aneh mendapati mobil di depan rumah itu.
Ada dua orang anak di bawah pohon mangga, seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan kecil. Ia melambai pada mereka dan memanggil “Halo” tapi
mereka tidak menanggapi maupun menoleh. Anak-anak yang tampak begitu terang,
sebagaimana lazimnya keturunan Eropa di Hindia Barat: seolah kulit putih telah
menegaskan keberadaan mereka di lingkungan yang asing.
Rumput menguning dalam sinar mentari yang panas, seiring ia melangkah ke
arah mereka. Ketika sudah agak dekat ia memanggil lagi, dengan malu-malu:
“Halo.” Lalu, “Aku dulu pernah tinggal di sini,” ia berkata.
Masih mereka tidak menanggapi. Ketika ia berkata untuk ketiga kalinya
“Halo?” ia sudah sangat dekat dengan mereka. Secara naluriah, tangannya menggapai. Ingin untuk menyentuh mereka.
Si anak laki-laki berpaling. Mata yang kelabu itu memandang
lurus-lurus ke arahnya. Ekspresinya tidak berubah. Ia berkata: “Mendadak dingin
enggak sih, kamu ngerasa enggak? Masuk yuk.” “Ya, ayuk,” kata anak yang
perempuan.
Tangannya jatuh ke samping, seiring ia memandangi mereka berlari melintasi rumput menuju rumah.
Itulah pertama kalinya ia menyadari.[]
Alih bahasa dari cerpen Jean Rhys, “I Used to Live Here Once” (1976)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar