Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170113

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (1/6) (Paul Murray, 2003)

“Rasanya sangat drastis ….”

“Enggak sama sekali. Sampean bakal terkejut betapa banyaknya orang yang berbuat itu akhir-akhir ini.”

MacGillycuddy tengah duduk di bangku seberang, sekarung kiriman bersandar di tumitnya. “Orang dari segala profesi, dari pengacara hebat sampai penjual sayur bersahaja. Jauh lebih lazim daripada yang sampean kira.”

Seekor jalak hitam melompat-lompat pada lis atap rapuh di atas kami. Suara MacGillycuddy serasa terdengar dari kejauhan. “Bagian matinya itulah yang mengusikmu. Itu respons alamiah, sampean mendengar kata itu lalu jadi cemas. Tetapi pokoknya, sampean enggak mati. Sampean pura-pura mati. Ah, itu langkah besar, aku enggak menyangkal. Tetapi sebetulnya itu enggak jauh lebih besar daripada, katakanlah, memperbaiki dapur, atau membeli mobil baru.”

“Mmm ….” Juntaian lebat ivy menutupi pintu gazebo, menyaring cahaya lembap dari kebun buah yang tumbuh tak keruan di sebelah luar. Barangkali ivy-lah yang menyatukan seluruh kebun itu, pikirku murung. Tak ada lagi orang yang menghampiri pojok kebun sebelah sini.

“Soal lain yang cenderung dicemaskan orang,” ucapnya, “yaitu kehilangan identitas. Enggak ada solusinya, identitas seseorang itu sangatlah spesial. Enggak ada yang mengungkapkan dirimu sebagaimana identitasmu, dan setelah kehilangan identitasnya setiap orang harus berdamai dengan caranya masing-masing.” Duduknya bergeser-geser, dan ia mengangkat sebatang jarinya dengan gaya filosofis. “Yang penting ialah memiliki sikap positif. Tidak ada gunanya memalsukan kematian jika sampean enggak hendak memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya. Jadi maksudku, lihatlah ini sebagai kesempatan. Jangan berpikir akan kehilangan identitas asli; anggaplah sebagai pertukaran identitas lama dengan yang baru. Berapa banyak sih orang yang bisa memiliki dua identitas?” Tatapannya padaku menyelidik.

“Tidak banyak,” aku menyerah.

“Tepat. Jadi bersenang-senanglah. Pikirkanlah selama ini sampean ingin jadi siapa dan—yah, aku yakin sampean punya banyak ide sendiri. Maksudku, itu enggak harus jadi hal negatif. Aku sudah beberapa kali melakukan ini dengan baik dan secara jujur bisa dibilang bahwa sedikit banyak aku iri, bisa meninggalkan kehidupan dan orang-orang yang dicintai. Ini seperti liburan besar. Tetapi bagaimana menurutmu, apa ini kedengarannya semakin menarik?

Aku mempertimbangkannya. Dengan mengesampingkan nadanya yang menjual, MacGillycuddy tampaknya benar-benar memahami soal penggelapan asuransi, dan walau masih ada rasa perih di ulu hatiku kekhawatiranmu mulai memudar. “Dan kamu yakin polisnya akan dibayarkan?”

“Begitulah.” Ia menghantam kertas di pahanya. “Mati kebetulan, enggak mungkin gagal.” Terdengar gemuruh pelan dari sebelah luar sementara Mbok P menyeret sampah menuruni jalan di halaman menuju gerbang. Mendapatiku masih ragu, MacGillycuddy menyambung: “Begini. Kita sudah tahu gambarannya. Sampean bukan orang pertama yang mengalami keadaan ini. Sampean peduli pada keluarga. Bank mau mengambil rumah. Sampean punya masalah, inilah pemecahannya. Sesederhana itu.” Ia terdiam dengan gaya Socrates. Sambil meluruskan punggung, lama ia meneguk susu dari gelasnya.

Aku menautkan jemari dan mengkaji lantai papan yang melengkung. Suatu hari, sebelum segalanya menjadi masalah, aku dan Patsy Olé menghabiskan semalam nan indah di sini di balik hutan lembap, dibuai oleh gerit, gersik, serta riak di kejauhan. Dan sekarang harus menundukkan kepala dan menghilang …. Besarnya rencana ini menyulitkan untuk dapat berpikir lurus. Namun langkah besarlah yang dibutuhkan kini: keberanian, pengorbanan, keningratan nan anggun pada aristokrat sejati—sprezzatura, suatu hal yang agung dan altruistis, dan absurd kalau terjeblos di antara gigi para Golem—

“Jadi?”

Ada baris dalam sajak Yeats: Runtuh, dan sejarah menjadi omong-kosong, Segala keagungan lalu bagi orang-orang bodoh nan merana—

“Aku akan melakukannya,” ucapku.

“Bagus,” sahut MacGillycuddy berseri-seri menyerupai Faust[1], seraya merogoh pensil dan kertas di dalam jaketnya. “Nah, mengenai perinciannya ….”

Orang mungkin mengira ada banyak yang mesti dilakukan untuk mengakhiri sesuatu yang serumit kehidupan: begitu banyak yang mesti dibereskan! Begitu banyak tindakan penghabisan yang mesti dirancang! Namun aku terkejut—aku cemas—setelah pagi itu segalanya telah diatur, hari-hari di antaranya menggelincir sehingga rasanya sebentar aku berada bersama MacGillycuddy di gazebo bobrok, dan selanjutnya berdiri muram di balik gorden, mengamati Sabtu fajar yang putih pucat, hamparan embun beku di pekarangan, serta burung-burung camar laut meratapi feri yang berangkat pagi di kejauhan nan biru bening; kemudian menuruni tangga demi menghitung kehampaan selama jam-jam terakhir yang tak ada habisnya itu, sambil bergentayangan dari ruangan ke ruangan bagaikan hantu saat senja, atau bergalau di dapur menjengkelkan Mbok P—

“Enggak pakai ginseng?”

“Tidak,” sembari menurunkan sebotol bumbu dari lemari. “Saya sudah kasih tahu, Tuan Charles, di rumah tidak ada ginseng—“

“Baiklah, bagaimana dengan cula badak, apa kita punya bubuk cula badak?”

“Tuan Charles, saya tidak tahu resep yang Tuan pikirkan itu, tetapi saya yakin sekali bahwa osso buco[2] tidak membutuhkan ginseng, cula badak, lalat Spanyol, atau apa pun yang Tuan katakan itu.”

“Yah, baik, tetapi ... maksudku setidaknya nanti bakal ada tiram, kan?”

“Ya, Tuan Charles, tetapi tolonglah, ripuh rasanya kalau Tuan terus-terusan mengawasi saya bekerja ....”

“Oh—baiklah.”

“Dan Tuan tidak akan sanggup makan malam kalau terus-terusan memakan semua biskuit itu.”

“Aku enggak tahan,” sahutku beribu-ribu maaf, seraya kembali menutup kaleng. “Rasanya aku enggak bisa berhenti, pasti karena gugup atau apalah.”

“Mmm.” Ia mengambil secubit ketumbar dari botol dan mengaduknya dalam panci yang berasap. “Tuan Charles, maafkan saya tetapi akhir-akhir ini saya mendengar Tuan berbicara dengan Nona Bel ....”

“Oh?”

“Ya,” lanjutnya bimbang, sambil tetap memunggungiku, “sewaktu Tuan bilang bank akan datang untuk mengambil rumah ini ....”

“Aku paham.”

Kini ia berpaling padaku. Kerut-merut penderitaan kentara di seputar matanya yang lelah. “Apa yang akan terjadi, Tuan Charles? Ke mana kita akan pergi?”

Aku tidak merasa harus membahas ini dengan Mbok P, urusan yang terutama demi keluarga; namun, ia berhak memperoleh kepastian. “Aku tidak perlu mengkhawatirkan soal bank, Mbok P. Itu urusan gampang.” Aku menyentuh bahunya dan menambahkan dengan nada berahasia: “Lagi pula, aku sudah mengurusnya.”

Ia tampaknya tidak begitu lega mendengar ini, namun berpaling saja ke panci tanpa menanggapi lagi.

“Aku akan pergi dan memeriksa ruang makan,” ucapku ringan seraya meregangkan diri. “Mbok baik-baik saja kan di sini? Mbok enggak merasa, tahu kan, marah atau apalah?” Ia menderak-derakkan panci bergagang sebagai tanggapan. Sementara berjalan keluar, aku berhenti untuk memandangnya kembali, berusaha merekam sosoknya: kedua sikunya yang merah di antara panci-panci beruap, gelungan rambutnya yang ketat, lengkungan lembut gemuk di bawah dagunya ….

Aduh!”

… dan berpaling lekas ke pintu tepat ke arah Bel. “Sori,” aku mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit. “Sini, biar kubawakan ….”

“Enggak apa-apa—tunggu, kamu baik-baik saja?”

“Aku? Ya, tentu saja. Cuma ada sesuatu di mataku.”

Aku mengikutinya ke ruang makan, tempat ia meletakkan kotak perhiasan dan menyeka debu dari blusnya.

“Seberapa banyak sih yang mau kamu turunkan? Sebab di loteng ada peti-peti berisi barang keluarga Bunda, kalau kamu mau ….”

“Sebenarnya, kurasa tempatnya sudah tidak muat.” Kami melontarkan pandang ke seluruh ruangan.

“Kelihatannya seperti gua Aladin ….” Harta benda berkedip dan berkilauan dari segala penjuru: gelang, cincin, dan rantai kaki, batu lapis dan permata, akik dan safir, arca Hindu, permadani Turki, pedang dan pistol antik, beberapa karya seni aneh dari Afrika, mutiara hijau Tahiti yang menyeramkan, planetarium, amulet, selendang Bizantium …. “Entahlah Charles, ini kelihatannya pamer banget. Maksudku, kalau Caligula yang mau datang makan malam sih, ini bisa dimaklumi. Tetapi ini Laura. Dan kedatangannya untuk membicarakan asuransi.”

“Yah, banyak barang di sini yang bisa diasuransikan olehnya, tidakkah menurutmu ia bakal senang?”

“Jangan bawa-bawa kalkulator dan tabel aktuaria, aku yakin itu bakal bikin dia sibuk.”

“Ya, masukanmu sangat membantu, nah bisakah kamu pegang tangganya sebentar ….”

Awalnya, sewaktu menyadari aku ada dua perjanjian, sebagaimana yang kini terjadi, aku merasa harus membatalkan acara makan malamnya. Sepintas, tidak banyak gunanya memantik roman dengan Laura jika aku hendak, dengan segala maksud dan tujuan, mati keesokan paginya. Namun semakin aku memikirkan itu—betapa lama aku menanti tibanya malam ini, betapa banyak aku memimpikan momen ketika ia berjalan melewati pintu—semakin aku mulai bertanya-tanya apakah kedua peristiwa ini entah bagaimana berhubungan. Mungkinkah pertemuan pertamaku dengan Laura dan pelarianku dari Amaurot ditakdirkan agar terjadi bersamaan? Apakah Takdir ini tengah menunjukkan maksudnya, memberitahuku bahwa nasib kami harus tetap terjalin? Jika ikatan di antara kami sekuat yang kurasakan, mungkinkah—hampir aku tak berani memikirkannya—mungkinkah entah bagaimana kami melanjutkannya bersama-sama, hingga ke alam baka, katakanlah? Bahwa ia akan membersamaiku dalam kehidupanku yang baru?

Singkat kata, walau rasanya agak merepotkan, aku memutuskan bahwa bagaimanapun juga makan malamnya harus berjalan. Akan tetapi, mengingat keadaan, dan meskipun takdir kami bersilangan, kupikir akan bijaksana untuk memburu-burukan sebisa mungkin. Inilah sebabnya aku memasukkan afrodisiak ke dalam menu sebanyak yang diperbolehkan Mbok P, serta mengumpulkan barang-barang berharga keluarga dari berbagai tempat di seputar rumah dan memindahkannya secara en masse ke ruang makan untuk malam ini (walau aku punya alasan tersembunyi untuk aksi selanjutnya yang akan tetap rahasia hingga nanti). Mungkin Bel benar, mungkin ini sok pamer, tetapi inilah kesempatan terakhirku untuk menyilaukan orang dengan pameran kekayaan yang fantastis, dan kupikir aku mesti memaksimalkannya. Lagi pula, jiwa pragmatis dalam diriku mendesak supaya aku melancarkan rayuan selagi aku punya akses ke perangkat yang dibutuhkan, yaitu, ranjang; orang biasanya tidak suka memburu-burukan hal ini, namun sementara ini aku tidak tahu posisiku berada dua hari lagi, dan Casanova sendiri barangkali sudah hilang akal jika setelah segala kerja kerasnya ia harus meminta para kekasih gelapnya kembali ke sepetak rumput nyaman, atau ke balik tempat pembuangan sampah.

“Aku mau tanya—iyuh, Charles, di mana kamu menemukan ini?”

“Itu namanya shunga, bentuk seni Jepang yang sangat kuno dan indah …” sambil menyangganya di samping bros cameo dari zaman Victoria.

“Apa yang dilakukan lelaki itu pada si perempuan? Apa dia punya dua penis? –aku mau menanyaimu soal Mbok P, bukankah kemarin kamu memberinya libur seminggu?”

“Ya, tetapi—“

“Sebab ia sudah banting tulang di dapur sepanjang hari.”

“Ya, tetapi aku hampir enggak bisa memasak makan malam untuk diriku sendiri, kan? Enggak setelah yang terakhir itu, maksudku aku enggak ingin meracuni cewek itu—“

“Masalahnya—topas ini bagusnya di samping chryselephantine[3], bukan benda gading kecil ini—aku mulai merasa kamu benar soal Mbok P jadi agak, tahulah … sebab kamu mungkin enggak mendengar, cuma beberapa malam ini ia semacam menjerit-jerit ….”

Menjerit-jerit?”

“Yah, mungkin persisnya bukan menjerit, tetapi memanggil orang.”

“Kamu yakin itu bukan merak?” Sejak dikerubuti parasit, merak-merak itu bergaduh heboh, suaranya membuatku merinding—

“Bukan, itu jelas-jelas dia. Tiap malam pukul tiga atau empat dini hari. Kedengarannya menakutkan. Hari ini aku menanyainya apakah tidurnya nyenyak dan kelihatannya ia enggak paham yang kukatakan.”

“Biar begitu, rasa masakannya tidak terpengaruh kok.”

“Tetapi seharusnya ia enggak bekerja, Charles. Ia kelelahan. Sudahkah aku memberitahumu teoriku tentang dia? Aku membuat teori tentang dia.”

“Hmmm?” sambil menuruni tangga dan melangkah ke belakang untuk meninjau pameran tersebut dari ujung meja makan.

“Kupikir ini karena peristiwa di Kosovo. Tahu kan, ia suka menonton semua laporan berita. Ia hampir-hampir kecanduan. Kupikir gara-gara itu ia jadi kacau lebih daripada yang diperlihatkannya pada kita.”

“Mmm.” Aku menyipitkan mata ke arah meja rias melalui bingkai jempol dan telunjuk. “Tetapi, bukankah sekarang semua itu sudah berakhir? Bukankah NATO menang?” Rasanya aku ingat akhir-akhir ini para tukang bangunan mengutarakan tentang NATO memenangkan suatu perang dengan menjatuhkan bom pada orang-orang entah di mana.

“Yah, bisa jadi itu reaksi yang datang terlambat. Karena perang sudah berakhir dan orang-orang Kosovo pada balik, baru sekarang ia terpukul. Mungkin reaksinya begitu juga sewaktu orang-orang Serbia menyerbu Bosnia atau Kroasia atau dari mana pun ia berasal …. Ya Tuhan, Charles, bisakah kamu membayangkan rasanya, semua orang malang di perkemahan yang buruk itu cuma menunggu dan mendengarkan cerita horor tentang orang-orang yang enggak melarikan diri—enggak heran ia mengalami mimpi buruk ….”

“Sehabis malam ini, ia bisa beristirahat panjang yang tenang,” ujarku. Timbunan barang berharga ini tampak bercahaya dengan sendirinya, cahaya tua renta yang berdebar dan berdesir melingkupinya—

“Sehabis minggu depan ia akan menganggur,” sungut Bel, dan menatap jam tangannya. “Kamu sudah kelar? Aku harus berangkat.”

“Oh, oke, terima kasih sudah bantu-bantu,” sambil buru-buru menggaet lengannya, “kamu balik kan malam ini?”

“Ya, mungkin—kenapa kamu menatapku seperti itu?”

“Bukan apa-apa, cuma kupikir nanti bakal, tahulah, senang saja melihatmu ….”

Ia mengangkat alisnya ragu-ragu. “Baiklah, akan kuusahakan. Tetapi aku harus pergi nih.” Terdengar derak van mendaki jalan di halaman. “Taik!” Ia melangkah panjang-panjang menaiki tangga. Aku mendengar gerantangnya saat turun kembali dan ia menjambret mantelnya dari lemari dinding, menyambut Frank di pintu lantas lenyap diiringi obrolan terburu-buru yang riang; dan untuk sesaat lebih lama aku berdiri berayun-ayun pada tumitku seakan-akan kepalaku habis dipentung. Malam ini, batinku, seraya menarik napas: malam ini akan ada waktunya untuk bicara. Sekarang, dengan satu-dua jam yang tersisa, aku kembali pada pengembaraan sunyiku mengarungi rumah, dari ruangan ke ruangan nan kosong, bersama kupu-kupu dalam perutku serta cahaya yang mengabur dan menyilau sepanjang tepian segala sesuatu yang kupandangi seakan-akan berseru padaku selamat tinggal, selamat tinggal—

Telepon di bawah berdering. “Eh, halo, apa ini … C?”

“Alah, MacGillycuddy, apa lagi kali ini?”

“Aku menelepon hanya untuk memastikan segalanya sudah jelas untuk malam ini.”

“Kita sudah membahasnya ratusan kali, tentu saja semuanya jelas.”

“Baik,” ujarnya. “Jadi sampean positif mau melakukannya begitu?”

“Ya, aku positif—begini, MacGillycuddy, bisa enggak kamu menerima saja beginilah yang ingin kuperbuat, dan berhenti berusaha mengubah pikiranku? Itu bukan sekadar lamunan kosong, mengerti kan—“

“Baik,” sahutnya lagi.

“Aku sudah mempertimbangkannya sungguh-sungguh, dan secara simbolis boleh dikatakan inilah cara yang betul-betul terbaik untuk membereskan segalanya.”

“Bagus. Dan itu keputusan akhirmu?”

“Ya.”

Muncul jeda termenung. “Maksudku, sampean yakin enggak mau tenggelam, misalkan saja?”

Tenggelam—hah, aku cuma bakalan terjun ke laut, ya kan? Bagaimana kesannya itu padaku nanti?

“Jadi, taruhlah begini, ceritanya sudah larut malam, sampean minum beberapa gelas—ini rencana sudah tetap, ya, kalau sampean mau—sampean bilang mau makan angin sebentar di sekitar pinggir jurang untuk menjernihkan pikiran. Nah, jurang itu bagi para pemalsu-kematian benar-benar merupakan berkah, sampean harus tahu itu. Entah bagaimana sampean enggak balik, dan keesokan paginya kami menemukan jam saku di dahan terjulur—“

“M,” sambil mengalihkan gagang telepon dari satu tangan ke tangan lain dengan gusar, “ini aku yang mati, ya, dan kalau kamu kira aku bakal membiarkan setiap orang yang kukenal mengatakan, Oh, kasihan Charles, lagi-lagi mabuk, memalukan saja—maka mendapatkan suasana yang pas itu penting, tahu?” Orang ini benar-benar tidak mengerti soal suasana. “Suasananya tuh harus kena. Ini kematian yang harus memberi orang-orang jeda, supaya mereka mengheningkan cipta, merenungkan lagi harkat mereka, menyadari bahwa aku yang benar dan merekalah yang salah. Dalam kaitannya dengan—“

“Simbolisme, iya, iya,” MacGillycuddy menyela, “tentu saja, iya, sampean memang harus memerhatikan soal itu. Tetapi hal lain yang sampean harus pastikan yaitu apa itu realistis, sampean kan tahu polisi—“

Realisme?!” ulangku tak percaya. “Kapan sih kalian orang-orang bakal berhenti mempersoalkan realisme terkutuk? Apa orang bahkan enggak boleh mati, tanpa harus merisaukan kematiannya itu realistis atau enggak?”

“Tetapi, Folly kan enggak tahu-tahu saja meledak.”

“Tentu saja bisa, selalu ada saja benda yang meledak.”

“Iya, tetapi biasanya ada sebabnya dan bukan cuma karena—“

“Akan ada sebabnya,” apakah ia menganggapku tolol, pesolek bertangan pengkor yang buta akan cara dunia berjalan dan penyebab adanya ledakan?

Gagasan itu menghampiriku baru beberapa hari lalu, sewaktu para tukang bangunan menjelaskan tentang pemogokan terakhir mereka—ada hubungannya dengan bujukan pemerintah agar negara bergabung dalam NATO sementara Dail[4] ditutup selama liburan musim panas: “Malu-maluin aja, Pak H, apalagi habis kejadian belakangan. Sekutu Perdamaian apaan, paling-paling nimbunin misil di kebun belakang atau ngebomin rumah sakit—“

“Ya, aku, mmm ….”

“Jadi, nanti lagi, ya. Oh, iya, kami belum kelar masang gasnya, jadi jangan dulu nyalain api di dalam atau apa gitu, ha ha! Dah.”

Aku menerangkan semua ini pada MacGillycuddy. “Jadi mengerti kan, ini sangat masuk akal: ceritanya sudah larut malam, aku keluar menuju Folly untuk meninjaunya sebentar sebelum tidur, lalu enggak sengaja aku menyalakan api buat apalah, dan bum! Aku meledak berkeping-keping. Paling-paling orang tahunya itu karena kebocoran gas. Ini sepenuhnya meyakinkan. Kejadian seperti ini barangkali sudah lazim, begitulah. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Baiklah,” desah MacGillycuddy, “baiklah. Akan kusiapkan.” Dan ia menyebutkan waktu ketika aku, Charles, harus berada di Folly sepatutnya aku ingin meledak bersama bangunan itu.

“Bagaimana perkara lainnya?” sambungku. “Perangkap Frank, tahu kan yang mesti kamu perbuat?”

“Ya, siaga di sebelah luar ruang tamu pada—“

“Bukan ruang tamu, sialan, ruang makan! Semuanya ada di ruang makan, enggak ada apa-apa di ruang tamu, buat apa memfilmkan tempat itu?”

“Oke,” sahutnya lambat-lambat, “jadi aku siaga di sebelah luar ruang makan dari pukul sebelas, dan kalau-kalau ia mengambil apa pun—“

“Oh, ia pasti mengambil sesuatu, kendali dirinya seperti pelacur Tesalonika—“

“—lalu filmnya kuberikan pada adikmu, betul begitu?”

“Ya, tanpa nama, ya, dia enggak boleh tahu pembuatnya. Dengan begini aku sekadar menunjukkan fakta, aku enggak melanggar kesepakatan—kami punya kesepakatan, mengerti kan.”

“Ah baik ….” Di luar, petang mulai luruh; tidak lama lagi Laura tiba. Buru-buru kami mencermati perincian sisanya, perkara-perkara yang relatif remeh—ia akan memperoleh uang tunai dari diriku, dan memesankan tiket pesawat dengan nama samaran. “Kenapa Cile?” tanyanya.

“Karena anggurnya lah.”

“Oh.”

“Pasti lah ada masalah penyesuaian diri, kesembronoan masa muda, tetapi itu semata menunjukkan tanda menuju kedewasaan yang gemilang.”

“Oh,” ucapnya lagi, lantas, setelah berjeda: “Begini, kalau-kalau aku enggak bertemu sampean lagi, semoga semuanya baik-baik saja, ya? Serius ini.”

“Terima kasih,” sahutku, agak tersentuh; dan gagang telepon pun mengeklik putus di telingaku.

Lagi-lagi aku merasa ada cengkeraman dingin pada perutku. Sudah tidak bisa kembali lagi sekarang; bunyi klik tadi telah mengakhiri masa beliaku. Pengasinganku dari Amaurot sudah nyata dimulai. Sesaat aku panik: ke mana aku akan pergi? Apa yang akan kuperbuat? Apa ada roti sabit di Cile? Tetapi itu hanya sesaat. MacGillycuddy benar, orang harus bersikap positif; dan dilihat dari sudut pandang lain ini menggairahkan, mengalami kehidupan yang sarat persekongkolan dan akal bulus. Barangkali inilah yang dirasakan semua orang lainnya, berbaris ke kantor atau pabrik stoples tempat mereka bekerja setiap pagi. Bagi mereka, setiap hari merupakan petualangan baru. Dan sebentar lagi, tentunya, aku akan berada di antara mereka; sebentar lagi aku akan berada di tempat yang sangat jauh dari sini, membebaskan diri dari segala kesulitanku, dan apa pun yang terjadi tidak akan ada lagi artinya bagiku …. Meski, terlepas dari upaya terbaikku, sebagian diriku sudah memelihara mimpi akan suatu hari pada masa depan yang samar ketika aku akan kembali: merayap melintasi rumput selebat jenggot Fidel Castro dan melawan keletihan demi mengintip lewat gorden ruang duduk, tempat Bel dan Bunda—yang sudah menua dan berambut perak—berjeda di sela menjahit dan dengan prihatin mengenang putra dan abang mereka yang mulia, yang tempat duduknya di muka perapian masih terpelihara; lantas meneruskan kembali jahitan mereka, aman dan tenteram dalam ilusi megah yang kuwariskan pada mereka ….



[1] Alkimis dalam legenda Jerman yang menjual jiwanya pada roh jahat Mephistopheles demi memperoleh ilmu pengetahuan dan kekuasaan duniawi.
[2] Makanan khas Italia berupa sumsum sapi yang direbus dengan sayur, anggur putih, dan kaldu.
[3] Pahatan terbuat dari gading dan emas dari masa Yunani kuno
[4] Majelis rendah parlemen Republik Irlandia
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...