Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20171006

Tana (Giulio Mozzi, 1993)

Hujan turun sejak pagi. Tana dalam perjalanan pulang sekolah. Tiap Kamis sore ada pelajaran menjahit, dan sekarang ketika di bis, Tana menyadari bahwa inilah kali pertama ia pulang sekolah saat langit gelap. Bisa terus seperti ini hingga berbulan-bulan. Di luar dingin dan hujan, sementara bis yang dinaiki Tana, yang disesaki anak-anak lelaki dan perempuan, para murid sekolahan, panas beruap. Jendela-jendela bis berkabut. Ada yang berhasil membuka paksa salah satu jendela itu, sehingga Tana, yang sudah berkeringat, jadi membeku. Pikirnya: bisa-bisa aku sakit, tidak sekolah seminggu. Ia tidak berusaha untuk menyingkir dari aliran angin itu. Ia tidak memprotes. Hujan menampar wajahnya, matanya. Sudah beberapa lama ini hujan tidak turun sehingga kota dan udara penuh debu. Tana merasakan hujan menghunjami wajahnya, matanya.

Bis itu ramainya bukan main, namun saking banyaknya suara menjejali kepala Tana hingga semua penumpang seolah-olah membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Mereka tertawa tanpa suara. Tana ingat pernah membaca di ensiklopedia tentang suku Indian di Amerika Selatan yang hidupnya dikelilingi oleh musuh yang ganas. Alhasil, orang-orang suku itu hampir tidak pernah berbicara dan paling-paling hanya berbisik. Mulut anak-anak dibebat sampai mereka mempelajari aturannya. Mereka memutus pita suara anjing-anjing pemburu mereka dengan pisau khusus yang panjang dan tajam. Dengan begitu musuh tidak akan mendengar suara mereka. Semua orang di desa itu bergerak dengan teramat berhati-hati, dengan langkah sunyi. Mereka tidak menyalakan api. Jangan-jangan, pikir Tana, desanya pun bukan desa sungguhan. Tiap orang memiliki sebuah selubung, dan selubung yang menutupi kepalanya itulah yang menjadi rumah. Dengan terkurung dalam rumahnya itu, dari kejauhan orang tersebut mestilah tampak persis menyerupai belukar yang gundul, atau akar sebatang pohon tumbang yang membusuk, atau kerangka hewan yang terabaikan. Benda yang tidak akan menarik siapa pun. Mereka memakan hewan yang mereka bunuh mentah-mentah supaya tidak tercium aroma masakan, dan mereka memakannya hingga potongan terakhir, hingga carikan kulit dan tulang terakhir, hingga bulu terakhir, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mungkin juga suku tersebut tidak pernah berkumpul bersama-sama. Tiap orang mengembara sendiri-sendiri dalam rimbunnya hutan basah, suami istri bertemu sesekali saja, selalu di tempat yang berbeda-beda, selalu pada waktu yang ditetapkan menurut aturan yang berbeda-beda. Walaupun seringnya, supaya aman, mereka tidak mengadakan pertemuan sama sekali. Atau yang lebih mungkin, lelaki suku itu mengembara di hutan, dengan berserah pada nasib atau para dewa jika ia bertemu seorang perempuan, dan jika itu terjadi, maka perempuan itu akan menjadi istrinya, dan jika ia bertemu seorang lelaki, maka lelaki itu akan menjadi kawan atau lawan.

Sudah sampai di perhentian. Tana melompat. Awalnya gerombolan murid seperti menahannya kuat-kuat, namun kemudian mereka mendesaknya dengan tenaga yang tidak kira-kira. Tana tersandung ke trotoar, kebingungan. Ia terlambat membuka payung sehingga hujan menyusuri rambut dan lehernya. Di atas papan tanda pemberhentian bis terdapat jam listrik. Perjalanan itu memakan waktu hampir sejam alih-alih dua puluh menit sebagaimana biasa.

Tana menggigil. Ranselnya terasa berat. Lengannya yang memegang payung sudah kepayahan, nyeri. Pakaiannya sedingin es. Mudah-mudahan kali ini aku sakit, pikirnya. Nanti malam aku akan minum kaldu dari rebusan daging kemarin, panas-panas dan sedap pula, dengan roti. Aku juga akan minum sedikit anggur supaya demam. Aku akan memakai dua lapis piama serta selimut tambahan supaya berkeringat banyak. Aku ingin di kasur saja seminggu—aku ingin di kasur lama-lama sampai enek dengan kasurku. Pelan-pelan Tana berjalan, nyaris tidak dapat melihat apa pun. Payungnya menaungi wajah supaya tidak kena hunjaman hujan. Ia tidak berupaya menghindari genangan hujan. Bagus, pikirnya, aku bakal tambah sakit. Dan aku bisa memperoleh sepatu sebanyak yang kuinginkan. Mobil-mobil yang melintas menciprati pahanya. Tali sepatunya lepas, celana legging bunga-bunganya kuyup, jaketnya yang berbahan berat berbau seperti anjing kebasahan. Tana berjalan menyisi. Ia hampir-hampir tidak dapat melihat lampu lalu lintas di ujung jalan, yang hanya sekitar lima puluh meter jauhnya.

Ketika menyeberangi jalan di samping lampu lalu lintas itulah ia melihat si malaikat. Yang ia lihat sebenarnya segunduk bulu, sebentuk bola yang menempel pada pintu kerek toko pangan yang sedang tutup. Kaca depan toko itu agak menjorok ke dalam sekitar setengah meter, sehingga bulu-bulu tersebut setidaknya agak terlindung dari hujan. Bisa dibilang bulu-bulu itu berwarna putih, namun kotor karena hujan dan lumpur. Lumpurnya merah-kehitaman sehingga Tana mengira itu darah. Dengan berhati-hati Tana mendekat, seraya mencengkeram payungnya yang terbuka ke arah depan, bersiap-siap untuk melindungi diri. Yang Tana lihat itu menyerupai burung besar, namun setelah ia mengitari dari jarak dekat, terdapat sebelah kaki yang amat pucat, terkulai lemas menyembul dari bawah selubung sayap. Ia melangkah maju dan melihat bahwa gundukan bulu itu agak tersentak-sentak, berguncang tak keruan tak terkendali. Ia maju lebih dekat dan mencoba berbicara. Ia tidak tahu yang mesti dikatakannya. Ia berucap, “Ada apa?” yang lebih menyerupai bisikan daripada yang ia hendaki, dan seketika itu pula ia merasa “Ada apa?” merupakan perkataan yang betul-betul tolol. Kalau begitu, apa dong yang mesti ia katakan? Ia bergerak semakin dekat, memindahkan payung ke tangan kiri, menjulurkan tangan kanan, dan menyentuh gundukan bulu itu. Ia membungkukkan badannya di atas gundukan bulu itu. Gundukan bulu itu mengentak-entak, sayapnya agak bergerak-gerak, dan di baliknya Tana melihat sejumput rambut pirang yang berlumur hujan dan debu. Ia mencoba menarik sayap itu ke sisi—sayap itu agak memberontak—dan tampak seraut wajah dengan mata terpejam. Ia menyentuh dahi malaikat itu, yang terasa dingin namun tidak sampai sedingin es. Dahi itu bergeming saja ketika disentuh. Sekali lagi Tana bertanya, “Ada apa?” namun tidak ada jawaban. Lalu ia bertanya: “Kau bisa berdiri?” yang dijawab bulu-bulu itu dengan gemetar tak menentu. Pasti maksudnya tidak, Tana memutuskan, lalu menutup payung dan menyelipkan benda itu ke simpai ransel. Ia menyeluk bulu sayap si malaikat dan mengangkat ketiaknya. Tidak sulit, sekalipun ranselnya menggoyahkan. Si malaikat bertubuh lebih besar daripada Tana namun tidak sebegitu berat. Tana menyelipkan bahunya di bawah ketiak kiri si malaikat, melingkarkan lengan kanannya pada pinggang si malaikat, lalu ke bahu makhluk itu, sementara tangan kirinya memegangi lengan kiri makhluk itu. Ia menengadah ke wajah si malaikat, ke matanya, yang rupanya agak membuka. Ucap Tana, “Ayo—kau bisa,” dan mereka pun beranjak.

Si malaikat terus-terusan hampir jatuh, namun begitu mereka berdua nyaris terjungkir ke trotoar yang banjir, kakinya memijak. Tana tinggal di kondominium kelima di kiri jalan, tepat sebelum tanggul. Jalanan lengang. Pintu geser pada bangunan-bangunan di situ diturunkan untuk mencegah masuknya hujan. Tana berucap pada interkom, “Aku pulang,” lalu mendorong si malaikat masuk ke elevator. Ia menyandarkan si malaikat pada cermin elevator dan melepaskan pegangannya. Ranselnya ia jatuhkan. Ketika sampai di lantai tempatnya tinggal, ia membantu si malaikat memasuki apartemen, sembari menyeret ranselnya. Cepat-cepat ia memasukkan si malaikat ke kamarnya lalu menutup pintu. Ibunya berseru dari sebelah luar pintu. Tana balas berseru bahwa ia basah kuyup, bahwa ia sedang berganti pakaian lalu akan mandi air panas dan tidur, ia merasa tidak enak badan, tidak mau makan apa-apa, dan tidak mau diganggu. Ketika Tana berseru seperti itu, ibunya tidak pernah memaksa masuk atau mengatakan apa pun yang semestinya dikatakan. Pada jam seperti ini cuma ibunya yang ada di rumah. Ayahnya dan Sergio biasanya pulang hampir bersamaan, pada pukul delapan, dan malam ini mereka akan pulang lebih malam.

Tana meletakkan si malaikat di lantai, dengan bersanggakan tempat tidur. Sayapnya amat besar ketika membuka. Mata si malaikat masih terpejam, tetapi ketika Tana menggerakkan tubuhnya, rasanya seperti makhluk itu pun turut berusaha. Tana melepas sepatu dan melemparkan jaket yang kuyup ke kursi. Setelah berpikir-pikir, ia membuka pintu lemari, dan sambil berdiri, ia menanggalkan celana legging-nya, kaus kakinya yang semata kaki, serta pakaian dalam, dan melemparkan semuanya ke lantai. Lalu ia mengenakan sweter biru tebal serta celana training abu-abu. Tana sedang mencari selop di bawah tempat tidur ketika mendengar si malaikat menghela napas dalam-dalam. Si malaikat tak bergerak. Tana membuka pintu—tidak ada siapa-siapa—dan sembari berharap mudah-mudahan tidak ada yang melihat, cepat-cepat ia menuntun si malaikat ke kamar mandi yang ia gunakan bersama ibunya. Ia menempatkan si malaikat di tepi bak mandi, dengan bahu kiri menempel pada dinding, sayap terlipat, dan kaki menghadap ke luar supaya tidak jatuh. Tanpa dibantu Tana, si malaikat mesti mencengkeram bak mandi untuk menyangga tubuhnya. Tangannya amat putih. Tana tidak berani melihat mata si malaikat. Kepala si malaikat tertunduk ke dada, seperti orang yang ketiduran di kereta. Tana menyalakan air panas lalu mulai membasuh sayap si malaikat menggunakan selang pancuran.

Si malaikat tidak seperti yang dibayangkan Tana. Si malaikat hampir menyerupai yang terdapat dalam gambar-gambar Katekismus, tetapi tidak begitu persis. Sayapnya tidak melekat pada punggung, dari tulang belikat, melainkan dari bagian yang sama dengan lengan, meskipun lengannya dapat berputar seperti lengan manusia sedang sayapnya tampak memiliki engsel sehingga dapat berputar ke arah satu sama lain dan ke belakang. Bulunya pun tidak menyerupai bulu burung. Bulunya menyerupai daging, seperti kumpulan lidah yang amat tipis, lebih pucat sekaligus lebih tebal daripada kulit biasa, lebih kesat. Si malaikat mengenakan tunik tanpa lengan berwarna putih—namun kotor—yang menjuntai hampir ke kaki, dengan belahan sampai lutut di kedua tepinya. Tana mengalirkan air hangat ke seluruh sayap si malaikat, sembari menggosoknya dengan spons. Ia tidak sepenuhnya yakin akan yang ia perbuat, namun kemungkinan si malaikat kedinginan sekujur badan, bahkan mengalami hipotermia. Ia menduga titik lemah si malaikat ada pada sayapnya karena jauh lebih pucat daripada wajah ataupun lengannya.

Dengan segera, sayap si malaikat mulai bergerak-gerak, seperti meregang, dan lidah-lidah serupa daging itu terangkat, sehingga air hangat dapat menembus ke baliknya. Kulit di sebelah bawahnya tidak lagi pucat. Warnanya merah benderang, menampakkan denyut jaringan kapiler. Kelihatannya seperti bukan kulit, lebih seperti—dan ini pun Tana membacanya di ensiklopedia di rumah—seperti selaput bagian dalam. Lidah-lidah serupa daging itu menawan hati ketika naik dan turun, sebaris demi sebaris, seumpama gelombang. Sepasang sayap itu bergerak perlahan, seakan-akan si malaikat, yang tengah memastikan keduanya masih berfungsi, takut untuk terus melengkungkannya. Sepasang sayap ini memesonakan, hampir menyerupai makhluk hidup tersendiri, dan ketika melihat bagian bawah lidah-lidahnya yang merah muda, terlintas oleh Tana lidah di dalam mulutnya sendiri. Mendadak ia diliputi kejijikan, maka ia pun mengelak dari sayap itu. Ketika menengadah, dilihatnya si malaikat menoleh membalas tatapannya, dan Tana merasa cemas. Si malaikat bermata merah. Salah seorang teman sekelas Tana, Maria, memiliki ibu yang bermata seperti itu. Ibunya albino dengan rambut putih dan kulit yang saking transparan sampai-sampai memualkan. Si malaikat memandangi Tana dengan tatapan kukuh bersungguh-sungguh, dan sama sekali di luar bayangan Tana. Tana menyangka si malaikat akan takut-takut, malu, terus merunduk. Namun tanpa malu-malu si malaikat menatap dengan mata disipitkan, seakan-akan supaya dapat melihat Tana dengan lebih jelas, tanpa sedikit pun rasa segan, tidak juga rasa penasaran atau berterima kasih. Tana ketakutan. Ia menjatuhkan selang pancuran dan berlari ke kamarnya. Ia merasa mau menangis, kepalanya berputar-putar. Bagaimana ini? Bagaimana ini? batinnya. Jangan-jangan dia malaikat yang jahat dan berbahaya, batinnya. Dengan mata merah begitu, jangan-jangan dia iblis. Namun kemudian ia berpikir betapa tololnya itu—takut pada malaikat. Lalu bagaimana jika ibunya masuk ke kamar mandi dan melihat si malaikat, pikirnya, dan perutnya pun tercengkam oleh kecemasan. Ia membuka pintu kamar dan tidak tampak seorang pun. Ia mengendap-endap ke lorong. Ketika berlari ke kamarnya tadi ia tidak menutup rapat pintu kamar mandi. Ia mengintip. Si malaikat tengah duduk dengan memasukkan kaki ke bak mandi, seraya membasuh kakinya itu dengan tertib.  Tana mengamati si malaikat sembari terheran-heran akan sebabnya ia merasa takut tadi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tolol kalau menganggap si malaikat harus menurut bayangannya selama ini. Tana mengamati si malaikat sembari mengagumi cara makluk itu menangani dirinya sendiri. Kelihatannya si malaikat sungguh-sungguh mampu menangani dirinya sendiri, sehingga Tana merasa kecewa, lantas malu pada dirinya sendiri karena merasa kecewa. Tentu saja si malaikat tahu cara mengurus dirinya sendiri dan bisa membasuh kakinya sendiri. Tana menyadari sungguh keliru terus menganggap si malaikat membutuhkan pertolongannya. Tana dapat menawarkan bantuan, dan ia sudah melakukannya, namun ia juga perlu mengetahui saatnya berhenti. Setelah merasa lebih baik, ia kembali ke kamar dan meninggalkan si malaikat sendirian.  Namun Tana membiarkan pintu kamarnya setengah terbuka supaya si malaikat tidak mengira ia menolak kedatangannya. Tana merasa pikirannya menjadi jernih. Ia merasa aman dan berani.

Seketika itu juga, Tana mendengar ayah dan abangnya di ruang depan. Ketika cuaca buruk, sudah ditentukan bahwa ayah Tana akan menjemput Sergio. Ayah Tana bekerja di toko sepatu dan dua tahun lalu memperoleh pekerjaan untuk Sergio di toko tempatnya bekerja beberapa tahun sebelum ini dan bosnya masih berkawan dengan dia. Ayah tidak pernah menjemputku, Tana membatin. Dulu Ayah dan Sergio tidak begitu akur, namun mereka bersahabat sejak Sergio memulai pekerjaan yang sama. Mereka menjadi rekan, merasa penting dan istimewa. Ketika malam, agaknya yang mereka obrolkan melulu soal sepatu. Tana tidak tahan dengan keduanya. Kadang Tana merasa semestinya ia mencari cara untuk lebih kompak dengan ibunya supaya bisa menghadapi kedua lelaki itu bersama-sama, seperti yang sepatutnya dilakukan para perempuan. Namun ibunya tampak seolah-olah telah memutuskan bahwa satu-satunya cara supaya para lelaki itu menganggap keberadaannya ialah dengan sepenuhnya mengabdi untuk melayani mereka, hingga tidak menyisakan kesempatan bagi Tana. Tana menyadari ini ketika mendengar ayahnya dan Sergio pulang, dan ia menginsafi dirinya tidak akan pernah memperoleh sekutu di apartemen ini, ataupun ruang bagi sesosok malaikat. Mereka bahkan tidak akan peduli ada malaikat, pikirnya.

Tana mendengar ayahnya dan Sergio sedang berbicara, dan ia bisa mendengar suara mereka yang ganjil. Ia tidak bisa menangkap perkataan mereka, tidak bisa mengetahui yang mereka percakapkan. Nada mereka terdengar sengit, hampir-hampir berteriak. Namun Tana tidak tahu apakah mereka gembira atau kesal. Suara mereka seperti piringan hitam berkecepatan 33 yang disetel menjadi 45 rotasi per menit. Tana melihat ke arah lorong, dan tampak ayahnya beserta Sergio sedang berlarian dengan kecepatan tinggi—persis seperti suara mereka—tidak seperti orang yang terburu-buru melainkan seperti tokoh dalam film yang dipercepat. Mereka mengebut masuk dan keluar dari kamar mereka, dapur, kamar mandi yang mereka gunakan bersama, saking cepatnya bergerak sampai terentak-entak. Mereka melakukan yang biasa mereka lakukan ketika pulang saat malam. Sergio, yang selalu rewel soal pakaian kerjanya, melepaskan sepatu dan mengenakan setelan training. Keduanya membasuh diri, namun mereka seakan-akan harus memaksa diri untuk melakukan kegiatan sehari-hari tersebut hingga memakan upaya yang berlebih-lebihan, seakan-akan, pikir Tana, seluruh hidup mereka ada pada upaya tersebut, setiap butir sel dikerahkan demi upaya tersebut. Sekarang mereka terdengar gembira, namun Tana masih belum dapat memahami perkataan mereka. Ia melangkah ke lorong dan menghampiri mereka. Mereka bahkan tidak memerhatikan dia. Ekspresi yang berbeda-beda berkilatan di wajah mereka, juga di wajah ibunya, dan tidak ada satu pun di antaranya yang dapat ditangkap Tana. Wajah mereka seperti figur-figur dari tanah liat yang dilihatnya dalam iklan minuman keras. Ia masuk ke dapur. Kain merah mengalasi meja berikut empat piring, dan serta-merta ia duduk di tempat biasa. Ayah dan ibunya serta Sergio makan dengan kalap, seakan-akan sudah setahun mereka tidak makan. Tana duduk diam, terbengong-bengong. Sesaat ia merasakan lengannya ditepuk berkali-kali, oleh ibunya, dan ia menyadari ibunya tengah berkata-kata dalam bahasa baru yang tidak dapat dimengerti itu, kiranya hendak menyuruhnya makan. Namun ia hampir-hampir tidak sempat memikirkan ini sebelum taplak meja menghilang, ibunya tengah membereskan segalanya, mengebut, seraya melemparkan piring-piring ke bak cuci seperti pesulap melontarkan bola-bola tenis atau gada berwarna-warni, tanpa ada satu pun yang pecah.

Tana bangkit dari meja—ia belum makan—lalu kembali dan membuka pintu kamar mandi perlahan-lahan. Si malaikat tampak puas mengamati kakinya, yang kini sudah dicuci bersih dan hangat, berwarna indah serupa mawar. Air berkilauan pada rambut pirangnya yang halus mengikal. Tuniknya pun sudah agak bersih. Si malaikat terlihat lebih bermartabat dan amat gagah. Tana menjadi agak tenang karenanya. Ketika ia membuka pintu kamar mandi sepenuhnya, si malaikat menengadah, berdiri, dan tersenyum padanya. Senyumnya tidak bersahabat, pikir Tana, lebih menyerupai senyum puas ketimbang bersahabat, tetapi setidaknya si malaikat tersenyum. Tana bertanya, “Kau mau makan?” Si malaikat menjawab, “Ya,” walau terdengar lebih seperti “terima kasih”, namun bicaranya begitu cepat hingga Tana mengira si malaikat kelaparan. Suaranya pun terdengar goyah, masih lemah, tanpa kekuatan yang sepertinya telah mengisi tubuh dan sayapnya. Tana menggandeng tangan si malaikat dan membawanya ke dapur. Sergio dan ayahnya sedang menonton televisi di ruang keluarga, sembari melompat-lompat, terus-terusan berganti posisi di sofa, dan mengobrol dengan suara baru mereka yang melengking, mungkin soal sepatu. Ibunya seperti biasa duduk di dapur, di hadapan televisi yang lebih kecil. Kursinya diputar supaya ia dapat meletakkan siku kiri di meja, sambil menopang dagu. Televisi berkilatan, namun Tana dapat melihat itu sinetron yang biasanya, adapun ibunya tertidur seperti biasanya, dan baru terbangun pada akhir acara ketika bermunculan iklan-iklan dengan volume yang lebih tinggi, dan ibunya pun akan menyumpah karena lagi-lagi melewatkan separuh episode lalu mencetuskan seratus teori mengenai adegan-adegan yang terjadi sewaktu ia tertidur—walau sebenarnya, menurut Tana, tidak ada peristiwa penting dalam sinetron itu. Hanya telepon yang berdering hingga berjam-jam sementara seorang lelaki tua menanggung derita sakratulmaut dan semua orang memperebutkan uangnya selama kira-kira dua puluh episode.

Tana mendudukkan si malaikat di kursi meja makan, lalu mengambil panci kecil berisi kaldu dari kulkas dan mulai memanaskannya. Ia mengiris sebagian roti sisa, membuang remah-remahnya, dan melesakkan irisan roti tersebut ke mangkuk besar yang sudah digunakan sejak ia kecil dan ajaibnya belum pecah, tidak juga salah satu pegangannya. Ia mengosongkan wadah berisi parutan keju ke atas roti itu, lalu menuang kaldu hangat dan menyorongkan mangkuk itu ke arah si malaikat. Sepanjang waktu itu si malaikat mengamati Tana. Beberapa tahun lalu Tana memiliki seekor kucing yang suka mengamatinya sedemikian. Biarpun dari kejauhan, perhatian kucing itu amat lekat selagi Tana menyiapkan makanan untuknya di mangkuk kecil. Sementara itu ibu Tana yang telah terjaga mematikan televisi, dan mengatakan beberapa hal pada anaknya dalam suara baru yang tidak penting amat untuk didengarkan, lalu kembali duduk di tempatnya untuk menisik kaus kaki. Cepat sekali Ibu menisik, pikir Tana, jarinya bisa-bisa tertusuk, namun jari ibunya tidak tertusuk. Tana berusaha untuk tidak memandangi ibunya, juga ayahnya, saat lelaki itu memasuki dapur mencari macis untuk menyalakan rokok. Tana duduk menghadap si malaikat, sembari berusaha memusatkan perhatian pada makhluk itu saja. Si malaikat perlahan-lahan menyesap kaldunya, mengambil sesendok penuh, berhenti sejenak, lalu mengambil lagi. Ketika si malaikat mulai menyendok roti di dasar mangkuk, Tana menyadari bahwa makhluk itu berusaha mengambil semuanya sekaligus tanpa menceraikan potongan-potongannya.

Kaldu itu beraroma sedap dan hangat pula. Tana sangat lapar, namun ia menyadari ini bukan saatnya, bukan sekarang. Ia mengamati si malaikat meletakkan sendok pada piring lalu mengangkat mangkuk untuk sesapan terakhir. Saat meletakkan mangkuknya, si malaikat lagi-lagi tersenyum puas pada Tana. Mata si malaikat kini tidak terlihat semerah tadi, atau barangkali tidak seliar dan semenusuk tadi, seakan-akan uap hangat kaldu telah meredupkannya, melembutkannya. Ia pasti benar-benar merasa kedinginan, pikir Tana, bahkan sampai ke bagian dalam tubuhnya. Tana ingat ketika sakit dan kedinginan betapa enaknya mandi air hangat, makan yang hangat-hangat, serta membungkus dirinya dengan kain wol.

Tana menanyai si malaikat: “Siapa namamu?” Si malaikat menjawab: “Roberta.” Tana tidak tahu mesti merasa apa. Di satu sisi, si malaikat nyaman-nyaman saja mengucap “Roberta”, seakan-akan “Roberta” itu nama yang pas benar bagi malaikat. Tana memandangi wajah lugu tanpa cacat itu, yang bagaikan wajah anak-anak, tanpa bekas jenggot. Namun tuniknya menjuntai dari dada, dan walaupun wajahnya kekanak-kanakkan, sudah jelas itu wajah laki-laki, dan lengannya yang bertumpu pada meja itu lengan laki-laki (namun keduanya tidak bertumpu pada meja sebagaimana lengan biasa, pikir Tana, keduanya lebih seperti sepasang benda yang pada saat itu tidak diperlukan si malaikat). Tana juga sudah melihat kaki si malaikat di kamar mandi dan ukurannya besar, kaki laki-laki. Tana memaksakan diri untuk menyahut: “Namaku Tana, tetapi sebenarnya Tana itu kependekan dari Gaetana. Sedari kecil aku dipanggil Tana, dan aku tidak benar-benar tahu caranya berbicara—“ Tahu-tahu ia terdiam. Si malaikat terlihat bosan. Tana terdiam dan membatin: Kenapa aku mengatakan ini padanya? Nama ya nama saja. Ia tidak menanyakan namaku. Namanya Roberta. Tana menatap si malaikat kemalu-maluan, dan si malaikat balas menatapnya dengan dingin, dengan pandangan yang seperti menanti—bukan berarti ia menghendaki sesuatu, lebih seperti menunjukkan bahwa ia bersedia mendengarkan—yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Tana sehingga ia terus saja menatap.

Keluarganya pasti sudah pada tidur, Tana tidak memerhatikan, namun kini ia ingat bahwa selagi si malaikat makan, ia merasa ada yang mengusap pipi kanannya, dan setelah itu ayahnya bergegas menjauh. Tana dicium ayahnya setiap malam, jika ia tidak cepat-cepat mengurung diri di kamar untuk menghindari kecupan itu—memalukan saja, seperti pada anak kecil—namun malam itu ia tidak memerhatikan, tidak menyadari dirinya telah dicium. Ia menuntun si malaikat kembali ke kamar, mengeluarkan piama dari bawah bantal, dan membalik alas tempat tidurnya (yang hanya tiga per empat kasur, karena sewaktu kecil ia sering jatuh dari tempat tidur, sehingga beberapa tahun lalu ia diberi tempat tidur yang lebih lebar). Ia mengisyaratkan pada si malaikat supaya “menyamankan diri”, walau ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, lalu ia lari ke kamar mandi. Ia mencermati dirinya di cermin. Ia masih kotor, rambutnya berlumur tanah, matanya lelah. Sedikit riasan yang ia gunakan berjejak di pipinya. Tubuhnya menggigil. Di bak mandi, ia membasuh sekujur tubuh, lalu membenamkan diri di air panas supaya semakin hangat. Ia juga berharap si malaikat sudah menyamankan diri dan tidur. Namun kemudian ia mulai khawatir bahwa selagi ia mengurung diri di kamar mandi, jangan-jangan si malaikat mengambil kesempatan untuk pergi, sehingga ia berkecipak keluar dari bak, membungkus diri dengan handuk besar, lalu menjulurkan badan untuk memeriksa. Si malaikat sedang tidur di atas selimut, dengan menggunakan sayapnya sebagai bantal sekaligus untuk menutupi dirinya sedikit. Tana merasa tenang dan kembali ke kamar mandi, mengeringkan rambut, lalu mengenakan piama yang diletakkannya di atas radiator supaya hangat. Si malaikat tidur nyenyak di sisi kasur yang dekat dengan dinding. Tana masuk ke bawah selimut, mematikan lampu, dan memejamkan mata.

Selagi matanya terpejam, Tana memikirkan kelamin si malaikat. Tana baru menyadari bahwa ia memikirkan kelamin si malaikat ketika makhluk itu memberitahukan namanya. Jangan-jangan si malaikat memberitahukan namanya karena ada maksud tertentu, dan malah bukan itu nama aslinya. Beberapa bulan yang lalu, pada penghujung Juni, ia beserta rombongan sekitar lima belas anak lain, laki-laki dan perempuan, bersepeda motor ke lubang di luar kota. Saat itu mataharinya terik, namun Tana merasa kedinginan, padahal ia mengenakan sweater tipis, duduk di jok belakang sepeda motor, dan tidak kena angin. Perjalanan menuju lubang itu memakan sepuluh menit saja. Air di dalamnya tenang dan kelabu. Lubang itu digali dua tahun lalu untuk jalan lingkar kota yang baru, dan kemudian tidak ada yang mengisinya. Lubang itu dibiarkan begitu saja. Jalannya berjarak beberapa meter dari situ, tersembunyi oleh deretan pohon. Ada rerumputan dan semak-semak. Lubang itu agak terlarang karena rupanya ada orang-orang aneh berkeliaran. Selain itu, kadang kala gelandangan mendirikan kemah namun hanya untuk beberapa hari. Terpasang beberapa papan yang berbunyi, “Dilarang berenang.” Keadaannya kumuh di balik semak-semak. Pada puncak musim panas banyak orang berkunjung, sehingga dewan kota menurunkan tukang bersih-bersih seminggu sekali, padahal semestinya tidak boleh ada yang berenang. Pada saat seperti sekarang tidak ada yang berkunjung, sehingga tidak ada pula yang bersih-bersih. Terdapat juga semacam jaring yang mengitari seluruh kawasan tersebut, berikut parit kecil, namun jaringnya sudah separuh roboh dan ada beberapa tempat yang bagus di parit itu untuk menggelar kardus. Anak-anak lelaki dan perempuan itu tahu bahwa di situ orang bisa menyelinap ke semak-semak atau menyelubungi diri dengan handuk, lalu bersanggama, dan merahasiakannya. Seorang anak lelaki melontarkan ide, lalu semua anak lelaki berbalap supaya tidak menjadi yang terakhir, sambil melucuti pakaian dan meloncat ke air. Mereka bercebar-cebur sebentar, airnya hanya setinggi pinggang (yang dalam cuma di bagian tengah lubang), lalu memanjat ke tepi, dengan terlihat agak pucat dan kaku. Mereka beralasan harus mengeringkan badan, lalu berdiri di hadapan gadis-gadis yang duduk di tepi. Seorang gadis terkejut, menjerit, dan mencari tempat duduk yang jauh seraya memunggungi anak-anak lelaki. Anak-anak lelaki itu pada berkacak pinggang, sembari menggigil, dengan kemaluan setinggi mata para gadis. Semua anak lelaki itu ramping dan tampan, setidaknya begitulah menurut Tana. Anak lelaki yang berada paling dekat dengan dia, yang murid sekolah kejuruan, baru beberapa kali itu dilihatnya di rombongan. Tana bergeser sedikit tanpa bangkit, supaya bisa melihat lebih jelas.

Anak lelaki itu menghadap sedikit ke arah Tana. Di pangkal pahanya ada sejumput rambut, yang semakin jarang hingga tak ada sama sekali ke arah perut. Dadanya licin dan putih, dengan beberapa helai rambut panjang yang berpusar di sekitar puting. Ke bawahnya Tana melihat barang yang bergantung pada gumpalan rambut gelap itu. Barang itu tampak lemas, lagi janggal. Tana mengangkat tangan kanannya lalu satu jarinya menyentuh barang itu, dan dilihatnya barang itu tersentak. Tana menarik kembali tangannya. Barang itu membesar. Anak lelaki itu bergeser sedikit mendekat. Tana menjulurkan tangannya lurus-lurus dengan agak menangkupkannya sehingga ia dapat mengangkat barang itu dan melihat sepasang buah pelir yang separuh tersembunyi, lalu ia merasa barang itu bangkit sendiri, terus membesar, menjadi keras, dan di pucuknya, pada kulitnya terdapat sebuah lubang, serta bintik ungu. Tana terus memandang takjub pada barang di tangannya, mengamati perubahannya, lalu ia merasakan tangan anak lelaki itu di atasnya, menyentuh lehernya, mendorongnya ke bawah, supaya mendekat. Tana melepaskan diri. Ia menarik diri, cepat-cepat berdiri. Ia bergeming saja sambil sesekali melirik anak-anak lelaki. Ia tidak tahu mesti berbuat apa. Anak-anak lelaki lalu mengenakan pakaian mereka tanpa banyak cakap, kemudian mereka semua kembali ke alun-alun kota. Anak lelaki yang tadi disentuh Tana berusaha supaya ia membonceng sepeda motornya saja. Tetapi Tana menjaga jarak. Beberapa hari kemudian, anak lelaki itu menelepon (pasti ada salah seorang anak yang memberikan nomor Tana) dan dengan santainya mengusulkan untuk jalan bareng Sabtu depan. Kedua orang tuanya akan pergi hingga Minggu malam. Mereka bisa pergi ke bioskop lalu Tana boleh mampir. Anak lelaki itu akan memasakkan makan malam dan menyajikan minuman serta rokok. Tana mendengarkan, lalu melontarkan sebanyak mungkin cacian pada anak lelaki itu, melayangkan segala sebutan yang diketahuinya, malah sebagian tidak benar-benar dipahaminya. Beberapa kali setelah itu Tana melihat si anak lelaki di alun-alun kota namun selalu menghindarinya.

Suatu hari ketika sedang di luar rumah, di belakangnya Tana melihat anak lelaki itu tertawa dan berbicara dengan dua temannya, dan ia bisa merasakan mereka tengah mengamati dia. Tana meneriaki anak lelaki itu. Mereka pada tertawa hingga Tana ditarik temannya. Tana dan temannya memasuki kedai kopi. Temannya itu bilang ia sungguh tidak memahami Tana. Tana sungguh idiot tidak mau jalan bareng anak lelaki itu. Sebetulnya si teman pernah mengajak anak lelaki itu jalan bareng. Tetapi anak lelaki itu tidak mengacuhkan dia. Teman-teman lain yang ada di situ mengatakan betapa baiknya anak lelaki itu, suka menraktir, tidak pernah lupa mengenakan kondom, dan mereka pun bersenang-senang. Sembari berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, bersebelahan dengan napas si malaikat, Tana ingat keputusan yang dibuatnya hari itu: bahwa tuhan telah berlaku jahat pada laki-laki dan perempuan, dengan memberi mereka sistem reproduksi yang jelek ini, mengacaukan organ-organ, sehingga organ yang memberikan kenikmatan terbesar, bagian yang merupakan pusatnya cinta, bercampur baur dengan bagian paling memualkan; maka, sejak kejadian di lubang itu, ia menjadi jijik pada vaginanya, sehingga ia berhenti meraba-raba dirinya sendiri, berhenti bermasturbasi, walau ia masih merasakan berahi—berahi yang menggebu sesekali pada malam hari—dan yang lebih menjijikkan lagi berahi ini disertai penampakan anak lelaki itu, yang bergeming tanpa sehelai bulu pun, tampan rupawan, dan apa pun yang diraba Tana anak lelaki itulah yang dirabanya, dan dilihatnya sepasang bintik gelap puting anak lelaki itu, dan dipegangnya daging itu, yang awalnya lembut, lantas membengkak, semakin membesar, dan bintik ungu itu pun membuka, berbau asam—pada malam-malam seperti ini, Tana memaksakan diri melihat daging yang memerah itu, yang jika dibayangkannya cukup lama tiba-tiba melontarkan arus kuning berbau busuk, air kencing yang tidak kunjung berhenti; dirasakannya air kencing itu menyembur dengan baunya yang buruk, dirasakannya membasahi tubuhnya, suam-suam kuku, menjijikkan, bahkan memasuki mulutnya, dan baru setelah itulah berkat remedi ini bayangan itu memudar, berahinya mengabur, melemah, hingga nyaris menghilang, dan Tana pun berhenti merasa lalu tertidur.

Tana menyalakan lampu kecil, lalu berguling hendak memandang si malaikat yang tidur. Tanpa turun dari kasur, Tana berlutut. Ia beringsut maju sepelan mungkin. Sayap si malaikat agak terbuka. Makhluk itu tampak agak kusut. Tidurnya tampak begitu nyenyak. Keletihannya yang teramat sangat mesti diauskan sebelum ia bangun lagi. Lututnya tampak di balik tunik. Tana merasa cemas, namun ada pikiran yang tak dapat dienyahkannya: bahwa inilah sebabnya si malaikat berada di sini; inilah sebabnya si malaikat membiarkan dia untuk menemukannya, membersihkannya, memberinya makan: supaya Tana mengerti bahwa si malaikat ada untuknya, bahwa Tana dapat berbuat apa pun yang dihendakinya. Kau boleh berbuat apa pun pada si malaikat.

Tana menyelipkan tangan kanannya ke bawah punggung si malaikat dan mengangkat sedikit makhluk itu, lalu tangan kirinya perlahan-lahan menyingkap tunik si malaikat. Tana merebahkan si malaikat kembali, lalu berlutut di samping lutut makhluk itu. Ia ragu-ragu, sebelum mengangkat kelim tunik si malaikat. Tidak ada rambut di seputar kelamin si malaikat. Barangnya terlihat menyerupai kelamin anak-anak, hanya saja lebih besar. Indah bagi Tana. Dagingnya amat pucat, seperti bagian tubuh lainnya. Perutnya naik turun dengan tenteram seiring tarikan napas. Bersanggakan tangan kiri, Tana meraba perut si malaikat dengan tangan kanan. Tanpa gerakan mundur, ia menyapukan jemari pada paha kiri makhluk itu, lalu ke celah di antara kedua kakinya, ke atas paha kanannya, pada perutnya. Jemari Tana mendekati kelamin si malaikat, namun ia tidak berani menyentuhnya: bukan karena jijik, tentu saja bukan, tetapi karena respek. Tana tidak ingin membangunkan si malaikat. Tana mendekatkan wajahnya pada kelamin si malaikat, supaya terlihat lebih jelas dalam remang cahaya. Kelamin itu tampak lembut, bersih, dan tidak berbau busuk. Tana menyentuh kelamin si malaikat dengan bibirnya, kecupan ringan, bagai mengecup anak kecil yang tidur, mengecup tanpa membangunkan. Kelamin si malaikat bergeming saja. Tana terus memandang, terus menyapukan jemarinya dengan arah seperti tadi, tanpa menyentuh kelamin si malaikat. Ia senang melakukan ini.

Sejenak kemudian, Tana merasakan kantuk menundukkan dirinya, dari dalam kepalanya, kaki dan lengan kirinya pun lelah dalam posisi begini terus. Ia kembali menyelimuti si malaikat dan memandangi makhluk itu. Ia memandangi sekujur tubuh si malaikat, dari kepala hingga kaki, sayap, lengan, dan jari, dan makhluk itu terlihat indah seutuhnya. Selagi memandangi si malaikat, ia tidak merasakan berahi sedikit pun. Yang ada senang belaka, senang merabanya dan memberinya kecupan amat ringan pada kelaminnya. Lantas terlintas oleh Tana mestilah sekarang sudah sangat larut, maka ia merayap ke balik selimut dan menutup matanya rapat-rapat supaya cepat tertidur, lalu dimimpikannya si malaikat pergi, terbang menjauh. Di sepanjang jalur yang dilalui si malaikat, di bawahnya, atap berlepasan dari rumah-rumah, dan dari rumah-rumah itu cahaya emas merajah kelamnya langit malam. Keesokan paginya, Tana terbangun dengan demam tinggi. Ia diliputi kehangatan, khayalan, dan kenikmatan meringkuk di tempat tidur sementara menelepon teman-teman sekolahnya supaya menjenguk, supaya mereka iri akan kemujurannya karena libur seminggu, sedang hujan turun di mana-mana di luar, membasuh dunia, mempersiapkan dunia untuk musim dingin. Betapa nyamannya.[]

Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Elizabeth Harris dalam Words without Borders edisi April 2012: “Sex”.

Sebagai penulis fiksi, penyair, dan editor dari Padua, Italia, Giulio Mozzi telah memublikasikan dua puluh enam buku bersama penerbit seperti Einaudi dan Mondadori. Ia dikenal terutama atas buku-buku kumpulan cerpennya. Kumpulan cerpen pertamanya (yang memuat “Tana”) Questo è il giardino (Inggris: This is the Garden) memenangkan Premio Mondello. Dari kumpulan cerpen ini, “L’apprendista” (Inggris: “The Apprentice”) termasuk ke dalam antologi cerpen terbaik Italia abad kedua puluh terbitan Mondadori, I racconti italiani del novecento. Mozzi juga terkenal karena mempromosikan penulis muda Italia berikut blog sastranya Vibrise Bolletino. Bersama seniman Bruno Lorino, ia menciptakan seminan imajiner Carlo Dalciole, yang karyanya telah dibawakan di berbagai pertunjukan dan dalam bentuk buku. Salah satunya (Inggris: “Carlo Doesn’t Know How to Read”) terdapat dalam Best European Fiction 2010 terbitan Dalkey Archive Press. Cerpen-cerpen Mozzi telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa. Kumpulan cerpennya dalam bahasa Inggris, This is the Garden, yang diterjemahkan oleh Elizabeth Harris akan diterbitkan Open Letter Books pada 2013. Terjemahan bahasa Inggris dari beberapa cerpennya dalam kumpulan ini telah terbit di sejumlah jurnal sastra, berikut The Kenyon Review dan The Missouri Review.

Elizabeth Harris menerjemahkan fiksi Italia kontemporer. Terjemahannya diterbitkan banyak jurnal sastra dan tiga kali dimuat dalam antologi tahunan Dalkey Archives, Best European Fiction, atas karya Giulio Mozzi, Marco Candida, dan Diego Marani. Buku-buku terjemahannya mencakup novel Mario Rigoni Stern, Giacomo’s Seasons (Autumn Hill Books) dan kumpulan cerpen Giulio Mozzi This Is the Garden (Open Letter Books). Penghargaan yang diperoleh Harris mencakup anugerah penerjemahan dari Kementerian Kebudayaan Asing Italia atas Giacomo’s Seasons Rigoni Stern serta Hibah Dana PEN/Heim untuk terjemahan novel Antonio Tabucchi Tristano Dies yang sedang dikerjakannya (akan diterbitkan Archipelago Books pada 2015). Ia mengajar penulisan kreatif di University of North Darkota.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...