Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170406

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Seseorang mendorong pintu ruangan dansa hingga terbuka. “Nah, ketemu juga. Kamu enggak menungguku.”

“Oh—kukira kamu enggak benar-benar memintaku menunggumu ….”

“Udaranya dingin sekali, ya.” Mirela menggosok-gosokkan kedua tangan pada lengannya yang telanjang. “Kamu sedang apa di sini? Kamu melewatkan pestanya.”

“Ah, tahulah … cuma merasa butuh udara segar.”

“Kamu dicari ibumu.”

“Aku tahu,” sahutku muram.

Ia duduk di sisi seberang lorong. “Kamu baik-baik saja? Kepalamu sakit?”

“Enggak, enggak ….” Kusilangkan kedua kakiku ke arahnya, sepertinya tampak kecewek-cewekkan, lantas kembali kusilangkan. “Kurasa cuma karena ini pertama kalinya aku menyaksikan semua telah dibereskan. Aku jadi masygul.”

“’Masygul’”?

“Sedih, mengerti kan, kayak sewaktu kamu mengenang masa lalu.”

“Pasti aneh, ya, rasanya, pulang dan mendapati semuanya berubah begini.”

Aku mendongak ke arah pentas, pada latar warnanya yang menyerap cahaya serta balok-balok kayu terbuka yang telah menggantikan kertas dinding bercorak dan karya plester bergaya Barok Akhir. “Enggak apa-apa kok,” ucapku dengan anggun.

“Aku senang kamu bisa pulang hari ini,” ujarnya. “Tepat saat pertunjukan pertama.”

“Untung efek pereda sakitnya masih ada,” aku menyetujui.

Ia tertawa. “Kasihan Charles ini! Masak sih kamu enggak suka sedikit pun?”

Aku tuh sukanya padamu, ingin aku berkata: sekalipun wigmu terus-terusan tergelincir, meskipun saat kamu melafalkan cinta kedengarannya seperti sintal[1] sedang pengendara liar seolah-olah merupakan tokoh dalam cerita rakyat Transilvania, namun kapan pun kamu berada di pentas, seketika itu juga dialognya tidak lagi menjengkelkan dan kedengarannya sedikit hampir mulai menyerupai musik. Namun aku tidak menyatakan pikiranku itu. Aku hanya bergumam soal kostum yang realistis.

“Mmm,” sahutnya, sambil menekuri kedua tangannya yang terkunci seolah-olah ada kumbang koksi di dalamnya, hendak dibawa ke kebun. “Charles—karena sekarang kamu sudah pulang—ada yang ingin kukatakan padamu.”

“Oh?” ujarku, dan berdeham.

“Agak sulit mengatakannya.”

“Yah—cobalah,” ucapku. Sebab sebetulnya sedari tadi aku bertanya-tanya … maksudku, yang terjadi dalam film-film saat ada peristiwa luar biasa menimpa seseorang, semisal ia melarikan diri, atau kena ledakan, atau adiknya mengubah rumahnya menjadi komunitas teater, ia kemudian bertemu wanita cantik yang seketika jatuh cinta padanya dan membantunya melalui jalan hidup yang baru. Tidak dijelaskan sebabnya wanita itu jatuh cinta pada orang tersebut. Itu terjadi begitu saja. Barangkali itu semacam ganjaran dari Nasib atas keberanian mengusik alam semesta. Aku jadi berpikir bahwa boleh jadi pengalaman ini tidaklah sedemikian buruk dengan gadis seperti Mirela mendampingiku.

Ia mengembuskan napas bersiap-siap bicara, lalu, “Aku ingin minta maaf atas perbuatan Mama, karena telah mencuri dari kalian.”

“Ah, baik.” Kusembunyikan kekecewaanku dengan batuk. “Enggak usah minta maaf, sungguh. Nasi sudah menjadi bubur, dan seterusnya.”

“Kamu pasti mengira kami gila,” suaranya merendah. Berkas cahaya merayap di bawah pintu, bersinar perak pada lengannya yang berbulu halus.

“Enggak, enggak kok …” cepat-cepat aku menenangkannya. “Ada kisah yang jauh lebih buruk. Misalnya saja, kenalanku nih, Pongo McGurks, keluarganya kan punya pelayan, namanya Sanderson—mereka sudah mempekerjakannya selama bertahun-tahun, dan sangat mengandalkan dia, pelayan terbaik yang penah mereka miliki, dan sebagainyalah. Kemudian keluarga ini pulang cepat dari berakhir pekan lalu mendapati dia mengenakan gaun pernikahan ibu Pongo. Ia mau pemanggang roti menikahkannya dengan jam kukuk.”

“Oh.” Tampaknya dia tidak begitu memahami ceritaku. “Dan itu sering terjadi?”

“Enggak, sepertinya cukup jarang,” aku mengakui. “Maksudku jarang-jarang ada pelayan yang ukurannya pas sepuluh.” Ceritaku sama sekali tidak ada gunanya.

Mirela mengerutkan dahi. Sebatang jarinya mengait helaian rambut hitamnya. “Aku keliru, ya, menjelaskannya,” sahutnya. “Aku mau menyampaikan bahwa Mama sebetulnya bukan orang yang seperti itu, mengerti kan. Ia bukan pencuri. Aku terus-terusan memberi tahu Mama, kenapa Mama mencuri dari orang-orang ini, mereka peduli pada Mama, mereka akan membantu kita. Tetapi kamu harus mengerti bahwa Mama sulit memercayai orang, setelah yang dialaminya. Awalnya Mama cuma mengambil barang-barang kecil yang tidak akan ketahuan. Namun ketika Mama mengetahui soal bank, bahwa rumah kalian mungkin disita, Mama mulai panik, tidak bisa tidur. Mama mendapat gagasan untuk mencuri secukupnya supaya kami bisa pulang. Seolah-olah masih ada yang tersisa di sana.” Mirela menyeringai sinis. “Aku mencoba memberitahumu, alasan Mama berbuat ini bukan karena ia gila atau jahat. Mama hanyalah orang yang telah mengalami berbagai kejadian buruk.” Mata kobaltnya yang tajam berputar menatapku. Aku merasa ditusuk dan diangkat dari tempat dudukku. “Aku ingin kamu tahu bahwa kami hanyalah keluarga biasa yang telah mengalami berbagai peristiwa buruk. Kamu mengerti?”

“Tentu,” aku menggaok, “tentu saja.”

“Aku tahu kamu akan mengerti,” ujarnya anteng. Ia menekuri tangannya lagi dan sekonyong-konyong berkata: “Apa tadi kamu memerhatikan kakiku sewaktu di panggung?”

“Apamu …?”

Kakiku, Charles. Kamu pasti memerhatikannya, semua orang pasti memerhatikannya. Aku enggak ingin kamu bersikap diplomatis soal ini. Terus terang saja padaku.”

“Aku enggak memerhatikannya, kok,” ujarku. “Jujur deh. Mungkin sebentar sewaktu di awal. Tetapi lalu aku melupakannya.”

“Karena itu juga Mama perlu uang,” ia termenung. “Semua orang bilang zaman sekarang hal-hal menakjubkan bisa dilakukan.”

“Enggak begitu buruk kok kelihatannya,” ujarku. “Maksudku kurasa itu lumayan cocok padamu.”

Barangkali itu bukan perkataan yang tepat. Aku tidak yakin benar soal etiket berbicara tentang anggota tubuh yang hilang. Tetapi Mirela mulai tertawa. “Senang deh akhirnya punya teman bicara tentang pengalaman kena ledakan!” ucapnya.

“Aku enggak lagi bercanda,” tegasku.

“Dunia jadi tampak lain sesudahnya, ya kan?” Mirela berhenti tertawa. “Saat kamu menyadari bahwa berbagai peristiwa dapat terjadi begitu saja.” Ia merunduk. Kubiarkan saja tatapanku berlabuh di wajahnya lagi, mencoba mencari sebab yang telah memikatku sedemikian.

“Aku benar-benar bersyukur kamu bersedia menampung kami, Charles,” ucapnya. “Kebanyakan orang bahkan enggak tahu yang terjadi di sana. Mereka mengira kami ke sini cuma untuk minta-minta.”

“Betulan, enggak apa-apa,” sahutku. Sfumato, begitu istilahnya dalam dunia lukisan; pengaburan atau penghilangan garis-garis tertentu, seperti yang dilakukan Leonardo sehingga Mona Lisa tampak menyimpan muslihat yang berubah-ubah.

“Aku tahu kamu akan mengerti,” ulang Mirela. Sesaat kesunyian menghampiri. Maksud pembicaraannya sudah cukup jelas. Kini waktunya giliranku. “Aku jadi ingat,” ucapku, “ada yang ingin kukatakan juga. Tentang sandiwara tadi.”

“Oh?” Ia mendongak.

“Ya,” ujarku, seraya mendesakkan pergelangan tanganku keluar dari manset. “Aku ingin menyampaikan suatu hal yang kurasa menarik dari situ—sehingga aku merasa berbesar hati—yaitu tentang cinta.”

“Cinta?” ulangnya sangsi.

“Ya, betapa sandiwara tadi menunjukkan cinta dapat mengatasi segala, ah, kemiskinan, pencurian mobil, dan seterusnya.”

“Oh, aku mengerti,” sahut Mirela. “Ya, meski kupikir sebenarnya sandiwara tadi bukanlah kisah cinta.”

“Tetapi cinta di antara karakternya Bel, misalnya saja, dan si, orang berkumis—bagiku terasa, mengerti kan, bahwa sekalipun peristiwa buruk terjadi padamu, dan hidupmu tercerabut, masih ada harapan, sebab saat itu juga kamu akan bertemu seseorang istimewa yang kurang lebih akan membantumu melaluinya. Begitulah yang kutangkap dari situ.”

“Ya,” Mirela mengangguk samar sembari melihat-lihat buku acara yang tertinggal pada bangku di sampingnya. “Pendapatmu itu sangat menarik, Charles, sebab bukan itu khususnya yang kami coba angkat sebagai temanya ….”

Mirela tidak mendengarkanku. “Tetapi, itu cerita tentang cinta, kan?” ujarku gigih. “Mengerti kan, bahwa cinta itu kurang lebih muncul di tempat yang tidak terduga-duga, sekalipun tidak secara tegas menyatakan suatu, suatu temanya ….”

“Mmm,” sahutnya, lantas berpaling dan menambahkan dengan tangkas, “Ya, kamu benar, tentu saja, dan juga persahabatan, mengerti kan, persahabatan yang mengasihi, soal itu juga sangat penting dalam sandiwara tadi. Semacam yang dialami Bel dengan abang tirinya.”

“Yang mana,” ujarku.

“Yang kerja di kedai,” jawabnya.

“Ya, persahabatan boleh juga,” aku menyetujui. “Tetapi cinta juga ada kan, seperti dalam adegan ketika si pecandu heroin dan si cewek yang suka mencuri dari toko Marks & Spencer—“

“Ya, tetapi secara umum sandiwara tadi soal persahabatan, Charles,” cetusnya, lantas terdiam dan timbul keheningan yang canggung. Jelas benar ia terlalu asyik dengan malam pentingnya ini untuk dapat merasakan maksud sebenarnya di balik ulasanku. Keparat, mustahil menangani momen rawan begini tanpa memiliki muka!

Keheningan itu terus berlangsung lebih lama hingga serta-merta ia berkata, “Kamu sudah bertemu Harry?”

“Apa?” sahutku.

“Harry, dia cowok yang menulis sandiwara ini. Kamu enggak bertemu dengannya tadi?”

“Aku enggak bertemu siapa-siapa kok,” ujarku sedih. “Bel menyuruhku supaya tetap menjauh. Kurasa tadinya ia mau mengurungku di gudang bawah tanah kalau bisa.”

“Oh. Yah, kalau begitu, kamu harus masuk dan menemuinya sekarang,“ ujarnya. “Dia sangat lucu, pintar, dan ramah. Menurutku kamu akan menyukainya.”

Barangkali aku keliru terburu-buru bersikap defensif. Namun seorang pria tidak menjalin hubungan bersama Patsy Olé tanpa belajar satu dua hal mengenai sisi yang lebih gelap dalam cara berpikir wanita. Mendadak Mirela tampak kelewat bersemangat soal Harry. Mungkinkah pola asuh di Balkan tidak mencakup sampai sejauh tata cara dalam hubungan asmara yang berapi-api? Mungkinkah si Harry beserta sandiwara jeleknya itu telah memikat Mirela sampai-sampai melarikan momen sentimental kami berdua di Folly dari dalam kepalanya?

“Enggak bakal,” sahutku bersukarela.

“Apa?”

“Aku enggak bakal menyukainya,” ujarku. “Si Harry ini.”

Mirela tertawa berseri-seri. “Jangan konyol ah! Aku yakin kamu akan menyukainya. Lagi pula, kamu tidak boleh bersembunyi di sini semalaman.” Ia mengambil pergelangan tanganku dan, tanpa menatap mataku, menarikku berdiri. Diiringi firasat akan datangnya malapetaka aku ditarik-tarik sepanjang lorong, umpama anjing tua dipaksa pergi ke dokter hewan.

Lukisan Ayah telah kembali dipajang tepat di sebelah luar ruang resital, beserta plakat di bawahnya yang terbaca Pusat Kesenian Ralph Hythloday, seakan-seakan semua ini merupakan gagasannya. Ia tampak terperangkap. Sesaat mata kami bertatapan pasrah, sementara Mirela menggiringku kembali ke pesta.

Di dalam ruangan, tamu sudah agak berkurang. Tepat di balik pintu, Bunda yang membelakangi kami tengah menyambut sepasang wartawan. Si pria berwajah kemerah-merahan semakin memerah saja. Ia sedang berdiri bersama kelompoknya membentuk semilingkaran yang acak-acakan di sekitar piano, sambil dengan sumbang menyanyikan lagu jelek dari suatu pertunjukan populer. Di belakang mereka, MacGillcuddy mengamati seorang pelayan tua yang membisu.

“Kenapa sih orang itu ada di sini?” ucapku. “Teater macam apa yang membutuhkan MacGillycuddy sebagai konsultan?”

“Hmm? Oh, dia ….” Mirela berhenti memberengut. “Yah, persisnya aku tidak tahu. Tampaknya ia tahu-tahu muncul. Kukira tidak ada orang yang mempertanyakannya—oh lihat, Charles, itu Harry!” Dengan riang ia melambaikan tangan pada sekelompok pemain drama di pojok ruangan. Jantungku copot begitu aku menyadari bahwa, seperti yang kutakutkan, “Harry” itu tidak lain si orang menyebalkan bergaya rambut avant-garde.

Bel menautkan sebelah lengannya pada lengan kanan orang itu, dan kini Mirela menyelipkan diri ke lengan yang kiri.

“Aku menganggap Terbakar Habis itu bukan sekadar sandiwara,” ucapnya. “Itu lebih merupakan suatu panggilan untuk melawan. Semacam pemberontakan. Tentang meledakkan seluruh—“

“Harry, ini Charles yang ingin kuperkenalkan padamu.”

Ia memandangku sepintas tanpa minat dan memberiku senyuman hampa.

“Charles, ini Harry yang—“ Mirela berpaling padaku.

“Kami sudah bertemu,” ujarku muram.

“Masak?” sahut Harry.

“Oh iya,” ucapku. Karena akhirnya jelas sudah. Aku tahu di mana aku pernah melihat dia sebelumnya: dan kini terang bagiku cara kerja seluruh bisnis jahat ini. Orang-orang yang konon Para Aktor Kurang Mampu penyumbat ruang resital ini tidak lebih daripada para pemuja Marx pengais makanan yang telah merusak petang hariku selama masa kuliah Bel, dan orang ini, meski waktu itu ia berambut jambon, dan dipanggil Boris, merupakan dalang mereka. Berapa kali aku menguping dia bicara tentang mimpi atau kebebasan atau revolusi sembari memijakkan kakinya di kursi malas pada si gadis dengan mata bercahaya, atau menghasut Mbok P untuk bangkit melawan penindasnya, yaitu Bunda dan aku, sekalipun dilakukannya itu sambil menjejali perutnya dengan cokelat truffle atau mengganyang kue kepang[2] yang secara khusus telah disisihkan seseorang untuk dirinya sendiri. “Oh iya,” ucapku lagi, supaya ia tahu bahwa aku siap dengan permainannya dan akan mengawasinya lekat-lekat. Namun, percakapan sudah berlanjut, yang mana berarti gadis-gadis, sambil terkagum-kagum seperti anak umur dua belas tahun yang makan terlalu banyak serbat, menariki lengan bajunya dan meminta dia bercerita lebih banyak mengenai pemberontakan, jadi aku pun mengambil beberapa kudapan dari baki yang lewat dan memuaskan diriku mengunyahnya dengan gaya samar-samar mengancam.

“Yah, aku memandangnya sebagai semacam ‘perang gerilya’,” ucap Harry. Dari dekat, kue kepangnya terlihat seperti sekawanan ular yang diracun saat merayapi kepalanya. Dia itu jenis orang yang suka membuat tanda kutip imajiner dengan jari, yang agaknya merupakan alasan bagus lain untuk membencinya. “Mengambil bentuk-seni elitis dan menggunakan esensinya sebagai kuda Troya yang dari padanya lantas kita kembangkan untuk menghadapi para penonton borjuis beserta kemunafikan mereka. Maka sandiwara itu sendiri harus memiliki semacam kekuatan ledak yang boleh dikatakan dapat ‘menghancurkan’ gedung tempat pementasannya, seperti bom—“

“Tunggu dulu,” potongku. “Kuharap kamu enggak sedang bicara soal menghancurkan Amaurot.”

“Ini metafora saja, dasar tolol,” ujar Bel jengkel.

“Kami berharap enggak perlu sampai memakai peledak betulan,” ucap Harry padaku.

“Kuharap tidak,” sahutku, kembali pada kudapan. “Jangan main-main soal meledakkan bangunan. Ini menurut pengalaman lo.”

“Sebab aku yakin warisan pascamodernisme,” sambung Harry, “ialah untuk mengingkari seni, dan juga kekuatan untuk membuat segala macam pernyataan bermakna—tentang persoalan ini, tentang kita. Maka kurasa kita harus kembali pada teater gaya Berkoff[3], Artaud[4]—“

“Charles, perbanmu kena pâté[5],” ucap Bel.

“Iya, ya?”

“Iya. Enggak, jangan diusap, malah tambah kotor … Ah, jadi menjijikkan banget deh.”

Wajah-wajah itu berhimpun mengerang dan mengambil sikap jijik. Bel menurunkan alisnya dengan sengit ke arahku, ibarat sapi jantan mau menyerbu.

“Aku akan pergi dan membersihkannya,” ucapku beribu maaf, lantas menarik diri ke kamar kecil, melewati pria berwajah kemerah-merahan yang kini tengah bungkuk menangis di atas penutup piano. Aku tidak bergabung lagi bersama para aktor itu sesudahnya. Alih-alih, aku mengambil tempat di dekat dinding, terlindung dari Bunda oleh pot tanaman, sambil mengisap es batu dengan pilu. Malam ini jadi luar biasa menyedihkan. Tidak adakah yang mau mengobrol bersamaku?

Seolah-olah berjawab, seketika itu juga sesosok besar berbentuk tak keruan menghampiriku. “Baik-baik saja?” makhluk itu berkata.

Kutahan diri supaya jeritanku tak terdengar.

“Gimana kepalanya?” tanyanya. “Masih utuh enggak, atau gimana?”

“Menurut keterangan yang dapat dipercaya sih kepalaku masih ada,” ucapku.

“Soalnya aku mikir,” ujar Frank, “kamu enggak pengin kan kejadian kayak di Batman, pas perbannya dilepas dia jadi Joker, ngeri gitu mukanya.”

“Enggak,” aku menyetujui. “Enggak. Kuharap enggak bakal ada kejadian begitu.”

Ia mencolekku dengan gaya berkomplot. “Di rumah sakit susternya montok-montok, ya?”

“Mmm,” sahutku, seraya berharap dalam percakapan ini ada semacam bangku pelontar. Lagi pula, kenapa sih ia menggangguku? Bukankah seharusnya ia lagi meraba-rabai Bel?

“Ah yeah—kayak babeku bilang, dalam hidup ini cuma ada dua hal yang pasti—kematian, sama suster-suster.” Kearifan ini disusul desahan panjang. Ekspresi aneh melintas di wajahnya. Aku mendapat kesan mengusik akan adanya perasaan amat murung bersuara di balik sosoknya yang kukuh. Aku sedang berpikir apakah sebaiknya aku menyingkir ketika, sambil menggaruki perutnya, tahu-tahu ia bertanya kalau-kalau Bel menyinggung tentang dirinya padaku.

“Tentang dirimu?” sahutku. “Padaku?”

“Enggak penting sih,” ujarnya cepat-cepat. “Cuma beberapa minggu ini aku jadi jarang ketemu dia, gitu aja.”

Sementara aku mengingat-ingat, tampaknya sewaktu menjengukku di rumah sakit Bel mengatakan sesuatu seperti Frank, ih. Namun selain itu, ia bahkan tidak menyebut-nyebut Frank, apalagi soal mencari apartemen bersamanya. Aku pun memandang ke arah Bel berdiri bersama teman-teman teaternya, lalu kembali pada Frank. Barulah aku sadar bahwa semalaman itu aku belum melihat Frank meraba-raba Bel ataupun menekuri bajunya.

“Aku heran aja,” ujar Frank murung. “Tiap kali aku manggil, dia lagi sibuk masang kabel, atau latihan dialog, atau kumpul-kumpul. Kadang dia malah enggak mau teleponan sama aku.” Dahinya agak mengilap oleh keringat dan tatapan matanya amat sayu. Ingin benar aku melemparinya dengan biskuit-anjing yang besar.

“Yah … dia kan sibuk,” kataku. “Itu saja. Dia merasa terikat dengan teater jelek ini. Aku yakin nanti juga dia kembali seperti biasanya.”

“Charlie,” bisiknya, “kenapa sih mereka ngadain teater di rumah kamu?”

“Entahlah,” ujarku cergas. “Waktu itu aku kan lagi di rumah sakit. Di rumah ada banyak perempuan. Apa pun mungkin terjadi dalam keadaan begitu.” Pijakanku gelisah berganti-ganti dari satu kaki ke kaki lain. Gara-gara Frank aku jadi khawatir. Bahkan sambil berbicara aku merasa bahwa malam ini antara aku dan Bel pun suasananya dingin. Bagi orang yang tidak tahu apa-apa mungkin kelihatannya aku dan Frank mengalami situasi serupa. “Begini,” ucapku. “Nanti aku bicara padanya, ya? Akan kucari tahu persoalannya. Tetapi aku yakin enggak ada yang perlu dicemaskan. Teater ini enggak bakal bertahan lama. Kamu tahu kan Bel, apa-apa dia jadi bosan setelah beberapa minggu—“

Seketika itu juga aku menyadari arti tersirat perkataan tersebut. Frank menganga ngeri ke arahku. “Itu—“ suaraku tercekik hendak menjelaskan, tetapi percuma saja, aku tidak tahan bersama dia barang sedetik lagi. Disertai deguk minta maaf, aku berbalik dan kabur. Kulihat Mbok P sudah tidak mengawasi bar. Aku pun menyelinap ke balik bar lalu mulai mengisi kantong pakaianku dengan kudapan tanpa tahu benar buat apa.

Ternyata, aku tidak pernah berhasil membicarakan soal Frank dengan Bel. Semua botol tak berpenjagaan itu mengacaukanku. Aku tengah meracikkan diriku Hennessy porsi dobel, sekadar untuk meredakan kegelisahan, saat merasakan embusan dingin mendera bahuku dan terdengar suara, “Ah, Charles, kamu di sini rupanya.”

Kuteguk habis minumanku dan pelan-pelan berpaling.

“Kamu tahu, untuk orang dengan jadwal yang ringkas kamu ini bisa sangat sulit ditangkap.”

“Ha ha,” tawaku lemah, seraya mencari-cari jalan melarikan diri. Nihil. “Yah, di sinilah aku.”

“Benar,” sahut Bunda, senyumnya laksana baja.

Mesti kujelaskan bahwa, apa pun yang dialaminya di Cedars, Bunda telah berubah. Sewaktu aku berada di rumah sakit, ia menjengukku dan perubahannya itu tampak jelas dari sejak ia melewati pintu. Ia menerobos bagaikan Valkyrie[6] terlambat datang ke pertemuan Klub Rotary. Langkahnya berderap dan tanpa sekalipun berhalus tutur menanyakan lukaku yang banyak, ia mulai memberikan wejangan panjang-lebar berapi-api mengenai tanggung jawab, pola makan holistis, serta dua belas langkah imajiner pembinaan jiwa agar meraih puncak hal yang lain. Gara-gara itu aku jadi sangat ketakutan dan mafhum bahwa tidak ayal lagi dialah penyebab aku siuman setelah berminggu-minggu tidak sadarkan diri dikelilingi keranjang buah namun tidak ada cokelat.

Akar transformasi ini suatu entitas yang sampai sekarang asing bagiku, disebut juga sebagai Kuasa Adiluhur. Agaknya Kuasa Adiluhur ini gembongnya Cedars, dalam membujuk pengidap neurotik kaya raya agar melepaskan sifat-sifat buruknya serta mengambil bagian dalam aneka beban hidup. Sementara urusan berhenti-minum-minum dan mengakhiri berbagai persoalan agaknya telah berlalu, Bunda menjadi amat terkesan pada gagasan mengenai kewajiban serta memberikan sumbangsih. Bahkan pada waktu itu aku sudah memperkirakan bahwa perubahan Bunda sama sekali tidak mendatangkan harapan baik bagi diriku begitu pula upayaku untuk menghidupkan kembali gaya hidup pria sejati di pedalaman.

Begitu aku tiba di rumah hari itu, rasanya gegabah mengira bahwa aku akan sanggup menghindari Bunda. Itu akan jauh lebih mudah dilakukan dengan Bunda yang lama, Bunda yang tetap di tempat tidur hingga pukul dua atau tiga sore kemudian mengekang diri di kursi ruang duduk bersama sebotol gin. Dengan Bunda yang baru, rasanya nyaris mustahil. Aku baru pulang saat jam makan siang dan sudah bersikap awas saja agar terhindar dari dirinya. Ia tampak memiliki cadangan energi baru lagi tak terhingga. Ia ada di mana-mana. Ia imanen. Ke mana pun menuju, ia ada di situ lebih dulu, sambil membawa-bawa sekaleng pelitur mebel, atau buku berisi contoh-contoh karpet, atau map berjilid cincin merah yang tampak seram berlabel “Proyek”. Pada jam minum teh aku lelah sekali. Dan sekarang aku berada dalam cengkamannya.

“Sudah larut malam, ya?” ucapnya, seraya menjangkau sherry di belakangku. “Aku sangat bangga pada gadis-gadis itu. Tidakkah kamu juga sangat bangga pada mereka?”

“Senang melihat Bel berpentas lagi,” sahutku. “Akhir-akhir ini ia belum bersandiwara lagi.”

“Oh iya, dikelilingi para preman hebat itu, aku hampir-hampir terbawa oleh suasana—pertunjukan tadi bisa dianggap seperti perjalanan ke Neraka, ya kan?”

“Mmm,” dengan murung aku menyetujui.

“Dan Mirela—bakatnya itu, Charles! Penampilannya! Gadis itu akan sukses. Setidaknya …” nalarnya sampai juga, “kalau saja ia bisa memperbaiki—gerakannya lambat sekali ….”

“Sepertinya ia tidak akan pernah menari gaya Kirov[7].”

“Biarpun begitu, suara benda itu hampir tidak terdengar, ya kan? Juga sangat cantik dan eksotis!” Ia mengisi gelasnya. “Setidak-tidaknya, dengan adanya persaingan Bel akan menemukan jati diri sekiranya ia menujukan perhatian pada Harry. Pemuda yang sangat memesona.”

Aku meneguk minumanku cepat-cepat lantas menyeka mulut dengan punggung tangan. “Enggak begitu memesona buatku,” gumamku mengingkari. “Enggak kelihatan Kurang Mampu juga. Enggak dua-duanya.”

Charles,” tukas Bunda, lantas berpaling ke belakang kalau-kalau ada yang mendengar. “Semua itu akan ditangani selekasnya. Sekarang yang penting segalanya dapat difungsikan. Bila itu sudah beres, setelahnya boleh kita teliti secara terperinci siapa yang Kurang Mampu dan siapa yang tidak. Lagi pula sejauh ini acaranya sukses luar biasa. Luar biasa.” Ia memutar-mutar cincin di jarinya sementara menoleh pada para tamu. “Sehingga persoalannya tinggal dengan dirimu.”

“Aku?”

“Ya, apa yang mesti diperbuat dengan dirimu, Charles?”

Aku mulai merasakan gatal pertanda buruk di sekitar hidung. “Oh, aku sih enggak harus mengkhawatirkan diriku,” cetusku, seraya menakar kira-kira satu dram[8] brendi lagi dari botol. “Bunda tahu kan aku, senang-senang saja cuma berkeluyuran, menonton film asing, sesekali minum anggur—“

“Sssh,” tukasnya. “Ada lautan perubahan dalam mengurus rumah ini sejak kamu mangkir sejenak, Charles. Dan perubahan itu sudah lama melampaui batas waktunya. Keluarga kita sudah terlalu lama mendiami pulau fantasi, hidup melampaui kesanggupan kita, dan melalaikan tanggung jawab. Kalian anak-anak menjadi terabaikan. Sebagai ibu kalian, aku mesti turut menanggung kesalahan.”

“Kurasa Bunda agak menekan diri sendiri—“

“Syukurlah, dengan proyek baru ini akhirnya Bel menggunakan energinya untuk suatu tujuan yang positif. Mesti kuakui bahwa ini sebagian besar berkat Mirela, yang memberi pengaruh lebih baik bagi Bel ketimbang, mungkin, ayahnya atau aku sendiri selama beberapa tahun ini. Akan tetapi, kamu rupanya sangat degil.” Bunda menggeleng-geleng. “Saat aku melihat betapa gadis itu telah berhasil menghadapi kemalangan dengan meluangkan waktu mengurus rumah ini sehingga ibunya tersayang dapat berbangga hati, dan kemudian aku melihatmu—“

“Aku meluangkan waktu mengurus rumah, Bunda, jangan enggak berperasaan begitu ah—“

“Berbaring di sofa seharian bukanlah mengurus rumah, Charles.”

“Aku tuh sakit,” sangkaku. “Orang sakit ya mestinya berbaring.”

Jarinya membungkamku. “Setan itu temannya orang malas. Sejak kamu putus kuliah di Trinity kamu hidup tanpa mimpi dan ambisi, bahkan kamu pun tidak terlihat risau akan masa depan. Di samping lesu, belakangan ini kelakarmu semakin menggila saja. Tuhan tahu aku senang-senang saja memandangi bagian belakang Folly edan kepunyaanmu itu, tetapi pembangunannya sudah sampai taraf di mana kemalasan kronismu mempertaruhkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah.”

Gelenyar itu sudah menjalar hingga dahi dan seluruh kulit kepalaku. “Mau Bunda apa sih?” sahutku lemah.

“Kamu sudah kelamaan hidup senang,” tandas Bunda. “Sekarang sudah waktunya kamu mencari kerja.”

Kerja!




[1]… pronounced love like laugh …”
[2] Pecan plait, kue khas Denmark berbentuk jalinan dibubuhi kismis
[3] Steven Berkoff (l. 1937), aktor, dramawan, sutradara teater asal Inggris
[4] Antonin Artaud (1896 – 1948), dramawan, sutradara teater, penyair, aktor, seniman, esais asal Perancis
[5] Daging yang dihaluskan dan dibumbui, bisa untuk olesan roti
[6] Dewi dalam mitologi Nordik
[7] Salah satu perusahaan balet paling terkemuka di Rusia
[8] 1/8 ons
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...