Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170413

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (4/4) (Paul Murray, 2003)

Inilah dia. Inilah rasa terima kasih yang kuterima karena berusaha menyelamatkan serpihan martabat keluarga. Nasibku telah diputuskan sementara aku terbaring koma di ranjang rumah sakit. Kerja! Dinding-dinding ruang resital menyerbuku. Kerja!

Tentu saja aku menentang. Aku menyoroti betapa ironisnya menyuruhku, darah dagingnya sendiri, pergi bekerja di pabrik stoples sementara ia mengundang gerombolan aktor pengangguran agar tinggal di sini tanpa berbuat apa-apa. Aku menuding Bel yang tidak disuruh mencari kerja, padahal dialah yang selalu cerewet soal betapa bencinya ia pada tempat ini dan betapa inginnya ia bergesekkan bahu dengan rakyat jelata. Kupungkas dengan pidato menghasut yang intinya Bunda sedang menyuruhku menggantang asap, sebab sekalipun ia telah mengakui bahwa aku sama sekali tidak punya mimpi maupun ambisi, maka menempatkanku di dunia kerja hanya akan membuang waktu berharga milik orang lain. Bunda mendengarkan dengan raut dingin, seakan-akan perkataanku justru seperti yang telah diperkirakannya.

“Cinta Tegas,” ucapnya. “Begitulah sebutannya di Cedars. Menolongmu supaya menolong diri sendiri. Kamu akan berterima kasih pada Bunda suatu saat.”

“Enggak bakal,” tukasku.

“Kamu akan berterima kasih pada Bunda. Hidup itu komoditas penting, Charles. Ini waktunya kamu mencapai potensimu seutuhnya dan belajar nilai sejati dari berbagai hal.”

“Omongan Bunda kayak pemuja Stalin!” seruku. “Orang tuh bekerja bukan untuk mencapai berbagai hal dan belajar nilai-nilai! Mereka bekerja karena harus, lantas mereka menggunakan berapa pun uang yang tersisa untuk membelikan diri mereka barang-barang yang dapat mengurangi perasaan buruk mereka karena harus bekerja! Bunda enggak mengerti apa, itu tuh lingkaran setan!” Terhenti aku mencakar-cakar perban. Gatalnya sudah menguasai seluruh kepala. Rasanya semakin menggila. Digaruk pun tidak ada gunanya. Dengan anteng Bunda mengalihkan perhatian ke ruangan, pada pemabuk berwajah kemerah-merahan yang telah disingkirkan dari kediamannya di atas tutup piano lantas dengan jenaka ada yang memainkan musik pengiring upacara pemakaman. “Keparat,” tandasku maysgul, “keparat, sekiranya Bunda pernah bekerja sehari saja, Bunda enggak bakal menganggapnya sebagai penghiburan—“ serta-merta aku terdiam sementara Bunda menjadi kaku dan memucat seputih alabaster[1]. “Bunda bekerja untuk amal, tentu saja,” cepat-cepat aku berucap, lantas, melihat adanya harapan, “eh, mungkin, aku bisa melakukan kerja amal.” Sepertinya tidak begitu sulit kan: pesta-pesta makan siang, cicip-cicip anggur, pelelangan selebriti, tidak satu pun yang terasa kelewat sulit bagiku—Gelas di tangan Bunda bergetar. “Atau—bagaimana dengan kebun anggur? Aku bisa menciptakan anggurku sendiri, di, tahu kan, di kebun kita, lalu menjualnya—“

“Aku senang kita bisa bercakap-cakap, Charles,” Bunda menyahut dingin. “Aku hanya berharap sudah sedari dulu kita memperbincangkan ini. Mulai minggu depan tunjanganmu dihentikan. Tampaknya begitulah cara terbaik mengatasi ini. Besok aku akan bicara pada Geoffrey.”

“Baiklah kalau begitu!” Kulontar kedua tanganku ke atas. “Maksudku kurasa akulah satu-satunya orang yang peduli pada tempat ini. Kurasa akulah satu-satunya yang menjaga kelangsungan rumah ini selama Bunda pergi, akulah satu-satunya yang memberi tahu Mbok P pekerjaannya, dan memberi makan merak-merak, dan mengubur mereka bila ada yang mati. Tetapi kalau orang-orang mengira aku ini cuma semacam benalu …

“Tidak perlu teriak-teriak, Charles.”

“Aku enggak teriak-teriak!” seruku. Bangun ruangan itu dengan sendirinya berubah bentuk menjadi teramat janggal. Di balik bahu Bunda kulihat Harry. Cahaya lampu jatuh padanya sedemikian rupa sehingga tampak terpancar dari dirinya. Ia matahari berjas kampungan lagi berambut kepang, bersama Bel dan Mirela masing-masing di sisinya bagaikan rembulan indah yang tertawa-tawa. Kalau begitu aku jadi apanya, tanyaku tak keruan? Serpihan belaka? Asteroid, yang dibiarkan merana sendiri dalam dingin dan gelapnya jangkauan luar angkasa? Lantas, dari balik bahu Bunda yang satunya lagi, mataku jatuh pada Frank yang memberi salut padaku dengan kaleng birnya—“Keparat, jika cuma itu yang dipikirkan orang-orang, kenapa tanggung-tanggung dan enggak langsung saja mengusirku mumpung sempat! Malah, kenapa juga aku merepotkanmu, dan bukannya mengusir diriku sendiri! Sebab, sebab aku kemari bukan untuk dihina-hina!”

“Tidak ada yang menghinakanmu, Charles. Kalau kamu bahkan tidak sanggup berbicara dengan tenang dan rasional—“

“Aku betul-betul tenang! Nah kalau boleh permisi, aku hendak naik ke lantai atas dengan tenang, dan mengepak koperku dengan rasional—“

Tanpa sepatah kata pun Bunda melangkah pergi. Aku berderap ke pintu diiringi debar jantung yang menggila. Tangga di lorong tampak semakin dekat dan besar, dimahkotai puncak-puncak menara serta bayang-bayang seperti dalam film Ekspresionistik Jerman. “Benalu!” bisikku sembari mendaki anak tangga. “Benalu!” Benar-benar keterlaluan. Setelah segalanya yang kuperbuat demi rumah ini, dituduh lesu, serta mengidap “kemalasan kronis”—serta tidak peduli, padahal seluruhnya yang kuperbuat itu kepedulian!

Aku sangat terluka. Selain itu kiranya pengaruh semua minuman tadi akhirnya menyusul pereda sakit dan melawan satu sama lain di otakku. Meski begitu, sewaktu aku mengepak koper, sewaktu aku kembali menuruni tangga, sewaktu aku mengeluarkan mantel dari lemari dan menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang diperlukan untuk berdiri di situ menyeka debu khayalan dari kelepak, sekiranya ada orang yang menyusulku untuk menentang—untuk mengatakan, Charles, tidak bisakah kita membicarakan ini? atau Jangan sungkan-sungkan, buyung, ayo minum dulu—aku yakin akan menjatuhkan tasku dan menertawakan segalanya. Aku bahkan kembali ke ruang resital, kalau-kalau ada yang bermaksud untuk menghampiriku namun tertahan. Aku berdiri di sisi pintu mengamati mereka, yang sedang mengobrol, tertawa, serta berkeliling di seputar ruangan bak asap berwarna-warni, dan tak seorang pun mendekati.

Sekali waktu, bertahun-tahun lalu—usiaku mestilah sekitar sepuluh tahun—aku menyusup ke pesta orang tuaku. Seperti biasa, sewaktu menidurkanku Bunda memberikan isyarat mengenai hal-hal mengerikan yang akan menimpaku jika aku berkeliaran ke luar kamar. Tetapi aku tidak tahan lagi untuk mengetahui yang terjadi di bawah sana, jadi tidak lama setelah pukul sebelas, aku mengendap-endap kembali ke lantai bawah. Kebetulan aku berpapasan dengan Ayah. Kukira ia bakal marah, namun suasana hatinya sedang riang. Ia berkata bahwa kalau aku penasaran aku boleh bergadang sebentar saja, asalkan aku duduk diam di pojok dan jangan sampai Bunda melihatku.

Awalnya sungguh menarik sampai aku kewalahan. Ruangan dansa serupa rimba yang sarat akan kain-kain mahal, pengap oleh uap campuran berbagai parfum yang menjanjikan segala macam hal yang tidak kumengerti. Walau ruangannya gelap, ada cahaya ke mana pun kau melihat: mengenai talam-talam yang menyajikan entah makanan apa saja, membias menembus gelas-gelas berisi Shiraz[2] dan Sauvignon[3] yang berkelip-kelip, mengilat pada kalung, cincin, dan tiara—sehingga bila kau memejamkan separuh mata terlihat seolah-olah ada banyak kunang-kunang. Dan riuhnya! Siapa menyangka satu ruangan penuh oleh orang dewasa yang beromong kosong dapat begitu menggemuruh?

Namun yang paling luar biasa adalah gadis-gadis kurus yang berdiri pada titik-titik tertentu di antara tamu-tamu yang berkeliling. Mereka menjulang di atas kepala orang-orang lainnya bak patung di taman. Mereka tampak sangat jemu dan tidak sekali pun bicara. Mereka itu para peragawatinya Ayah, yang berada di sini untuk memamerkan apa pun koleksi komestik anyar yang tengah diluncurkan. Mereka tidak boleh mengobrol, bisa-bisa mengurangi kesan yang hendak ditampilkan. Ayah menyebut mereka kanvasnya. Idenya yaitu tamu-tamu dapat berjeda selagi beranjak ke obrolan selanjutnya dan mengamati gadis-gadis tersebut.

Aku biasa melihat mereka pada hari-hari menjelang pesta semacam ini, selagi berjeda saat menuruni tangga dari ruang studi Ayah. Gadis-gadis ini tampaknya tidak jauh lebih tua dari padaku. Sebagian dari mereka bersikap ramah. Mereka berasal dari berbagai tempat, walau kebanyakan tinggal di Paris, di mana mereka bekerja dengan lab. Namun malam itu mereka telah menjelma sesuatu yang sama sekali bukan manusia. Ada tanda-tanda kiamat pada diri mereka yang terasa nyaris menakutkan, seakan-akan mereka lekang dari waktu, atau seakan-akan mereka semua sama seutuh-utuhnya, tanpa darah ataupun usus. Mata mereka menatapmu dan menembusmu. Mereka bergeming dengan tungkai membentuk posisi arabesque[4], menyala-nyala tanpa suara bagaikan lampu anglepoise[5] cantik tak ternilai dari dunia lain.

Sesekali tidak sengaja orang menyasar ke pojok tempatku duduk—para modiste ceking berambut cepak, atau para pria seram berpenampilan sensual dengan setelan beledu dan rambut berpomade, yang mengisap rokok beraroma tajam dan boleh jadi, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, mereka itu wanita. “Oh,” ucap mereka, begitu berhadapan dengan tatapan-bocah-sepuluh-tahun-ku, “halo.” Lantas, seraya merenggut tempat rokok mereka yang terbuat dari gading atau megap-megap gelisah serupa ikan mas, mereka terburu-buru kembali ke arah semula.

Tetapi ke mana mereka mau pergi, aku mulai penasaran, apa yang mereka tuju? Singkatnya, kapan acaranya mulai? Baru lama kemudian aku sadar bahwa keliling-keliling sambil mengobrol inilah inti acara malam itu. Aku sangat kecewa. Saat wanita-wanita tua bertaburkan permata menghampiri hendak menepuk kepalaku aku tidak lagi repot-repot menyuguhkan senyum bocah pramuka terbaikku, sebab aku tahu tidak seorang pun dari mereka akan mengatakan, “Charles, sekarang waktunya bermain trampolin, dan kami ingin kamulah yang mendapat giliran pertama melonjak-lonjak,” atau “Charles, kami mengadakan pesta membosankan ini untuk menjebak seorang mata-mata, sekarang kami memerlukan orang yang tidak mencolok, misalnya saja bocah, untuk menemukan dia.”

Bahkan hal-hal yang kukuping dari obrolan mereka pun tidak ada yang menarik. Yang laki-laki berceloteh tentang persentil, usaha si bangsat anu yang tidak akan berhasil, atau permainan rugbi yang mereka tonton baru-baru ini. Sementara itu yang perempuan wira-wiri melulu tentang pensil penyamar noda baru dari Yves St Laurent, soal trompe l’oeil[6] ajaib yang dapat memantulkan cahaya dari keriput, atau sesuatunya. “Ayahmu genius,” kata mereka padaku. “Bagaimana kabarnya Yves?” mereka menanyai Ayah.

“Biasa. Bermuram durja,” ucap Ayah disertai desahan pelan. Kemudian dari pintu Perancis jauh di seberang ruangan ada suara menjerit, “Anggur Beaujolais[7]-nya sudah datang!” Semua orang pun bergolak maju, meninggalkanku bersama Ayah memandangi punggung mereka.

“Jadi?” ucapnya padaku. “Sudah dapat pelajarannya?”

“Apa?” sahutku. “Maksudku, maaf?”

“Kamu tidak terlihat bersenang-senang.”

“Yah,” aku tidak mau melukai perasaannya jadi aku pun berusaha memilih kata, “kelihatannya ini bukan pesta yang seru.”

“Enggak seru, kan ya?”

“Enggak ada kue,” aku mengamat-amati. “Bahkan enggak ada kursi. Dan enggak ada yang bawa hadiah.”

“Menurut Ayah sih, lebih enak tidur saja.”

“Ayah … mereka memangnya mau apa sih?”

Terdengar gelak tawa Ayah yang biasa dikeluhkan Bunda. “Pertanyaan bagus, buyung. Pertanyaan yang sangat bagus. Mereka memangnya mau apa?” Ia meneguk anggurnya. “Di sini kamu menyaksikan ruangan yang penuh oleh orang-orang teramat penting. Dan yang paling disukai orang-orang teramat penting lebih dari apa pun di dunia ini yaitu diperlakukan sebagai orang penting. Jadi yang mereka lakukan, mereka datang ke pesta-pesta seperti ini di mana mereka dapat berjumpa orang-orang penting lainnya dan bercakap-cakap penting mengenai hal-hal penting dan mereka semua pun dapat bersama-sama merasa penting, mengerti? Apakah mereka bersenang-senang? Entahlah. Kurasa mereka pun tidak lebih tahu. Mereka jadi agak menyerupai merak-merak di pekarangan itu, apakah menurutmu mereka bersenang-senang?

“Aku tidak tahu,” gumamku.

“Tentu saja tidak, mereka berpawai keliling-keliling, memamerkan bulunya pada satu sama lain, apa menyenangkannya itu?” Ayah tengadah dan menandaskan isi gelasnya, lantas berdiri dan memberengut, menghimpun pemikirannya. “Begini, soalnya, Charles, soalnya, kawan, walau mereka memberitahumu di sekolah—dan penting sekali memerhatikan pelajaran di sekolah, dan menerapkannya sendiri, dan belajar sebanyak mungkin semampumu, dengar?”

“Ya, Ayah. Kecuali sekarang lagi libur.”

“Yah tentu saja, ya, sobat … sampai di mana aku tadi? Oh ya—soalnya dunia ini tidaklah seperti kolam renang, mengerti, di mana semua orang berkecipak dalam air yang sama, mengerti kan, dengan berpakaian. Kelihatannya mungkin seperti itu, tetapi kenyataannya—kenyataannya,” ia mengangkat jari untuk menekankan, gerakan yang serta-merta itu nyaris menggoyahkannya, “ada kolam renang yang lain yang kecil mungil, dan orang-orang di dalam situlah yang menentukan …” Ia mengejapkan matanya perlahan-lahan. “Itu seperti—siapa nama orang di Flash Gordon itu, penjahatnya?”

“Ming yang Tak Kenal Ampun?”

“Ya, dia. Jadi, ambillah orang-orang di ruangan ini. Mereka mungkin kelihatannya tidak lebih daripada gerombolan orang tua kolot, tetapi jika kamu menggabungkan mereka bersama-sama, jadinya pun persis seperti yang diperbuat Ming di … apalah nama planet tempat tinggalnya itu.”

“Mongo.”

“Benar, Mongo. Jadi seperti yang Ayah katakan, walau acaranya mungkin terlihat seperti pesta, di mana kamu bisa sedikit bersenang-senang, ini sebenarnya lebih seperti kerja, karena di sinilah semua orang dari kolam renang kecil membuat perjanjian dan keputusan. Jadi penting sekali kita bersikap ramah pada mereka, yang baik dan sopan, serta membiarkan mereka memakan semua makanan kita. Tentu saja wanita seperti ibumu sudah luwes melakukannya. Tumbuh di tempat seperti ini, bersama orang-orang penting, berkecipak ke sana kemari ….”

Tidak pernah kudengar Ayah bicara begitu sebelumnya. Rasanya agak seperti ketika kau dibiarkan oleh pengasuhmu bergadang menonton film horor—kelewat ganjil dan mengerikan untuk betul-betul dinikmati, namun sekaligus merupakan kesempatan langka, sehingga kau pun diam saja dan tidak menarik perhatian. Suara Ayah terdengar keras lagi terengah-engah, namun entah bagaimana ucapannya menjadi kian sayup, sementara wajahnya mulai mengendur. “Berkecipak ke sana kemari … memetik angan-angan dari alam khayali yang menyuguhkan Beaujolais beserta keju menjijikkan itu lalu membuangnya pada orang yang kelihatannya tidak mencurigakan …. Istri-istri mendatangiku supaya mendapat kosmetik gratis, harus memanggil Lazarus[8] sialan berikutnya yang mengantre, ha ha ….”

“Ayah?” sambil menarik-narik tangannya.

Ia menunduk. Kerah kemeja putihnya tampak terlalu ketat di bawah wajah merahnya yang terkejut.

“Bagaimana brioche[9]-nya?” ia bertanya.

“Enak-enak saja,” sahutku, sambil mengunyah cepat-cepat sepotong roti tersebut sebab seketika itu juga aku menyadari bahwa aku ingin menangis.

“Kateringnya harus ditembak nih.” Ia tertawa lagi, dan alisnya tidak lagi berkerut-merut. “Menonton pertandingan tenis hari ini? Si Lendl? Ia luar biasa, ya?”

“Iya, tetapi Boris Becker akan mengalahkan dia.”

“Boris Becker, dengar, anakku, ketika ada orang Jerman berambut merah—orang Jerman berambut merah, itu saja sudah keliru—ketika ada remaja Jerman berambut merah memenangkan Wimbledon, aku akan memakan topiku sendiri[10]. Mana bisa orang-orang Jerman bermain di lapangan berumput. Mereka itu terlalu analitis. Rumput itu medannya seniman. Pancho Gonzales, pernah melihat permainannya? Nah ini orangnya. Enak ditonton. Begitulah maksudnya. Atau ambillah kriket. Siapa peboling[11] terhebat sepanjang masa?”

“Entahlah. Underwood?”

“Bisa jadi, bagi mata yang belum terlatih, tetapi kalau kamu ingin tahu ahlinya yang sejati, kamu perlu mengingat Rhodes[12]. Ia telah menaklukkan empat ribu gawang, dan gaya putarannya luar biasa, ia—yah, akan kuperlihatkan padamu, ayo.” Sambil menggandeng tanganku, ia menggiringku keluar ruangan dan menyusuri lorong. ‘Yang keliru dari wujud-wujud menyimpang ialah kekeliruan yang terlalu besar untuk dinyatakan[13]’, tahu siapa yang mengatakan itu?”

“Yeats?”

“Anak pintar.” Ia terkesan. Seraya membuka pintu depan, “Bangsat, lagi hujan—yah, kita keluar sebentar saja, kamu pakai sepatu kan?”

Sambil kebingungan, aku mengikuti Ayah menuruni undakan menuju pekarangan depan lalu menggigil di bawah gerimis larut malam sementara ia berlarian mengumpulkan dua botol anggur untuk gawang beserta cakram terbangnya. Lantas ia melompat-lompat kembali ke rumah untuk mengambil tongkat pemukul dan bola. “Ini garisnya, ya?” Tumitnya mengorek-ngorek rumput dan menggarutkan tanda berlumpur. “Kamu dulu yang memukul. Nah beginilah orang bilang cara Rhodes tua melakukannya—“

Ia menggantung jasnya pada kaca samping mobil orang lain, lalu mulai melompat-lompat canggung beberapa lama. Lengan bajunya terangkat ke atas pergelangan tangan sementara lengannya melengkung membentuk busur dan terbanglah bola itu dari tangannya. Kugusah keletihan serta kejanggalan akan pemandangan ini dari mataku lantas menghela tongkat pemukul secara hati-hati ke bagian depan betis seiring dengan mewujudnya bola itu di hadapanku—

“Mantap!” Ayah bertepuk tangan, seraya berlari-lari kecil ke arahku. “Bagus sekali. Nah sekarang giliranmu.”

Aku menyelamatkan bola dari semak-semak dan baru hendak memulai persiapan melempar saat muncul siluet di ambang pintu menanyakan tentang apa, persisnya, yang kami pikir sedang kami lakukan.

“Kami sedang mengadakan diskusi filosofis yang sangat penting,” ujar Ayah, seraya menggerak-gerakkan tongkat pemukulnya di tanah. “Kami sedang memperbaiki ketidakadilan.”

“Apakah berlebihan memintamu untuk melakukannya di dalam saja?” Bunda menyahut amat dingin.

“Sebentar lagi.”

Bunda menurunkan lengan dari ambang pintu lalu melipatnya di depan dada rapat-rapat. “Orang-orang pada menanyakan keberadaanmu,” ucapnya, lalu, “tamumu akan merasa sepi.”

“Ayo, Charles, mari lihat kemampuanmu.” Ayah memberiku isyarat supaya melempar. Dengan patuh aku pun mulai menggerakkan bola.

“Kita tidak mau kan dia jadi cemberut, dan membahayakan kariernya yang menguntungkan,” ujar Bunda dari ambang pintu dengan suara menjemukan yang tidak enak didengar. “Bagaimana pertanggunganmu nanti?”

Kristus!” Ayah berbalik dan meraung, dasi kupu-kupunya mencong, “Aku bilang sebentar lagi, kan, kamu tidak lihat aku bersama bocah sialan ini—“

Bunda melangkahkan kaki kanannya ke anak tangga berikut dan berseru, “Kamu bahkan tidak bisa melakukannya dengan benar, kan? Kamu tidak bicara padanya sampai berminggu-minggu lantas kamu biarkan dia terjaga hingga tengah malam karena mendadak kamu merasa kebapakan—“ Bunda menarik diri sementara Ayah melemparkan tongkat pemukul ke arahnya. Tongkat itu bergerantang di bebatuan kerikil dan terlincir ke bawah mobil. Bunda berbalik, lantas merentak kembali ke dalam sambil membanting pintu. Kuambil lagi tongkat tersebut dan menunggu. Ayah berdiri di bawah pohon sambil mengusap-usap pelipisnya.

“Ayah, mau aku lempar bolanya?”

“Maaf, apa?”

“Ayah siap, atau--?"

“Begini, sekarang sudah malam, buyung. Ibumu benar, ini waktunya kamu tidur.” Ia mendesah seraya berjalan gontai ke arahku. Ia menepuk kepalaku dan berpaling memandangi teluk. Ia menggerincingkan kunci-kunci di sakunya, berdeham, dan setelah beberapa lama lagi kami memandangi teluk ia berkata, “Soalnya, Charles, hidup itu sering kali seperti kriket. Gawangnya … bukan, jadi, dengar, bagaimanapun juga, itu … hidup itu pekerjaan kotor, boleh jadi pekerjaan kotor ….” Napas Ayah hampir-hampir merubuhkanku. “Yang kuhendaki bagimu dan adikmu, bagimu dan Christabel … Aku tidak ingin kalian sampai harus mengais-ngais … taik, kamu mengerti?”

Tidak pernah ia berkata kasar di hadapan kami. Jantungku berdentam gelisah. “Ya, Ayah.”

“’Wujud-wujud menyimpang’, ingat itu. Dunia sarat akan wujud-wujud menyimpang. Meski begitu, sebagian dari mereka terlihat cukup baik penampakannya. Sebagian sangatlah menawan. Jadi kamu tidak bisa mendengarkan semua orang. Dan yang harus kamu lakukan, yaitu … yang harus kamu lakukan ….” Ia terkelu, tampaknya putus sudah yang hendak dikatakannya. Ia berpaling dari diriku dan terseret-seret kembali menuju rumah, dengan mengetatkan rahangnya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Maka aku pun tidak pernah tahu apa gerangan itu yang harus kulakukan. Aku hanya bisa menerka-nerka sebaik mungkin. Dan seraya menutup pintu resital sepelan mungkin dua puluhan tahun kemudian, mesti kuakui pada diriku sendiri bahwa sangat mungkin aku telah keliru memahaminya.

Salah seorang teman aktor Bel telah mengisi piano dan tengah mendentingkan kesenduan “Somewhere Over the Rainbow” sementara aku berlanjut menyusuri lorong sambil menjinjing koper. Suara nyanyian masuk pada bagian-bagian yang mereka hafal: “There’s a land that I dreamed of ….”—“Ada suatu negeri yang kuimpikan ….” Aku berjalan di sisi ornamen kaca bergambar Actaeon yang terbentang hingga pintu, lalu memandang kerajaanku yang hilang melalui gerimis tipis: pepohonan yang sepi ditinggalkan burung-burung, serta jeruji besi terpilin di mana Folly dulu berada.

Akankah Angin Puyuh yang telah merampas hidup kami tidak lagi menurunkan kami di Kansas, dalam nuansa lawas hitam putih nan nyaman? Atau tidak bisakah dirimu kembali kapan saja ke rumah? Apakah itu cuma berlaku dalam dongeng, apakah dunia nyata yang amat menggugah semua orang justru merupakan warna-warni cemerlang, yang kelewat mencolok ini, desakan tak berperikemanusiaan, yang tanpa belas kasihan ini?

Birds fly over the rainbow,”—“Burung-burung terbang melintasi pelangi,”—suara nyanyian merembes ke luar, “why then, oh why can’t I?”—“maka mengapa, oh mengapa aku tidak bisa?

Mati rasa aku menuruni serambi. Aku melewati van milik Frank terparkir di antara mobil-mobil Saab dan Jaguar. Sepintas lalu aku bertanya-tanya sekiranya akan menjumpai dirinya lagi. Lalu, sambil mencomot kudapan remuk dari sakuku, aku mengambil langkah awal kehidupanku yang suram disarati hujan, jauh dari Amaurot.



[1] Batu pualam putih
[2] Jenis anggur merah
[3] Jenis anggur putih dari California
[4] Sebelah tungkai berdiri sementara tungkai lainnya menjulur ke belakang
[5] Lampu meja yang kakinya bisa ditekuk
[6] Berasal dari ungkapan Perancis; teknik lukisan yang dapat menimbulkan ilusi optis dan menipu persepsi otak secara visual
[7] Salah satu daerah penghasil anggur di Perancis
[8] Orang yang dibangkitkan Yesus dari kematian
[9] Roti perancis dengan kandungan telur dan mentega yang tinggi
[10] Ungkapan Inggris yang menyatakan keyakinan bahwa sesuatu tidak akan terjadi
[11] Dalam kriket, boling berarti melepaskan bola ke arah gawang yang dijaga oleh pemukul bola
[12] Wilfred Rhodes (29 Oktober 1877 – 8 Juli 1973)
[13] “The Wrong of unshapely things is a wrong too great to be told”—dari “The Rose in the Deeps of His Heart”
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...