Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170506

An Evening of Long Goodbyes, Bab 7 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Apartemen Frank merupakan bagian dari bangunan tinggi berbata merah—dari era Georgia[1], menurut penampakan jendela berbentuk busur di atas pintu—yang dulu mestilah pernah menjadi rumah bandar terhormat, bahkan dimuliakan. Di mana-mana terdapat jejak masa lalu yang lebih mulia lagi, berupa fragmen-fragmen ukiran halus dari karya plester asli. Namun fragmen ukiran itu tidak lebih daripada sekadar jejak, bak potongan tembikar di lumpur. Bagian depan bangunan telah menghitam dan rusak akibat debu puluhan tahun, dan sebagian besar perabotnya yang asli pecah sewaktu bagian dalamnya dibagi menjadi rumah-rumah petak yang teramat kecil. Induk semangnya kini mantan Garda[2] yang memiliki beberapa properti di kawasan itu dan, menurut Frank, “bajingan biar Garda juga”.

Hampir seluruh bagian dari Apt C berupa pojok, seakan-akan siapa pun yang membangun tempat itu menambal ruang tambahan dari sudut dan ceruk yang tersisa. Ruangan-ruangannya bergoyang secara tidak lazim, dan dinding tertentu tidak bisa disandari karena, begini yang kukutip, “menyangga langit-langit”. Bahkan cahaya matahari pun agaknya sulit mengatasi kenyentrikan flat tersebut. Bisa dibilang, cahaya datang melalui jendela, dan seketika terhenti, sambil menautkan jari ke bibir. Akibatnya di dalam selalu agak gelap—atau lembap, mungkin lembap kata yang lebih tepat. Tidak ayal lagi inilah apartemen terlembap yang pernah kutinggali.

Aku tidur di kasur yang silsilahnya tidak jelas, dalam ruangan yang kira-kira sebesar salah satu lemari sapu berukuran lebih kecil di Amaurot, bersama harta benda yang para langganan Coachman cukup baik untuk tidak mencurinya—buku pengembangan diri, peralatan bercukur, jas makan malam terbaik-cadangan, kaus kaki, memorabilia Gene Tierney, jurnal pemikiran yang sebagian besar belum terpikirkan—ditumpuk teratur di sampingku. Sebagian besar apartemen ditempati loakan Frank. Tiap hari ia pulang membawa lebih banyak rombengan berpeti-peti dari van miliknya, dan menjatuhkan isinya di mana saja boleh. Tempat rokok, sepatu balet, bingkai jendela, buku lagu pujian, batu umpak, mesin penghitung uang, kuda goyang, cantelan gambar dinding, barang-barang yang sudah tidak utuh bagiannya, bagian-bagian yang terlepas dari barang utuhnya—ke mana pun memandang kau dihadapkan dengan elemen-elemen yang tercerabut dari kehidupan orang lain.

“Aku enggak mengerti,” kataku, sembari memeriksa raket tenis Dunlop yang baru saja tiba. “Bagaimana kamu tahu mana yang berharga, dan mana yang, mengerti kan, sampah?”

Frank berpikir sejenak. “Barang yang enggak dibeli orang yang sampah,” ucapnya.

“Oh,” sahutku.

Kebanyakan barang dibeli orang. Jelas ini masa subur dalam bisnis penyelamatan bangunan. Separuh kota dibongkar lalu dibangun lagi. Barang-barang dapat diambili dengan harga murah, kemudian dijual di atas harga sebenarnya pada semua pemilik pub baru, hotel baru, serta rumah baru yang ingin memberi properti mereka sentuhan autentisitas. “Semua taik rombeng ini,” Frank mengayunkan tangan di atas jarahan terbaru yang tersebar di lantai, “kayak ladam, pelang, helm pemadam kebakaran gitulah—pub-pub senang banget barang gitu. Mereka sange sama persneling lama buat ditaruh di dinding supaya kesannya makin jadul gitu. Sama juga flat baru. Orang tuh enggak suka barang-barang baru. Mereka pengin ada kenangan sama yang lawas-lawas gitulah.”

“Kalau begitu, kenapa mereka enggak berhenti merobohkan bangunan lama saja?” kataku. “Kalau orang pada gila banget sama yang lawas-lawas.”

“Kalau gitu entar kita jadi enggak ada kerjaan.”

Karena ditumpuk asal-asalan begitu, loakan tersebut tampak serupa—berupa kesenduan masa lalu berbau apak yang memenuhi ruangan bak parfum lama. Sepanjang hari, saat Frank keluar rumah, aku sendiri merasa agak menyerupai relik. Tidak ada yang kuperbuat, selain memainkan jumbai kimonoku—yang barangkali kedengarannya tidaklah luar biasa, namun ini kekosongan yang lain daripada biasanya, kekosongan yang mendebarkan, menggelisahkan, dan tidak memuaskan. Aku jarang pergi ke luar, selain terobosan singkat ke SPBU, tempat orang bisa membeli kebutuhan sehari-hari dengan harga yang mengada-ada. Sebagian besar waktuku dilalui di jendela, dengan memandangi suramnya perkampungan jembel di bawah sana.

Jalanan di Bonetown bernuansa muram dan kelabu, tanpa pepohonan ataupun hiasan, dan kekelabuan, kemuraman ini tergurat dengan sendirinya ke dalam wajah para penghuninya. Aku melihat adanya dua strata yang nyata dalam masyarakat Bonetown. Pertama, penduduk asli. Mereka ini, kasarnya, sekeji gerombolan bangsat mana pun di dunia ini. Mereka biadab, berpakaian jelek, dan menghabiskan hari dengan berjalan sempoyongan dari pub ke bandar judi ke SPBU, sambil membawa-bawa anak yang tak terhitung jumlahnya—kuperhatikan, banyak di antara anak-anak itu yang sangat mirip Frank. Aku menyatakan ini pada Frank, namun ia cuma mengecap dan berucap misterius soal betapa terlihat mirip seseorang sesungguhnya tidak membuktikan apa-apa di pengadilan.

Golongan kedua, yang jarang berhubungan dengan golongan pertama, merupakan orang-orang asing. Perawakan dan ukuran mereka bermacam-macam, dan, setidaknya menurut Frank, mereka muncul kurang lebih dalam semalam saja, walau agaknya tidak seorang pun tahu dari mana asal mereka, atau cara persisnya mereka berlabuh di daerah ini. “Mungkin mereka korban huru-hara di Bosnia itu,” sangkaku. “Kayak Mbok P dan rombongannya.”

“Huru-hara yang itu atau yang lainnya,” sahut Frank sambil mengangkat bahu. “Perang enggak habis-habis.”

Agaknya mereka semua penganggur, dan serta-merta aku berpikiran bahwa kami dapat memanfaatkan situasi ini untuk meminta orang membersihkan rumah dengan upah relatif kecil. Tetapi, Frank langsung menolak. “Mak aku kerjanya bersih-bersih, Charlie,” ujarnya. “Jadi aneh aja, gitu.”

Saat malam kompleks ini dikuasai Pemuda setempat, dan siapa pun yang tidak berminat merampok ataupun meneror orang-orang tua diharapkan berada di rumah saja atau menanggung akibatnya. Para pemuda ini menghibur diri dengan aneka cara. Kadang mereka membakar barang-barang, atau menggambar swastika dengan semprotan pada pintu rumah para pencari suaka. Adakalanya datang mobil curian, sehingga mereka bisa bersukaria memacu kendaraan itu naik-turun jalanan berjam-jam. Namun, sering kali mereka cuma berkumpul membentuk geng-geng yang meremangkan di pojok jalan, saling berjualan heroin. Bangunan-bangunannya berisik oleh teriakan. Mau tak mau ada bayi mulai meraung-raung, dan lewat tembok aku biasa mendengar tetangga bertengkar. Beberapa kali terdengar suara tembakan menggema dari arah Coachman. Frank memberitahuku betapa orang-orang dari permukiman setempat biasa turun dengan masker ninja dan senapan untuk merampok pub tersebut, lantas besoknya kembali ke sana untuk membeli minuman dan membawa serta barang-barang yang diambil.

Kadang, selagi merana di jendela, aku melihat sepasang mata mengintip balik padaku dari bangunan tinggi di seberang, lantas aku pun teringat pada Mirela yang melambaikan tangan serupa bidadari padaku dari Folly. Kemudian tampak anak-anak berwajah bundar beserta troli supermarket mereka, selalu yang satu sedang mendorong dan yang lain berdiri memandang ke samping, jari-jari mungilnya menggenggam pelek—menderu bak peziarah kucel yang lupa arah dan tujuan dan kini hanya berputar-putar terus di sekitar jalanan buntu yang itu-itu saja. 

Hampir tidak perlu dikatakan lagi bahwa aku masih jauh dari merasa nyaman kumpul kebo bersama Frank. Apalagi pada hari-hari pertama, aku merasa seperti Jack, tinggal di pucuk Pohon Kacang bersama raksasa pemakan orang Inggris. Meski begitu, dibandingkan dengan mimpi buruk Hobbes[3] di sekitarku ini, Frank jadi terlihat agak kurang menakutkan. Selain itu, ada begitu banyak hal lain yang kurenungkan sehingga dengan segera aku hampir mulai terbiasa akan repih kebaikannya, makan malam cepat saji pemberiannya, serta candaannya yang tidak lucu—

“Eh, Charlie, pernah dengar enggak tentang orang cebol yang masuk ke toilet cewek?”

“Sepertinya belum, bung ….”

“Yeah, dia nutupin mukanya pakai kardus!”

“Ha ha, iya, lucu banget, wah, sepertinya sudah waktunya tidur—“

“Baru jam delapan kok, Charlie.”

“Iya, tapi, besok sibuk,” seraya mengangkat diri dari sofa.

“Sibuk?”

“Yah, enggak benar-benar sibuk sih, maksudku sepertinya aku mungkin menonton satu-dua film … eh, bung, jadi ingat aku—pinjam lima puluh paun lagi dong? Kita harus punya anggur yang layak nih. Aku enggak bisa terus minum Riesling[4] murahan dari SPBU itu, aku jadi bisulan.”

“Eh, yeah, Charlie, enggak masalah,” dan ia pun mengelupaskan lembaran uang dari gepokan tebal di kantongnya.

“Terima kasih. Yah, selamat malam ya.”

“Malam, Charlie.”

Sering kali saat malam ia keluar minum-minum bareng kawanannya, lalu keesokan harinya menghiburku dengan pengalaman-pengalaman luar biasa mereka—betapa si anu “Ste” membeli “sabu-sabu” dari si polan “Mick si Kontol”, tetapi saat dihirup ternyata itu bukan “sabu-sabu”, itu zat untuk membunuh semut, maka Ste pun mengamuk, mulai menggigiti piring, dan berusaha merenggut bola mata Mick. “Kapan-kapan kamu mesti keluar bareng kita, Charlie,” ucapnya sesekali. “Seru banget, tuh bocah-bocah.”

“Okelah,” kataku, sementara cerita itu sendiri saja sudah cukup membuatku meriang.

Sepertinya aku kelewat larut dalam perenungan untuk menanyai diriku sendiri apa gerangan yang diharapkan Frank dari membiarkanku tinggal di sini. Aku tidak tahu-menahu persoalan antara dia dan Bel. Apa pun itu, nama Bel tidak pernah disebut-sebut di apartemen. Namun kadang aku mendapati Frank memandangku dengan suatu tatapan khusus yang memendam asa, seakan-akan memang ia mengharapkanku untuk menarik Bel keluar dari topi. Aku juga penasaran biarpun sambil merinding kalau-kalau ia berencana memanfaatkanku demi membalas dendam pada Bel, atau menahanku sebagai semacam Tawanan Cinta.

Meski begitu biasanya ia datang dan pergi tanpa menggangguku. Aku bisa duduk dan menonton televisi tanpa terusik. Karena sudah diabaikan oleh dunia, aku pun memutuskan bahwa sekaranglah waktunya untuk menyelesaikan proyek Gene Tierney, atau, kalau mau lebih terperinci, memulai proyek Gene Tierney. Tiap siang seusai sarapan, ketika Frank bekerja, aku menutup gorden (untuk formalitas, supaya ruangannya gelap permanen), duduk di kursi dengan buku catatan serta segelas Riesling yang rasanya mengerikan, dan menonton film Gene Tierney, dimulai dari yang awal sekali yaitu The Return of Frank James—di situ penampilannya celaka sampai-sampai Harvard Lampoon menyebutnya Penemuan Tierney Wanita Terburuk 1940 dan lebih dari seorang kritikus secara semena-mena membandingkan dia dengan Minnie Mouse.  Biarpun begitu, bagiku yang sedang nelangsa ini, film-filmnya bagaikan dikirim dari suatu alam yang lebih luhur dan ramah—kilasan cahaya dari mercusuar nan jauh di mata bagi kapal yang terhenti karena kurang angin dan terhalang oleh kabut. Aku butuh film-film itu. Aku terdesak menontonnya, dan segera aku sampai pada film The Razor’s Edge (1946)[5].

Film ini salah satu favoritku. Tokoh utamanya, yang dimainkan oleh Tyrone Power, adalah pilot yang telah kembali dari Perang Dunia I. Ia sama sekali tidak menyukai kengerian yang disaksikannya dalam perang tersebut dan enggan mengambil bagian dalam lonjakan ekonomi pascaperang, walaupun Gene, tunangannya, menolak menikahinya kecuali kalau ia memiliki pekerjaan. Film itu dibuka di suatu pesta dansa mentereng klub janapada di bawah bintang-bintang. Gene mengajak si tokoh utama menyisih ke punjung dalam keremangan terang bulan dan berusaha meyakinkan tunangannya itu akan keuntungan dari ekonomi yang tengah membubung tinggi. Gene memberi tahu si tokoh utama bahwa Amerika akan segera menjadi negara kaya dan mengerdilkan apa pun dalam sejarah. Ini merupakan kesempatan khusus bagi pemuda seperti dirinya dan ia seharusnya menyambut peluang tersebut agar menjadi bagian dari padanya. Namun Tyrone Power, seraya menatap sendu kejauhan, memberi tahu Gene bahwa hal itu, di matanya, sama sekali tidak berarti. Ia lantas mengatakan pada Gene bahwa dirinya hendak pindah ke Paris, menjadi gelandangan.

Gene mengikuti Tyrone Power ke Perancis. Selanjutnya ada adegan terkenal ketika Gene membawa Tyrone Power kembali ke apartemennya dan, dengan mengenakan gaun hitam memikat yang menyerupai selubung pisau kelam, berupaya untuk terakhir kali merayu lelaki itu agar memasuki dunia merkantilisme. Gaun itu dirancang oleh Oleg Cassini, pengungsi brilian dari Rusia yang dinikahi Tierney pada 1941. Dalam balutan gaun tersebut Gene memperlihatkan bukti yang berlebihan bahkan bagi si mantan pilot suci untuk melawan, setidaknya sepanjang durasi ciuman. 

Kuakui ada perasaan terhubung secara khusus dengan Tyrone Power dalam film ini, terkait sikap membangkang kami terhadap kehampaan masyarakat modern. Mungkin saja aku sudah mempertimbangkan untuk menuruti jejaknya dan memindahkan pendirianku ini dari Bonetown ke lingkungan Paris yang lebih simpatik, seandainya ada sedikit kebetulan berupa wanita cantik bergaun hitam atau warna lainnya yang mengejarku ke sana. Akan tetapi, seiring dengan berlalunya waktu, semakin jelas saja bahwa tidak akan ada kejadian begitu.

Sejak aku pindah kemari tidak seorang pun dari Amaurot meneleponku, bahkan Mirela pun tidak, walau pernah ada percakapan menjanjikan antara kami di ruang dansa waktu itu. Sandiwara Terbakar Habis telah mulai dipertunjukkan di teater kecil di belakang stasiun Tara Street pada malam aku dikeluarkan dari Hotel Radisson. Ada ulasan pendek mengenai sandiwara tersebut di koran yang kuambil dari lobi hotel, bukan karena teramat antusias, melainkan menyetujui betul yang dikatakan sebagai “penampilan pertama yang pantang mundur” dari Para Pemain Amaurot. Segala yang kubaca tentang mereka sepertinya terjadi di planet lain. Usai sudah rasa terima kasih Mirela, pikirku nestapa. Kini aku bukan lagi tuan tanah—karena kini aku tunawisma, sebagaimana dulunya dia!—rupanya segalanya telah terlupakan.

Adapun Bel, tanpa bermaksud bermain kata, aku teramat yakin ia telah mengempaskan diri dalam belle époque[6]-nya, tanpa sedikit pun berpikiran bahwa belas kasihannya telah secara sembrono mengutukku dengan api penyucian dosa ini: walau bukan berarti aku tidak memikirkan dia, tidak sedikit-sedikit ingin tahu apa gerangan yang dilakukannya sementara aku duduk menghitungi partikel debu di kursi jebol ini; bukan berarti tiap malam aku tidak memimpikan rumah, decit roda troli di sebelah luar jendelaku menjadi gada-gada karatan Mbah Thompson, deru lalu lintas di kejauhan merupakan suara ombak di pantai Killiney, suasana malam di kota yang penuh kesuraman menjadi senja Juli ketika aku dan Bel mengadakan pesta di pekarangan, dengan Manhattan[7] serta sup lobster tertata di bawah matahari yang lekas terbenam merentang sejambon flamingo melintasi seluruh langit; hingga “Ayo”, bisik Bel, dan kami pun bergandengan tangan menyelinap menembus pepohonan, ke puncak tebing di mana Ayah telah berjaga dan mendeklamasikan puisi; di mana langit telah beralih biru temaram seakan-akan untuk selamanya dan kami pun memandang lautan berlabuh dan tercampakkan lagi oleh rayuan bulan, dan cahaya kecil-kecil pada daratan jauh di seberang bak nyala kapal karam ….

Kemudian suatu malam aku terbangun oleh suara gebukan yang terdengar membawa malapetaka. Kegaduhan itu menggema di langit-langit, dinding, dan lantai atau serupanya. Seluruh apartemen bergetar tanpa ampun seakan-akan ada gempa kecil terbatas di tempat tertentu saja.

Aku langsung berpikiran bahwa ada yang sedang berusaha menghancurkan bangunan ini. Ini pernah terjadi sebelumnya, Frank bercerita padaku: agaknya saat pengembang tidak bisa menggusur orang dari hunian yang hendak dirobohkan, mereka akan datang tengah malam dan pura-pura tidak sengaja mengemudikan lori ke arah bangunan itu. Aku pun menggosok-gosok mata lalu mengenakan kimono, bermaksud keluar dan memberi tahu orang-orang itu bahwa mereka salah rumah. Namun begitu melangkah ke ruang tamu aku menyadari bahwa kegaduhan itu asalnya dari rumah ini. Mesin stereo yang sangat besar menampakkan wujud di atas televisi. Di samping benda tersebut, sambil mengibas-ngibaskan kepalanya seiring dengan kegaduhan itu, terdapat mahkluk yang agaknya musang besar mengilap yang telah belajar berjalan menggunakan dua kaki. Atau begitulah kesan yang kuperoleh dalam sepersekian detik sebelum si musang meluncurkan diri ke arahku, lantas, kaget tiada habis, aku mendapati diriku di lantai sedang dicekik.

Orang ini sungguh-sungguh sudah berpengalaman mencekik. Dengan cerdik ia meredam perlawananku dengan membanting-banting kepalaku ke lantai selagi mencengkam leherku. Semenit kemudian jelas sudah ia menguasaiku dan bisa dibilang bahwa seandainya aku tidak berhasil menjerit sebelum ia mencengkeram batang tenggorokanku, aku mungkin sudah lekas mati tersiksa. Namun tepat sebelum aku pingsan, muncul tangan di pundaknya dan menariknya, lantas serta-merta kehebohan pun terhenti. Setelah bergulir sambil batuk-batuk sejenak, aku cukup pulih untuk menyeret separuh diriku ke atas kursi—dan melihat Frank, bukannya memukuli penyerangku sampai jadi bubur darah, malah menjabat tangan orang itu dan menepuk-nepuk punggungnya!

“Baik-baik saja Droyd!” kata Frank. “Gimana memek lu?”

“Lumayan, Frankie,” si musang terkikih-kikih, “lumayan.” Ia bertubuh kecil dan mengenakan semacam setelan olahraga dengan lapisan dari satin, seperti yang dikenakan aktor-aktor di pementasan Terbakar Habis waktu itu. Di seputar lehernya ada rantai emas yang berat, adapun di tangannya cincin-cincin norak begitu pula tato janggal bertinta biru yang terlihat seperti bikinan sendiri.

“Ada yang mau menjelaskan padaku apa-apaan ini?” aku bergarau. “Siapa orang ini? Kesambet setan apa dia berbuat begitu, datang kemari tengah malam enggak pakai permisi?”

“Ini Droyd, Charlie,” ujar Frank, lantas berpaling pada orang itu. “Ngapain emangnya kamu ke sini?”

“Aku baru keluar,” kata si musang.

“Keluar dari mana?” kejarku.

“Dari penjara. Frankie, siapa ini homo?”

“Itu Charlie. Kamu baik-baik saja, Charlie?”

Aku melambaikan sebelah tangan dengan tabah dari posisiku di lantai, karena tadi aku roboh lagi demi mengambil napas.

“Kamu harusnya enggak nyekek dia kayak gitu, dia tuh rada sensitif gitu.”

“Bukan salah aku,” balas suara satunya entah dari sebelah mana kepalaku. “Tadi tuh aku enggak nyangka tahu-tahu ada mumi Mesir nongol kayak gitu.”

“Ha!” Aku menimbrung lagi dengan suara serak. “Lucu, ya, karena, mengerti kan, tadi tuh aku enggak menyangka ada orang asing menyusup ke rumahku dan membangunkanku pada waktu yang enggak kira-kira—“

“Masih kira-kira kok, Charlie, aku aja belum makan malam.”

“Lucu deh, aku juga belum kok,” kudengar si bujang musang itu berkata, lantas tentu saja Frank mengajaknya makan malam bersama kami. Diam-diam aku mencoba minggat, kembali ke kamarku, namun Frank menjambret lenganku. “Ayolah, Charlie,” katanya. “Yuk ikutan makan bareng kita. Entar kita semua kan jadi sobat karib.” Maka, baru setengah jam sehabis diseret dari kasur dan dihajar, aku mendapati diriku duduk di meja bersama mereka berdua, sembari mendengarkan Frank menyidik si penyusup tentang bagaimana ia menikmati waktunya selama berada di “tempat yang jauh”—seakan-akan ia baru pulang dari berendam di Carlsbad[8] saja! Sambil mati kaku aku membatin kok bisa aku sampai menggiring hidupku ke jalan yang buruk ini.

“Enggak buruk-buruk amat kok,” kata Droyd. “Biasa aja, ada enak enggak enaknya. Di situ tuh kita bisa ketemu sama orang yang kayak di film-film. Kayak kamu tahu kan adegan di Lethal Weapon pas Riggs pakai baju kekang terus dia nyopot engsel bahunya supaya bisa lepas?”

“Jijik banget tuh adegannya,” Frank mengingatnya dengan girang.

“Jadi, di Joy[9] tuh aku ada teman yang bisa kayak gitu. Jadi, dia bisa nyopot engsel bahunya tapi enggak bisa ngebalikinnya lagi. Sebenarnya sih bukan dia sendiri yang nyopot tapi sama orang lain namanya Johnny Jari-Buntung. Nah ini dia orang yang kayak di film tuh, yang betulannya ….”

Agaknya Droyd ditahan karena kegiatannya selaku begundal penjaja narkoba setempat yang disebut Sepupu Benny. Sepupu Benny ini tinggal di gedung apartemen yang terletak di sebelah barat, dan sebenarnya ia bukan sepupu siapa-siapa. Selama persinggahanku di Bonetown aku mendengar namanya disebut terus, dengan suara direndahkan serta tatapan sembunyi-sembunyi ke belakang. Bahkan Frank pun tampaknya agak gentar terhadap orang itu.

“Jancuk,” ujar Frank. “Gimana ceritanya kamu terlibat sama tuh bajingan?”

“Waktu itu kan aku madat,” kata Droyd blakblakan. “Kamu tahu sendiri gimana. Uang enggak pernah cukup. Aku mulai deh ngegarong nenek-nenek. Tapi terus itu enggak cukup, jadi aku mulai ngegarong mobil. Tapi terus itu enggak cukup juga. Jadi aku mulai kerja sama Benny. Ya wajar aja sih kalau dipikir-pikir. Dia suka kasih diskon karyawan.” Ia mengunyah, menelan, dan meletakkan garpunya. “Ah yeah, awalnya sih senang-senang saja,” ucapnya disertai desahan. “Tapi akhirnya sia-sia, sia-sia. Lagian, itu semua udah lewat. Aku udah berubah, ya pak.”

Droyd mencondongkan badan dengan siku melekat di lutut dan mematahkan buku jemarinya. Cahaya televisi bersembunyi-sembunyian di wajahnya yang ceking. Sesaat hampir-hampir aku merasa kasihan padanya, dan hendak bertanya apakah ia menggunakan heroin untuk menggantikan harga diri yang tidak diberikan masyarakat padanya, ketika, sambil mengalihkan perhatian ke piring di hadapannya, ia berkata, “Eh, kamu merhatiin enggak pasta tuh bunyi beceknya kayak nyoliin cewek?”

“Hah?” sahut Frank.

“Dengar deh.” Droyd mengambil garpu lalu menekan-nekankannya pada pasta hingga terdengar bunyi menepuk, menyeruput, dan mengisap. “Ngerti kan? Kedengarannya tuh persis kayak waktu jari ngocok memek.”

Aku meletakkan piringku dan menarik napas dalam-dalam. “Hei,” imbauku.

“Benar juga,” sahut Frank. “Ajaib, ya.”

“Hei, berhenti dong, bisa enggak sih?”

Namun kini Frank telah bergabung dengan pasta di piringnya, dan suasana pun jadi penuh bebunyian cabul. “Coba deh, Charlie. Ajaib lo.”

Aku tidak tahan lagi. Seraya menempelkan saputangan ke bibir, aku terhuyung-huyung menjauh dari meja, menyambar telepon sementara mereka tidak melihat, dan membawa benda itu ke kamarku. Di sana, seraya berlutut dalam kegelapan, aku mengusap setetes air mata dan memutar nomor Boyd. Lama rasanya hingga telepon diangkat. Lantas yang terdengar di ujung sana hanyalah suara garau yang pelan.

“Boyd?” bisikku. “Ini kamu?”

“Charles …” sahut suara garau mengibakan itu.

Ia seperti bukan dirinya saja—malah, ia kedengarannya seperti bukan manusia. Aku dilanda gelombang rasa takut yang menggentarkan. “Kamu kenapa?” tanyaku. “Kamu kena pilek parah juga?”

“Bukan pilek,” bisiknya.

“Bukan? Jadi apa dong?”

“Demam Lassa[10],” ucapnya sendu.

Demam Lassa?”

“Sepertinya,” sahutnya, seraya berjeda sebentar akibat serangan batuk panjang yang tiba-tiba.

“Tetapi mana mungkin,” aku bersungut-sungut, seraya mencomot telepon dan membawanya ke seberang ruangan. “Kok bisa? Dari mana kira-kira kamu kena demam Lassa?”

“Pramugari,” ujarnya pahit.

“Oh,” lututku terasa lumpuh dan kurebahkan diri di kasur. “Oh, sial.”

Salah seorang dari pramugari tersebut membawanya dari Afrika, dan kini seluruh rumah kena penyakit itu. Mereka semua dikarantina, kata Boyd. “Bahkan ada polisi berjaga di pintu,” ucapnya muram. “Kalau-kalau kami mencoba kabur dan menggosok-gosokkan diri ke penjaga toko setempat. Enggak ada yang boleh masuk selain dokter.”

Aku merosot bersandarkan dinding. Aku tertampar oleh perasaan ngeri akan situasi tak terelakkan sebagaimana yang telah kualami sebelumnya di hotel. Seakan-akan aku bukanlah penguasa atas nasibku sendiri, seakan-akan ada seseorang atau sesuatu yang hadir untuk memberiku pelajaran. Tawa carut membahana dari dapur.

“Maaf, bung,” gumam Boyd.

Kuusap rahangku pilu. Mau apa lagi. Boyd pun terdengar semakin parah saja kondisinya seiring dengan berjalannya menit. Aku menyuruhnya tidur sebelum ia semaput.

“Ya,” suaranya tertelan di ujung sambungan. “Baiknya begitu. Badaknya akan segera datang, mengerti kan.”

“Benar, jadi tidurlah.”

“S i al … wabah sialan, Charles … sedikit-sedikit aku jadi bangun … ingin main poker telanjang ….”

“Iya, iya. Hei, jadilah anak baik dan—“

“Aku kasih tahu dia, ‘g’mana bisa kamu main poker telanjang? M’k’s’d’ku, kamu kan b’d’k keparat, jadi (a) pertama kamu enggak punya tangan, dan (b) kamu enggak … sama sekali … pakai baju, jadi s’dah jelas, jelas kan ….”

Droyd tidak pulang ke rumahnya malam itu, begitu pula keesokan paginya, dan hampir sepanjang siang berikutnya aku terpaksa mendengar apa yang dia sebut, agaknya tanpa ironi, sebagai “musik”nya. Kadang kedengarannya seperti metal raksasa yang—tank, mungkin, atau seperangkat perkakas yang sangat besar—terguling-guling menuruni tangga yang tidak habis-habis. Kadang kedengarannya seperti seratus ribu pasukan Nazi berderap melewati Place de la République. Agaknya bebunyian itu secara umum bermaksud menangkap suara runtuhnya peradaban, dengan sedemikian nyaring hingga ketika diperdengarkan orang hanya mampu berbaring di kasur sambil menggigil.

Sudah tentu orang tidak suka bersikap judes, namun keesokan harinya ketika ia masih ada aku mulai merasa bahwa kebaikan hati kami tengah dimanfaatkan. Selagi bagian ingar-bingar dalam kegaduhan yang diputarkannya, aku menggiring Frank ke sisi dapur untuk bicara singkat.

“Ada apa, Charlie?” serunya, seraya mengambil sekaleng bir dari kulkas.

“Aku bilang tadi, sudah tentu orang enggak suka bersikap judes,” aku balas berteriak sambil menutupi kedua belah telingaku, “tapi yang kumaksud, dia enggak ada rencana pulang sewaktu-waktu?”

“Enggak tahu, Charlie. Kenapa kamu enggak tanya dia?”

“Aku enggak mau ah tanya-tanya—“ tukasku. Sia-sia saja. Seiring dengan setiap gebukan cangkir-cangkir di rak piring meloncat semakin ke tepi, sudah jelas bagaimana nantinya.

“Begini, si Droyd tuh soalnya—nih, mau minum?”

“Enggak,” sahutku, namun ia tidak mendengar dan menyerahkan sekaleng Hobson’s Choice[11] yang sudah dibuka. Itu bir termurah yang sedang didiskon di SPBU.

“Soalnya Droyd itu sebenarnya enggak punya rumah. Jadi mungkin mending dia di sini dulu, sampai problemnya beres. Maksudnya sih kita enggak mau kan dia balik ke si Sepupu Benny jancuk itu, gitu.”

“Enggak,” kataku, “enggak, idealnya kita—“

“Lagian, rumah ini cukuplah buat kita bertiga. Enak kan ada musik, tempatnya jadi rada meriah, ya enggak?”

Aku hendak menanggapi secara sarkastis, namun seketika menyadari bahwa gara-gara musik itu tambalan di langit-langit jadi copot, alih-alih aku pun kembali ke kamar dan mengepompong diriku sebisa mungkin dalam selimut rombeng.

Di sisi lain, sepertinya aku berutang budi pada Droyd. Karena harus mengambil keputusan sendiri, akibatnya aku mungkin terapung-apung selamanya dalam fuga pasca-Amaurot. Berkat dia, situasinya seketika nyaris jadi tidak tertahankan lagi.

Contoh sederhana saja, sungguh berat berbagi ruangan dengan dia. Ia membuat Frank terlihat seperti Noel Coward[12]. Sementara aku berupaya menonton Pertandingan Uji Coba kriket, ia terus saja merusak suasana dengan meneriakkan “Howzat”[13] pada waktu yang tidak tepat, bahkan setelah aku menjelaskan panjang-lebar padanya secara cermat maksud istilah tersebut. Ia bersikeras menyebut tim Pakistan sebagai “Keling” sedang Inggris sebagai “homo”. Udara selalu sesak oleh asap rokok kanabis, yang diisapnya kurang lebih tanpa henti, akibatnya aku terus terkantuk-kantuk. Selain itu, tiap sekitar lima menit, tanpa ternyana, boleh dibilang, stereonya berdebuk mahakencang hingga aku melonjak dari tempat dudukku. Saat kutanya kalau-kalau ia sudi mematikan stereonya barang sejenak dan mungkin melanjutkan bacaannya, dikatakannya padaku ia “mending menyetrika karungnya[14]”. Setelah percakapan terakhir inilah, seingatku, aku beranjak mengambil koran yang kucuri dari Hotel Radisson untuk melihat kalau-kalau aku bisa menemukan tempat tinggal yang lain.

Ada beberapa kolom berisi apartemen yang disewakan. Aku melingkari setengah lusin dan mencatat waktu kunjungnya. Semuanya mahal, seperti kata Droyd sewaktu melihat yang kulakukan.

“Jancuk!” serunya, seraya membaca dari balik bahuku. “Dari mana kamu mau dapat uangnya?”

“Itu urusanku,” ujarku sengit, sambil merenggut koran itu dari penglihatannya.

“Sekarang mah orang mesti jadi jutawan buat hidup di kota,” renungnya.

“Iya, sudahlah,” gerutuku. Namun toh ada kesulitan. Aku tidak perlu membuka laporan kartu kreditku yang dengan baik hatinya telah diteruskan Bunda padaku untuk mengetahui bahwa masaku sebagai jutawan telah lama berlalu. Tetapi sungguh aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini. Mau bagaimana lagi selain meminjam uang lagi pada Frank. Namun, saat aku membawa Frank menyisih untuk bicara singkat mengenai hal tersebut malamnya, ia bilang dirinya tidak punya uang untuk keperluan itu.

“Apa maksudmu?” ujarku. “Kupikir bisnis lagi melonjak.”

“Enggak melonjak banget juga,” sahutnya. “Lagian harus bayar sewa, makan, dan sebagainya buat kalian kan ….”

“Baik, baik,” sergahku. Apa karena ia menikmati diriku jadi hina? Apa karena itu? Kuseka kening dengan punggung tangan.

“Kamu kan bisa kerja, Charlie. Aku ada teman yang punya gudang, kalau kamu mau aku bisa nelepon dia. Anaknya baik kok, lagian uangnya—“

“Kerja, oh iya,” cetusku. “Kenapa aku enggak kerja saja, menjual jiwaku pada penawar tertinggi, dan semua orang pun senang. Menurutku, ya, itu pemikiran teramat rendah dari yang disebut sebagai masyarakat ini bahwa zaman sekarang satu-satunya cara manusia dapat bertahan hidup yaitu dengan mengorbankan cita-cita, mimpi, dan seluruh jati dirinya—“

“Itu dia,” Frank menyetujui. “Kayak babeku bilang, di dunia ini enggak ada yang gampang.”

“Tunggu sebentar,” mendadak mataku menangkap sesuatu pada koran di meja. “Lihat ini—“ aku melipat halaman itu dan mengangkatnya. “Muak dengan balapan tikus di dunia kerja? Masih menanti potongan pai[15] Anda?”

“Mana?”

“Nih, lihat? Yang ada gambar painya, dengan tikus yang terlihat sedih?”

“Oh iya.”

“Capek melihat teman-teman Anda maju sementara Anda terjebak oleh pekerjaan yang itu-itu saja? Dublin sedang melonjak, dan ada cukup bagian untuk semua orang. Jika Anda menginginkan potongan pai Anda, hubungi Sirius Recruitment, ahli solusi TI, multimedia, dan bisnis elektronik terbaik dan terkemuka di Irlandia SEKARANG JUGA. Mengapa buang waktu lagi? Teleponlah sekarang juga dan BERGABUNGLAH DENGAN PESTANYA!” Kuletakkan koran itu kembali disertai perasaan terbebas dari cela. “Yah, ini dia, bung. Ini dia jawabannya. Sampaikan salamku pada Broadway[16], kalau kau sempat.”

“Eh, bukannya itu kerja serbakomputer, Charlie?”

“Apaan tuh?”

“Kayak, TI, multimedia, dan seterusnya.”

“Jadi, kenapa kalau iya? Aku bukan idiot, kan? Aku pernah kuliah, aku bisa belajar caranya memultimediakan dan sebagainya. Lagi pula, itu mah cuma jargon industri. Pokoknya mereka ingin orang yang punya semangat pasti-bisa, seperti diriku. Aku mau pergi dan menemui mereka ah.”

“Yeah, kalau itu enggak berhasil aku bisa nelepon temanku ….”

“Ya, yah, terima kasih deh, walaupun aku mau-mau saja terperangkap dalam balapan tikus kumuh di gudang sedangkan, mengerti kan, teman-temanku pada maju dan Bel berkeliaran di awang-awang teatrisnya yang indah,” sambil menjangkau kulkas untuk mengambil sekaleng bir, “aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Aku tidak akan menghabiskan tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku dengan tidur di lantai rumah orang.”

“Kamu butuh rumah sendiri oke deh,” Frank menyetujui.

“Yah tentu saja aku maunya sih pindah ke rumah yang dulu,” aku menarik tutup kaleng itu dengan mantap di meja. “Di dunia ideal terang saja itu bukan persoalan. Tetapi teater edan inilah yang diinginkan Bel dan jangan harapkan aku supaya menggantungkan hidupku kalau-kalau nanti rencana itu berjalan keliru. Aku harus meninggalkan rumah itu dan, mengerti kan, menuntut potongan paiku. Sekarang aku berdikari. Sampaikan salamku pada Broadway.”

“Yeah, tadi kamu sudah bilang itu Charlie.”

“Yah, aku bersungguh-sungguh.”





[1] 1714 – 1830 (1837), masa pemerintahan dalam sejarah Inggris oleh raja-raja yang semuanya bernama George (George I, George II, George III, dan George IV)
[2] Sebutan bagi polisi di Irlandia
[3] Thomas Hobbes (1588 – 1679), filsuf Inggris yang menyatakan bahwa tanpa adanya pemerintahan absolut manusia akan saling memerangi
[4] Anggur putih dari Eropa atau California
[5] Dalam kurun waktu  antara The Return of Frank James (1940) dan The Razor’s Edge (1946) Gene Tierney membintangi 14 film lainnya
[6] Masa keemasan
[7] Jenis koktail
[8] Tempat wisata berendam berupa mata air bermineral di California
[9] Mountjoy Prison, penjara berkeamanan sedang berlokasi di Phibsborough, pusat Kota Dublin, Irlandia, dibangun pada1850
[10] Penyakit akut disebabkan oleh virus, pertama kali dikenali di Afrika
[11] Selain nama bir, Pilihan Hobson merupakan ungkapan untuk pilihan yang hanya memiliki satu opsi, “ambil atau tinggalkan”, konon berasal dari Thomas Hobson (1544 – 1631), pemilik peternakan di Inggris
[12] Aktor, dramawan, dan komposer Inggris (1899- 1973)
[13] Dari “how is that?”, seruan dalam pertandingan kriket dari pemain penangkap bola pada wasit
[14]sack(+ing) dapat berarti perampokan, penggarongan
[15]Slice of the pie” dapat berarti bagian dari keuntungan
[16]Give My Regards to Broadway”, lagu karya George M. Cohan untuk pertunjukan musikal Little Johnny Jones yang pertama kali dipentaskan di teater Broadway pada 1904. Lagu ini dinyanyikan pada tokoh yang hendak berlayar ke Amerika.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...