Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20150327

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 2/2 (Haruki Murakami, 1994)



*

Akibatnya, aku tidak usah lagi mencari wanita itu. Ia yang menemukanku. Begitu sampai di restoran itu, aku berkeliling sebentar, mencari-cari topi warna merah. Tidak ada wanita yang memakai topi warna merah. Jam tanganku menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Aku pun mengambil tempat duduk, meminum air yang dibawakan untukku, dan memesan secangkir teh. Tidak lama setelah pramusaji meninggalkan mejaku, aku mendengar seorang wanita di belakangku berkata, “Anda pasti Bapak Toru Okada.” Kaget, aku pun berbalik. Belum juga tiga menit sejak aku meninjau ruangan itu. Di balik jaketnya yang putih, ia mengenakan blus sutra berwarna kuning, dan topi vinil merah pada kepalanya. Refleks aku berdiri dan menghadapnya. “Cantik” sepertinya kata yang sangat pas untuk dirinya. Setidaknya ia jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan dari suaranya di telepon. Tubuhnya ramping dan indah, sementara dandanannya tipis saja. Ia tahu caranya berpenampilan—kecuali untuk topi merahnya itu. Jahitan pada jaket dan blusnya tampak halus. Pada kerah jaketnya berpendar sebuah bros emas yang berbentuk bulu. Penampilan selebihnya sih tampak mewah, tapi aku tidak mengerti kenapa ia mesti melengkapinya dengan topi vinil merah yang tidak pas itu. Mungkin saja ia selalu mengenakannya untuk memudahkan orang mengenalinya dalam situasi seperti ini. Kalau begitu sih itu bukan gagasan yang buruk. Kalau tujuannya supaya terlihat menonjol dalam ruangan yang penuh orang tak dikenal begini, gagasan itu sudah pasti berhasil.

Ia duduk di kursi yang berhadapan denganku, dan aku pun duduk lagi. “Saya takjub Anda mengenali saya,” kataku. “Dasi polkadotnya tidak ketemu. Saya tahu itu ada di suatu tempat, tapi tidak ketemu juga. Karena itulah saya pakai yang garis-garis ini. Saya kira saya yang akan melihat Anda, tapi bagaimana Anda mengenali saya?”

“Tentu saja saya mengenali Anda,” ucapnya, sambil meletakkan tas kulit perlaknya yang berwarna putih di meja. Ia melepaskan topi vinil merahnya dan menaruh benda itu di atas tas. Tas itu pun tertutup sepenuhnya oleh topinya. Aku merasa seolah ia hendak mempertunjukkan sebuah trik sulap: sewaktu ia mengangkat topinya, tas itu akan lenyap.

“Tapi saya pakai dasi yang lain,” sanggahku.

“Dasi yang lain?” Ia memandang sepintas dasiku dengan raut bingung, seakan mengatakan, Apa sih maksudnya si orang aneh ini? Lalu ia mengangguk. “Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan.”

Tatapannya terasa ganjil. Matanya tidak memancarkan kedalaman. Indah, namun seperti tidak melihat apa-apa. Sorotnya dangkal, seakan terbuat dari kaca. Namun tentu saja mata itu bukan terbuat dari kaca. Keduanya bergerak-gerak, dan kelopaknya pun dapat berkedip.

Kok bisa, ya, ia menemukanku di tengah ramainya restoran yang riuh ini? Setiap kursi di ruangan ini telah ada yang menempati, dan banyak di antaranya yang telah diduduki lelaki seusiaku. Aku ingin menanyakannya, tapi kutahan diriku. Sebaiknya tidak mengangkat persoalan yang tidak ada hubungannya.

Ia memanggil pramusaji yang sedang melintas dan memesan Perrier. Perriernya tidak ada, kata pramusaji itu, tapi kalau mau ia bisa membawakannya tonikum. Malta Kano memikirkannya sesaat dan menerima usul tersebut. Sementara menunggu tonikumnya diantarkan, ia diam saja, begitu pula diriku.

Sempat ia mengangkat topi merahnya dan membuka gesper tas di bawahnya. Dari dalam tas itu ia mengeluarkan sebuah kotak kulit berwarna hitam mengilap, ukurannya sedikit lebih kecil daripada kaset. Benda itu rupanya wadah kartu nama. Seperti tasnya, benda itu bergesper—wadah kartu pertama yang kulihat memilikinya. Ia mengambil kartu dari dalam kotak itu dan memberikannya padaku. Aku merogoh saku di bagian dadaku untuk mencari kartu milikku juga, lalu menyadari kalau aku tidak membawa apa-apa.

Kartu namanya terbuat dari plastik tipis, dan sepertinya agak berbau dupa. Begitu kudekatkan ke hidungku, aromanya semakin jelas. Tidak diragukan lagi: memang berbau dupa. Kartu itu memuat sebaris huruf kecil dan warnanya begitu pekat:

Malta Kano

Malta? Aku membalik kartu itu. Kosong.

Sementara aku bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya kartu nama ini, pramusaji datang dan menaruh gelas berisi es di hadapannya, lalu mengisi separuh gelas itu dengan tonikum. Ada irisan lemon pada gelas itu. Pramusaji lain datang dengan baki berisi teko kopi berwarna emas. Ia menaruh sebuah cangkir di hadapanku dan menuangkan kopi hingga penuh. Secara sembunyi-sembunyi bak orang sedang menyelipkan benda dari tempat keramat ke tangan orang lainnya, pramusaji itu pelan-pelan menurunkan bon ke meja dan pergi.

“Kartunya kosong,” ucap Malta Kano padaku.

Aku masih memandangi bagian belakang kartu namanya.

“Cuma ada nama saya. Tidak perlu menyertakan alamat atau nomor telepon. Tidak ada yang pernah menelepon saya. Sayalah yang menelepon.”

“Begitu,” ucapku. Responsku yang tiada berarti ini mengambang di udara di atas meja bagaikan pulau melayang dalam novel Gulliver’s Travels.

Seraya memegangi gelasnya dengan kedua tangan, ia menyesap sedikit minumannya melalui sedotan. Tampak kernyitan di wajahnya, setelahnya ia menepikan gelas itu, seakan tidak ingin lagi meminumnya.

“Malta itu bukan nama asli saya,” ucap Malta Kano. “Kanonya asli, tapi Malta itu nama profesional yang saya ambil dari Pulau Malta. Anda sudah pernah ke Malta, Pak Okada?”

Aku bilang belum. Aku belum pernah pergi ke Malta, dan tidak punya rencana hendak ke sana dalam waktu dekat. Sama sekali tidak pernah terpikir olehku untuk pergi ke sana. Yang kuketahui tentang Malta hanyalah “The Sands of Malta”, lagu yang asli buruknya yang dibawakan oleh Herb Alpert.

“Saya pernah tinggal di Malta,” ucapnya. “Tiga tahun. Airnya tidak enak. Tidak bisa diminum. Seperti air laut yang ditambah air. Rotinya juga asin rasanya. Bukan karena sengaja diberi garam, tapi karena air yang dipakai untuk membuat roti itu yang asin. Meski begitu, bukan berarti rasanya tidak enak. Saya cukup suka roti di Malta.”

Aku mengangguk dan menyesap kopiku.

“Betapapun buruk rasanya, air dari suatu tempat khusus di Malta dapat memberi pengaruh yang bagus sekali untuk elemen-elemen tubuh. Air ini sangat istimewa—bahkan ajaib, dan hanya terdapat di satu tempat di pulau itu. Mata airnya ada di pegunungan, dan kita harus mendaki berjam-jam dari desa di bawahnya untuk mencapai tempat itu. Airnya tidak boleh diangkut dari sumber asalnya. Kalau air itu dibawa ke mana saja, khasiatnya akan hilang. Satu-satunya jalan untuk meminumnya ialah dengan pergi sendiri ke sana. Air itu disebutkan dalam arsip dari zaman Perang Salib. Mereka menyebutnya air sukma. Alien Ginsberg pernah datang ke sana untuk meminumnya. Begitu juga Keith Richards. Saya tinggal di sana selama tiga tahun, di sebuah desa kecil di kaki gunung. Saya memelihara sayur-sayuran dan belajar menenun. Setiap hari saya mendaki ke mata air dan meminum air yang istimewa itu. Dari 1976 sampai 1979. Pernah, selama seminggu penuh, saya cuma minum air itu dan tidak makan apa-apa. Orang tidak boleh menelan apapun selain air itu selama seminggu penuh. Ini semacam disiplin yang diwajibkan di sana. Saya yakin itu yang disebut sebagai keteguhan religius. Dengan begitu kita memurnikan tubuh kita. Bagi saya, ini benar-benar pengalaman hebat. Karena itulah saya memilih nama Malta untuk kepentingan profesional sewaktu kembali ke Jepang.”

“Boleh saya tahu apa profesi Anda?”

Ia menggeleng. “Bukan profesi, tepatnya. Saya tidak menghasilkan uang dari pekerjaan saya. Saya ini konsultan. Saya berbicara dengan orang-orang tentang elemen-elemen tubuh. Saya juga ikut serta dalam penelitian tentang manfaat air bagi elemen-elemen tubuh. Saya tidak punya masalah soal uang. Saya punya segala aset yang saya butuhkan. Ayah saya dokter, dan beliau memberi saya serta adik saya saham dan properti untuk dana hidup. Ada akuntan yang mengurusnya untuk kami. Aset-aset itu memberi penghasilan yang lumayan tiap tahunnya. Saya juga menulis beberapa buku yang menambah sedikit penghasilan. Kerja saya terkait elemen-elemen tubuh sepenuhnya kegiatan nonprofit. Karena itulah kartu saya tidak memuat alamat ataupun nomor telepon. Sayalah yang menelepon.”

Aku mengangguk, tapi ini sekadar gerakan kepala: aku tidak tahu apa yang dibicarakannya. Aku bisa mengerti setiap kata yang diucapkannya, tapi sulit bagiku memahami maksudnya secara keseluruhan. Elemen-elemen tubuh?

Alien Ginsberg?

Aku jadi merasa semakin tidak nyaman. Aku bukan orang dengan bakat intuitif yang istimewa, tapi semakin lama waktu yang kuhabiskan dengan wanita ini, semakin aku merasa mencium adanya masalah.

“Mohon maaf sebelumnya,” kataku, “tapi kalau boleh tahu apa mungkin dijelaskan dari awal, sedikit demi sedikit. Tadi saya berbicara dengan istri saya, dan dia cuma bilang kalau saya mesti bertemu Anda dan membicarakan tentang kucing kami yang hilang. Kalau boleh jujur, saya tidak benar-benar mengerti yang Anda katakan tadi. Apa ada hubungannya dengan kucing itu?”

“Ya, tentu saja,” ucapnya. “Tapi sebelum membicarakan itu, ada sesuatu yang sebaiknya Anda tahu, Pak Okada.”

Ia membuka gesper metal tasnya lagi dan mengeluarkan selembar amplop putih. Dari dalam amplop itu ada sebuah foto, yang diberikannya padaku. “Saudara perempuan saya,” ucapnya. Foto berwarna itu menampakkan dua wanita. Salah satunya Malta Kano, dan di foto itu juga ia mengenakan topi—topi rajutan kuning. Lagi-lagi tidak pas dengan pakaiannya. Saudara perempuannya—kuduga ini adik yang disebut-sebutnya tadi—mengenakan setelan berwarna pastel dengan topi yang pas yang modelnya populer pada awal tahun enam puluhan. Seingatku warna semacam itu dulu disebut dengan istilah “sherbet tone”. Bagaimanapun juga, ada satu hal yang pasti: kakak-beradik ini penggemar topi. Gaya rambut si adik persis Jacqueline Kennedy sewaktu masih tinggal di Gedung Putih, mengembang berkat semprotan rambut. Ia mengenakan riasan yang agak berlebihan, namun bisa dibilang lumayan cantik. Usianya sekitar awal sampai pertengahan dua puluhan tahun. Aku mengembalikan foto itu pada Malta Kano, yang menaruhnya lagi ke dalam amplop lalu amplop itu ke dalam tas, dan menutup gespernya.

“Adik saya usianya lima tahun lebih muda daripada saya,” ucapnya. “Noboru Wataya menodainya. Memerkosanya dengan kasar.”

Wah. Aku ingin minggat dari sini. Tapi aku tidak bisa berdiri apalagi menjauh. Kuambil sapu tangan dari saku jasku, mengelap mulutku, dan memasukkannya lagi. Lalu aku berdeham.

“Ngeri sekali,” ujarku. “Saya tidak tahu apa-apa soal ini, tapi sepenuh hati saya berbelasungkawa. Bagaimanapun juga, Anda mesti tahu kalau antara saya dan saudara ipar saya sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa. Jadi kalau Anda menghendaki semacam—“

“Tidak sama sekali, Pak Okada,” jelasnya. “Saya sama sekali tidak menuntut tanggung jawab Anda. Kalaupun ada yang harus bertanggung jawab atas kejadian itu, saya sendiri orangnya. Karena kurang perhatian. Karena tidak menjaganya sebagaimana mestinya. Sayang sekali, ada hal-hal yang membuat saya sulit melakukannya. Hal-hal seperti ini dapat terjadi, Pak Okada. Anda tahu, kita hidup di dunia yang keras dan kacau. Dan di dunia ini, ada tempat-tempat yang masih lebih keras, masih lebih kacau. Adik saya akan pulih dari lukanya, dari keternodaannya. Dia mesti bisa. Untunglah akibatnya tidak fatal. Sebagaimana saya katakan padanya, yang terjadi kemungkinan bisa lebih buruk lagi. Yang paling saya khawatirkan adalah elemen-elemen tubuhnya.”

“Elemen-elemen tubuhnya,” ucapku. Masalah “elemen-elemen tubuh” ini jelas-jelas pokok yang konsisten bagi dirinya.

“Saya tidak bisa menjelaskan pada Anda secara rinci bagaimana semua keadaan ini saling berhubungan. Ceritanya akan sangat panjang dan sangat rumit, dan sungguhpun saya tidak bermaksud tidak sopan dengan mengatakannya, benar-benar tidak mungkin bagi Anda pada taraf ini, Pak Okada, untuk memahami secara tepat maksud yang sebenarnya dari cerita itu, yang sangat berkaitan dengan urusan kita secara profesional. Saya mengajak Anda kemari bukan untuk mengadukan hal itu pada Anda. Anda, tentu saja, sama sekali tidak bertanggung jawab atas kejadian itu. Saya hanya ingin Anda tahu bahwa, meskipun ini mungkin hanya sementara, elemen-elemen adik saya telah dirusak oleh Pak Wataya. Anda dan adik saya kemungkinan akan menjalin semacam hubungan dengan satu sama lain pada masa yang akan datang. Dia asisten saya, sebagaimana saya sebutkan tadi. Saat waktunya tiba, mungkin sebaiknya Anda menginsafi kejadian di antara dirinya dan Pak Wataya, dan supaya menyadari kalau hal ini dapat terjadi.”

Sejenak timbul keheningan. Malta Kano menatapku seakan hendak mengatakan, Tolong pikirkan perkataan saya barusan. Dan aku pun memikirkannya. Tentang Noboru Wataya yang telah memerkosa adik Malta Kano. Tentang hubungan di antara hal tersebut dan elemen-elemen tubuhnya. Dan tentang hubungan di antara keduanya dan hilangnya kucing kami.

“Kalau boleh saya katakan,” aku memberanikan diri, “baik Anda maupun adik Anda tidak bermaksud mengajukan pengaduan resmi tentang perkara ini… pada polisi…?”

“Tidak, tentu saja kami tidak akan melakukannya,” ucap Malta Kano, wajahnya tanpa ekspresi. “Tepatnya, kami tidak menuntut tanggung jawab siapapun. Kami hanya ingin lebih memahami sebabnya peristiwa itu. Sampai persoalan ini terpecahkan, ada kemungkinan besar sesuatu yang lebih buruk dapat terjadi.”

Aku merasa sedikit lega mendengarnya. Bukannya aku akan terusik apabila Noboru Wataya dihukum karena pemerkosaan dan dibawa ke penjara. Itu takkan terjadi pada orang yang lebih baik sekalipun. Tapi kakaknya Kumiko itu tokoh yang cukup terkenal. Penahanan dan pengadilannya pasti akan menjadi berita besar, dan Kumiko akan sangat terguncang karenanya. Kalau demi kewarasanku sendiri, aku lebih suka semuanya berlalu begitu saja.

“Saya jamin,” ujar Malta Kano, “pertemuan kita hari ini semata soal kucing yang hilang itu. Persoalan itulah yang membuat Pak Wataya meminta bantuan saya. Bu Okada menanyakan soal itu padanya, dan beliau lalu menanyakannya pada saya.”

Sekarang sudah jelas. Malta Kano ini semacam penerawang, penghubung, atau apalah, dan mereka telah berkonsultasi padanya mengenai keberadaan kucing itu. Keluarga Wataya tertarik dengan hal semacam penerawangan, “ilmu firasat”, dan sebagainya. Bagiku sih tidak apa-apa: orang berhak mempercayai apapun yang disukainya. Tapi kenapa ia harus sampai memerkosa adik penasihat spiritualnya sendiri? Kenapa sampai menimbulkan masalah yang tak ada gunanya?

“Jadi itukah keahlian Anda?” tanyaku. “Membantu orang menemukan sesuatu?”

Ia memandangku dengan tatapannya yang hampa, tatapan yang seakan tengah memandang ke arah jendela sebuah rumah tak berpenghuni. Menilik raut wajahnya, ia tidak mengerti maksud pertanyaanku.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, ia berkata, “Anda tinggal di sebuah tempat yang sangat ganjil, ya, Pak Okada?”

“Oh, ya?” tanggapku. “Ganjil bagaimana?”

Bukannya menjawab, ia malah mendorong gelas isi tonikumnya yang hampir tak tersentuh itu sekitar enam atau delapan inci lagi dari dirinya. “Anda tahu, kucing itu makhluk yang sangat sensitif.”

Lagi-lagi keheningan luruh di antara kami.

“Jadi ada yang ganjil dengan tempat tinggal kami, sementara kucing itu binatang yang sensitif,” ucapku. “Oke. Tapi kami sudah lama tinggal di sana—kami berdua dan kucing itu. Kok sekarang, tahu-tahu, kucing itu ingin meninggalkan kami? Kenapa tidak dari dulu-dulu?”

“Saya tidak bisa memberi tahu Anda soal itu. Mungkin alirannya sudah berubah. Mungkin ada yang menghalangi alirannya itu.”

“Aliran.”

“Saya tidak tahu apakah kucing Anda masih hidup, namun satu hal yang pasti: kucing itu tidak lagi berada di sekitar rumah Anda. Anda tidak akan pernah menjumpainya di lingkungan itu.”

Kuangkat cangkirku dan menyesap kopi yang sudah suam-suam kuku. Di luar jendela restoran, hujan sedang turun disertai kabut. Langit tertutup oleh awan gelap yang bergelayut rendah. Orang dan payung berarak naik-turun dalam nuansa sendu pada jembatan di luar sana.

“Coba kemarikan tangan Anda,” ucapnya.

Kutaruh tanganku di meja dengan telapak menghadap ke atas, kukira ia hendak membaca garis tanganku. Tapi ia malah mengulurkan tangannya dan menempelkan telapak tangannya pada telapak tanganku. Ia memejamkan mata, lalu selebihnya bergeming sama sekali, seakan sedang marah diam-diam  pada kekasih yang tak setia. Pramusaji muncul dan mengisi cangkirku, seraya berpura-pura tidak memerhatikan yang sedang kami lakukan. Orang-orang di meja lain mencuri-curi pandang ke arah kami. Sementara itu aku terus berharap tidak ada orang yang kukenal di sekitar sini.

“Saya ingin Anda membayangkan satu benda yang Anda lihat sebelum Anda kemari tadi,” ucap Malta Kano.

“Satu benda?” tanyaku.

“Satu benda saja.”

Aku membayangkan gaun mini berbunga-bunga yang kulihat di kotak penyimpanan baju milik Kumiko. Entah kenapa benda itu saja yang terbayang olehku. Ya memang cuma itu.

Tangan kami terus saling menempel selama lebih dari lima menit—lima menit yang terasa begitu lama bagiku, bukan saja karena tatapan orang-orang pada kami tapi juga sentuhan tangannya ini terasa tidak mantap. Tangannya kecil, tidak panas dan tidak dingin. Sentuhannya tidak terasa intim seperti sentuhan seorang kekasih ataupun fungsionil seperti sentuhan seorang dokter. Kesannya sama seperti yang kurasakan terhadap matanya, mengingatkanku pada sebuah rumah tak berpenghuni. Aku merasa kosong: tidak ada perabotan, tidak ada gorden, tidak ada karpet. Hanya sebuah wadah yang kosong. Akhirnya, Malta Kano menarik tangannya dari tanganku dan menghela napas panjang beberapa kali. Lalu ia mengangguk-angguk.

“Pak Okada,” ucapnya, “saya yakin Anda tengah memasuki sebuah tahapan dalam hidup Anda di mana akan terjadi banyak hal yang berlain-lainan. Hilangnya kucing Anda baru awalnya saja.”

“Hal yang berlain-lainan,” ucapku. “Hal baik atau hal buruk?”

Ia memiringkan kepalanya seraya termenung. “Hal baik dan hal buruk. Pada mulanya hal buruk terasa baik, begitu pula hal baik terasa buruk pada mulanya.”

“Buat saya, kedengarannya itu sangat umum, ya,” kataku. “Apa tidak ada keterangan yang lebih konkrit?”

“Ya, saya kira yang saya katakan memang kedengarannya sangat umum,” ujar Malta Kano. “Tapi bagaimanapun juga, Pak Okada, ketika kita bicara mengenai hakikat banyak hal, sering kali kita hanya dapat membicarakannya secara umum. Yang konkrit pastinya memang menarik, tapi sering kali itu tidak lebih dari sekadar hal yang remeh-temeh. Perlawatan kecil-kecilan. Semakin kita berusaha melihat ke kejauhan, semakin tidak spesifik kelihatannya.”

Diam-diam aku mengangguk—tanpa firasat sedikitpun akan perkataannya itu.

“Bolehkah saya menelepon Anda lagi?” tanyanya.

“Tentu,” ujarku, meski sebenarnya aku tidak berharap ada yang meneleponku lagi. “Tentu” itu  kurang lebih satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan.

Ia menjumput topi vinil merahnya dari meja, mengambil tas tangan yang sedari tadi tersembunyi di bawahnya, dan bangkit. Karena tidak tahu bagaimana mesti menanggapinya, aku tetap duduk.

“Ada lagi sedikit informasi yang bisa saya bagi pada Anda,” Malta Kano berucap setelah mengenakan topi merahnya, tatapannya runduk ke arahku. “Anda akan menemukan dasi polkadot Anda, tapi bukan di rumah Anda.”[]



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...