Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170913

An Evening of Long Goodbyes, Bab 13 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Bel tidak kembali. Aku tahu ia tidak akan kembali. Meski begitu, aku tetap menunggu sekitar sejam, di pinggiran ruang pesta, sambil meminum gimlet dan terkatung-katung di sekitar percakapan orang lain. Tuan-tuan bersetelan membicarakan investasi lepas pantai, properti, golf. Nyonya-nyonya membicarakan properti, liburan, operasi plastik, aksi sosial.

Selagi berjalan ke luar rumah, aku mendengar percekcokan berlangsung di ruang penitipan barang. “Saya tidak yakin kamu mengerti peliknya masalah ini,” seorang nyonya memberi tahu Frank dengan suara nyaring dibuat-buat yang dapat memecahkan kandil. “Ini bukan cuma soal harganya. Bulu rubah itu tidak tergantikan. Itu benda bersejarah, bisa kamu mengerti?”

“Yah, kan enggak ada,” kata Frank dengan nada memungkas.

“Tetapi di mana lagi dong?” suara perempuan itu naik lagi beberapa oktaf. “Di mana lagi, coba?”

“Kabur kali,” imbuh Frank. “Dia enggak mau diam di rumah terus kali.”

“Rubahnya sudah mati!” wanita itu meraung, sambil menggebrakkan sebelah tangannya yang penuh permata pada meja, lantas, seakan-akan terkejut oleh perkataannya sendiri, ia terhuyung-huyung mundur sementara tangannya yang itu juga mencengkeram batang lehernya. Sepertinya diskusi ini sudah berlangsung beberapa lama. Aku merasa rada kasihan pada wanita itu, namun kutegakkan kerah bajuku dan terus saja menatap pintu depan.

Di luar malam jernih, dingin, dan menggigit bibir serta cuping hidungku. Salah seorang anak buah sanggar sedang berdiri di puncak jalan mobil di halaman dengan mengenakan seragam pesuruh yang ketinggalan zaman (yang ditemukan di antara timbunan benda-benda antik yang digali Harry di loteng), mengarahkan mobil-mobil yang keluar dengan jemari membiru dan paras tabah. Selagi mobil-mobil itu berjalan keluar, cahaya lampunya yang berayun-ayun menimbulkan bayang-bayang gila, wajah-wajah licik dan berbonggol-bonggol pengundang setan pada batang dan ranting pepohonan yang sedang terlelap. Di luar pagar tanaman terlihat pula cahaya lain yang tengah menyala-nyala di dalam sarang Mbah Thompson. Bunda telah mengirim undangan pertunjukan sandiwara pada Olivier, meskipun kurasa ia tidak benar-benar mengharapkan kedatangannya. Olivier tidak terlihat sejak pemakaman si mbah. Ia bahkan tidak menanggapi ketukan di pintunya. Segala macam kabar burung berseliweran: konon surat wasiat si mbah, yang menyatakan segalanya diwariskan untuk Olivier, tengah digugat oleh keponakan gelapnya yang tinggal di Australia; konon keponakan ini tengah merencanakan untuk merobohkan bangunan tua itu dan mendirikan rumah-rumah baru untuk dijual; konon Olivier, karena sikapnya yang keras kepala, menolak berbicara dengan para pengacara Thompson, atau siapa pun juga.

Aku menuruni undak-undakan, lantas mengarah pada barisan taksi yang menanti di pagar, sambil berharap salah satunya dapat dibujuk untuk mengantarku pulang ke Bonetown. Namun seketika aku melewati pohon laburnum, satu sosok melangkah ke depanku. Aku pun tertahan. Sejenak kami sama-sama bergeming saja, berdiri sembari bertatapan.

“Kukira kamu sudah tidur,” kataku akhirnya.

“Belum,” sahutnya, sembari mengusap-usap pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya menggigil. Entah sudah berapa lama ia menunggu di luar sini, di antara pepohonan.

“Yah—“ Usai berbasa-basi, aku pun hendak melanjutkan langkah, namun ia mendahuluiku dan mengadangku lagi.

“Aku ikut,” ucapnya.

Kutatap dia.

“Aku harus,” ucapnya tersendat-sendat. “Aku perlu keluar dari sini barang sebentar.”

Aku terdiam lantas berkata, tanpa kehangatan, “Memangnya kamu mau ke mana?”

“Ke mana saja,” sahut Mirela.

Sekarang ini kupikir semestinya waktu itu aku melewatinya saja. Setelah malam itu, apa lagi yang bisa kami percakapkan? Namun kegalauannya itu menampakkan sesuatu—matanya yang panik, gerak tubuhnya yang gelisah—tampak menghipnosis, sebagaimana tabrakan mobil pun dapat menghipnosis. Biar begitu, atau karena itu, aku jadi tertarik. Lagi pula hidup kan tidak seperti di film-film: tidak ada gemuruh ombak sebagai latar suara, tidak ada kamera yang menyorot dari atas menunjukkan kepasrahan, tidak ada yang memberitahumu bahwa pada saat inilah hidupmu akan berubah. Alih-alih rasanya seperti kereta yang dengan senyap berganti rel, setelah separuh perjalanan berganti haluan menuju sepanjang bagian lain malam itu. Mirela menatapku lagi dengan ekspresi polos yang janggal itu. “Kumohon, Charles,” ucapnya. Dan aku pun teringat pada tangannya yang bergerak melingkupi tanganku di susuran tangga kala itu, matanya memandangku dengan desakan halus bak selembar daun bunga di permukaan air.

Hampir sejam perjalanan dengan taksi dan kami melaluinya dalam sunyi. Ia duduk di dekat jendela satunya dengan kepala bersandar pada kaca dan gelapnya kota melintas di balik bayangannya. Akan tetapi, begitu kami mendekati Bonetown, ia tampak tergerak. Ia duduk tegak dan memandang sekitarnya, mencerna sekelilingnya sembari mengangguk kecil, seakan-akan bangunan-bangunan tinggi yang suram, jalanan yang remuk merupakan jawaban bagi suatu pertanyaan tak keruan dalam benaknya.

Aku mengarahkan taksi supaya berhenti di luar bangunan Frank. Tanpa berkata apa-apa padaku, Mirela keluar lalu menunggu sambil menggigil dalam balutan gaun dansanya di pinggir jalan sementara aku membayar sopir. Dari ujung jalan terdengar troli belanja bekertak-kertak lalu diam, bak hewan lari ke semak-semak.

Frank belum pulang dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Droyd. Ruangan penuh asap dan berbau bahan kimia. Kuambil geretan untuk menyalakan petromaks dan, karena tidak tahu mesti berbuat apa lagi dengan dirinya, menawari Mirela minuman. Aku keluar dari dapur dengan gelas dan sebotol Bulgarian Cabernet saat mendapati Mirela sedang melangkah perlahan-lahan di seputar bagian belakang ruangan, mengamati galeri barang-barang hasil operasi penyelamatan, yang dalam temaram cahaya tampak lebih menyedihkan daripada biasanya. “Ini apa?”

“Kepunyaan Frank. Pekerjaan dia. Barang-barang yang diambilnya dari rumah-rumah. Ia menjualnya pada diler, dekorator, dan sebagainya.”

“Mmm-hmm ….” Mirela memungut kain penutup kepala yang sudah dimakan ngengat, mestilah dulunya untuk kuda-kudaan, lalu membolak-baliknya.

“Yang itu Frank mengambilnya dari pelelangan. Kepunyaan seorang pertapa. Kebanyakan sih rongsokan. Untuk boneka hewan dalam skala besar-besaran. Frank bilang, sekarang itu barang seperti itu tidak menjual.”

Mirela mengangguk seperti tanpa sadar, seraya meletakkan kembali kuda itu. Gumpalan asap tebal masih luruh dari langit-langit, menggelingsir bak selendang transparan menyelubungi bahunya yang telanjang. “Kami dulu sering melihat barang semacam ini di beberapa kota yang kami lewati,” ucapnya, sembari menyapukan jemarinya pada susunan rombengan itu. “Ketika orang sudah pada melarikan diri, lalu para tentara pun masuk dan mengambil apa pun yang ditinggalkan. Mesin cuci, perekam video, bingkai foto, permadani, alat pemanas, kau bisa melihat semuanya itu tergeletak di jalan, menunggu diangkut ke dalam lori, dibawa pergi, dan dijual. Ketika rumah sudah pada kosong, mereka membakarnya.”

Belum pernah kudengar ia bercerita tentang kejadian di sana. Aku pun menunggu, seraya bergeming, kalau-kalau ia hendak meneruskan. Namun alih-alih ia berpaling sembari membawa serta minumannya dan menduduki kursi yang ada di hadapan tempatku duduk di birai jendela. Ia tersenyum dibuat-buat sembari menghela kedua tangannya ke pangkuan. “Jadi di sinilah sekarang tempat tinggalmu,” ucapnya.

“Ya,” sahutku.

“Sulit membayangkan dirimu berada di tengah-tengah panci dan kuali ini.”

“Enggak sebegitu buruk kok,” ujarku defensif.

“Kupikir juga tidak.”

Kuketuk-ketukkan kaki. Apa sih yang diinginkannya dari diriku? Apa memang ia mengharapkan diriku supaya duduk-duduk di sini, berbasa-basi, selagi ia meresapi nuansa telantar ini? Kutatap ia sembari merengut menghendaki dirinya supaya pergi. Lantas ketika kuturuti arah pandangnya yang menuju kuncian kedua tangannya, aku berucap sekonyong-konyong, “Bukankah itu punya Bel?”

“Apa?”

“Sarung tangan itu.”

“Ini?” Agak kebingungan, ia mengangkat kedua tangannya, seakan-akan aku telah mengacungkan pistol ke arahnya. “Ya, ini punya Bel. Ia memberikannya kepadaku.”

Aku ingat, sarung tangan itu pemberian lainnya dari Ayah. Ayah selalu membelikan Bel barang mahal yang tidak pernah dikenakannya. Bel tidak suka pakaian baru. Bel bilang, ia lebih suka pakaiannya memiliki kehidupan, bukankah untuk itu pakaian diciptakan?

“Sudah agak lama,” sahut Mirela. “Mungkin sewaktu kamu di rumah sakit. Aku tidak punya baju sendiri.” Ia meregangkan jemarinya lalu menggeliang-geliutkannya seperti bereksperimen. “Waktu itu hubungan kami masih baik.” Ia tersenyum  penuh sesal, yang tidak kubalas. Ia pun mendesah, lalu tangan kanannya mulai melekukkan jemari kirinya ke belakang, satu demi satu. “Aku tidak menginginkan ini, Charles. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Hal-hal beginilah yang mesti kamu lakukan sebagai seorang gadis. Inilah yang mesti kamu lakukan. Bagi adikmu pun sama saja. Ia pasti akan melakukan hal yang sama, sekalipun ia akan mengingkarinya.”

“Kalau ini berkenaan dengan kejadian bersama Harry—“ aku memulai.

“Oh, jangan bicara soal Harry!” serunya, rambutnya terkibas ke muka. “Aku tidak mau membicarakan dia, kamu bisa mengerti kan?”

Kuhela kembali diriku ke bingkai jendela. Lekas-lekas Mirela meneguk minumannya lalu menatap pangkuannya. “Maksudku ya beginilah adanya, ketika setiap laki-laki yang kamu cium merasa telah mengangkat dirimu, dan semua orang memberikan peran kepadamu, pengungsi kecil pemberani, anak perempuan yang penurut, gadis asing yang moralnya kendur ….” Tangannya bergerak-gerak cepat bak mesin. “Kamu mainkan peran itu sebisamu. Kamu tidak bisa menghentikan jalannya hidup, kan? Kamu tidak bisa memilih peranmu sendiri. Jadi kamu ambil saja kesempatan yang ada. Kamu gunakan cara-cara yang tersedia bagimu. Hidupmu menjadi sesuatu yang semakin menjauhkanmu dari dirimu sendiri. Aku tahu, ini kedengarannya sinis. Memang begitu.”

Mirela bangkit dan kembali menuju tumpukan barang-barang hasil penyelamatan. Di situ ia berdiri sambil menunduk hingga kepalanya menyentuh benda-benda itu. “Tetapi kamu harus ingat bahwa,” ia melanjutkan, sambil tetap memunggungiku, suaranya merendah dan terputus-putus seakan-akan enggan meneruskan, “aku sudah pernah berbuat begini sebelumnya. Aku punya kehidupanku sendiri yang tidak diketahui oleh seorang pun di sini. Aku dulu punya teman-teman. Aku dulu punya kekasih. Mengapa tak seorang pun pernah menanyaiku tentang itu, Charles? Kalau orang memang peduli padaku, mengapa mereka tidak pernah menanyakan tentang itu? Karena aku mencintai orang itu dan ia pun mencintaiku, kami pernah berjalan-jalan di tepi sungai, sambil menyelipkan aster di rambut kami, serta apa pun lah yang dilakukan orang ketika bercinta-cintaan, hanya saja saat itu sedang terjadi perang, hanya saja sementara itu orang-orang lainnya pada berusaha saling membunuh akibat berbagai peristiwa yang terjadinya bahkan sebelum mereka lahir …. Biar begitu, apa hubungannya semua itu dengan kami? Kami tidak ingin membunuh siapa pun. Kami kira mereka tidak akan mengusik kami. Kami kira berkasih-kasihan akan menjadikan kami berbeda. Kami berbagi cara melarikan diri dan mengawali lagi segalanya.” Lagi-lagi jemari tangan kirinya satu demi satu menerobos lewat jemari tangan kanannya.

“Bagaimana mungkin seseorang, seseorang yang kamu kenal, menghilang begitu saja, Charles? Bagaimana mungkin orang mencari makan malam-malam lalu tidak pernah kembali lagi? Itu konyol. Itu tidak masuk akal. Tetapi semua orang sudah berhenti memedulikan akal sehat. Lalu tibalah saat untuk melarikan diri lagi, dan ketika aku berusaha kembali untuk mencari dia aku baru tahu ada ranjau—mereka menaruh ranjau di jalan kalau-kalau kami berusaha kembali. Di manakah ia sekarang? Dikuburkah di sekitar Krajina? Sama seperti ayahku? Tidak ada yang tahu. Mengapa tidak ada seorang pun yang tahu? Aku tidak mengerti. Namun begitulah yang terjadi pada cinta kami. Begitulah yang dapat dilakukan cintaku padanya.” Getaran samar mengaliri dagu Mirela. Kepala kuda-kudaan itu menatapku muram dari suramnya mausoleum di belakang ruangan.

“Maka aku pun datang kemari, tempat tak seorang pun mengetahui apalagi memedulikan kejadian di sana, bahkan tak seorang pun yang yakin aku bicara bahasa apa, dan aku pun lupa. Aku lupa pada ayahku, yang kembali ke desa karena teman-temannya meninggalkan anjing mereka di ruang bawah tanah. Aku lupa pada ibuku yang datang kemari dengan bersembunyi di dalam truk yang penuh dengan daging dan suku cadang komputer. Aku lupa pada abang-abang yang tumbuh bersamaku sehingga kebosanan di wajah mereka sudahlah biasa. Aku berpura-pura tidak melihat berita saat menayangkan peristiwa serupa terus-menerus terjadi. Aku lupa, sebagaimana semua orang menghendakiku supaya lupa. Aku memaksakan diri supaya hanya memikirkan kehidupan baruku—dengan pertunjukan sandiwara, cowok-cowok, dan berbagai kesempatan. Setiap malam ketika mengantarku tidur Mama bertanya-tanya kapan kami akan kembali. Ia tidak mengerti bahwa sekarang semuanya telah tiada. Semua orang yang kami kenal telah pergi. Sekarang rumah kami ditempati orang lain, orang asing. Setiap malam aku menjelaskan itu pada Mama lantas esok malamnya ia datang lagi dan menatap arah yang dikiranya timur dan mengajukan pertanyaan itu lagi. Ia tidak mengerti. Tetapi aku mengerti. Dan aku tidak akan pernah kembali, apa pun yang mesti kulakukan.”

Timbul kesunyian panjang nan membungkam. Aku merengut ke arah gelasku, yang perlu diisi ulang. Mirela melilitkan sebelah lengan ke pinggangnya dan dengan lembut mengayunkan rambutnya yang serupa tudung gelap. “Aku tidak berharap kamu memaafkanku,” sahutnya lagi dengan lebih pelan. “Aku hanya tidak ingin kamu menganggapku sebagai pencuri, yang masuk dan mencuri hidupmu tanpa berpikir-pikir. Dulu pun aku tidak menghendaki ini. Seandainya bisa, aku ingin mengubahnya. Aku ingin kita menjadi teman. Kamu dengan wajahmu sedang aku dengan kakiku. Barangkali jika keduanya disatukan, kita bisa menjadi manusia yang utuh.”

Mirela tertawa. Dalam suasana yang penuh sesal ini suaranya terdengar mengejutkan, umpama letusan pistol. Mungkin karena telanjur kaget, jadilah aku tertawa juga. Ketegangan pun melesap sedikit. Ketika Mirela beralih dari dinding, aku menghirup parfumnya untuk pertama kali, dan mendadak aku teringat pada rumah, pada aroma tangan Ayah ketika ia kembali dari lab, wewangian yang membuntuti para model sementara mereka menuruni tangga yang akan tetap ada lama setelah mereka pergi, gentayangan di rumah bagaikan hantu peramah nan baik hati, yang tahu-tahu mengendap-endap di koridor menuju padamu, atau meloncat keluar Cilukba! dari pojok ruangan yang jarang digunakan, lantas menghilang diiringi kedipan seakan-akan tidak pernah ada di sana sama sekali ….

“Maaf,” ucapnya. “Enggak kukira akan berpidato lagi malam ini.”

“Enggak apa-apa kok.”

Kembali ia menuju ke tengah ruangan, namun di bawah petromaks ia terhenti. Senyumnya surut menjadi seperti orang bertafakur. Ia mengulurkan tangan, lalu mendentingkan jarinya pada gelas. “Kita punya gelas seperti ini di Folly,” ucapnya.

“Aku tahu,” sahutku. “Itu gelas kepunyaan kami.”

“Rasanya sudah lama sekali,” ia berucap. Ujung jemarinya memiringkan petromaks sehingga menyorotkan pusaran cahaya pada ceruk tulang selangkanya bak ampas minuman yang keruh. “Kamu tahu, aku tidak pernah memberitahumu ….”

“Memberitahuku apa?”

“Bukan apa-apa.” Ia menunduk, kembali ke meja dan menyandarkan pinggulnya. “Cuma kebiasaan bodohku.”

Aku pun beranjak ke meja dan mengisi gelas kami. “Beritahukan sajalah,” kataku, senang karena alur percakapannya mulai agak wajar.

“Yah … ini sewaktu kami bersembunyi di Folly, aku dan abang-abangku. Setiap hari mereka biasa ke kota, berusaha mencatatkan diri di Dinas Kependudukan. Tetapi aku tidak boleh keluar. Mereka bilang itu terlalu berbahaya, karena kakiku. Memang, dengan kaki ini aku tidak bisa bergerak cepat. Lagi pula, aku malu karenanya. Sewaktu aku tiba di Irlandia, dan melihat orang-orang yang tidak harus melarikan diri dari siapa-siapa, yang menjalani kehidupan normal, aku merasa malu. Aku merasa—apa namanya?—absurd. Maka setiap hari dan setiap malam aku pun tetap di kamarku yang sempit. Pada akhirnya tentu saja aku mulai menggila. Aku harus keluar. Aku tidak peduli ada yang melihatku. Maka malam-malam ketika abang-abang sudah pada tidur, aku pun mulai menyelinap keluar. Tidak ke mana-mana, cuma di sekitar taman, cuma menikmati udara.” Ia mengelupaskan sarung tangannya seperti tanpa sadar, lalu meletakkan benda itu di punggung kursi yang didudukinya. “Kemudian suatu malam aku melihat ada cahaya jendela ruang duduk, dan malam itu mestilah aku sangat bosan dan kesepian sehingga aku mengangkat diri dan mengintip lewat celah gorden. Kulihat dirimu.”

“Masak sih?” ujarku berhati-hati, sebab sudah kebiasaanku kadang-kadang menonton televisi di ruang duduk tanpa mesti pakai celana.

“Kamu sedang menonton film lama, aku bisa mengetahuinya dari cahaya di dinding. Aku jadi teringat sewaktu aku masih kecil, biasanya ada film lama ditayangkan pada larut malam, dan Mama membiarkanku begadang karena aku bilang padanya menonton itu membantuku belajar bahasa Inggris. Tetapi sebenarnya aku suka film lama karena segalanya terlihat begitu indah dalam hitam-putih.” Senyumnya kemalu-maluan. “Malah aku marah ketika Dorothy pergi ke Oz, karena aku tidak suka dunianya menjadi berwarna-warni, dan aku benar-benar ingin ia kembali ke Kansas.”

Aku diam saja, padahal di dalam hati aku menautkan kedua belah tangan, seraya berseru, “Aku juga! Aku juga lo!”

“Di atas rumpun bunga aku memandangimu, dan rasanya—rasanya aku bisa tahu benar adegan yang kamu tonton hanya dari melihat wajahmu. Contohnya ketika kamu merengut, aku tahu si pembunuh sedang menenangkan si janda, dan ketika kamu menutupi wajah dengan kedua tanganku aku tahu pistolnya telah ditendang ke seberang lantai, dan ketika kamu tersenyum aku tahu si tokoh utama telah mencium gadisnya—“ Mirela tertawa lagi, lalu menarik napas. “Atau begitulah yang terlihat olehku. Setelah itu biasanya aku memeriksa panduan acara TV dan menandai semua film yang mungkin kamu tonton, dan malamnya ketika menyelinap keluar dari Folly aku selalu ke jendela, sebentar saja, dan membayangkan aku berada di sana di sampingmu, dan rumah itu milikku, dengan perapian yang menyala, serta segelas anggur merah.” Ia mengayun-ayunkan dirinya dengan tenang seraya mendekati meja. “Bagaimana menurutmu, Charles?” ucapnya lembut. “Apakah menurutmu itu berlebihan?”

“Tidak sama sekali,” kataku. “Sama sekali tidak.”

Ia menegakkan diri lantas menuju sisi meja tempatku berada. Ia menyeka rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan kemudian menatapku dengan serius. Alam semesta serasa berhenti, seperti kuda yang menghadapi pagar tinggi. “Apa yang mesti kuperbuat agar kamu menciumku, Charles?” ucapnya.

Sejenak aku berpikir. Aku memikirkan segala kejadian malam itu. Bahkan tidak sepatutnya aku satu ruangan dengan dia. Namun, walaupun kurang masuk akal, rasanya seolah-olah gadis di hadapanku sekarang ini tidak ada sangkut-pautnya dengan berbagai kejadian tadi. Seakan-akan entah bagaimana ia sudah ada sebelum berbagai peristiwa buruk pada malam ini—seakan-akan ia Mirela yang berbeda, Mirela yang hakiki: gadis yang kutemukan di Folly pada malam tempo hari, dan sejak itu setiap malam tergelar di mata batinku.

“Kurasa kamu perlu meletakkan minumanmu dulu,” kataku.

Perlahan-lahan dengan luwes ia meletakkan gelasnya dan memadamkan petromaks. Kemudian, seraya meraih tanganku, ia menggiringku ke dalam gelap.

Kalau mau, bayangkanlah gambar pelan-pelan menghilang dari layar, atau ada jajaran tanda bintang yang bijaksana, untuk menunjukkan berlalunya waktu—terus terang, tidak begitu banyak waktu yang berlalu, karena salah seorang dari kami kurang latihan dan barangkali agak terlalu bersemangat—betapapun juga, kembalilah kita pada adegan ketika kedua partisipan berbaring beralaskan bantal, seprai terangkat tanpa dosa hingga ke dagu mereka, tanpa suara memandangi pintu yang berada di dekat berang-berang isian serta kepala anjing basset dari porselen, yang separuh tersembunyi di bawah taplak-meja kotak-kotak yang compang-camping. Segalanya betul-betul hening. Rasanya tidak ada seorang pun di seluruh jagat raya ini yang terjaga selain kami—seakan-akan kami ini bergerak mendahului waktu, dan kendati di sisi lain masalah-masalah menanti kami, kami dapat membiarkan momen ini terapung-apung sesuka hati kami. Betapa nyamannya, setelah begitu banyaknya gejolak, tidak harus bicara, ataupun berpikir.

Selagi hanyut dalam kekosongan, dengan malas aku memikirkan sarapan yang dapat kusediakan untuknya pagi nanti—dua hari lalu aku membawa pulang kue keju dan sepertinya masih ada sisanya di lemari es—saat lengannya yang telanjang terentang di atasku untuk mengambil kembali kutang yang menghiasi kap lampu. “Kenapa?” gumamku, sembari mengantuk.

“Aku harus pergi,” bisiknya.

“Kamu harus pergi?” Aku pun duduk seraya mengejap. Benar-benar ia sedang memasang kaki. “Tetapi ini kan tengah malam.”

“Memang. Harry akan bertanya-tanya ada apa dengan diriku.”

Bahkan mendengar nama orang itu seperti mencocokkan pisau ke iga. Aku agak gelagapan dan mencengkeram dadaku. Tetapi ini bukan waktunya untuk bertingkah dibuat-buat. Serta-merta Mirela menjadi tangkas, menata rambutnya, meraba-raba seprai untuk menemukan kaus kaki, sehingga terasa tidak mungkin sekalipun untuk memprotesnya baik-baik.

“Tetapi bagaimana gerangan kamu pulang, kan enggak ada—“

“Maaf, Charles, bisakah kamu mengambilkan itu—“

“Maksudku, enggak mungkin kamu akan mendapat taksi di sekitar sini, dan lagi pula masak kamu mau keluar dengan pakaian begitu—“

“Aku bisa—tolong dong tarik ritsletingku?”

“Enggak,” sahutku. Setidaknya ini menghentikan dia sesaat. Ia berpaling dan menatapku.

“Tinggallah,” aku memohon. “Maksudku lagi pula ini hampir-hampir sudah besok. Kenapa kamu enggak di sini saja?”

“Aku enggak bisa, Charles,” ujarnya, terlihat jengkel. “Kami ada rapat dengan orang-orang Telsinor pukul sembilan untuk mulai mengembangkan strategi kami. Ini hari yang penting dan aku mesti bersiap-siap.” Ia memiringkan kepala, seraya mengamatiku dengan cara yang hampir jenaka. Ia pun duduk di ujung tempat tidur dan memegang lengan bawahku. Dengan dingin aku mengelakkannya. Ia tampak benar-benar terkejut. “Kukira kita sudah melalui semua ini,” ucapnya. “Kukira kita saling memahami.”

Aku mengerutkan bibir. “Yah mungkin saja enggak,” kataku. Aku merasa seperti gadis sekolahan yang teperdaya. “Maksudku, aku enggak paham.”

Mirela mendesah, mengusap-usap tangannya, dan menunduk pada tungkai protesenya yang dingin. “Kita sudah bersenang-senang, kan? Tetapi sekarang kita harus kembali pada kehidupan kita. Kamu tahu kan itu.”

Aku bangkit dan mulai mondar-mandir di seputar ruangan. “Tetapi kamu kan enggak—“ ujarku meradang. “Maksudku tuh kamu kan enggak cinta dia—“

Sekiranya aku menumpahkan air dingin padanya, ia tidak akan menjadi lebih dingin lagi. Bisa kurasakan suhu di ruangan itu menurun. “Aku kan enggak pernah bilang ini soal cinta,” ucapnya kaku, bagaikan guru piano mengoreksi anak yang terus-terusan memalsukan tangga nada. “Siapa atau apa yang kucintai itu urusanku. Yang kubilang aku membutuhkan dia. Charles, duduklah sebentar.”

"Membutuhkan dia, ada istilah untuk hal begituan, kamu tahu ...." sementara dari sebelah luar, seakan-akan untuk melengkapi keributan di antara kami, seakan-akan hendak menjadikan segalanya terasa bagaikan di neraka, terdengar gedoran menggila di pintu depan, pasti Droyd lupa bawa kunci lagi ....

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...