Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170520

An Evening of Long Goodbyes, Bab 8 (1/2) (Paul Murray, 2003)

Kolese Trinity, tempat aku bersilang pedang sejenak dengan pendidikan tinggi, terletak tepat di jantung Dublin. Karena sebagian besar waktuku di sana kuhabiskan dengan membolos kuliah untuk bermain croquet[1] bersama Hoyland, atau kelayapan bareng dia di jalan, aku jadi mengenal baik kota itu. Tempatnya mengasyikkan, agak terseok-seok, menyerupai sepatu tua, yang sebagian besarnya mencakup restoran kecil cepat saji, pusat perbelanjaan kelas kambing, serta pub-pub kumuh yang dilanggani orang-orang tua penyakitan. Pada waktu itu teman-teman sebayaku biasa mengobrolkan tempat tujuan emigrasi setelah lulus—pada masa itu Dublin bukanlah jenis kota yang dipertimbangkan orang sebagai tempat menetap, jika ia punya semangat dan ambisi. Kukatakan “pada masa itu”, walaupun baru beberapa tahun lalu. Itu bukti begitu aku melangkah ke luar dari bis bahwa segalanya telah berubah.

Frank benar. Ke mana pun melihat ada saja yang sedang digali, dibangun ulang, atau dibongkar. Hostel-hostel dan toko-toko bobrok telah tiada, di tempatnya kini berdiri kafe-kafe mewah, toko-toko mungil nan elok penuh furnitur kromium bergaya minimalis, serta modiste-modiste mempertunjukkan mode terkini dari Paris dan London. Suasana mendedas oleh uang dan potensi. Papan tanda Lowongan Kerja digantung di jendela-jendela. Jalan dipadati orang dan klakson mobil. Rasanya seperti berada di balik layar pertunjukan musikal—semua orang bergegas menuju posisinya, dekor dinaik-turunkan—atau salah satu film komedi Ealing[2] lawas di mana ada kapal karam dan kargonya yang berisi wiski terdampar di pantai suatu pulau teramat kecil di Skotlandia, kecuali di sini alih-alih wiski petinya penuh setelan produksi Italia serta ponsel, dan alih-alih mabuk para pribumi berlari mondar-mandir mengepas celana serta menelepon satu sama lain.

Langit sudah terang, membubuhkan awan putih-emas secara impasto[3]. Matahari Oktober yang condong menjadikan segalanya tampak baru dicetak. Selagi aku berdiri di Jembatan O’Connell memeriksa peta jalanku, dengan sungai mengalir di bawahku, aneka cahaya dan suara di mana-mana, terdesak oleh payung, tas sekolah, koran, gawai elektronik. Semuanya terasa sungguh menakjubkan. Lalu ada yang menubrukku sehingga petaku jatuh, dan aku pun hanyut dalam keramaian. Kami menerjang plaza College Green, pada setiap celah disusul oleh anak sungai orang-orang yang lebih banyak lagi. Mudah untuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah sekadar sekumpulan acak tubuh yang secara kebetulan menuju arah yang sama, melainkan suatu massa, pergerakan, dalam perjalanannya untuk berbuat sesuatu yang mendalam. Aku begitu tercengkam oleh keseluruhan suasana itu hingga hampir saja aku melewati Vuk, yang sedang membungkuk di pagar dalam antrean orang-orang asing tidak keruan. Ia menyapaku lalu aku pun berhenti, mengucap halo, dan menanyakan yang ia lakukan. “Menunggu,” kata Vuk—aku bilang Vuk, walau tidak bisa bersumpah bahwa ia benar-benar bukan Zoran—“dokumen.”

“Benarkah?” Ada sejuta orang kiranya di depan dia, dan antrean tersebut tidak tampak bergerak sama sekali. Aku memberi tahu Vuk bahwa toko agen koran[4] terdekat ramainya tidak sampai separuh di sini, kalau ia mau pergi ke sana saja, namun tampaknya ia tidak mengerti perkataanku. Barangkali ini mengingatkan dia akan kampungnya, antrean untuk mendapat roti, dan sebagainya. Semestinya aku menanyakan kabar Mirela, namun aku tidak mau menunda urusanku, dan kalau-kalau gadis itu mencium Harry lebih baik aku tidak mengetahuinya. Cepat-cepat aku mengarang alasan lalu melanjutkan perjalanan ke Alun-alun Merrion.

Sirius Recruitment bertempat di gedung abu-abu yang anggun dengan pintu kaca berwarna, di mana aku mengadakan inspeksi singkat terhadap diriku sebelum masuk. Perlu disebutkan bahwa busanaku tidaklah ideal untuk kesempatan tersebut—jas makan malam tampak agak mengecoh, sedang rompi tetek bengek yang terlalu menyolok. Akan tetapi, pakaianku selebihnya telah sekali lagi diperedarkan di antara para langganan Coachman, jadi aku tidak ada pilihan. Lagi pula diam-diam kurasa penampilanku ini cukup bergaya, seperti dalam The Mummy Takes Manhattan, meski Frank bilang aku lebih menyerupai pelayan Frankestein, dan Droyd menyebutku homo. Namun nanti mereka akan menyaksikan bahwa kekurangan dalam gayaku ini lebih daripada sekadar mengimbangi semangat pasti-bisa.

Aku memasuki ruangan lapang yang diterangi cahaya teduh keperakan. Dari jauh merebak gerincing giring-giring. Tumbuhan lilac segar menghiasi meja resepsionis. Salah satu dinding ruangan ditutupi foto-foto, yang menunjukkan tim Sirius Recruitment bersama para pelanggan yang puas, atau bersenang-senang setelah seharian bekerja keras. Semua orang tersenyum dan memeluk satu sama lain. Setelah horor dalam kehidupanku baru-baru ini, segala ketenteraman dan penyambutan ini terasa agak mencengangkan. Malah, sesaat aku hanya berdiri dan menganga, seperti si orang yang tersandung jalan pintas ke surga[5]. Kemudian ada suara menyapaku, suara dengan musikalitas tak terperikan.

“Halo,” suara itu.

Aku mengedarkan pandangan. Di balik meja duduk resepsionis cantik. “H-halo,” balasku tergagap-gagap. Ia sangat elok, kulitnya kecokelatan dan menyerupai peri. Ia mengenakan telepon kepala berwarna emas yang begitu mungil dan tampak sangat beradab.

“Sepertinya Anda tersesat,” ucapnya jenaka.

“Tidak,” aku memulai, lantas terdiam—menyadari seketika itu juga, untuk kali pertama sejak Folly meledak, bahwa tak mungkir lagi aku memang tersesat. “Tepatnya, iya,” kataku. “Maksudku, aku sedang mencari pekerjaan.”

“Kalau begitu Anda berada di tempat yang tepat untuk memulainya,” ia tertawa. “Isi formulir ini dan Gemma akan menemui Anda sebentar lagi. Ia bosnya,” ia menambahkan. “Tetapi jangan khawatir, orangnya sangat menyenangkan.”

Aku duduk di sofa panjang yang mewah dan mulai mengisi formulir. Isiannya tidak begitu sulit. Ada beberapa halaman (Riwayat Kerja; Bahasa; Kemampuan dan Kecakapan Lain, Rencana Jangka Panjang, dan Cita-cita) yang bisa kuloncati. Aku segera selesai dan bisa kembali memalingkan perhatian pada foto-foto. Dalam benak aku menyelipkan diriku di samping si resepsionis cantik saat tamasya staf ke trek gokar, menyemprotinya dengan Silly String[6] pada pesta ulang tahun seseorang yang ketiga puluh ….

“Charles?”

Aku tersentak. Seorang wanita berdiri di ujung lengkungan meja resepsionis—wanita jangkung lagi anggun, dengan keriput halus di sudut mata. “Gemma!” Aku melambung menjabat tangannya.

“Ikut ke bilik saya,” ia tertawa.

Kami mengulir melewati semacam jalur ruwet berkonsep terbuka yang tersusun atas pot-pot tanaman, alat pendingin air minum, serta mesin cappuccino. Di mana-mana karyawan berbicara pada telepon atau mengetuk-ngetuk papan komputer dalam kepuasan yang hening. Bilik Gemma berada di belakang, di dekat jendela panjang dengan pemandangan kebun rempah bergaya Victoria yang terawat baik.

“Pertama-tama, Charles,” ucapnya, seraya mengisyaratkanku supaya duduk, “Saya ingin berterima kasih padamu karena sudah datang menjumpai saya hari ini.”

“Tidak apa-apa,” sahutku. Dinding biliknya disesaki lebih banyak foto: geng Sirius di pertunjukan rodeo, di puncak Gedung Empire State, di pergelaran Cats.

“Sebelum kita membicarakan tentang dirimu,” kata Gemma, “saya akan memberitahumu sedikit tentang agen kami, dan mudah-mudahan meyakinkanmu bahwa kamu telah membuat keputusan yang tepat dengan datang kemari.” Kuperhatikan ia tidak tampak resah sama sekali karena perbanku. Seakan-akan ia mampu melihat menembusnya, pada pria di baliknya. “Kenapa Sirius? Yah, seperti yang kita berdua ketahui, Irlandia sedang mengalami pertumbuhan baru dalam sejarahnya. Malah ekonomi kita dicemburui di seluruh Eropa.”

Kecuali ia sebenarnya menyukai perban ini, mendadak terpikir olehku, bukannya tidak mungkin—

“Dari mana asalnya pertumbuhan ini? Jawabannya mudah saja: kamu.”

“Aku?” sahutku.

“Ya,” ia mengangguk. “Kamu, beserta lulusan muda lainnya seperti dirimu. Kamu mengerti kan, tenaga kerja muda Irlandia yang berpendidikan tinggi, bermotivasi tinggi lah yang menjadikan negara ini prospek menarik bagi perusahaan-perusahaan asing yang hendak menanamkan modal. Revolusi teknologi informasi mewujudkan hal-hal yang beberapa tahun lalu tampak menyerupai fiksi sains, dan di Irlandia inilah kita telah mampu menempatkan diri kita di baris terdepan teknologi mutakhir tersebut. Charles, kamu mau mochaccino?”

“Ya, boleh, Gemma.”

“Di Sirius,” ia melanjutkan, sambil melangkah ke mesin kromium nan berkilauan di pojok ruangan, “kami sadar bahwa para karyawan kami—mitra kami, begitulah kami menyebutnya—termasuk yang amat terbaik di dunia. Itulah sebabnya saat saya dan Bryan mendirikan perusahaan ini, pada pertengahan tahun sembilan puluhan—“ ia menuding pada foto Bryan yang tengah duduk di kap Saab emas sementara lengannya merangkul Gemma, di sebelah luar gedung abu-abu yang anggun ini—“kami memutuskan bahwa kami tidak akan menjadi salah satu dari tempat-tempat menjemukan yang mengirim para karyawan temporernya ke Timbuktu untuk menjilat amplop sehari itu.” Dengan lihai ia menggerakkan tuas dan kenop mesin tersebut, mengeluarkan rekahan uap ke susu. “Kami menganggap karyawan kami bukan sebagai automaton untuk disuruh-suruh, melainkan individu kreatif dan berbakat dengan gaya tersendiri.” Ia menyerahkan cangkir padaku lalu duduk di depanku. “Segala macam klien kami layani. Selaku mitra Sirius, kamu bisa saja merancang laman untuk perusahaan rintisan lokal, atau mengerjakan solusi elektronik bagi perusahaan multinasional raksasa cabang Irlandia. Kamu bisa pula menciptakan simulator tiga dimensi untuk usaha pengeboran minyak—atau membuat perangkat lunak khusus bagi agen rekrutmen terbaik!”

Kami sama-sama tertawa, walau aku tidak pasti akan perkataannya. “Saya bisa menjanjikanmu bahwa kamu tidak akan pernah bosan di sini, Charles. Kami ingin kamu mengembangkan bakatmu sepenuhnya—sebab dengan begitulah kami tampil prima, dan kita sama-sama menghasilkan lebih banyak uang!”

Kami tertawa lagi. “Tetapi seriusnya,” kakinya tidak lagi disilangkan dan duduknya dimajukan, “yang saya maksudkan yaitu tanpa dirimu Sirius Recruitment pun tidak ada. Jadi, meskipun saya kepala perusahaan ini, boleh dibilang sayalah yang bekerja untukmu.” Gemma menyesap mochaccino­ dari cangkir lalu menjilat busanya. Kubayangkan diriku berselingkuh dengan Gemma, sementara Bryan tersedu-sedu kesepian dalam Saab miliknya. “Sebagian orang mungkin mengira bukan begitulah caranya menjalankan bisnis. Mereka mungkin menyebut kami naif, atau pemimpi. Namun kami mengatakan pada mereka, masa depan itu mimpi. Dan bisnis kami menciptakan masa depan. Perubahan yang kita saksikan kini di sekitar kita di kota ini—mobil-mobil baru, hotel-hotel baru, restoran, bar sushi—menggantungkan keberadaannya pada revolusi teknologi—pada orang-orang seperti dirimu dan saya. Kami memprakirakan tidak lama lagi semua orang akan mengikuti cara kita.”

Ia melontar rambut gelapnya yang halus ke belakang lalu melipat kedua tangannya. “Tetapi cukup perkenalan dirinya. Nah, Charles, apa yang membuatmu tertarik pada perusahaan kami?”

“Hmm? Maaf?”

“Kenapa kamu memilih Sirius Recruitment?”

“Oh ….” Dari tadi aku sibuk memikirkan yang akan kuperbuat saat si resepsionis cantik menangkap basah aku dan Gemma; situasinya benar-benar menjepit. “Yah, sebagian besar karena isi iklan itu. Seluruh balapan tikus itu, mengerti kan, aku mulai cukup bosan dengan itu.”

Ia mengangguk memberi dorongan, mengisyaratkanku supaya terus.

“Yah, maksudku, sebenarnya sih…” aku memulai. “Sebenarnya ….”

Sebenarnya, aku tidak yakin seberapa banyak yang mesti kusampaikan pada dirinya. Namun kemudian aku menatap mata kelabu nan teduh itu dan segalanya pun tertumpah keluar: para penumpang gelap yang membersamai Mbok P, gerombolan teater Bel, Bunda memberikan kamarku pada orang lain, Boyd dan para pramugari pesawat, hingga pindah ke rumah Frank. “Tetapi maksudku tuh persoalan Frank belum ada apa-apanya,” kataku padanya. “Ada lagi perkara si Droyd. Misalnya saja, kemarin, ia mengeringkan cuciannya di oven padahal aku sudah terang-terangan melarangnya. Sekarang seluruh apartemen jadi berbau kaus kaki. Sama sekali sudah enggak bisa ditoleransi lagi. Kalau aku enggak menemukan tempatku sendiri entah apa yang bakal kuperbuat. Maksudku aku sudah kena bintil-bintil nih. Jadi kamu mengerti kan penting betul aku segera mendapat potongan paiku.”

Gemma mempertimbangkan ini tanpa suara. Lantas ujarnya perlahan, “Charles, semua itu alasan yang bagus. Sebab kamu tidak bisa memisahkan pekerjaanmu dari kehidupanmu, ya kan? Bagaimana mungkin kamu berlaku adil pada elan dan gaya pribadimu kalau kamu tidur di lantai rumah orang?”

“Inilah yang kutanyakan pada diriku sendiri,” sahutku.

“Oke,” ucap Gemma. “Jadi, yang penting jangan panik. Betul-betul ada ribuan perusahaan yang mengemis anak-anak muda melek komputer seperti dirimu pada kami. Tinggal mencocokkan riwayatmu dengan profil usaha yang paling sesuai dengan dirimu. Jadi mari jangan buang-buang waktu lagi, dan kita ….” Ia membuka formulir lamaran lantas membaliknya lagi disertai raut prihatin. “Charles, kamu tahu kan buklet ini isinya ada empat halaman?”

“Ya,” jawabku.

“Sebab saya perhatikan ada banyak bagian yang kosong di sini.”

“Aku enggak perlu repot-repot mengisi sebagian besarnya,” terangku.

“Oh,” ucap Gemma. “Oke. Memang tidak ada alasan kamu harus mengisi formulir yang membosankan, kan, kita bisa langsung … oke, jadi di sini disebutkan bahwa di perguruan tinggi gelar sarjanamu Teologi.” Ia mendongak. “Pasti menarik!”

“Ya,” sahutku sayup. “Sebenarnya, itu idenya Ayah, itu satu-satunya jurusan di Trinity yang bisa kumasuki, jadi rencananya kuliah di situ dulu sampai tingkat tiga lalu harapannya sih pindah ke Hukum.”

“Hukum, ah, begitu ya. Lalu …?”

“Yah, lalu Ayah meninggal.”

“Oh ….” Gemma menciut mundur. “Oh, saya turut berduka ….”

“Enggak apa-apa kok,” aku meyakinkan dia. “Tetapi akibatnya sementara ini pindah ke Hukumnya ditunda dulu.”

“Ya,” Gemma mengangguk serius, “jadi sebagai gantinya kamu ….”

“Waktu itu aku berhenti kuliah,” kataku. “Aku merasa memerlukan waktu untuk berpikir.”

“Oke, baik, lalu kamu …?”

“Sebenarnya, begitulah sampai sekarang,” kataku padanya.

“Oh,” sahut Gemma. “Oh.” Tatapannya merunduk, seolah-olah meneliti halaman-halaman kosong pada formulir lamaran itu. “Jadi semenjak waktu itu kamu terus … berpikir?”

“Oh, tahulah, berkeluyuran, mengerjakan ini itu.” Aku menyesap mochaccino di cangkirku dengan penuh perenungan. “Lucu ya waktu tuh rasanya berlalu begitu saja?”

“Memang,” Gemma menyetujui dengan berat, seraya menautkan jemari dan menekan-nekannya ke tiap sisi hidungnya. “Jelasnya yang saya tanyakan di sini, Charles, yaitu bagaimana ini semua bertalian dengan riwayat kerjamu dalam teknologi informasi.”

“Mmm,” sahutku begitu saja, sambil mengusap-usap dagu.

“Barangkali kamu bisa menyampaikan apa persisnya yang menarik perhatianmu dalam bidang ini …?”

Aku merasa mencium suatu gelagat dalam suaranya. Aku tidak bisa menyatakannya secara persis, namun aku mulai mengalami perasaan tak terperikan bahwa aku telah keliru dalam suatu detail penting. Mendadak aku teringat pada si manajer bank dan betapa aku telah mengguncangkan keyakinannya akan sistem kerjanya dengan kekalahanku di meja bakarat serta hipotek yang tak terkendali. Aku tidak mau berbuat serupa pada Gemma.

“Jadi,” sahutku pelan-pelan, “faktanya sekarang ini teknologi informasi merupakan kebutuhan mutlak. Tidak bisa dihindari. Sebab maksudku semua orang butuh informasi, kan, atau kalau tidak, tahulah, bagaimana kita dapat mengetahui segala hal? Maka sekarang ini ke mana pun orang pergi, ada informasi.” Diam-diam kutatap Gemma sepintas. Ia sedang mengunyah ujung bolpoin. Entah apakah ini pertanda baik atau buruk. “Dan teknologi,” lanjutku, “hampir sama saja, di mana-mana, membuat berbagai hal jadi lebih cepat dan … dan …” sesaat aku bimbang, tetapi kemudian inspirasi meletup—“dan bila kita memikirkannya, sungguh adakah cara yang lebih baik untuk mencari informasi, daripada dengan teknologi? Dan vice versa, adakah cara yang lebih baik untuk mempelajari teknologi, daripada dengan, tahu kan, informasi?”

“Baik,” Gemma berujar samar begitu aku selesai. “Baik.” Ia mengangkat formulir lamaran itu lagi. “Charles, untuk arsip saya sendiri ada yang perlu saya pastikan, jadi kalau kamu tidak berkeberatan, saya hendak membacakan daftar aplikasi dan bahasa komputer. Kalau kamu pernah menggunakan, mengakrabi, atau menghadapi istilah-istilah tersebut dengan cara apa pun, saya ingin kamu mengatakan ‘Ya’, oke?”

“Oke,” aku menyetujui.

Quark,” ucapnya.

“Apa?” sahutku.

Word,” ucapnya. Aku menyadari ia telah mulai membacakan daftarnya. “Excel. PowerPoint.”

Daftarnya panjang. Sesekali ia mendongak menatapku sepintas untuk memeriksa apakah aku masih ada. Sementara ia melanjutkan, rasa malu merayapi pipiku. Begitu banyak bahasa, begitu banyak aplikasi! Bagaimana mungkin aku lalai menguasainya sekalipun cuma satu? Terus saja ia menyambung “VOID. Basic Basic. Advanced Basic Basic”—dan yang sanggup kuperbuat hanya duduk dan mendengarkan, sementara ia mendeklamasikan rentetan kata tak berarti bagaikan sajak futuristis nan mengerikan.

Akhirnya daftar itu berakhir. Gemma menatapku tajam. Aku mendeham dan diam-diam membenahi dasiku. “Charles,” ucapnya, “saya mungkin gegabah, tetapi saya tebak kecakapan multimediamu kurang lebih setara dengan kecakapan TI-mu?”

Aku mengangguk kelu. Aku berpikir-pikir apakah sekarang waktunya untuk memunculkan semangat pasti-bisaku.

“Jadi singkatnya, Charles,” agak mendadak Gemma bangkit lalu melihat ke arah kebun rempah di luar, “boleh dibilang kamu tidak pernah bekerja mencari nafkah, benar begitu?”

“Tidak juga,” aku mengakui. Aku baru ingat bahwa aku pernah memelihara merak-merak Ayah selama beberapa tahun, namun aku tidak yakin pengalaman ini relevan. Lagi pula, mengingat bahwa sesungguhnya kebanyakan dari merak-merak itu mati dalam perawatanku, aku memutuskan mungkin lebih baik tidak menyebutnya sama sekali.

“Minat?” ucap Gemma. “Hobi?”

“Aku suka menonton film lawas,” kataku. “Biasanya ada yang bagus diputar di televisi siang-siang, sekitar waktu makan siang.”

“Ya,” Gemma mengertak-ngertakkan kuku pada meja tulisnya yang berlapis kayu halus kelabu kebiruan. “Saya perlu yang lebih proaktif daripada itu, Charles. Kamu perlu membantuku sedikit. Apa yang, katakan kamu ingin menjadi apa.”

“Menjadi …?” Aku tidak pernah sungguh-sungguh ingin menjadi apa pun yang spesifik—tidak seperti Bel, yang ingin menjadi aktris sejak usianya dua belas tahun, dan sebelum itu mengadakan persiapan sungguh-sungguh demi momen ketika ia menjadi Tsarina.

“Taruhlah begini, di mana kamu melihat dirimu lima tahun lagi?”

Kutempelkan jari di bibir bawahku. Pertanyaan yang mendesak. Lima tahun! Aku mengkhayalkan diriku di masa depan, yang telah menguasai seluk-beluk dunia nan kompleks ini, serta atribut kehidupan suksesku nanti. Aku membayangkan diriku berada di ruangan mewah, dengan gambar-gambar bergaya Art Deco, langit-langit berupa cermin, serta jendela otomatis yang menampakkan pemandangan kota di bawah, di mana aku duduk menghadap komputer mengetikkan Solusi tanpa susah payah. Aku mengangankan bar trendi tempat aku minum-minum gimlet bersama teman-teman baruku, dan betapa pada akhir pekan kami suka bermain gokar, atau menonton pertunjukan Cats. Aku tampak segar dan puas. Segalanya tersedia, hidup baik-baik saja. Namun kemudian pikirku, lima tahun, dan aku pun bertanya-tanya, ingin tahu saja, seperti apa gerangan penampakan Amaurot pada waktu itu—seketika alam paralel di mana aku sukses berkarier pun buyar, dan aku telah berada kembali di rumah itu, sedang berjalan melewati kebun buah mengenakan kimono khusus merokok, sambil menggusah jelatang dengan tongkat bagus, sementara di pekarangan Bel mondar-mandir memegang bundel kertas, sembari menggumamkan dialog sandiwara yang audisinya hendak ia ikuti, lalu Mbok P muncul di ambang pintu membawa kendi berisi limun, begitu pula Bunda, Mirela, dan siapa pun lainnya yang ingin berada di tempat itu, kami semua masih di sana tanpa mengkhawatirkan soal bagaimana, atau mengapa—

“Charles?”

“Oh, ya,” sahutku, kebingungan. “Benar. Lima tahun. Yah, di mana saja bisa, sebenarnya. Maksudnya, aku orangnya enggak spesifik.”

Gemma mendesah. “Charles, kamu mengerti kan, itu tidak cukup. Bagaimana bisa saya menempatkanmu kalau kamu saja tidak tahu di mana kamu ingin ditempatkan? Sekarang ini pemberi kerja menghendaki komitmen. Ia hendak mengetahui bahwa kamu memiliki impian dan ambisi yang sama. Karena dari situlah lonjakan ekonomi ini terjadi, Charles. Ini bukan sekadar mengenai modal ventura Amerika Serikat serta pemotongan drastis pajak perseroan Irlandia. Ini mengenai sekumpulan pemuda berbakat yang terhubung karena sebuah mimpi. Mimpi, Charles, kamu mengerti? Orang tidak cukup hanya berkeliaran di jalan mencari potongan painya, kalau mereka bahkan tidak memahami apa yang dimaksud dengan pai tersebut, Charles. Maksud saya, apa kamu bahkan menginginkan pai tersebut?”

“Yah, aku ingin makan sih,” ujarku resah, “mengerti kan, dan aku sangat ingin tidur di ranjang lagi.”

“Tentu saja kamu ingin!” tukas Gemma. “Tentu saja kamu ingin tinggal di rumah bagus dan mengemudikan mobil mentereng. Siapa yang tidak? Tetapi yang dibutuhkan calon pemberi kerja lebih daripada itu. Dan kepentingan saya adalah begitu saya mengirimkan ini lewat faks,” ia mengangkat formulir lamaran itu, “yang akan dilihatnya bukanlah individu berbakat dan bersemangat sebagaimana dirimu yang saya kenal, melainkan orang yang hidupnya berhenti, tiga tahun lalu.”

Aku memucat. Berhenti? Bisa-bisanya ia mengucapkan itu, padahal begitu banyak yang telah terjadi? Perjalanan Bel melalui perguruan tinggi, rentetan pacarnya yang tak layak diomongkan, upayaku untuk mengulang kehidupan beradab era Renaisans, robohnya Bunda, robohnya Mbok P, kematian Ayah, dan segala jeritan saat pemakaman menyeramkan itu—

“Oke,” Gemma berucap ringan, seraya menepukkan kedua belah tangan pada pahanya. “Charles, saya ingin berterima kasih sekali lagi karena sudah datang hari ini. Dan saya tidak akan mengucapkan selamat tinggal, sebab saya tahu bahwa kamu akan kembali ke sini begitu kamu sudah mengetahui yang ingin kamu lakukan.” Foto-foto di papan pengumumannya kini tampak bernuansa sayu, seakan-akan entah bagaimana mereka jadi berbalik memunggungiku. “Sebab ada suatu tempat di luar sana yang tengah menanti dirimu. Tinggal cukup menginginkannya saja.”

“Apa?” sahutku linglung. “Oh …” menyadari ia sudah mengulurkan tangan. Lunglai aku menjabatnya dan berdiri.

“Jadi sampai jumpa lagi,” tandasnya, seraya mengarahkanku ke jalan keluar.

“Sampai jumpa,” kataku.

“Sampai jumpa,” ucap si resepsionis cantik begitu aku kembali melewati lobi. Aroma lilac membersamaiku sebentar sampai ke jalan.

Kota ini sekarang terlihat sungguh berbeda. Matahari telah pulang sementara langit redup perunggu bergayut di atas jalan. Di mana-mana derek bekerja, bor mengorok, pembobok beton bergetar. Bunyinya memekakkan telinga, dan seiring langkah rasanya semakin tidak tertahankan saja—keriuhan, ketergesa-gesaan, pawai wajah asing yang tiada habisnya ini, masing-masing memberikan interogasi singkat sebelum kembali berbaur dalam kerumunan yang tak keruan bentuknya.

Saat memasuki Jalan Clare, aku melihat serombongan orang Amerika tua-tua mengenakan jas hujan mengilap bercampur aduk dengan banyak sekali anak sekolahan pribumi berwajah pucat. Karena ingin menghindari mereka, aku pun menunduk melewati lawang Lincoln Place memasuki almamaterku. Langsung aku menyesal, karena seketika itu juga aku menyaksikan bahwa Trinity sekalipun tidak terselamatkan dari kebinasaan era baru. Mesin-mesin ampelas menyerbu gedung Museum. Golgotanya perpustakaan sedang dibangun di sebelah barat. Diiringi pedih yang sekonyong-konyong bertingkah, aku mencari-cari serumpun kecil pepohonan di sudut terpencil lapangan kriket di mana, pada suatu malam yang pening lagi memalukan, aku dan Patsy sedang rapat-rapatnya menyempurnakan cinta kami, atau cintaku bagaimanapun juga. Namun tempat itu telah dipagari, dan dari balik tiang-tiang pancangnya terdengar buldoser tengah mengganyang. Rasanya menyedihkan. Aku heran pada orang-orang mengilap ini yang tampaknya tidak peduli, yang berjalan riang melewati penghancuran ini seakan-akan mereka baru lahir kemarin. 

Aku sedang berjalan melewati New Square terbelit oleh pikiran suram saat ada yang memanggil namaku. Aku berpaling dan melihat orang kantoran gemuk yang mengenakan setelan biru murahan. Ia berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke saku pada landaian yang mengarah ke gedung Kesenian, di mana elite Trinity biasa berkumpul untuk mengecam, bersenda gurau, merokok berpuntung-puntung. Awalnya kukira ia mestilah hantu, atau bayang-bayang yang keluar dari kenanganku.

Memang kamu,” ucapnya. “Tadi aku mengenali, ah ….” Ia menepuk dadanya. Aku merunduk lalu melihat ujung saputanganku yang bermonogram menyembul dari saku jas.

“Hoyland Maffey,” sahutku. “Wah, wah.”

“Sudah lama ya,” kata Hoyland.

“Ya,” ujarku. Setelah itu, aku sungguh tidak tahu mau bicara apa. Ternyata begitu pula dirinya. Sesaat kami cuma berdiri dengan canggung, tidak yakin hendak melanjutkan percakapan ini.

“Lucu ya mesti ketemu dirimu di sini,” katanya, sambil menuding pepohonan, bangunan. “Kamu lagi apa, bernostalgia?”

“Ya, sepertinya.” Lemak pinggangnya kentara menggembung—namun entah bagaimana ia juga tampak menyusut, tidak begitu menyerupai Hoyland dahulu. Tidak ayal lagi ia berpikir sama tentang diriku. Aku bisa menyaksikan dia diam-diam melirik perban kepalaku, memperdebatkan akan menanyaiku soal itu atau tidak. Ia diam saja. Kesunyian itu pun mencapai taraf yang memalukan. “Baiklah!” ucapnya tak terbantahkan.

“Ya!” susulku disertai tawa gelisah, dan hendak undur diri saat ia menandaskan: “Charles—“

“Ada apa?”

Matanya yang biru berkedip-kedip ke arah Menara Lonceng yang bergaya Barok Akhir. “Aku penasaran saja,” suaranya tertahan dan tegang, “apakah merakmu masih ada?”

Aku memerah, dan tidak langsung menyahut. Lalu terlintas jawaban yang biasa, begitu pula permainan croquet, acara kelayapan, segala kehangatan masa lalu kami. “Sebenarnya masih,” kataku. “Dan kamu—seingatku dulu kamu punya burung laut? Sepertinya dulu kamu memelihara bangau beberapa?”

Hoyland bergeming sesaat, seraya menatap kejauhan. “Bangau?” sahutnya. “Ada beberapa. Tetapi, dipikir lagi, terlalu sedikit untuk disebut-sebut ….”

Para mahasiswa melirik penuh hinaan sementara tawa kami meledak. Kami pun melakukan jabat tangan rahasia. Hoyland lalu mengatakan bahwa sudah waktunya makan siang dan, karena tidak ada lagi yang kunanti selain petang di perkampungan kumuh, aku pun setuju dia membelikanku roti lapis.





[1] Permainan mendorong-dorong bola kayu ke gawang di lapangan
[2] Dalam 1947 – 1957 Studio Ealing di Inggris memproduksi film-film komedi, di antaranya Whisky Galore! (1949) sebagai yang dimaksud
[3] Lukisan dengan pigmen tebal-tebal sehingga menampakkan jejak kuas atau pisau aduk
[4] Koran dan dokumen dapat berarti sama dalam bahasa Inggris (paper dan papers)
[5] Back Door to Heaven, film Amerika Serikat produksi 1939
[6] Atau aerosol string, merupakan tabung mainan yang jika disemprotkan akan mengeluarkan semacam benang elastis dari plastik, sering digunakan dalam acara-acara perayaan

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...