Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20150627

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 5 (Haruki Murakami, 1994)



5

Kecanduan Permen Lemon
*
Burung yang Tidak Bisa Terbang 
dan Sumur yang Tidak Ada Airnya



Sehabis sarapan, aku bersepeda ke binatu dekat stasiun. Pemiliknya seorang lelaki kurus berusia empat puluhan akhir. Ada kerutan yang dalam di dahinya. Ia sedang mendengarkan kaset orkestra Percy Faith dari boom box yang terletak di sebuah rak. Mereknya JVC dan ukurannya besar, dengan pengeras suara tambahan dan setumpuk kaset di sisinya. Orkestra tersebut sedang memainkan “Tara’s Theme”, bagian alat musik geseknya terdengar amat menggairahkan. Pemiliknya itu sendiri sedang berada di belakang toko, sambil bersiul mengiringi musik sementara menyetrika sehelai pakaian. Gerakannya tangkas dan bersemangat. Aku mendekati meja pajangan dan meminta maaf dengan sepatutnya bahwa akhir tahun lalu aku membawa sebuah dasi dan lupa mengambilnya. Dalam dunia kecilnya yang damai pada pukul setengah sepuluh pagi, pemberitahuan itu pasti menyerupai kedatangan seorang kurir pesan yang membawa kabar buruk dalam lakon tragedi Yunani.

“Tiketnya juga tidak ada, ya,” ucapnya, yang entah kenapa terdengar tidak ramah. Bicaranya tidak tertuju padaku, melainkan pada kalender di dinding dekat meja pajangan. Gambar pada bulan Juni menampilkan pegunungan Alpen—lembah yang hijau, sapi-sapi merumput, awan putih bertepi tajam melayang di atas Mont Blanc, atau Materhorn, atau sesuatunya. Lalu ia menatapku dengan raut yang kurang lebih menyatakan, Kalau kamu mau melupakan barang sialan itu, sebaiknya kamu melupakannya sedari dulu! Tatapannya menyentak dan penuh perasaan.

“Akhir tahun, ya? Sulit juga. Sudah lebih dari setengah tahun yang lalu lo. Baiklah, saya coba cari, tapi jangan harap pasti ketemu, ya.”

Ia mematikan setrikanya, meletakkannya pada papan setrika, dan, sembari bersiul mengiringi lagu utama dari film A Summer Place, mulai menggeledahi rak di ruang belakang.

Sewaktu SMA, aku pernah menonton A Summer Place bersama pacarku. Film itu dibintangi oleh Troy Donahue dan Sandra Dee. Kami menontonnya sekalian dengan film Follows the Boys yang dibintangi Connie Francies di bioskop yang khusus memutar film lawas. Seingatku filmnya jelek, tapi mendengar musiknya sekarang ini di sebuah binatu, tiga belas tahun setelahnya, yang teringat olehku tentang masa itu hanya yang indah-indah saja.

“Dasi polkadot biru bukan?” tanya si pemilik binatu. “Punya Okada?”

“Iya, yang itu,” kataku.

“Anda beruntung.”

*

Begitu sampai di rumah, aku segera menelepon Kumiko di tempat kerjanya. “Dasinya ada,” kataku.

“Luar biasa,” sahutnya. “Baguslah!”

Suaranya terdengar dibuat-buat, seperti sedang memuji anak yang hasil ulangannya bagus. Aku jadi merasa risau. Seharusnya aku meneleponnya saat istirahat makan siang saja.

“Syukurlah,” ucapnya. “Tapi lagi ada urusan nih. Maaf, ya. Bisa telepon lagi nanti siang?”

“Baiklah,” ujarku.

Setelah menutup telepon, aku ke beranda membawa koran pagi. Seperti biasanya, aku bertelungkup sementara iklan lowongan kerja terbentang lebar-lebar di depanku, aku membacanya dari ujung ke ujung tanpa berhenti. Kolom-kolom itu dipenuhi dengan kode dan keterangan yang tidak dapat kupahami. Betapa beragamnya pekerjaan yang ada di dunia ini, masing-masingnya ditempatkan dalam deretan yang rapi hingga menyerupai peta pemakaman yang baru dibangun.

Selazimnya yang terjadi tiap pagi, aku mendengar suara si burung mainan memutar pegasnya dari suatu puncak pohon entah di mana. Aku menutup koran, duduk sambil menyandarkan punggung pada tonggak, dan memandang ke arah taman. Sekonyong-konyong terdengar lagi kicauan parau burung itu, suaranya semacam keriat-keriut panjang yang datangnya dari puncak pohon tusam milik tetangga. Aku berusaha melihat melalui cabang-cabang pohon, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan burung itu selain kicauannya. Seperti biasanya. Maka pada hari itu pun pegas dunia berputar.

Menjelang pukul sepuluh, hujan mulai turun. Hujannya tidak lebat. Malah seperti yang tidak hujan, tetesannya sangat halus. Tapi kalau dilihat baik-baik, ternyata hujan. Dunia ini terbagi menjadi dua keadaan, yaitu hujan dan tidak hujan, dan semestinya ada garis pemisah di antara keduanya. Sejenak aku tetap duduk di beranda, memandangi garis yang semestinya ada itu.

Apa yang sebaiknya kulakukan sampai waktu makan siang nanti? Pergi berenang di kolam umum dekat rumah atau ke gang mencari si kucing? Sambil bersandar pada tonggak beranda, dan memandangi turunnya hujan di taman, pikiranku bolak-balik di antara dua itu. Kolam. Kucing.

Kucing yang menang. Malta Kano bilang kucing itu sudah tidak lagi berada di perumahan kami. Namun pagi itu aku merasakan dorongan yang tidak terjelaskan untuk keluar dan mencarinya. Mencari kucing sudah menjadi bagian dalam rutinitasku sehari-hari. Di samping itu, Kumiko mungkin akan lumayan senang menyadari aku sudah berusaha. Kukenakan jas hujan. Kuputuskan tidak membawa payung. Kukenakan sepatu tenis dan kutinggalkan rumah dengan membawa kuncinya serta beberapa butir permen lemon dalam kantong jasku. Kulintasi halaman, tapi baru saja kuletakkan sebelah tanganku pada dinding batako, terdengar bunyi telepon. Aku bergeming sambil menajamkan pendengaranku, tapi aku tidak bisa memastikan apakah itu teleponku atau telepon tetangga. Begitu meninggalkan rumah, semua telepon terdengar sama saja bunyinya. Aku pun menyerah dan memanjat dinding.

Bisa kurasakan lembutnya rumput melalui sol sepatu tenisku yang tipis. Gang itu lebih senyap daripada biasanya. Sesaat aku bergeming saja sambil menahan napas dan mendengarkan, tapi tidak ada suara apapun. Telepon itu sudah berhenti berbunyi. Cuitan burung ataupun kebisingan jalan tidak terdengar olehku. Langit sepenuhnya terpulas oleh kelabu. Pada suasana seperti ini barangkali awan menyerap suara-suara dari permukaan bumi. Dan bukan cuma suara. Segala macam hal. Penglihatan, misalnya.

Dengan tangan tersuruk dalam kantong jas hujan, aku meluncur ke gang sempit itu. Ketika ada tiang-tiang jemuran yang menganjur ke jalan, aku pun menyisi. Aku melangkah tepat di bawah lis rumah-rumah lainnya. Cara menyusur gang yang diam-diam begini mengingatkanku pada kanal yang telantar. Sepatu tenisku memijak rumput tanpa suara sama sekali. Satu-satunya suara betulan yang kudengar dalam perjalanan singkatku ini berasal dari radio di salah satu rumah. Radio itu menyiarkan acara bincang-bincang yang membahas persoalan penelepon. Seorang lelaki paruh baya mengeluhkan ibu mertuanya pada si pembawa acara. Sepintas-sepintas kudengar bahwa ibu mertuanya itu berusia enam puluh delapan dan keranjingan pacuan kuda. Setelah aku melewati rumah itu, suara radio mulai sayup-sayup hingga tidak terdengar sama sekali, seakan-akan yang berangsur menghilang menjadi ketiadaan itu bukan saja suara radio itu, tapi juga si pria paruh baya beserta ibu mertuanya yang terobsesi pada kuda, keduanya pastilah ada di suatu tempat di dunia ini.

Akhirnya aku sampai juga di rumah kosong itu. Hening, seperti biasanya.

Dilatari awan kelabu yang menggantung rendah, dengan pintu badai yang dipaku di lantai dua, kehadiran rumah itu menyerupai bayangan gelap. Mungkin saja rumah itu dulunya kapal barang yang sangat besar tersangkut di karang pada suatu malam berbadai dan dibiarkan membusuk. Kalau bukan karena meningginya rerumputan sejak kunjungan terakhirku, mungkin saja aku mengira waktu telah berhenti khusus di tempat yang satu ini. Berkat lamanya hujan yang turun belakangan, bilah-bilah rumput hijau berkilauan, dan menguarkan aroma liar yang unik pada permukaan yang membenamkan akar mereka ke dalam bumi. Tepat di tengah lautan rumput itu tegaklah si patung burung, dalam posisi yang persis sebagaimana yang kulihat sebelumnya. Kedua sayapnya terbentang, siap untuk lepas landas. Tentu saja burung yang satu ini tidak akan pernah bisa terbang. Aku tahu itu, dan burung itu juga tahu. Burung itu akan terus menanti di tempatnya dipajang sampai harinya diangkut dengan gerobak sampah atau dihancurkan berkeping-keping. Tidak ada kemungkinan lain baginya untuk meninggalkan taman ini. Satu-satunya yang bergerak hanya seekor kupu-kupu putih kecil, yang mengepak-ngepakkan sayapnya melintasi rerumputan tertinggal berminggu-minggu dari musimnya. Gerakannya bimbang, bagaikan seorang pencari yang lupa apa yang hendak dicarinya. Setelah lima menit berburu tanpa ada hasilnya, kupu-kupu itu menghilang entah ke mana.

Sambil mengisap permen lemon, aku bersandar pada pagar berantai dan memandangi taman itu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan si kucing. Tidak ada tanda-tanda kehadiran apapun. Tempat itu terlihat seperti kolam yang tenang, tersumbat karena ada suatu kekuatan yang sangat besar menghalangi alirannya yang alami.

Aku merasa ada orang di belakangku dan cepat-cepat berbalik. Tapi tidak ada siapa-siapa. Yang terlihat hanya pagar di sisi seberang, dan gerbang kecil pada pagar itu, gerbang tempat gadis itu pernah berdiri. Namun gerbang itu kini tertutup, dan di halamannya tidak ada jejak siapa-siapa. Segalanya terasa lembap dan sunyi. Juga ada bebauan: Rumput. Hujan. Jas hujanku. Permen lemon di balik lidahku yang sudah separuh meleleh. Segalanya terasa bersamaan dalam sekali tarikan napas yang dalam. Aku berbalik sekali lagi untuk mengamati keadaan di sekitarku, tapi tidak ada siapa-siapa. Sambil memasang telinga baik-baik, aku menangkap adanya kepakan baling-baling helikopter di kejauhan. Ada orang-orang di atas sana, terbang di atas awan. Tapi suara itu sekalipun menghilang menghilang ditelan kejauhan, dan sunyi pun kembali meluruh.

Pagar berantai di seputar rumah kosong itu ada gerbangnya, juga diberi rantai, tidak mengherankan. Aku mencoba-coba mendorongnya. Gerbang itu terbuka saja dengan mudahnya sehingga rasanya agak mengecewakan, seakan mendorongku untuk masuk. “Tidak apa-apa,” gerbang itu seakan berkata. “Masuk saja.” Tidak mesti mengandalkan pengetahuan rinci tentang hukum yang telah kuperoleh selama delapan tahun lamanya untuk menyadari kalau ini bisa menjadi masalah yang benar-benar serius. Kalau ada tetangga yang melihatku di rumah kosong itu dan melaporkanku pada polisi, mereka akan datang dan menyelidikiku. Aku akan bilang aku sedang mencari kucingku. Kucingku menghilang, dan aku sedang mencarinya di seputar perumahan. Mereka akan mendesakku memberitahukan alamat dan pekerjaanku. Aku harus memberi tahu mereka kalau aku ini pengangguran. Mereka akan menjadi semakin curiga. Mereka mungkin gelisah soal teroris sayap kiri atau sesuatunya, meyakini bahwa teroris sayap kiri sedang bergerak di seluruh Tokyo, dengan gudang tersembunyi yang menyimpan senjata dan bom rakitan. Mereka akan menelepon Kumiko di kantornya untuk membuktikan ceritaku. Ia bakalan kaget.

Ah, apalah. Aku pun masuk, sambil menarik gerbang yang lalu menutup di belakangku. Kalau pun nanti ada sesuatu yang terjadi, biar saja terjadi. Kalau ada sesuatu yang hendak terjadi, ya biar saja.

Aku melintasi taman itu sambil melihat-lihat. Sepatu tenisku memijak rumput tanpa suara seperti biasanya. Ada beberapa pohon buah yang tumbuh rendah, nama-namanya aku tidak tahu, dan sebidang halaman berumput yang lapang. Rerumputan itu tumbuh terlalu rimbun, menutupi segalanya. Dua dari pepohonan buah itu dirambati tumbuhan markisa yang jelek, kelihatannya seakan sedang dicekik sampai mati. Deretan asmanthus di sepanjang pagar tampak putih mengerikan akibat dilapisi telur serangga. Sesaat ada seekor lalat kecil bandel yang terus berdengung di dekat telingaku.

Seraya melewati si patung batu, aku menuju tumpukan kursi plastik putih di bawah lis. Kursi yang paling atas kotor, tapi kursi yang di bawahnya lumayan bersih. Aku menyekanya dengan tanganku dan mendudukinya. Tidak mungkin ada yang bisa melihatku dari arah gang berkat lebatnya rumput yang tumbuh liar di antara tempatku dan pagar itu, dan lisnya meneduhiku dari hujan. Aku pun duduk sambil bersiul dan mengamati taman yang tengah menadah karunia dari hujan yang merintik lembut.  Awalnya aku tidak acuh lagu apa yang kusiulkan, baru kemudian aku menyadari kalau itu pembukaan dari Thieving Magpie-nya Rossini, lagu yang sama dengan yang kusiulkan saat ada wanita asing menelepon selagi aku memasak spageti.

Duduk-duduk di taman begini, tanpa ada seorang pun di sekitarku, sambil memandangi rerumputan dan si patung burung, dan menyiulkan sebuah lagu (dengan payahnya), membuatku merasa kembali ke masa kecil. Aku sedang berada di sebuah tempat rahasia dan tidak terlihat oleh siapa pun. Perasaanku jadi tenang. Aku merasa seperti sedang melemparkan sebutir batu—batu yang kecil juga tidak apa—ke arah suatu sasaran. Sepertinya si patung burung itu sasaran yang pas. Aku menyambitnya cukup keras hingga terdengar bunyi berdengkang. Sewaktu masih anak-anak, aku sering bermain seperti itu sendirian. Aku meletakkan sebuah kaleng kosong, mundur, dan melemparinya dengan batu sampai kaleng itu terisi penuh. Aku bisa melakukannya sampai berjam-jam. Tapi sekarang ini tidak ada sebutir pun batu di bawahku. Hah, okelah. Tidak ada tempat yang menyediakan segalanya.

Kaki kuangkat, lutut kutekuk, dan dagu kutopang dengan tangan. Lalu kupejamkan mata. Masih tidak terdengar suara apa-apa. Kegelapan di balik kelopak mataku yang tertutup bagaikan langit yang tersaput oleh awan, tapi warna kelabunya sedikit lebih kelam. Beberapa menit sekali, ada yang datang dan mengecat warna kelabu itu dengan warna kelabu yang teksturnya lain dengan sentuhan warna emas, hijau, atau merah. Aku terkesan dengan beragamnya warna kelabu yang ada. Manusia itu sangat aneh. Tinggal duduk tenang saja selama sepuluh menit, dan tampaklah ragam warna kelabu yang menakjubkan ini.

Sambil melihat-lihat berbagai warna kelabu yang ada dalam pandanganku, aku mulai bersiul lagi, tanpa memikirkan apa-apa.

“Hei,” tegur seseorang.

Serta-merta aku membuka mata. Aku mencondongkan badanku ke sisi supaya bisa melihat gerbang di atas permukaan rerumputan. Gerbangnya terbuka. Terbuka lebar. Ada yang mengikutiku masuk. Jantungku mulai berdebar.

“Hei,” orang itu berkata lagi. Suara perempuan. Ia muncul dari balik patung dan mulai menuju ke arahku. Ia gadis yang waktu itu sedang berjemur di halaman di seberang gang. Ia mengenakan kaus Adidas biru terang dan celana pendek yang sama dengan waktu itu. Jalannya masih agak pincang. Yang berbeda dari sebelumnya hanyalah kali ini ia tidak mengenakan kacamata hitamnya.

“Sedang apa di sini?” tanyanya.

“Mencari kucing,” kataku.

“Yakin? Kok kelihatannya tidak begitu. Kamu cuma duduk-duduk di sini dan bersiul sambil merem. Bukannya malah sulit menemukan apapun dengan cara begitu?”

Kurasakan wajahku memerah.

“Tidak masalah sih buatku,” lanjutnya, “tapi orang yang tidak mengenalmu mungkin akan mengira kamu ini penjahat.” Ia terdiam. “Kamu bukan penjahat, kan?”

“Sepertinya bukan,” kataku.

Ia mendekatiku dan mencermati tumpukan kursi halaman, seraya memilih satu yang tidak begitu kotor dan memeriksanya sekali lagi sebelum meletakkannya di tanah dan mendudukinya.

“Dan siulanmu itu jelek sekali,” katanya. “Aku tidak tahu musiknya, tapi melodinya itu sama sekali tidak ada. Kamu bukan homo, kan?”

“Sepertinya bukan,” kataku. “Kenapa?”

“Ada yang bilang homo itu payah sekali kalau bersiul. Betul tidak sih?”

“Siapa tahu? Itu mungkin cuma omong kosong.”

“Bagaimanapun juga, aku tidak peduli sekalipun kamu homo, penjahat, atau apalah. Omong-omong, siapa namamu? Aku tidak tahu mesti bagaimana menyebutmu.”

“Toru Okada,” jawabku. Ia mengulangi namaku berkali-kali. “Namanya biasa-biasa saja, ya?” ucapnya.

“Mungkin juga tidak,” kataku. “Menurutku itu kedengarannya seperti nama duta besar pada masa sebelum perang: Toru Okada. Mengerti, kan?”

“Apalah artinya itu buatku. Aku benci sejarah. Aku paling tidak bisa pelajaran itu. Yah, lupakan saja. Ada nama panggilan? Yang lebih enak disebut daripada Toru Okada?”

Aku tidak ingat dulu pernah punya nama panggilan. Tidak pernah sekalipun. Kenapa, ya? “Tidak ada,” kataku.

“Tidak ada? ‘Beruang’? Atau ‘Kodok’?”

“Tidak ada tuh.”

“Ya ampun,” ucapnya. “Pikirkan lagi.”

“Burung mainan,” kataku.

“Burung mainan?” tanyanya sambil menatapku dengan ternganga. “Apa tuh?”

“Itu burung yang pegasnya bisa diputar,” kataku. “Setiap pagi. Di puncak pohon. Burung itulah yang memutar pegas dunia. Kreeeet.”

Ia terus saja memandangiku.

Aku mendesah. “Tercetus begitu saja dalam pikiranku,” kataku. “Dan ada lagi. Burung itu mampir di dekat rumahku setiap hari dan mulai berbunyi kreeet di pohon tetangga. Tapi tidak ada yang pernah melihatnya.”

“Menarik juga. Kalau begitu sebutanmu jadi Pak Burung Mainan. Masih rada susah juga sih bilangnya, tapi mending daripada Toru Okada.”

“Terima kasih banyak, ya.”

Ia mengangkat kakinya ke kursi dan menopang dagunya dengan lutut.

“Kalau nama kamu siapa?” tanyaku.

“May Kasahara. May… seperti nama bulan, Mei.”

“Kamu lahir bulan Mei?”

“Masih perlu tanya lagi, ya? Bisa bayangkan bingungnya kalau ada orang yang lahirnya bulan Juni dinamai Mei?”

“Kurasa kamu benar,” kataku. “Sepertinya kamu belum bersekolah lagi?”

“Sudah lama ini aku mengamatimu,” ucapnya, mengabaikan pertanyaanku. “Dari kamarku. Dengan teropongku. Aku melihatmu, masuk ke gerbang. Aku punya teropong kecil yang praktis, untuk mengamati apa saja yang terjadi di gang. Segala macam orang masuk ke sana. Sepertinya kamu belum tahu, ya. Dan bukan cuma orang. Binatang-binatang juga. Apa yang kamu lakukan sendirian di sini dari tadi?”

“Menyendiri,” kataku. “Merenungkan masa lalu. Bersiul.”

May Kasahara menggigiti kuku jempolnya.  “Kamu tuh rada aneh,” katanya.

“Aku tidak aneh. Orang-orang juga melakukannnya.”

“Mungkin begitu, tapi mereka kan tidak melakukannya di rumah tetangga yang kosong. Kamu kan bisa berdiam di halamanmu sendiri saja kalau kamu cuma mau menyendiri, merenungkan masa lalu, dan bersiul.”

Dia benar juga.

“Bagaimanapun juga, sepertinya Noboru Wataya belum pulang, ya?”

Kugelengkan kepala. “Dan sepertinya kamu belum melihatnya juga?” tanyaku.

“Tidak, dan aku mencari-carinya juga. Kucing loreng dengan garis-garis cokelat. Ekornya agak bengkok di ujungnya. Benar, kan?” Dari saku celana pendeknya, ia mengambil sebungkus rokok merek Hope dan menyalakannya dengan mancis. Setelah beberapa kepulan, ia menatap lekat ke arahku dan berkata, “Rambutmu agak menipis, ya?”

Serta-merta tanganku bergerak ke belakang kepala.

“Bukan di situ, tolol,” ucapnya. “Batas rambutmu yang sebelah depan. Lebih naik daripada semestinya, ya kan?”

“Aku tidak pernah benar-benar memerhatikannya.”

“Kalau aku sih iya,” katanya. “Itulah tandanya kamu bakal botak. Batas rambutmu mulai naik dan terus naik seperti ini.” Ia meraup segenggam rambutnya sendiri di bagian depan dan menyorongkan dahinya yang telanjang ke mukaku. “Sebaiknya kamu berhati-hati.”

Kusentuh batas rambutku. Mungkin ia benar. Mungkin batas rambutku itu agak mundur. Atau itu cuma bayanganku saja? Bertambah lagi hal yang mesti kecemaskan.

“Maksudmu bagaimana, ya?” tanyaku. “Bagaimana caranya berhati-hati?”

“Sepertinya memang tidak mungkin. Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Tidak ada yang bisa mencegah kebotakan. Orang yang bakal botak ya botak saja. Kalau sudah waktunya, itulah yang terjadi. Mereka jadi botak. Kamu tidak bisa menghentikannya. Ada yang bilang kamu bisa mencegah kebotakan dengan perawatan rambut yang tepat. Tapi itu omong kosong. Lihat saja gelandangan yang tidur di Stasiun Shinjuku. Mereka semua rambutnya lebat sekali. Menurutmu mereka keramas tiap hari dengan Clinique, Vidal Sassoon, atau menggosoknya dengan Lotion X? Itu kan yang bakal dibilang para pembuat kosmetik, untuk mengambil duitmu?”

“Aku yakin kamu benar,” ujarku, tertarik. “Kok kamu tahu banyak sih soal kebotakan?”

“Aku kan kerja paruh waktu di perusahaan rambut palsu. Sudah lama. Kamu tahu kan aku tidak sekolah, jadi aku punya banyak waktu luang. Aku mengerjakan survei dan kuisioner, semacam itulah. Jadi aku tahu semuanya soal laki-laki yang kehilangan rambutnya. Kepalaku berat dengan informasi soal itu.”

“Ya ampun,” kataku.

“Tapi kamu tahu tidak,” ucapnya, seraya menjatuhkan puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya, “di perusahaan tempatku bekerja, kamu tidak boleh bilang orang itu ‘botak’. Kamu harus mengatakannya ‘pria dengan problem penipisan rambut’. ‘Botak’ itu istilah yang mendiskriminasi. Pernah aku becanda dan mengusulkan ‘kaum pria yang tertantang oleh kantung rambutnya’, dan ampun deh, mereka betul-betul marah! ‘Ini bukan bahan tertawaan, nona muda,’ kata mereka. Mereka tuh terlaluuu serius. Mengerti, kan? Setiap orang di seluruh dunia terkutuk ini keterlaluan seriusnya.”

Aku mencomot permen lemonku, memasukkan satu ke mulutku, dan menawarkan yang lainnya pada May Kasahara. Ia menggelengkan kepala dan mengeluarkan rokok.

“Coba pikirkan itu, Pak Burung Mainan,” ujarnya, “kamu kan pengangguran. Masih tidak sih?”

“Pastinya.”

“Apa kamu serius soal bekerja?”

“Pastinya.” Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku mulai terpikir seberapa betulnyakah itu. “Sebenarnya aku tidak begitu pasti,” kataku. “Kurasa aku perlu waktu. Waktu untuk berpikir. Aku sendiri tidak begitu pasti dengan apa yang kubutuhkan. Sulit menjelaskannya.”

Sambil mengunyah kukunya, May Kasahara memandangiku sejenak. “Menurutku, Pak Burung Mainan,” ucapnya. “Kenapa tidak bekerja denganku saja kapan-kapan? Di perusahaan rambut palsu. Bayarannya tidak besar sih, tapi kerjanya gampang, dan kita boleh menentukan sendiri waktunya. Bagaimana menurutmu? Jangan lama-lama memikirkannya, lakukan saja. Supaya rutinitasmu tidak begitu melulu. Barangkali itu bisa membantumu memahami segalanya.”

Ia benar juga. “Kamu benar juga,” kataku.

“Bagus!” ujarnya. “Kali berikutnya aku ke sana, aku akan mampir dan menjemputmu. Nah, tadi kamu bilang rumahmu di sebelah mana?”

“Hmm, sulit juga. Atau mungkin tidak. Pokoknya kamu tinggal menyusuri gang ini saja, ikuti semua belokannya. Di sebelah kiri nanti ada rumah yang di bagian belakangnya ada Honda Civic diparkir. Di bempernya ada stiker ‘Semoga Ada Damai bagi Semua Orang di Dunia’. Rumah kami yang di sebelahnya, tapi tidak ada gerbang menuju gang. Adanya cuma dinding batako, jadi kamu harus memanjatnya. Tingginya kira-kira sedaguku.”

“Jangan khawatir. Dinding setinggi itu sih aku bisa, tidak masalah.”

“Loh, memangnya kakimu sudah tidak sakit?”

Ia mengembuskan asap dengan suara yang agak mendesah dan berkata, “Jangan khawatir. Ini tidak kenapa-kenapa kok. Aku pincang sewaktu ada orangtuaku saja soalnya aku tidak mau sekolah. Aku cuma pura-pura. Terus jadi kebiasaan deh. Aku melakukannya sekalipun sedang tidak ada siapa-siapa, sewaktu di kamarku sendirian saja. Aku ini perfeksionis. Apa sih itu istilahnya—‘Tipulah dirimu sendiri supaya bisa menipu orang lain’? Tapi bagaimanapun juga, Pak Burung Mainan, menurutmu, apa kamu ini punya nyali?”

“Tidak juga sih, tidak.”

“Tidak sama sekali?”

“Tidak, aku bukan orang yang punya nyali. Tidak ada kemungkinan berubah juga.”

“Kalau rasa penasaran?”

“Rasa penasaran itu lain. Kalau itu aku punya.”

“Eh, bukannya nyali dan rasa penasaran itu sama saja, ya?” ujar May Kasahara. “Kalau ada nyali, berarti ada rasa penasaran, dan kalau ada rasa penasaran, berarti ada nyali. Iya, tidak?”

“Hmm, mungkin memang mirip,” kataku. “Mungkin kamu benar. Mungkin kadang keduanya saling melengkapi.”

“Misalnya saja, sewaktu kamu menyelinap ke halaman belakang rumah orang.”

“Yah, seperti itu,” kataku, sambil membalikkan permen lemon di lidahku. “Sewaktu kita menyelinap ke halaman belakang rumah orang, sepertinya memang ada nyali sekaligus rasa penasaran. Rasa penasaran bisa memunculkan nyali kadang-kadang, bahkan bisa menggerakkan. Tapi biasanya rasa penasaran itu menguap. Nyali pun tidak muncul sampai lama. Rasa penasaran itu seperti teman seru-seruan yang tidak bisa dipercaya. Rasa penasaran membuatmu bangkit lalu meninggalkanmu supaya menanggungnya sendirian—dengan nyali apa pun yang bisa kamu kerahkan.”

Ia memikirkannya baik-baik sesaat. “Sepertinya begitu. Rasanya bisa dilihat seperti itu.” Ia bangkit dan membersihkan kotoran yang melekat di bagian belakang celana pendeknya. Lalu ia menunduk ke arahku. “Hei, Pak Burung Mainan, mau lihat sumur?”

“Sumur?” tanyaku. Sumur?

“Ada sumur kering di sini. Aku menyukainya. Lumayan. Mau melihatnya?”

*

Kami memintas halaman dan berjalan memutar ke sisi rumah. Sumur itu bundar, diameternya mungkin 1,5 meter. Papan tebal yang bentuk dan ukurannya menyesuaikan digunakan untuk menutupi sumur itu. Sepasang balok beton ditaruh di atas untuk menahannya. Pinggiran sumur itu tingginya kira-kira satu meter, dan di dekatnya ada sebatang pohon tua yang seakan menjaganya. Pohon itu pohon buah, tapi aku tidak tahu jenisnya.

Sebagaimana hampir semuanya yang bersangkutan dengan rumah ini, sumur itu kelihatannya seakan sudah ditelantarkan sejak lama. Sesuatu padanya terasa seakan sumur itu sepatutnya disebut sebagai “luapan kekakuan”. Barangkali sewaktu mata dipejamkan, benda mati akan terasa semakin mati.

Ketika diamati dari dekat, tampak bahwa sumur itu sebetulnya jauh lebih tua dibandingkan benda-benda lain yang mengelilinginya. Sumur itu dibuat pada masa yang lain, lama sebelum rumah itu dibangun. Bahkan tutup kayunya saja antik. Tepian sumur itu dilapisi dengan beton tebal, mestilah untuk menguatkan struktur yang telah lama dibuat itu. Pohon di dekatnya tampak jemawa karena sudah berdiri di sana jauh lebih lama daripada pohon lainnya di sekitar situ.

Aku menurunkan balok beton itu ke tanah dan mengangkat separuh tutup kayunya. Sambil memegangi tepian sumur, aku mencondongkan badan dan memandang ke bawah, tapi aku tidak bisa melihat dasarnya. Jelas ini sumur yang dalam, bagian bawahnya tertelan oleh kegelapan. Aku mengendus-endus. Baunya agak apak.

“Tidak ada airnya,” kata May Kasahara.

“Sumur yang tidak ada airnya. Burung yang tidak bisa terbang. Gang yang tidak ada ujungnya. Dan—“

May mencomot segumpal bata dari tanah dan melemparnya ke dalam sumur. Sebentar kemudian terdengar suara gedebuk kecil. Lalu sunyi. Suaranya kering sama sekali, garing, seakan dapat diremukkan dengan tangan. 

Aku menegakkan badan dan memandang May Kasahara. “Kok tidak ada airnya, ya. Apa sumur ini sudah kering? Apa ada yang menimbunnya?”

Ia mengangkat bahu. “Kalau orang menimbun sumur, bukannya mereka menimbunnya sampai ke atas? Buat apa membiarkan lubang kering begini. Bisa saja ada orang yang jatuh dan terluka. Bukannya begitu?”

“Kurasa kamu benar,” kataku. “Barangkali ada orang yang mengeringkan airnya.”

Mendadak aku teringat pada kata-kata Pak Honda dulu sekali. “Kalau kamu mesti naik, temukanlah menara paling tinggi, dan panjatlah sampai puncaknya. Kalau kamu mesti turun, temukanlah sumur terdalam dan turunlah ke dasarnya.” Jadi sekarang sumurnya sudah ada jikalau aku membutuhkannya.

Aku mencondongkan badan lagi ke arah sumur itu dan memandangi kegelapannya, tanpa mengharapkan sesuatu pun. Jadi, pikirku, di tempat seperti ini, pada siang bolong seperti ini, ada kegelapan yang sedalam ini. Aku berdeham dan berdeguk. Suaranya memantul dalam kegelapan, seakan ada orang lainnya yang juga berdeham. Ludahku masih berasa permen lemon.

*

Aku menutup lagi sumur itu dan mengembalikan balok pada permukaannya. Lalu kutengok jam tangan. Hampir pukul setengah dua belas. Waktunya menelepon Kumiko pada jam makan siangnya.

“Sepertinya aku pulang saja,” kataku.

May Kasahara agak merengut. “Pergilah, Pak Burung Mainan,” ujarnya. “Terbanglah ke rumah.”

Sewaktu kami melintasi halaman, si patung burung masih menyorot langit dengan matanya yang hampa. Langitnya sendiri masih tersaput oleh awan kelabu yang tidak putus-putus, tapi setidaknya hujannya sudah berhenti. May Kasahara mencabut segenggam rumput dan melontarnya ke langit. Karena tidak ada angin yang membawanya, bilah-bilah rumput itu pun jatuh ke kaki gadis itu.

“Pikirkan waktu yang tersisa antara sekarang dan waktunya matahari terbenam,” ucapnya tanpa melihatku.

“Benar,” kataku. “Ada banyak waktu.”



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...