Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170720

An Evening of Long Goodbyes, Bab 10 (2/2) (Paul Murray, 2003)

TITIAN, tertera pada halaman pertama, berikut nama Harry dalam huruf besar di bawah judul tersebut. Pada halaman selanjutnya terdapat PARA PELAKU: MARY—gadis berkursi roda yang sakit hati; ANN—adiknya yang cantik dan pengasih, model; IBU—ibu mereka; JACK REYNOLD QC—pengacara baru berjiwa sosial yang keren.

“Tentang apa nih?” tanyaku, sembari mengekori Bel ke kamar.

“Itu tentang,” Bel menerangkan, sambil mengambili penjepit dari rambutnya lalu menaruh pernak-pernik tersebut di meja rias, “gadis yang menggunakan kursi roda, yaitu aku, dan ibunya yang sedang sekarat karena kanker dirawat di rumah sakit, tetapi aku enggak bisa menjenguknya karena enggak bisa menaiki tangga gedung, sehingga aku ke pengadilan mengupayakan supaya ada titian yang dipasang dan akibatnya terjadi pertarungan hukum yang sengit dan menarik perhatian masyarakat luas.”

“Oh,” sahutku.

“Tentu semuanya itu kiasan saja.”

“Ya, ya,” sahutku. Walau batinku menjeritkan Ya ampun! serta Kok bisa dia terus lolos dengan karya begini? Aku pun duduk di ranjang dan membolak-balik lembaran naskah itu. “Jadi ini peran yang dituliskannya buatmu? Ini peran yang khusus diciptakan buatmu?”

Bel mengangguk, seraya mengambil sikat dari laci lalu mulai mengurai kekusutan rambutnya.

“Tampaknya ada banyak adegan teriak-teriak, menilai dari semua bagian yang dimiringkan ini,” komentarku, walau kukira ini tidak terlampau menyimpang dari kenyataan.

“Kebetulan perannya bagus sekali,” ujarnya pada cermin, sambil menyikat rambutnya penuh semangat. “Wataknya rumit. Jarang-jarang kamu mendapatkan peran wanita yang rumit.” Ia menjulurkan lengan untuk melepaskan rambut yang berbelit. “Seringnya peranmu cuma untuk tampil cantik dan menangis sesekali.”

“Siapa yang jadi adik cantiknya? Mirela?”

“Mmm,” sahut Bel redup. “Harry pengacaranya dan Bunda, meski aku sudah memohon-mohon padanya, jadi ibu yang sakit-sakitan.”

“Lucu juga ya kamu yang jadi gadis berkursi roda, sedang Mirela memerankan modelnya,” candaku. “Maksudku, bila kamu ingat bahwa dia yang kakinya cuma sebelah.”

Bel tidak menyahut, namun ia semakin garang menyikat rambutnya hingga terdengar bunyi bekertak-kertak.

“Maksudku bila kamu memikir-mikirnya, rasanya lucu juga,” ulangku, kalau-kalau ia tidak menangkap.

“Charles, sebenarnya aku sangat sibuk,” tegasnya ke arah cermin.

“Enggak apa-apa,” ujarku manis. “Kamu lanjutkan saja yang sedang kamu lakukan. Jangan hiraukan aku.”

Bel memutar bola matanya dan mulai menepuk-nepuk wajahnya dengan kapas pembersih.

Aku pun berdiri dan menghampiri jendela. Ruangan itu gerahnya mencekik. Aku heran ia tidak menyadarinya. “Hei, enggak apa-apa kan kalau kubuka jendelanya? Leherku rada berkeringat ….” Bel mengangkat bahu. Aku pun menaikkan bingkai jendela dan memandang ke luar.

Saat itu musim dingin. Di luar sini kau bisa melihat pemandangan yang lebih baik di mana ada aneka makhluk bernyawa, dan bukan sekadar sepetak kecil langit yang dijejali awan atau kembang api. Di taman, pepohonan menjepit kuat-kuat sisa dedaunannya, tampak sangat kemerahan bak gadis-gadis kurus kepergok berenang telanjang. Mbah Thompson, yang terlihat sama tua dengan dirinya jutaan tahun lalu, tengah menantang dingin di berandanya. Kabut keperakan mulai bergulir dari laut, umpama bentangan sarang laba-laba yang terapung-apung di atas ombak.

“Frank titip salam,” kataku, sembari menggelitik lili di ambang jendela. “Tadinya mau masuk tetapi ia mesti terburu-buru pergi ke manalah. Mau angkat jemuran atau apa begitu.”

“Baiklah,” gumam Bel, nadanya terdengar mantap lebih daripada yang seperlunya. Aku pun berpaling dan dari sudut mataku mengamati ia memberengut pada dirinya di cermin. Ia sama sekali tidak menyerupai dirinya yang terdengar di telepon waktu itu, yang begitu bersemangat. Bunda benar. Awan mendung menggayuti keningnya yang bukan alamat baik. Di lehernya terdapat semacam bandul—cakram logam polos yang diberi tali, yang entah mengapa terasa agak familier.

“Jadi bagaimana kabarmu?” tanyaku tanpa pikir panjang. “Segalanya baik-baik sajakah?”

Ia menjatuhkan kapas pembersih ke keranjang sampah. “Semuanya baik-baik saja,” gumamnya, sambil melepas tutup botol berisi krim aromatik, salah satu dari barisan kecil minyak mandi, pembersih, serta salep wajah yang menumpuk di meja rias.

“Cuma kamu tampak agak, ah, kurang sehat ….”

“Semuanya baik-baik saja,” ia mengulangi. “Aku rada capek, itu saja. Sibuk mempersiapkan sandiwara.”

“Begitu ya?”

“Kamu enggak tahu sih.” Sambil mencondongkan badan ke arah cermin, ia menepukkan perona di bawah tiap-tiap matanya lalu memulaskannya ke pipi. “Semuanya bikin repot sampai kadang-kadang aku bisa bersumpah rumah terkutuk ini melawanku, seakan-akan dia enggak mau kami mengadakan teater. Maksudku aku tahu itu kedengarannya konyol ….” Ia tersadar dan tertegun. Lantas, setelah menimbang-nimbang sejenak ia berpaling dan berkata, “Tetapi aku enggak keberatan sih dengan kesibukan ini, kayak latihan, begadang semalaman memprogram tata cahaya, mencari perancang poster, dan melakukan dua puluh hal  lain sekaligus, aku enggak apa-apa. Masalahnya uang, itulah yang merisaukanku. Keluhan soal uang yang enggak ada habisnya ini, sampai rasanya enggak ada yang lebih penting lagi di dunia ini ….”

“Uang?” sahutku.

“Kami sama sekali enggak punya uang,” ujarnya. “Maksudku seharusnya kami punya cukup uang untuk setidaknya tetap mengapung. Tetapi tiap kali aku menanyakannya pada Bunda ia sibuk dan sewaktu aku memeriksa tagihan rumah ini kelihatannya seperti labirin, atau, atau karya seni modern atau semacam itulah. Tanpa uang kita enggak bisa berbuat apa-apa, kita enggak mampu mengiklankan diri, sehingga kita enggak bisa mendapatkan penonton, dan akibatnya kita enggak bisa memperoleh hibah. Ini kayak lingkaran setan.” Terlintas padaku bahwa satu-satunya cara mereka bisa memperoleh penonton yang lebih banyak daripada Terbakar Habis yaitu dengan mendatangi dermaga dan menculik para pelaut yang telah dibikin mabuk, namun aku diam saja. “Jadinya kelas drama dan program keluar, semuanya ditunda dulu sementara kami terus-terusan rapat, dan merapatkan soal rapat, dan merapatkan rapat soal rapat, dan semuanya cuma omong doang tanpa ada yang sungguh berbuat apa-apa ….” Mendung di keningnya bertambah gelap saja pertanda buruk. “Mirela ingin supaya ada penggalang dana buat sandiwara berikutnya. Mengadakan acara khusus undangan di mana kita bisa membujuk sponsor dari perusahaan.”

“Yah, kurasa Mirela mengerti soal yang dikatakannya itu,” aku menyela. Rupanya ucapanku keliru, sebab wajah Bel seketika memerah jambu dan mulai menceramahiku tentang betapa bank, usaha daring, perusahaan telepon dan semacamnya justru yang semestinya ditentang oleh teater ini, dan betapa lebih baik seluruhnya gagal ketimbang berkhianat serupa itu, dan seterusnya dan sebagainya.

“Maksudku cuma, mengerti kan, bukankah Mirela sudah pernah melakukan yang semacam ini dulu, dengan grupnya di Slovenia atau di mana itu?” ujarku. “Jadi mungkin saja ia tahu bagaimana seluruh cara kerjanya, itu saja.”

“Itu mah cuma kesan yang dibuat-buat saja,” Bel menyahut dingin.

“Bagaimana tuh maksudnya?”

Bel membuka mulut lalu menutupnya, dan membukanya lagi, lantas berkata cepat-cepat: “Maksudnya tuh ya dia muncul seolah-olah dia ini aktris hebat yang sudah makan asam garam, tetapi dia itu sebenarnya kopong lagi sombong tanpa ketulusan hati, maksudku tuh yang dia lakukan cuma keliling-keliling menyenangkan orang supaya dia bisa mendapatkan yang dia inginkan, dan kalau kamu mau tahu seluruh kebiasaan ini jadi cukup melelahkan ….”

Aku membandingkan Mirela yang diceritakan Bel ini dengan yang lembut, suka meremas tangan, dan mengucapkan Mungkin-nanti-kita-bisa-mengobrol-lagi yang kujumpai tadi di tangga. Jelas-jelas versinya Bel tidak menunjang. “Omong kosong,” sahutku.

“Ini bukan omong kosong,” ujar Bel judes.

“Memangnya dia berbuat apa sih, sampai sebegitu buruknya? Kasih aku satu contoh dia itu kopong dan hanya ingin memperoleh yang dia inginkan.”

Dari pojok kamar tempat dia berikut mendung di wajahnya memencilkan diri, Bel bergumam soal meminjam pakaiannya tanpa permisi.

“Meminjam pakaianmu!” ulangku penuh cemooh. Aku mengamat-amati Bel dari atas ke bawah. Ia cemberut sambil menyentak-nyentakkan bandulnya dengan kasar. “Tahu enggak, tingkahmu ini aneh banget.”

Bel mengendus-endus memandangi lantai.

“Enggak ada yang salah kan? Hubungan dengan si Harry ini belum kenapa-kenapa kan?”

“Oh Gusti,” serunya, sambil merentak ke tempat tidur dan mengambil kembali naskahnya. “Charles, kamu pernah enggak sih berpikiran bahwa masalahku enggak selalu berkaitan dengan cowok?”

“Aku kan cuma tanya,” kataku. “Aku cuma memastikan bahwa setiap orang sudah memikirkan segalanya dengan sebaik-baiknya, dan enggak ada yang diam-diam mencari keuntungan—“

“Maksudku apa begitu sulit bagimu untuk percaya bahwa ada orang yang benar-benar ingin berpacaran denganku tanpa memendam maksud, seperti, seperti mau mencuri mebel, atau memantau kamarku—“

“Tidak, tentu saja tidak,” sahutku. “Walau sekarang omong-omong soal itu aku hendak mengatakan bahwa kita masih punya perjanjian. Maksudku barangkali perjanjian itu sudah tergelincir dari ingatanmu, tetapi waktu itu kamu menyetujui bahwa ketika kamu dan Frank putus, sebagaimana yang secara tragis telah terjadi, kamu enggak akan—“

“Charles, bau apa itu?”

“Bau apa?” ujarku. “Jangan mengubah topiknya ah.”

“Bau marsepennya kuat sekali,” ucapnya, sembari mengendus-endus.

“Aku enggak membaui apa-apa ah.”

“Sepertinya bau itu berasal dari kamu.”

“Oh itu,” sahutku. “Gara-gara kue Batang Pohon Natal.”

“Batang Pohon Natal?”

“Baunya serasa tidak mau pergi,” ujarku nelangsa. “Bahkan walaupun sudah mandi.”

Sekonyong-konyong kesuramannya dilampaui gemuruh tawa yang tidak senonoh. Sekiranya aku mengindahkan, aku mungkin akan merasakan peralihan suasana ini terlalu drastis; aku mungkin akan mendeteksi adanya nada sopran yang tidak mengenakkan sebagaimana biasa terdengar saat ia bersukaria atas penderitaan orang lain. Namun aku kelewat jengkel. Bau marsepen ini perkara yang dianggap sangat serius oleh para staf Zona Pengolahan B, yang beberapa di antaranya pernah diserang oleh gerombolan anjing pengembara yang kelaparan. Aku menceritakan ini pada Bel, namun tawanya justru semakin parah. Ia sampai hampir terbungkuk-bungkuk.

“Enggak lucu, tahu,” aku berkukuh. “Kalian sih serbaenak main sandiwara dan tinggal di menara gading. Hal semacam ini yang tiap hari mesti dihadapi kami, kaum lemah lagi papa yang tinggalnya di selokan. Terus terang saja ya, gerombolan anjing pengembara itu baru puncak gunung es.”

“Enggak pernah kusangka akan mengalami hari ketika kamu mengatakan aku tinggal di menara gading,” Bel terkikih-kikih sambil mengurut diafragmanya.

“Hei, itu kenyataan ya,” ujarku berlagak budiman, lupa akan perjanjian begitu menyadari bahwa inilah kesempatan untuk membalas dendam atas segala perkataan mengkhotbahi yang dicekokkannya padaku bertahun-tahun ini. “Kalian sih hidupnya enteng. Kuberi tahu ya, orang kerja itu enggak sempat bersenang-senang. Apalagi ketika yang pertama kali didengarnya begitu tiba di rumah yaitu perkataan Bunda betapa menabahkannya semua itu, sejujurnya, mendengar omongannya kamu bakal mengira dunia jahanam ini semacam klub tenis eksklusif, tempat orang belajar mana garpu yang dipakai dan caranya menggunakan punggung tangan—“

“Mungkin kamu semestinya menulis sandiwara,” ejek Bel, seraya memeriksa laci pakaian dalamnya.

“Mestinya kubawa Bunda ke Bonetown,” ujarku. “Biar tahu pendapat dia soal tempat itu, bila ada Manusia Biasa yang menjambret tas tangan sialannya—“

“Oh, demi Tuhan—aku pernah ke Bonetown, enggak seburuk itu ah ….” Bel berhenti di hadapanku sambil menggenggam gulungan celana dalam. “Charles, kenapa ya tiap kali aku mau ganti baju kok selalu ada kamu di kamarku, bahkan sewaktu kamu enggak tinggal di sini lagi?”

“Baiklah, baiklah.” Karena memaklumi maksudnya, aku pun menarik diri ke tempat yang sepatutnya di koridor. Pintu menutup di belakangku. Sesaat aku memandang hampa pada dus-dus itu. Kemudian aku kembali ke pintu lalu membukanya lagi sedikit. “Lagian Bonetown memang seburuk itu kok. Segala yang ada di sandiwara Harry soal kaum papa yang bersukaria, atau merupakan orang-orang paling mulia di muka bumi, bikinan belaka. Kamu belum pernah kan menyaksikan sebegitu banyaknya pengangguran jangak yang berlagak enggak mampu bekerja. Yang mereka perbuat cuma merusak ini-itu, minum-minum, lalu mual-mual di ambang pintu rumah kami—“

“Yah kalau begitu semestinya kamu nyaman-nyaman saja di rumah,” terdengar jawaban, disertai suara jepitan.

“Mungkin semestinya aku menulis sandiwara,” gerutuku. “Untuk sedikit mengguncang kalian orang-orang yang tinggalnya di menara gading.” Kutambahkan dengan meninggikan suara, “Dan akan kutunjukkan beberapa hal pada si tukang jual obat yang perlente itu!”

Timbul keheningan yang sarat, kemudian suara kaki telanjang merentak melangkahi lantai, dan Bel pun muncul di pintu. “Charles, semestinya aku enggak usah ambil pusing, tetapi asal tahu saja ya alasan Harry punya kelebihan dibandingkan dengan kamu yaitu karena ia sudah membuka mata, ia pernah tinggal di berbagai tempat, melakukan aneka pekerjaan, dan benar-benar berusaha untuk menyenangi orang, alih-alih menutup telinga, mengentak-entakkan selop merah delimanya, dan berharap kembali ke Amaurot—“

“Hei, kamu enggak bakal mengerti sebelum bertemu dia hari ini,” kataku, seraya menamengi mata dari pemandangan tungkai kaki Bel yang polos, “meluncur ke sana kemari naik Mercedes Ayah, penampilannya sudah seperti tuan tanah saja seolah-olah dia yang punya tempat ini—“

“Itu kostumnya, dasar tolol, nanti kami mau ada adegan—dan satu lagi ya, aku bilang padanya ia boleh mengendarai mobil celaka itu kalau mau. Maksudku enggak ada orang lainnya kan yang pernah menengok mobil itu dalam dua tahun ini—“ Ia terdiam dan sesaat terkulai lemas di kosen pintu, sembari menggosok-gosok mata dengan bagian bawah telapak tangannya. “Konyol deh. Charles, aku enggak mau berdebat denganmu soal siapa yang lebih terasing, kamu atau Harry—“

“Enggak, karena aku yang bakal menang,” kataku.

Diiringi gelegak marah ia bergolak masuk lagi ke kamarnya, sambil membanting pintu. Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka lagi. “Kamu tahu enggak sih masalahmu?” ucapnya, yang sudah memasukkan diri ke celana jin dan tengah mengaitkan kancingnya. “Kamu mengharapkan hidup supaya terus-menerus seperti yang ada dalam lukisan Déjeuner sur l’Herbe[1], dengan, dengan anggur, amuse-gueules[2], serta para wanita bugil yang duduk bermalas-malasan, lantas ketika yang terjadi bukan—“

“Apa yang kamu rujuk Déjeuner sur l’Herbe-nya Manet?”

“Ya, lukisannya Manet, tentu—tetapi ketika yang terjadi bukan seperti itu kamu menyerah saja dan menganggap yang ada sudah lumayan—“

“Hei, maksudku itu,” kataku lemah lembut—sebenarnya aku agak terkesan oleh gagasan untuk terus-menerus hidup sebagaimana dalam lukisan Déjeuner sur l’Herbe—“hidup itu harus berarti, ya kan? Maksudku aku toh yang hidupnya mesti celaka begitu.”

“Itu dia, Charles,” sahutnya, sambil mengibas-ngibaskan sandal dengan bengis, “kamu mengira di sana hidupmu serbamandiri, kamu bilang aku hidup di menara gading sementara kamu membawa-bawa menara gading itu, kamu memanggul rumah keparat ini ke mana-mana di dalam dirimu, dan enggak ada siapa pun yang boleh masuk, kamu juga enggak ada firasat akan hidup orang-orang yang ada di luaran—seperti kamu mengeluh karena harus bekerja, namun seenggaknya kamu boleh bekerja, pernahkah kamu memikirkan rasanya bagi Vuk dan Zoran, yang bahkan enggak memperoleh izin untuk bekerja? Pernahkah kamu memikirkan seperti apa rasanya bagi mereka, duduk-duduk saja di sini hari demi hari, apa akibatnya itu bagi harga diri mereka?”

“Tentu saja aku …” aku memulai, lalu terdiam, teralihkan oleh kenangan akan masa-masa indahku sendiri kala duduk-duduk atau tiduran di rumah, dan betapa harga diri agaknya tidak pernah menyertai.

“Lagi pula bagaimana dengan semua orang di Bonetown situ, semua orang yang datang ke negara ini untuk berusaha dan memperbaiki hidup mereka, karena bagi mereka ini harapan? Bagi mereka ini negeri di atas pelangi?”

“Menurutku sih mereka harus berbincang dengan agen perjalanan mereka,” ujarku. “Hei, tunggu!” ketika disertai embusan napas Bel mendorongku supaya menyingkir lalu menuju tangga. “Tunggu! Aku cuma bercanda—“

Setengah berlari aku mengejar dia lalu menyambar sikunya. Ia berpaling dengan enggan dan aku terkejut mendapati matanya basah.

“Aku cuma bercanda,” ulangku.

“Enggak lucu,” sahutnya, suaranya tergelincir menjadi bisikan. “Kamu enggak bisa begini terus, Charles. Kamu enggak bisa mampir kemari dan mengolok-olok semuanya. Kamu persis seperti Ayah, yang kamu inginkan hanyalah mengunci diri di ruang studi bersama khayalanmu yang indah-indah. Kamu mengerti enggak sih, itu enggak ada gunanya lagi buatku. Karena … karena, ya Tuhan, Charles, kebaikan itu harus ada, bukan? Harus ada yang berharga untuk dilakukan? Kamu abangku, enggak bisa ya kamu mendukungku saja? Enggak bisa ya kamu mengatakan aku bukan orang tolol karena hendak mencoba? Bahkan sekalipun kamu enggak meyakini usahaku, enggak bisa ya kamu sekadar mengucapkan itu?”

Matanya yang berpendar menyalahkan menatap mataku. Bandul misterius itu berkelap-kelip melewati jemarinya seakan-akan hendak menyampaikan suatu hal padaku. Aku pun menyadari bahwa pidato Bel kali ini tidak seperti biasa. Persoalannya lebih daripada sekadar tentang kemalasanku, ataupun sandiwara Harry. Aku teringat pada perkataan Bunda tadi. Adakah sungguh terjadi suatu kekeliruan? Apakah sekarang Bel tengah memintaku supaya urun tangan?

“Tuan Charles!”

Namun pertanyaan-pertanyaan tersebut harus menunggu, karena ada Mbok P di kaki tangga, membawa piring berisi kudapan secuil-secuil yang tampaknya lezat.

“Ah, mantap, Mbok P!”

“Oh, demi Tuhan—“ Bel mengikutiku turun.

“Ada apa saja di sini?” Aku memeriksa piring besar itu. “Brie …. Gorgonzola …. Edam … sungguh pilihan bertaraf internasional.”

“Mbok P, seharusnya jangan menunggu dia,” Bel memprotes.

“Oho, yang ini apa?”

“Saya juga menemukan sedikit Roquefort, Tuan Charles,” sahut Mbok P sambil terkikih-kikih malu.

“Ya, betul!” aku menjumput potongan mungil keju lembut tersebut laksana pendulang dengan sebungkal emas.

“Mbok P!” Bel mengentak-entakkan kaki dengan gaya memerintah. “Dia kan enggak tinggal di sini lagi, mengerti enggak sih?”

“Ya, tetapi Nona Bel, kalau Tuan Charles lapar ….”

“Ya Bel, kalau Tuan Charles lapar ….”

Bel menggemeretakkan gigi. “Satu lagi ya, kukira kita telah bersepakat enggak ada lagi urusan Tuan Charles, Nona Bel.”

“Kamerad Bel,” kikihku melalui sesuap Roquefort.

Bel mendengus. “Cukup—Charles, kurasa kamu harus pergi sekarang.”

Aku mendongak. “Eh?” sahutku.

“Keluar, Charles. Pergilah.”

“Masak sih serius.”

“Aku sungguh serius,” ujarnya. Ia serius. Seperti sewaktu di kamar tadi, suasana hatinya lekas berubah ibarat awan memapas matahari. Bel yang gemetaran lagi khawatir sesaat tadi telah beralih menjadi Bel yang maju tak gentar laksana baja, yang dengan raut mengguntur menunjuk pintu. “Kalau kamu cuma mau menghasut dan mencoba meruntuhkan segala yang telah kami lakukan, maka kamu memang harus pergi.”

“Boleh enggak aku menghabiskan dulu kejuku?” ujarku.

Enggak,” ucapnya, sambil merampas piring besar itu dari tanganku. “Pergilah.”

Kutatap Mbok P supaya mengambil tindakan waras ataupun yang masuk akal, namun matanya dipacakkan dengan sepatutnya pada lantai. “Baiklah kalau begitu,” ucapku, seraya menarik diri hingga berdiri tegak. “Mbok P, tolong ambilkan mantelku.”

Mbok P berlalu mengambilkan mantelku. Bel terus menatap tajam penuh ancaman ke arahku serupa dalam drama Der Ring des Nibelungen[3]. Lebih baik tidak membantah. Alih-alih, aku menanti mantelku kembali, lalu—tanpa cincong, tanpa sekali pun memandang ke belakang—aku melangkahi koridor dengan sikap bermartabat, melewati kursi roda yang mengedip jahat, dan keluar dari pintu depan.

Namun di situ aku terhenti. Sementara pintu di belakangku menutup, sesaat aku berdiri saja di puncak undakan. Tanpa kentara laut menyuruh diam pada yang di timur, kabut berputar di atas rumput. Aku bergeming, seraya mengempotkan pipi dan memandangi kehampaan.



Setelah Daria putrinya diasingkan, Gene mulai terjun bebas tak terkendali. Pernikahannya dengan Cassini kini terperosok habis. Kemudian ia dirayu dan ditaklukkan oleh sederet pria terkemuka. John F. Kennedy mengunjungi Gene di tempat pengambilan gambar Dragonwyck (1946). Waktu itu JFK baru kembali dari Pasifik Selatan, masih lemah sehabis keluar dari rumah sakit Angkatan Laut setelah kecelakaan torpedo patroli 109[4]. JFK hendak mencalonkan diri untuk menjadi anggota Parlemen dan serta-merta Gene jatuh cinta padanya. Keduanya sama-sama separuh Irlandia, dan mereka berkencan untuk pertama kali pada Hari Santo Patrick, saat JFK mengajak Gene makan siang di New York. JFK mengenakan topi baru, yang nantinya pada malam itu tertinggal di bar. Sejak itu ia tidak pernah mengenakan topi lagi, betapa pun para produsen topi di negerinya memohon-mohon padanya. Demikianlah topi berangsur-angsur menghilang dari kehidupan rakyat Amerika Serikat.

Hampir setahun Gene mengencani JFK secara tidak teratur. Hingga JFK memberi tahu Gene secara sambil lalu, selagi menunggu teman-teman bergabung dalam acara makan siang mereka, bahwa keduanya tidak dapat berkawin. Semestinya Gene sudah memperkirakan itu. JFK harus memikirkan karier politiknya, sementara ibunya tidak akan pernah merestui dia menikahi janda cerai—yang aktris, penganut Episkopal pula! Namun Gene tidak memperkirakan itu. Gene melambung lagi ke dalam hubungan cinta yang absurd lagi bertele-tele dengan Aly Khan, putra Aga Khan, yang dijumpainya di Argentina selagi pengambilan gambar Way of a Gaucho (1952). Aly Khan belum lama bercerai dari Rita Hayworth. Bersama Aly Khan, Gene memasuki pusaran kehidupan jetset yang norak—pertandingan polo, pesiar di samudra, hingga perjumpaan di Riviera dengan Picasso, kehidupan foya-foya yang dijalani dalam sorotan media dan kolom gosip.

Sulit ditentukan kapan tepatnya kehancuran mental Gene dimulai. Pada hari kedatangannya di Hollywood, ia menderita kram perut yang tidak mau hilang hingga ia meninggalkan dunia film sampai lama, empat belas tahun kemudian. Sewaktu pengambilan gambar filmnya yang keempat, Bell Starr (1941), ia kena penyakit mata yang tidak terjelaskan. Matanya bengkak dan gatal, sehingga pengambilan gambar mesti ditunda hingga berhari-hari. (Waktu itu Cassini suka mengunjungi Gene di trailer untuk mencium radang di kelopak matanya yang lecak dan meyakinkannya bahwa ia masih cantik. Menurut Gene saat itulah ia pertama kali menyadari Cassini sungguh mencintainya.) Namun orang-orang yang mengenal baik Gene merasa kali ini penyakitnya berbeda—bahwa hubungannya dengan Aly Khan merupakan gejala kondisi jiwa yang melilit.

Gene mulai sulit mengingat dialog. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia menyadari bakatnya sebagai aktris, namun ia selalu mampu menghafalkan bagiannya. Malah ia suka mengatakan bahwa ia merasa tenteram ketika memerankan orang lain, dan justru ketika ia menjadi dirinya sendiri masalahnya dimulai. Kini ia menjadi agresif dan sewenang-wenang di tempat pengambilan gambar. Suasana hatinya yang gonjang-ganjing ditandai mulai dari meregang-regangkan badan karena lesu sama sekali hingga mengalami kilasan kesadaran yang bukan-bukan saat ia mengatakan dirinya dapat melihat Tuhan dalam bohlam.

Filmnya yang terakhir sebelum mengalami keguncangan mental yaitu The Left Hand of God (1955) bersama Humphrey Bogart. Adik Bogey sakit jiwa sehingga ia mengetahui tanda-tandanya. Bogey pun mengunjungi studio dan memberi tahu orang-orang tersebut bahwa Gene membutuhkan bantuan. Orang-orang studio meyakinkan Bogey bahwa Gene Tierney itu kawakan dan tidak akan mengecewakan mereka, tidak pada film berbiaya semahal yang satu ini.

Berkat jasa Bogey, Gene berhasil menyelesaikan film tersebut. Pada waktu itu Bogey tengah sekarat karena kanker, walau tidak seorang pun mengetahuinya. Sesudahnya, Gene mengenang masa pengambilan gambar film tersebut dengan sendirinya menyerupai film bisu. Tidak ada suara ataupun kata-kata—namun ia mengatakan pada dokternya ia dapat melihat dirinya sendiri sepanjang waktu, seakan-akan ia melayang di luar tubuhnya sendiri, mengamati dirinya sendiri dari jauh.



[1] Déjeuner sur l’Herbe (Makan Siang di Atas Rumput), lukisan karya pelukis Perancis, Edouard Manet, yang dibuat pada 1863, menampilkan seorang wanita telanjang tengah berpiknik bersama dua pria berpakaian lengkap dengan latar seorang wanita berpakaian dalam mengambil air
[2] Makanan ringan yang lezat sebagai hidangan pembuka
[3] Der Ring des Nibelungen (Cincin Nibelung), drama musikal karya Richard Wagner berdasarkan cerita rakyat Skandinavia dan Jerman sebelum masuknya ajaran Nasrani, pertama kali dipentaskan pada 1876
[4] PT 109 atau Patrol Torpedo 109, kapal Amerika Serikat yang dikaramkan Jepang pada Perang Dunia II. Di situ JFK menjabat letnan junior dan menyelamatkan sisa awak kapal sehingga kemudian dianugerahi penghargaan sebagai pahlawan perang.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...