Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20190306

Tiap Kali Aku Duduk Minum-minum di Bar Seperti Ini, Aku Merasa Betapa Kudusnya Profesi Melayani Bar (Ryu Murakami, 2004)

Tiap kali aku duduk minum-minum di bar seperti ini, aku merasa betapa kudusnya profesi melayani bar. Dilatari rak kaca kotor berisi botol berwarna-warni, si pelayan bar bergerak ke sana kemari secara cermat di ruangan depan yang bercahaya kristal, bak pendeta memimpin ritual. Seraya menuangkan cairan suci ke dalam gelas, ia mendengarkan diiringi senyum takzim lagi simpatik sementara para pelanggan mendeklamasikan duka mereka.

Di ujung bar ada sepasang madam-madam jelek dengan kulit kasar dan riasan tebal. Dengan menjijikkannya mereka mabuk—atau mungkin cuma pura-pura. Percakapan mereka berganti-ganti antara bisik dan pekik. Pesan sesuatu? lantun si pelayan bar, seraya membinarkan senyumnya ke arah mereka.

Di samping kedua madam-madam itu ada pasangan yang terlihat jelas baru menikah. Sepertinya mereka baru menyelenggarakan pesta pernikahan di hotel ini, dan sekarang mereka hendak menghabiskan semalam di sini sebelum pergi berbulan madu. Mereka sama-sama tidak banyak bicara. Si pengantin pria menyesap sedikit gelasnya yang berisi campuran wiski dan air, sedangkan si pengantin wanita mengamati sekitarnya sementara es dalam mai tai miliknya meleleh, sehingga warnanya menjadi oranye keruh. Anda mau camilan? tanya si pelayan bar, seraya menyapukan senyumnya kepada mereka.

Di samping pasutri baru itu ada seorang pria Amerika bersetelan gelap tengah meminum Schlitz. Orang asing selalu memesan bir. Mereka diberi tahu buku panduan bahwa hotel-hotel di Jepang biasa memberikan harga biadab, sehingga jangan pesan selain bir ketika minum di bar. Di samping orang Amerika itu ada wanita muda beserta pria tua yang meminum koktail sampanye dan seperti yang sedang main cupang. Di sebelah mereka ada sepasang pria kaya tapi tanggung yang biasa ada di bar hotel mana pun. Di samping mereka ada aku. Tetapi, ada bangku yang kosong di antara aku dan mereka. Ia telat. Aku minum sendiri, tak bicara pada siapa pun, dan entah sudah seberapa mabuknya aku. Entah sudah berapa gelas yang kuminum. Mau saya buatkan sesuatu? tanya si pelayan bar diiringi senyum, dan aku mengangguk. Bourbon memercik ke dalam gelas. Sibuk? ucap si pelayan bar seraya menuangkan minuman. Yah, setidaknya kerja lapangan sudah usai, kataku padanya. Sekarang tinggal mengedit film.

Aku sutradara yang bekerja di perusahaan produksi untuk televisi, dan kami berspesialisasi di dokumentasi luar negeri. Dua tahun lalu aku masih terlibat dalam pertunjukan selingan musikal.

Si pelayan bar tidak pernah beristirahat. Ia menjejerkan gelas, mendinginkan sampanye dan anggur putih, memecahkan balok es menjadi batu-batu, mengganti asbak, serta menghidangkan sepiring besar sosis atau tiram mentah. Tak ayal lagi kesembilan orang yang duduk di bar ini tengah menanti kesempatan untuk berdosa malam ini. Situasinya tentu berbeda-beda bagi setiap orang, namun semua memendam tujuan yang sama. Mana ada orang mabuk untuk meningkatkan standar moralnya. Sudah pasti si pelayan bar yang menjadi padrinya.

Mungkin sebaiknya aku menceritakan satu atau dua guyonan dan tertawa selagi sempat. Malam ini ada tugas tak mengenakkan yang menantiku. Mungkin aku akan berbagi sedikit guyonan dengan si pelayan bar yang baik hati ini. Selama sekitar enam bulan terakhir aku mendokumentasikan perkampungan kumuh. Kolkata, Manila, Rio de Janeiro, Montevideo, Bogota …. Ketika berada di perkampungan kumuh kita jadi bertanya-tanya apakah seluruh dunia bukanlah perkampungan kumuh, untuk merasakan seolah-olah perkampungan kumuh merupakan hal yang normal. Aku mendengar banyak guyonan menarik di tempat-tempat itu. Ada mayat bayi mengambang di comberan di Kolkata, dan seorang kenalan orang India mengatakan sesuatu yang benar-benar lucu. Tentang apa tadi? Oh, iya, soal mayat bayi. Aku harus menceritakannya dengan baik-baik atau kelucuannya tidak akan mengena.

“Maaf!”

Ini dia orangnya. Sudah lama aku tidak bertemu wanita ini, gundikku. Ia terlihat cantik sekali. Tetapi ia bukan lagi gundikku. Kenapa, ya, ketika kita berhenti menggauli seorang perempuan, setelah kita sudah menjarakkan diri, ia mulai terlihat semakin cantik daripada sebelumnya?

“Jalanannya macet sekali!”

Macet? Coba dulu pasar di Kolkata kalau ingin tahu yang namanya macet, hampir saja aku memberi tahu dia. Gagasan yang aneh timbul pada saat seperti ini. Mungkin memang aku sudah mabuk.

“Sudah lama, ya, kuharap aku punya banyak waktu malam ini tetapi aku harus cepat pulang karena ibuku datang, kau kelihatan wah.”

Aku tidak merasa wah. Dan sekarang aku semakin merasa tidak demikian. Aku tidak berharap terlalu banyak, tetapi aku agak penasaran apakah mungkin tidak aku dan dia menyalakan kembali api yang dulu pernah ada malam ini. Aku bisa memberikan sedikit kehangatan. Tetapi, begitulah hidup. Kita tak harus tinggal di perkampungan kumuh untuk menyadari bahwa kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan.

“Bisakah kau menjelaskannya lagi padaku? Aku tidak begitu menangkapnya sewaktu di telepon.”

Ia bekerja di salah satu butik yang ada di jalan-jalan kecil di Aoyama. Tipe wanita yang bisa kita temui hampir di mana saja dewasa ini, tipe yang menganggap bahwa dengan bertubuh jangkung dan berwajah cantik mereka punya hak istimewa. Namanya Kiyomi. Orang-orang memanggil dia Kimi, dan begitu pula aku menyebut dia di ranjang. Ia menolak segelas Wild Turkey milikku lalu memesan Brandy Alexander seperti biasanya.

“Jadi?”

Aku tidak begitu ingin membahasnya. Inginku mengocehkan guyonan-guyonan tentang perkampungan kumuh, tertawa histeris, minum-minum sampai lidah kebas, mandi bareng, lalu bermain-main dengan sebotol minyak nabati.

“Yah, persoalannya, ada perempuan yang mengajukanku ke pengadilan.”

“Begitu, ya, menurutmu. Istrimu?”

“Bukan. Kemungkinan istriku sendiri bakal mengajukanku ke pengadilan dalam waktu dekat ini, tetapi ia harus mengantre.”

“Lagian, banyak sekali wanitamu.”

“Bukan begitu maksudku.”

“Enggak pentinglah itu. Sekarang.”

“Nah, wanita yang satu ini, ia mau menuntutku atas kerugian.”

“Kerugian? Maksudnya apa tuh? Ia masih muda?”

“Enggak. Rata-rata.”

“Dua tiga?”

“Dua lima.”

“Oh. Rata-rata.”

“Rata-rata, kan? Selain itu, pengacaranya bilang hubungan kami ini pernikahan di bawah tangan.”

“Apa itu artinya?”

“Ia mengklaim aku mengikat dia, membatasi kebebasannya.”

“Aku enggak begitu mengerti. Maksudku, ia yang memilih untuk terlibat dengan dirimu, kan? Tahu kau ini punya istri dan anak.”

“Nalar begitu enggak sampai ke dia.”

“Ada yakuza yang terlibat?”

“Tidak, tidak, ia sama sekali lurus dan bersih. Rata-rata lah. Jadi, pengacaraku bilang—begini, aku dan dia kan selalu bertemu di sini, di hotel ini—jadi katanya kalau ia satu-satunya orang yang aku temui di sini selama waktu itu, maka itu bakal menguatkan klaimnya bahwa kami punya hubungan eksklusif yang mengikat.”

“Aku enggak begitu mengerti.”

“Jadi pengacaraku bilang kalau ada wanita lain yang intim denganku, di hotel ini, sekalipun ia wanita bayaran atau semacam itu, maka aku bisa mengklaim bahwa segala kencanku di sini hanyalah, mengerti kan, untuk rekreasi.”

“Lupakan sajalah!”

Bisa kurasakan wajahku memucat. Kenapa tiba-tiba otaknya jadi encer?

“Tunggu. Setidaknya dengar dulu perkataanku.”

“Kau ingin aku memberikan kesaksian untukmu, kan! Bajingan kau!”

“Iya, tetapi, begini, ada satu hal yang perlu kusampaikan padamu di muka. Ini kan persidangan hukum. Aku tidak bisa memberimu imbalan.”

“Bajingan kau! Imbalan! Pikir dong permintaanmu itu! Aku bahkan belum menikah! Aku …. Harus bilang apa aku pada ibuku? Ibuku masih ada! Ia masih memasakkan kami makan malam, setiap malam! Kau anggap aku ini apa? Kau cuma peduli pada dirimu sendiri!”

Celakalah aku kalau dia sampai menangis. Maskaranya mengalir di pipi dan air mata hitam berjatuhan di permukaan meja marmer. Si Amerika bersetelan gelap melepaskan tatapan penuh cela padaku, sementara pria-pria kaya tanggung tengah membicarakan keanggotaan Klub Janapada Yomiuri dan berpura-pura tidak mengindahkan kami. Pepatah lama mengatakan dua hal yang tidak bisa ditaklukkan adalah bayi yang menangis serta entahlah yang satu lagi, tetapi aku bertaruh keduanya tidak seburuk wanita yang berurai air mata. Picasso punya karya yang dinamai Wanita Menangis, namun tidak ada Bayi Menangis …. Picasso? Apa hubungannya dengan Picasso? Kalau aku tidak meyakinkan Kiyomi untuk membantuku, aku harus membaktikan empat puluhan tahun sisa hidupku untuk melunasi utang. Di Kolkata ada pria tua yang cuma duduk diam di pinggir jalan. Mendadak aku iri padanya. Aku iri pada setiap orang yang bukan diriku saat ini.

“Jangan menangis. Dengar, aku tahu ini permintaan yang berlebihan, tetapi, begini, sekarang ini aku ….”

“Berlebihan? Itu sih bukannya berlebihan, tetapi, tetapi itu mustahil, itu dia. Mana ada hal begitu?”

Entah sudah berapa sering aku melihat perempuan ini menangis. Ia menangis ketika aku mengakhiri hubungan dengan dia. Saat itu kami sedang berada di restoran Perancis di Roppongi. Di sela sedu sedan, ia berteriak kepadaku—Kau pria paling bejat di muka bumi! Begitu mati kau langsung ke neraka!—saking kerasnya sampai ada pelayan yang nyaris menjatuhkan baki. Biar begitu, ia menyantap makan malamnya, sekalipun air mata tengah menuruni pipinya. Begitu hidangan burung dara tiba, ia menjeda rutukannya sekadar untuk memekik, “Ini enak!” Wanita-wanita jangkung dan cantik memang setangguh baja, dan mereka tahu cara menggoyahkanmu. Aku mesti apa lagi? Mungkin aku sendiri perlu mencoba meledakkan tangis.

“Kiyomi, kau …. Kau satu-satunya yang dapat menolongku.”

Ia berhenti menangis. Entahlah apakah kalimat terakhirku ini ampuh atau ia cuma capek menangis, tetapi boleh jadi aku berhasil. Aku mesti membuka hatinya pelan-pelan.

“Aku sadar betapa egoisnya aku,” kataku padanya. “Aku tahu aku tidak sempurna. Tetapi sekarang ini aku benar-benar sedang mengalami masa yang sulit. Di rumah ayahku lumpuh gara-gara rematik, dan dengan begitu di samping adikku yang keguguran ibuku yang malang bakal senewen pada kami, dan—“

“Apa? Adikmu keguguran?”

Biasanya ia suka ketika aku bilang padanya betapa ia mengingatkanku pada adikku.

“Yeah. Setelah enam tahun menikah, akhirnya ia hamil, dan ….”

Adikku punya dua anak dan tengah mengandung lagi. Rahasia dalam berdusta ialah meyakinkan dirimu sendiri bahwa perkataanmu itu nyata. Kalau tidak bisa memperdaya diri sendiri, mana bisa memperdaya orang lain. Sama halnya dengan membuat program televisi.

“Kasihan! Ia pasti terpuruk.

“Ah, ia baik-baik saja kok. Kemarin aku bertelepon dengan dia. Ia kuat kok, anak itu.”

“Ia cuma berlagak. Pasti rasanya bikin terpuruk. Istri kakakku keguguran, dan aku tahu betapa beratnya itu bagi dia.”

“Waktu itu kami mengobrol tentang perkampungan kumuh di Kolkata. Apa aku sudah menceritakannya kepadamu?”

“Belum.”

“Yah, benar-benar neraka bumi. Penduduk Kolkata hampir sepuluh juta, dan separuhnya tinggal di perkampungan kumuh. Keadaannya seolah-olah kemanusiaan mereka telah diingkari. Mereka mengubrak-abrik pembuangan sampah seperti hewan saja, cuma ada satu toilet buat seratus orang, dan jalannya becek oleh kotoran yang meluap, ada mayat bayi mengambang di got-got ….”

“Ya tuhan.”

“Jepang itu tempat yang istimewa, mengerti kan. Hiduplah tidaklah sedemikian mudah bagi penduduk di negara lain.”

Ini benar. Tiap kali aku pergi ke luar negeri, aku teringatkan bahwa keadaan di Jepang itu istimewa. Orang-orang Jepang itu kelewat manja. Kemakmuran negara ini sebagian besar disebabkan oleh adanya faktor-faktor geopolitis, namun rakyatnya mengira bahwa itu karena mereka bekerja sangat keras …. Memang itu semua tidak ada hubungannya dengan ini. Tujuan diriku saat ini dalam daftarku berada pada posisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan membereskan perkampungan kumuh di Kolkata.

“Aku menceritai adikku tentang satu keluarga di sana yang kuwawancarai. Keluarga yang terdiri dari enam orang itu tinggal di satu ruangan berukuran sekitar sepuluh meter persegi. Mereka cuma punya satu tempat tidur—tempat tidurnya berupa tripleks yang dilapisi beberapa selimut gombal tua—dan mereka bergiliran tidur di situ. Tiap hari semua anak keluar untuk mengemis, sementara ayahnya bekerja di tempat konstruksi sekitar dua kali seminggu, dengan penghasilan sekitar dua dolar sehari, sekadar cukup buat makan. Meskipun begitu, mereka bahagia. Ceria.”

“Mereka ceria?”

“Ceria. Wajah anak-anaknya bercahaya. Mereka terlihat begitu bahagia dibandingkan dengan anak-anak Jepang yang tiap malam kita lihat bersusah payah pulang pergi ke bimbingan belajar.”

Pipinya coreng-moreng oleh jejak maskara, namun tidak ada upaya dari si pelayan bar untuk menawari dia handuk basah. Si pelayan bar ramah dan simpatik, tanpa menerobos ke wilayah terlarang. Ia merupakan simbol, dan menghindari keterlibatan pribadi. Pendeta sejati.

“Kau telah banyak berbuat untukku, iya kan.”

Ia mengenang. Ia memesan lagi segelas koktail nostalgia.

“Kalau dipikir-pikir lagi, aku menyadari waktu yang kuhabiskan dengan kau merupakan kesempatan paling dekat bagiku untuk merasakan kehidupan glamor.”

“Jangan konyol ah.”

“Begitulah yang kurasakan akhir-akhir ini.”

“Masak begitu.”

“Sebenarnya aku tidak mampu melakukan apa-apa. Aku tidak punya keterampilan. Bisa apa aku selain menikah?”

“Nanti kau bisa menikahi pria kaya raya.”

“Tidak. Aku sudah tahu.”

“Tahu apa?”

“Status, kelas—bukan berarti hal-hal itu sudah tidak berarti. Ada pria-pria yang selain kaya juga menawan—kau salah satunya—”

“Ayolah.”

“—tetapi pria-pria seperti itu tidak memilih perempuan seperti aku. Mereka mendapatkan gadis-gadis cantik yang menjanjikan dari keluarga-keluarga kaya. Sekarang aku sudah tahu.”

“Enggak mesti begitu ah.”

“Aku takutnya begitu. Lihat saja kau. Kau tidak pernah berpikiran untuk menceraikan istrimu dan menikahiku, kan? Tidak apa-apa sih, maksudku bukan berarti itu lagi berarti, tetapi, maksudku tuh, ketika aku bersama kau, makananku dan segalanya, aku yakin tidak akan pernah makan makanan yang semewah itu lagi seumur hidupku—kaviar, thermidor lobster, ikan buntal—maksudku, ayah ibuku tidak pernah makan yang seperti itu, dan kau membawaku ke Singapura serta Pulau Cebu dan segala tempat-tempat itu, dan, yeah, aku merasa cukup pahit saat kita putus, tetapi … sepertinya aku tidak akan bisa bersenang-senang seperti itu lagi.”

“Dengar, selama kau jaga kesehatan, kau masih bisa mengharapkan segala macam hal.”

“Kalau bagi orang seperti kau sih aku yakin.”

“Bagi setiap orang.”

“Omong kosong. Kau sendiri yang suka bilang dewasa ini sembilan puluh sembilan persen manusia adalah budak.”

Kena deh. Dulu sewaktu pernikahanku masih berjalan mulus, aku biasa membawa putriku yang masih berusia lima tahun beserta putraku yang tiga tahun ke taman hiburan di dekat rumah kami. Ketika mengamati orang-orang di sana, aku terkesima betapa budak mau tak mau berakhir dengan sesama budak. Wajah budak, pakaian budak, mobil budak, omongan budak, dan sikap budak terus bereplikasi dengan sendirinya, tanpa henti. Di Jepang tidak ada orang yang menyadari dirinya budak. Setidaknya di tempat seperti Kolkata saking total dan mencoloknya diskriminasi sehingga status asli seseorang secara konstan berada di wajahnya.

“Baiklah. Kau menang,” ucapnya, seraya menopang pipi dengan tangannya. “Kau sudah putus asa, iya kan. Tetapi, bisakah kau menjamin privasiku dalam perkara ini? Ini enggak bakal muncul di Focus atau sesuatunya?”

“Tidak mungkin. Aku tidak sebegitunya terkenal. Tetapi, begini, aku sangat menghargai ini.”

“Tetapi, aku ingin imbalan.”

“Apa? Kan sudah kubilang tidak boleh ada im—“

“Bukan uang. Kau tahu kan aku ini penggemar berat Yoshihiko Takahashi? Penjaga base kedua tim Carp? Mimpi terbesarku sekarang ini adalah bertemu dengan dia. Aku akan memberikan kesaksian dengan syarat kau memperkenalkanku pada Yoshihiko.”

Siapalah aku menolak persyaratan ini?

Pergilah aku menemui kolega di bagian olahraga radio setempat.

“Dengar, kau kenal Yoshihiko Takahashi, yang pemain bisbol?”

Demi apa aku berbuat ini? Tiap malam aku mendapat telepon, antara memohon dan mengancam, dari wanita yang membawaku ke pengadilan. Satu-satunya perkataan yang kuterima dari istriku hanya perintah singkat untk membawakan anak-anakku ini, itu, dan anu ke rumah keluarganya. Ada film sepanjang satu setengah kilometer menunggu untuk kuedit. Dan di sini aku tengah berusaha untuk mengadakan pertemuan dengan pemain bisbol. Betapa irinya aku pada pengemis di Kolkata itu, yang tinggal duduk di jalan sembari menjulurkan tangan untuk hidup! Yang perlu dia lakukan cuma bertahan.

“Tidak secara pribadi. Orang cabang Hiroshima yang meliput tim Carp. Kenapa?”

“Ceritanya panjang. Bisakah kau memperkenalkanku pada orang radio Hiroshima?”

“Lumayan gampang, tetapi ada apa sih? Kau mau minta tanda tangan Yoshihiko dan menggunakannya untuk merayu wanita muda yang menggemari dia, ya? Nanti kau kecele.”

“Kalau saja ceritanya memang semanis madu begitu. Kenyataannya, ini perkara setajam sembilu.”

“Kau pernah punya sigaret Italia yang jarang-jarang ada itu, ingat? Aku ingin itu sebagai imbalan.”

“Tunggu dulu. Sigaret begitu tidak bisa dibeli—di toko bebas cukai luar negeri saja belum tentu ada!”

“Kau tahu kan aku ini penggila nonfilter. Seluruh kampanye antimerokok sekarang ini—semua ini skema perusahaan obat internasional serta agensi periklanan, dan aku—“

“Ada pianis yang memberiku sigaret itu sewaktu aku sedang mengambil gambar di Italia. Ia cuma kasih satu pak!”

“Sigaret yang bagus.”

“Aku bisa membayarmu. Bagaimana kalau, dua puluh dolar yen?”

“Aku perlu rokok.”

Siapalah aku menolak persyaratan ini?

Selagi jeda pengisian suara, alih-alih makan malam aku pergi ke Biro Wisata Pemerintah Italia. Aku kemari untuk bertemu petugas hubungan masyarakat bernama Carla. Ia pernah membantuku sewaktu aku membuat film dokumenter tentang sejarah lagu populer.

“Ini kedengarannya konyol, tetapi aku ingin meminta petunjukmu tentang sigaret.”

Carla itu putri dari keluarga yang saking kayanya sampai-sampai memiliki tim sepak bola sendiri. Ayahnya mengangkat dia ke biro wisata ini sebagian untuk mengungsikan dia dari negeri sarat penculikan politis ke Tokyo, kota paling aman di dunia.

“Kebetulan sekali. Tadinya aku hendak meneleponmu.”

Aroma parfumnya menyesakkan. Tak ayal lagi bau tubuhnya juga. Aku cuma kenal dua perempuan Italia. Mereka berdua punya kulit yang lembut. Vagina Latin itu mirip benar dengan punya Jepang. Yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan ini.

“Sigaret yang diisap si pianis itu, Massimo. Di mana aku bisa memperolehnya?”

“Apa nama sigaretnya?”

“Aku tidak ingat. Tetapi, aku ingat kemasannya. Bukan dari kertas, melainkan berupa wadah timah, seperti cerutu yang kadang-kadang masuk ke sini, dan logonya gajah bermisai—atau kerbau, ya?”

“Aku belum pernah melihat sigaret seperti itu.”

“Aku perlu nih.”

“Katamu Massimo merokok itu?”

“Iya.”

“Kalau begitu boleh jadi itu dibuat khusus. Massimo itu dari Perugia, apalagi itu distrik yang terpencil, bahkan di Italia. Kalau diingat-ingat, memang orang sana punya produk tembakau yang sangat baik. Hari ini jam kerja sudah selesai, tetapi aku bisa mengirim teleks besok pagi.”

“Apa kau bisa memperoleh sigaret itu?”

“Kalau soal Italia tidak ada yang mustahil bagiku. Kecuali mungkin mewawancarai Brigade Merah.” Carla tertawa, sampai teteknya yang sangat gede itu berayun-ayun. Aku pernah berdansa pelan dengan dia, wajahku tenggelam di antara teteknya itu dan hampir kehabisan napas.

“Aku ada permintaan juga untukmu. Kau ingat sewaktu kita makan hidangan telur salmon istimewa di Tsukiji itu?”

“Yang di belakang mabes di Dentsu itu?”

“Betul. Mereka menghidangkan impun kering untuk makanan pembuka. Aku ingin menyajikan itu di pestaku berikutnya.”

“Eh, tetapi itu kan ikan yang rada langka. Seingatku ikannya dari daerah pedalaman di pesisir Laut Jepang, atau—“

“Tadinya aku mau meneleponmu. Aku harus mendapatkan ikan itu, secepatnya. Aku akan mengurus soal sigaret itu.”

Siapalah aku menolak, atau berusaha menegosiasikan, persyaratan apa pun?

Penyuntingan berlangsung. Setiap orang yang terlibat mondar-mandir dengan mata merah, akibat bekerja sampai larut tiap malam. Pada monitor terdapat pembuangan sampah yang luas di Kolkata. Anjing, kucing, babi, kerbau, burung, dan manusia mengubrak-abrik sampah. Dua wanita sembari mendekap bayi tengah memperebutkan kulit semangka yang separuh busuk. “Bagaimana bisa manusia hidup seperti itu?” teknisi rekaman berkomat-kamit. “Harga diri pun tidak terjangkau oleh mereka,” si teknisi berkata seraya mengetuk papan tombol. Aku mengarahkan pengisian suara, serta melakukan perbaikan kecil pada skrip selagi dibacakan, namun di kepalaku cuma ada impun kering.

“Kat-chan. Ini aku.”

Kat-chan dulu bekerja di Dentsu. Ia bertugas di paviliun Sumitomo di Expo tersebut. Ia berhenti bekerja enam tahun lalu dan membuka restoran di Tsukiji, tepat di belakang Dentsu. Tidak ada yang tahu pasti sebabnya ia berhenti dari pekerjaannya sebagai perancang acara. Ada yang bilang ia dipaksa mengundurkan diri karena homo. Ia sendiri bilang alasannya sekadar karena ia suka masak, tetapi memang masakannya sangat menakjubkan. Kerang laut dan selada kiwi buatannya, sebagai contoh, tiada taranya di dunia ini.

“Hei! Halo, sudah lama, ya!”

“Aku ada permintaan.”

“Jangan di telepon dong. Datanglah kemari setor wajah.”

“Tahun lalu, saat musim semi, kau menyajikan impun kering yang sangat lezat, ingat kan? Yang kecil-kecil banget itu lo.”

“Tentu. Dari Wakasa.”

“Baik. Kau lagi ada stoknya?”

“Tidak ada.”

“Tidak ada?”

“Cuma ada satu kakek-kakek yang menangkap dan menyiapkan ikan itu—ia legenda di Wakasa—dan ikan itu susah dicari. Rasanya luar biasa, ya? Bisa kau bayangkan banyak yang minta.”

“Sial.”

“Kau mau ikan itu?”

“Yeah.”

“Kalau begitu nanti kucarikan.”

“Sungguh?”

“Tetapi ada imbalannya.”

“Wah, wah, tunggu dulu. Aku tidak, aku bukan ….”

“Aku bukan mau bokongmu, tolol. Dengarkan, kau masih bersua Ken-bo, dari Agensi Arikawa?”

“Aku sudah tidak mengurus program musik.”

“Jadi sekarang kau sudah tidak ada pengaruh dengan agensi itu?”

“Hah, agensi receh macam Arikawa? Bukan soal. Kau mau apa?”

“Cari Ken-bo lalu suruh dia kembalikan raketku. Aku meminjami dia raket Dunlop Max 2000 milikku, dan ia tidak mau mengembalikannya. Lusa aku akan ke Dataran Tinggi Izu, dan ingin membawa raket itu.”

Banyak nian materi. Sigaret dari daerah Perugia di Italia, impun dari Wakas, serta raket Dunlop—Jepang sedang menuju kehancuran. Lihatlah Kolkata. Wanita pengemis, dengan sekujur kedua lengannya berbalutkan luka dari suatu penyakit kulit, berdiri di bawah terik matahari selama sepuluh jam demi memperoleh sekeping biskuit basi.

Aku menyelinap keluar dari ruang pemotongan film dan berderap menaiki tangga ke Studio 3 di lantai empat. Ken-bo itu manajer muda homo dari Agensi Pencari Bakat Arikawa. Ia suka datang ke latihan-latihan untuk menjilat produser sekalipun penyanyinya sedang tidak tampil.

“Ketemu kau,” aku menggeram. “Belum berubah sedikit pun, ya, kau.”

“Ya ampun! Ketemu lagi, ya, kita?”

“Dengar, kodok kecil, aku ada pesan buat kau. Kat-chan di Tsukiji ingin raketnya balik. Malam ini.

“Oh ya tuhan, masak sih.”

“Peduli setan, pokoknya kembalikan. Kalau tidak aku bisa susah.”

“Tunggu sebentar. Aku sudah menjelaskan ini berkali-kali: Ia memberiku raket itu. Cih.”

“Aku bilang kembalikan. Kau ingin aku mengejanya?”

“Kenapa sih kau begitu amat? Ada apa sih?”

“Dengar, ya, kau tahu kan aku dekat dengan produser acara ini? Kau tahu aku kenapa. Enggak usah tanya-tanya.”

“Ah astaga. Baiklah. Tetapi aku ingin ada imbalannya.”

“Enggak usah coba-coba, kodok.”

“Kalau begitu, ya tidak apa-apa, terserah padamu. Lagian sekarang tidak ada penyanyi yang bagus. Kau tidak bisa memperburuknya lagi.”

“Hei.”

“Dan bilang sama Kat-chan kalau sudah kasih hadiah ke orang jangan diminta lagi.”

“Tunggu. Oke. Baiklah. Kau mau apa?”

“Di Ginza ada klub kecil bernama Bizarre. Tahu enggak?”

“Tahu. Utangmu berapa?”

“Bukan, bukan, astaga, bukan begitu. Di sana ada hostes namanya Saki ….”

“Sejak kapan kau suka perempuan?”

“Di bisnis ini orang harus pakai topeng. Kau tahu lah biarpun aku seperti itu—“

“Baiklah, baiklah. Jadi?”

“Jadi aku ingin kau bilang pada dia besok aku tidak bisa.”

“Oke.”

“Dan maksudku jangan lewat telepon. Olala, tidak bisa.”

“Jangan?”

“Datangi klubnya. Bawakan, apa, ya, kira-kira buket mawar seharga tujuh ribu yen, lalu bisikkan di telinganya. Bilang: 'Ken-bo mengutusku. Ia tidak bisa datang besok, dan ia mengirimkan mawar ini sebagai permintaan maaf.'”

Akankah ini berakhir? Apa lagi yang bakal diminta si hostes ini, Saki? Dan apa pula tujuanku di awal tadi?

Aku membeli mawar dari penjaja di pinggir jalan. Saat itu sudah larut malam, sehingga harganya paling tidak tiga kali harga di pasar bunga Hibiya. Aku menangguhkan proses pengisian suara selama sejam. Hujan di Ginza. Cahaya neon berkabut dan aroma kue beras gosong melayang-layang di udara. Aku belum makan apa-apa selain semangkuk mi saat siang, dan aku merasa pusing lagi loyo. Mataku sakit akibat menyunting film. Aku merasa seperti pengemis di Kolkata. Memang aku lebih gembil daripada dia. Tetapi seperti dia aku menjulurkan tanganku putus asa. Aku berkelana di jalan dengan kalut lagi karut-marut. Ketika si pengemis tak berhasil memperoleh uang atau makanan, ia tinggal menarik kembali tangannya. Teranglah mana di antara kami yang sungguh punya martabat.

“Ken-bo takut padaku. Kau lihat kan, aku tuh cantik, dan ketika ada wanita cantik yang marah, orang jadi takut. Kalau wanita jelek yang marah kan jadinya lucu, ya enggak sih? Suruh dia supaya jangan jadi pengecut dan telepon aku.”

Aku menyerahkan buket itu pada Saki si hostes, memakan kudapan mungil dari akar talas muda, serta meminum segelas Chiva campur air, dan begitu api mulai menyebar di perutku, kudengar suara, “Yoshihiko! Bisa-bisanya kau berkata begitu?” Yoshihiko? Kok pernah dengar, ya?

“Ada yang menyebut ‘Yoshihiko’?”

Saki membenamkan wajahnya pada kumpulan mawar.

“Mm-hm.”

“Yoshihiko Takahashi? Pemain tim Carp itu?”

“Yeah.”

“Ia di sini?”

“Tepat di belakangmu.”

“Hah? Ia suka kemari?”

“Sesekali, ketika ia sedang berada di Tokyo. Anak-anak di sini suka padanya. Ia tidak pernah terlalu mabuk, atau berkata vulgar dan sebagainya.”

“Kenalkan aku padanya dong. Tolong.”

“Oh, kau penggemar?”

“Aku bisa memberimu sigaret Italia, atau impun dari Wakasa, atau raket tenis, apa pun deh, tetapi tolong kenalkan aku padanya.”

“Ia pasti senang. Ia sangat mementingkan penggemarnya.”

Aku berdiri seraya memegangi dadaku yang berdebar-debar lalu mengikuti Saki ke seberang ruangan.

Yoshihiko Takahashi adalah Dewa.

Aku menyerahkan kartu namaku padanya lalu memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa temanku ada yang penggemar berat dan aku menyadari ini permintaan yang sungguh lancang tetapi apakah dia berkeberatan untuk berbicara pada temanku itu di telepon? Senyumnya menyejukkan dan menyetujui. Tanpa persyaratan.

“Kiyomi, kau tahu kan siapa tadi itu? Tadi itu Yoshihiko Takahashi, Kiyomi. Latihan musim semi akan segera dimulai, sejauh ini sementara bertemu dia langsung, aku khawatir ini rada sulit, tetapi …. Halo? Kau masih di situ?”

“Sebentar, aku masih deg-degan. Ya tuhan, tadi aku merasa mau pingsan.”

“Kiyomi, kau tidak tahu apa yang sudah kulalui …. Aku …. Aku ….”

Air mata menggenang di pelupuk mataku.

“Bisa kubayangkan. Tadinya kukira kau mafhum aku cuma bercanda. Biar begitu, terima kasih lo, sungguh.”

“Bercanda?”

“Yah, iyalah! Dengar, tadi aku gugup sekali sampai-sampai tidak sanggup bicara. Bisakah kau sampaikan padanya untuk menjadi juara curi base tahun ini? Bisakah kau sampaikan padanya demi aku?”

“Tentu, akan kusampaikan padanya, tetapi …. Kau cuma bercanda?”

“Untuk memperkenalkan aku, iya. Tetapi jangan khawatir. Aku masih berniat menjadi saksi untukmu.”

Yoshihiko Takahashi tengah duduk bersama para pemain bisbol lain beserta serombongan hostes, mengobrol dan tertawa, sebagaimana sebelum aku mencampurinya tadi.

Sekitar sebulan kemudian, setelah sumber malapetakaku menarik gugatannya dan tepat ketika sidang perceraianku akan dimulai, aku menerima paket berisi gula muscovado dari Okinawa. Pengirimnya Tuan Yoshihiko Takahashi. Aku dan Kiyomi telah memutuskan untuk datang ke pertandingan bisbol ketika musimnya dimulai. Aku sudah mendengar kami serempak menyemangati:

“Larilah, Takahashi!”



Cerpen ini terdapat dalam kumpulan cerpen Ryu Murakami Hashire! Takahashi! (1986). Terjemahan ini bersumber dari versi bahasa Inggris Ralph McCarthy yang terdapat dalam Words Without Borders edisi Agustus 2004 dengan judul “Whenever I Sit at a Bar Drinking Like This, I Always Think What a Sacred Profession Bartending Is.



Ryu Murakami pengarang terlaris yang telah menghasilkan selusin novel. Ia pemenang penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang, Penghargaan Akutagawa. Banyak di antara novelnya telah difilmkan, termasuk Audition. Novelnya Populer Hits of the Showa Era yang diterjemahkan ke bahasa Inggris Ralph McCarthy telah diterbitkan oleh W. W. Norton. Ia tinggal di Jepang.

Ralph McCarthy penerjemah dua kumpulan cerpen Osamu Dazai—Self Portraits dan Blue Bamboo—serta Fairy-Tale Book of Dazai Osamu. Terjemahan lainnya meliputi In the Miso Soup, Piercing, Sixty-Nine, serta From the Fatherland, With Love, semua dari Ryu Murakami.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...