Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20170213

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (5/6) (Paul Murray, 2003)

“Apa, apa?” ia berkomat-kamit, sambil membuka separuh mata yang disebutnya penerawang-segala. “Aku sudah bangun kok.”

“Enggak lah, kamu ini gampang ketiduran, tahu.”

Sambil mengerang ia mengangkat dirinya dari tanah. “Lo, sampean belum mati?”

“Belum—sialan kamu, MacGillycuddy, enggak bisa, ya, kamu ini berjaga barang sejam saja?”

“Videonya berhasil, kan?” jawabnya bersungut-sungut, sambil menariki ranting-ranting kecil dari punggungnya.

“Yah, ada yang tertangkap,” sahutku. “Tetapi ini tuh enggak masuk akal banget. Menurut rekaman ini Frank sama sekali enggak bersalah dan malah Mbok P yang ada di balik segalanya, dengan bantuan semacam makhluk, boleh jadi makhluk halus.” Aku menyodorkan kamera ke tangannya. “Lihat sendiri deh.”

Ia memutar ulang rekaman itu. “Bagaimana nih,” ia berujar sesudahnya.

“Yah, apa yang mesti kulakukan? Kamu enggak berpikiran Mbok P tuh terhubung dengan makhluk halus, kan?”

“Sulit menjelaskannya ….” MacGillycuddy menggaruk-garuk kepala tanpa menyatakan pendapat apa pun.

“Berengsek, bukankah kamu menerawang segalanya? Aku membayarmu supaya memantau, kan? Kenapa kamu bukannya memantau?”

“Enggak mungkin aku memantau dengan penerangan lilin, kan? Aku bukan Bruder Cadfael[1].”

“Apa?” sahutku.

Lagi pula, sambungnya masam, jika makhluk halus yang ada di balik pencurian perabot ini, maka lebih baik aku menghubungi pendeta. Ia menambahkan bahwa kemungkinan aku bakal sulit menemukan pendeta yang sudi menerima cek yang tidak tentu jumlahnya dari diriku. Aku menjawab bahwa jika masalahnya yaitu kekurangan duit, itu karena ada anak-anak yang berulang tahun besok namun kartu ucapannya dia tahan. Ia menanggapi dengan ucapan menjijikkan tentang perkawinan sekerabat. Aku menonjok telinganya. Ia membalas dengan menjotos ginjalku, dan sebelum aku sempat menginsafi keberadaanku kami bergumul di atas ranting dan lumpur di antara semak belukar. MacGillycuddy itu tipe orang kurus tetapi liat dan serangannya bengis. Boleh jadi aku sudah kelengar sekiranya tidak melihat, dari bawah ketiaknya, dua sosok besar lagi tegap—sosok serupa yang menjadi bintang tamu dalam video tadi, aku yakin—terseok-seok melintasi rerumputan membawa piano. “Lihat itu!” kataku tersendat.

“Ah, trik kuno itu,” gertak MacGillycuddy. “Akan kuajari sampean caranya melihat—“

“Masyaallah!” raungku begitu jari-jari MacGillycuddy menggali rongga mataku. “Malingnya! Mereka di belakangmu!”

Seketika itu MacGillycuddy menang tipis sehingga ia sempat melihat sekilas ke belakang. “Jancuk!” desisnya, sambil melepaskan leherku.

“Hei, ayo dong!” Aku berdiri sempoyongan. “Kejar mereka!”

Bayang-bayang itu bergerak ke arah Folly, dalam kecepatan sedang mengingat beban mereka yang berat. Aku terhambat oleh pergelangan kakiku, yang remuk gara-gara MacGillycuddy tadi, dan ia sendiri tampak malas berlari mengejar mereka. Walau begitu, situasi menjadi-jadi saat ada pihak ketiga mengadang kami. Tubuhnya lebih kecil, pendek, dan gempal dibandingkan makhluk-makhluk tadi, dengan wajah berjendul, bonyok di mana-mana.

“Malem,” ucapnya.

“Dengar, ya,” aku menggagap, sambil memijat-mijat batang leherku. “Aku enggak berkeberatan kamu mengambil ottoman, atau … atau mangkuk-mangkuk ramekin[2], tetapi piano—entah apakah kamu sendiri senang musik, tetapi ada semacam ikatan antara seorang pria dan—“

“Aku mah enggak tahu apa-apa soal ramekin,” si pendatang baru menyela. “Aku cuma mau ngomong sama Frank.”

“Sama Frank …?” Sontak bola mataku berputar kembali ke tempat mereka biasanya berada dan aku menyadari siapa orang ini. Ia bajingan dari pub itu. Tatapan sarat iktikad mematikan berkobar di matanya. Ia kemari untuk balas dendam.

“Sekarang kalau bisa lu masuk,” kata si bajingan kalem, “terus minta Frank keluar sebentar saja.”

Kami terjebak dalam perang geng! Mungkinkah keadaan menjadi semakin hina? Aku menatap MacGillycuddy. MacGillycuddy menatapku.

“Lari!” ujar MacGillycuddy.

Pintu terbanting di belakang kami seiring dengan hadirnya lebih banyak sosok bertampang bajingan dari balik pepohonan. Kami menyeruak masuk terengah-engah ke dapur, sementara Laura masih mengoceh pada Frank sedang Bel berusaha membujuk Mbok P beranjak dari kursinya. Bel bangkit, terkejut.

“Kukira kamu sudah tidur. Ada apa? Siapa ini?”

“Namanya MacGillycuddy, Ignatius MacGillycuddy.”

“Bukankah kamu tukang pos?”

“Enggak ada waktu lagi,” potongku. “Sebenarnya—“ bel pintu mulai berdering tak putus-putus.

“Ooh, itu pasti taksiku.” Laura mengayunkan tas kecilnya ke pundak dan tergesa-gesa ke pintu, sehingga aku terpaksa menyergap dan menggaet lengannya.

“Kalau saja pada mau mendengarkan. Sebenarnya, rumah ini sedang diserang, oleh si bajingan dan komplotannya—“

“Orang itu dah enggak bisa dikasih pelajaran,” Frank berkata.

“Ya, yah, terserahlah, aku enggak mau gadis-gadis rusuh gara-gara ini, jadi Bel, sekiranya kamu bawa Laura dan Mbok P turun ke gudang, lalu aku, Frank, dan MacGillycuddy bisa mencoba dan—mana MacGillycuddy?”

“Tadi dia di sini.”

“Oh, sialan …. Baiklah, Frank, tampaknya—“

“Charles,” pipi Bel terbakar tiap kali ia melihat padaku, “kalau kamu kira aku mau turun ke gudang apak mengerikan itu cuma karena ada orang cebol menjijikkan—“

“Orang cebol menjijikkannya bukan cuma satu, mereka berdua puluhan.”

“Yah tetap saja, dan lagi pula, bagaimana dengan Mbok P?” Di samping kiri Bel tangan Mbok P terkepal dan terbuka berulang-ulang. “Apa menurutmu keadaannya memungkinkan untuk duduk di tempat dingin, kumuh—“

“Dia juga enggak siap buat jotos-jotosan, kan, Bel—“ Aku terdiam dan mendengarkan. Dering bel telah berhenti dan sebagai gantinya terdengar gebukan sengit, pukulan bertalu-talu pada pintu depan bak genderang hutan, hingga lemari dan perabot berdengung simpati.

“Mungkin mereka bukannya mau berantem,” ujar Laura. “Mungkin mereka cuma mau menumpang telepon, atau pinjam apalah.”

Api lilin dalam botol berkelip-kelip sengit, mencampakkan bayangan kami ke sana kemari.

“Sialan, Frank, mereka kan musuhmu, bisa enggak kamu keluar dan berunding dengan mereka?”

“Barangkali kamu ada tripleks yang enggak kepakai, Charlie? Atau pistol paku?”

Bel berdiri. “Ini konyol. Akan kutelepon polisi.”

“Jangan, Bel—“ sambil menyusulnya ke lorong, di mana dari ujung tangga tampak pintu depan berdebar-debar, seperti jantung, seiring dengan setiap hantaman, bingkainya mulai menyerpih dan engselnya retak. Di luar suara jahat kian menjadi-jadi. Bel terhenti, bergumam, lantas, sambil mengelabui diri agar tak menggubris, terus maju ke arah meja anyaman tempat telepon berada, beberapa langkah dari pintu yang gaduh itu: “Halo? Aneh nih—halo?”

Lantas—tepat ketika aku melompat-lompat dan berdiri gemetaran menghalangi Bel dari pintu, sedang Frank tergopoh-gopoh keluar dari dapur sambil memanggul cetakan wafel paling berat kepunyaan Mbok P—suara itu terhenti, lalu timbul kesunyian bagai di ruang hampa udara, sementara kami berdiri dan mengejap-ngejap pada satu sama lain seperti baru terjaga dari tidur. Lalu muncul dengkingan dari luar, disusul yang lain, kemudian erangan dan derak yang terdengar menyakitkan. Kami berpacu ke jendela ruang tamu. Di pekarangan lima orang bersetelan olahraga dari bahan poliester terlontar ke mana-mana oleh dua sosok bayang-bayang raksasa yang beberapa waktu lalu dikejar olehku dan MacGillycuddy.

“Wow ….”

Pemandangan yang memesona, bahkan menyerupai pertunjukan balet. Dalam jarak terpisah sekitar lima meter, keduanya melempar para bajingan itu dengan enteng dari yang satu ke yang lain, lalu menangkap dan meletakkan mereka dengan lembut ke tanah. Gerakan keduanya teramat selaras hingga sepanjang waktu ada saja bajingan yang melayang. Para bajingan itu menyerapah dan melolong. Selagi terbang raut mereka menyerupai kartun, seolah-olah terbebas dari ancaman. (“Dua orang itu enggak bener-bener ngehajar mereka,” Frank berucap muram, sembari mengangkat cetakan wafelnya.) Sesekali salah seorang bajingan bangkit lantas mengempaskan dirinya sendiri ke kegelapan. Tiap kali itu—walau kami sungguh tidak mengerti kejadiannya—si bajingan akan tertangkis tanpa penyok-penyok. Selama lima menit sosok-sosok yang luar biasa besar itu meloloskan diri dari penyerang yang mondar-mandir, terdengar suara nyaring lagi merdu yang kompak—“mereka menyanyi”—bak pesulap bermain lempar gada di Sirkus Rusia.

“Siapa mereka itu?” Bel menahan napas.

“Makhluk,” sahutku parau.

“Apa maksudmu, makhluk?”

“Yah, tahulah, makhluk halus.”

“Oh ya ampun, Charles.”

“Aku tahu ini kedengarannya gila, tetapi Bel kalau saja kamu menyaksikan mereka tadi, berkeliaran menggotong-gotong piano—beraksi, menandai dirimu—“ Aku juga hendak menceritakan tentang penglihatanku, penampakan sepintas dari jendela kamar tidurku pada larut malam, saat Laura memekik pilu, “Mereka lari!”

Seperti yang sudah diperkirakan, para bajingan itu—yang sejujurnya telah berjuang secara nekat, walaupun sia-sia, melawan kedua raksasa tersebut—akhirnya melarikan diri berpencaran di jalan halaman. Seusai menunaikan tugasnya, para penyelamat kami menyeka diri dan berlari-lari ke arah yang berlawanan dengan berondongan tepuk tangan antusias dari sekelompok orang di jendela, kecuali Frank, yang sedang menggumamkan bahwa tidaklah sulit melontarkan orang kalau kita memang tahu cara memegangnya.

“Menurutmu mereka benar-benar seperti makhluk halus?”

“Enggak sangsi lagi. Enggak mungkin ada manusia sebesar itu.”

“Jangan konyol,” sentak Bel. “Jangan dengarkan Charles, Laura.”

“Hei, kamu pernah mencoba mengangkat piano Steinway[3]?”

“Hei!” Laura menekankan hidungnya pada kaca jendela. “Bukankah itu pembantumu?”

Mbok P, kentara benar dengan gaun longgar putihnya, tengah tergopoh-gopoh melintasi pekarangan menuju tempat para rekan penolong kami mengundurkan diri tadi. Awalnya kukira ia pasti sedang berjalan-jalan sambil tidur lagi, tetapi tampaknya ia betul-betul terjaga. Malah ia terlihat sedang memarahi kedua makhluk itu, mengibas-ngibaskan jari sambil berkata-kata sengit yang tidak dapat kutangkap dengan jelas.

“Ini mustahil,” ucap Bel, seraya lekas berbalik dan berderap keluar dari pintu. “Aku akan mencari tahu ada apa ini.”

“Aku mengerti maksudmu,” kata Laura padaku.

“Hah?” sahutku.

“Yah, bahwa rumah ini menarik.”

“Enggak ada sepinya,” Frank menepuk-nepuk bahuku sepenuh hati, “ada aku sama Charlie lagi mabuk-mabukan mah, ya kan Charlie?”

“Ah, iya, betul, betul banget …” terusik oleh bunyi terseret-seret di lantai atas dan teringat bahwa MacGillycuddy masih berkeliaran di dalam rumah ini entah di sebelah mana; lantas menyadari bahwa aku terlupa akan bom itu, yang akan segera meledak. Aku tidak begitu yakin akan rencanaku sebelumnya untuk bisa keluar dari tengah-tengah kesibukan ini. Aku jadi grogi dan agak mual gara-gara banyaknya peristiwa yang terjadi. Rasanya seperti habis makan terlalu banyak kue. Tetapi masih ada lagi yang akan terjadi. Terdengar derap kaki melangkahi undakan dan sekarang, dengan wajah agak merona tanda kemenangan, Bel kembali memasuki ruangan diikuti sepasang bayang-bayang.

“Semuanya,” ia mengumumkan, “aku ingin kalian bertemu dengan Vuk dan … siapa tadi namanya?”

“Zoran.” Mbok P menyusul belakangan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Halo,” salah seorang dari kedua sosok itu mencoba-coba bicara, sementara Bel menggiringnya ke kursi. Rekannya duduk di lengan kursi. “Kami enggak bisa bahasa Inggris,” ucap orang itu setelah sejenak menimbang-nimbang.

“Seperti yang kamu bisa saksikan, mereka enggak gaib sedikit pun.”

Benar: dari dekat para pendatang baru ini memang tampak serupa manusia, dan terlebih lagi sangatlah ramah, walau mereka keterlaluan jangkungnya. Keduanya bertubuh kekar dengan raut wajah gelap serta alis tebal melengkung. Salah seorang dari mereka (Vuk?) sangat rupawan, dengan rambut panjang kusut, dan giginya sangat putih. Yang satu lagi (sepertinya Zoran) berkepala bundar dan sikapnya lembut lagi anteng. Mereka duduk amat santai, sambil acuh tak acuh mengedarkan pandang ke sekeliling. Sementara itu, Mbok P, menatap kakinya pasrah, seperti anak sekolah tertangkap basah menyontek saat ulangan matematika.

“Wah, bagus sekali,” ucapku sejenak kemudian, “tetapi aku masih agak kabur tentang siapa, ah, persisnya mereka ini ….”

“Mereka putra saya,” sahut Mbok P, sambil meraba-raba sendu manset gaunnya.

Putramu?”

“Wow ….”

“Ya. Sudah tiga bulan ini mereka diam-diam tinggal di Folly.”

Folly?”

“Charles, berhentilah mengulang-ulang perkataannya.”

“Sori.” Dengan berat aku duduk lagi di birai jendela. Sayup-sayup aku mendengar Laura menawarkan teh pada setiap orang. Kemudian, selama beberapa saat, ruangan itu surut dari diriku. Anak-anaknya Mbok P! Tinggal di Folly! Tahu-tahu banyak hal menjadi masuk akal—hantu-hantu, sarapan misterius, celana dalam dan uang belanja yang luar biasa, ziarah Mbok P ke Folly, surat-surat di bawah bak cuci, hilangnya perabot rumah tangga dan kini hilangnya beberapa karya seni serta permata berharga ribuan paun. “Mbok P,” aku kembali pada kehebohan, dengan suara bernada galak, “aku ingin tahu maksudnya anak-anakmu tinggal di Folly.”

Mbok P berjalan gontai ke perapian, dan mengaduk-aduk bara yang dinyalakannya petang itu di sela-sela abu.

“Jadi?” sahutku.

“Jangan menggertaknya, Charles.”

“Tuan Charles benar,” ujar Mbok P pasrah. “Anak-anak saya memang tolol, mereka ingin menolong, jadinya ketahuan dan sekarang saya harus memberi tahu Tuan.”

“Mari mulai dengan apa persisnya yang mereka perbuat dengan pianoku.”

“Tolonglah, Tuan Charles. Sekarang Tuan tahu, kemungkinan saya kehilangan pekerjaan dan Tuan mengusir saya. Ini pilihan Tuan. Tetapi saya bahagia, kami berempat sudah bersama-sama. Tetapi tolonglah, Tuan mesti mendengarkan ceritanya dari awal sekali.” Mbok P mendesah, seakan-akan ia telah sampai di ujung perjalanan yang panjang lagi sukar dan menyadari bahwa ia tidak dapat melanjutkannya lagi.

“Sewaktu perang mulai terjadi,” ucap Mbok P, sementara Laura masuk membawa baki dan mengitari ruangan, sambil menawarkan “Teh?” dengan bisikan yang terlalu keras, “keluarga saya sudah terpisah-pisah. Anak-anak yang laki-laki di Belgrade, kami di Krajina. Lalu, dengan adanya perang itu—“ Ia membentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan sesuatu terjatuh ke lantai. “Segalanya kacau. Teman, keluarga, semuanya tercerai-berai ke seribu tempat. Orang-orang para pemimpin kami melarikan diri. Situasinya menjadi sangat gawat dan kami mesti melarikan diri juga. Anak-anakku entah di mana mereka. Hidup atau mati, entahlah.” Dalam sekejap kedua tangannya terangkat dan terempas ke pinggangnya.

“Kenapa Mbok enggak memberi tahu kami semua ini?” tanya Bel, sambil mengusap-usap lengan Mbok P. “Barangkali kami bisa membantumu, Bunda ada banyak kenalan ….”

“Karena perangnya tidak berakhir.” Sebelah tangan Mbok P lunglai menutupi kedua matanya. “Perangnya tidak ada habis-habisnya. Belum lagi menyadari itu menjadi simpul yang mengeras di dalam diri saya, yang harus dipegang erat-erat. Saya datang ke sini, saya mendapatkan pekerjaan, saya pun menunggu. Hanya jika saya diam saya bisa tetap terhubung ke masa itu. Kalau saya bicara saya pikir saya akan melupakannya. Sekarang, ketika saya membicarakannya, perang itu menjadi masa lalu, kehidupan yang sudah berakhir. Tetapi diam-diam, hanya dengan berdoa pada diri sendiri sehingga saya tahu, perubahan masih mungkin. Saya pun menunggu, menulis surat, mendengar kabar dari orang-orang yang hilang dan kemudian muncul bak keajaiban, tetapi tidak ada yang mereka bawa selain kabar buruk.”

Mbok P diam termenung. Vuk dan Zoran meringis tidak mengerti. Frank menyerapah saat Jaffa Cake di tangannya jatuh ke dalam cangkir tehnya.

“Akhirnya,” ia menyambung, “kami menemukan satu sama lain, terpisah di negara yang berbeda-beda. Saya kirim uang supaya mereka bisa ke sini. Semuanya diam-diam, kalau ketahuan mereka akan dikembalikan. Tetapi kami beruntung. Para tukang bangunan itu orang-orang baik, mereka membantu kami dengan memberikan makanan serta dokumen, mereka menjadikan Folly hangat, mereka tidak memberitahukan perbuatan kami pada Tuan. Saya tidak bangga, mencuri dari Tuan, membohongi Tuan. Tetapi saya pikir, mungkinkah mereka mengerti. Kejadian lainnya tidak begini, ada awalnya, ada pula akhirnya. Tetapi saat suatu kampung lenyap, dan dihapus dari peta, maka—“

“Tunggu—“ memang ini momen yang emosional, dan aku tidak suka menyelanya, namun aku telah menghitung-hitung dengan jemariku beberapa kali dan hasilnya masih belum juga cocok, “jadi kalian ada berapa orang tadi?”

“Mirela, putri saya, sedang tidur. Dia sakit, dia perlu istirahat.”

“Oh.” Aku berpijak pelan-pelan. “Sedang tidur di, eh …?”

“Folly,” Mbok P menggangguk.

“Baik, baik ….”

“Bagaimana ceritamu tadi, Mbok P?” Bel mendorongnya untuk melanjutkan. “Tentang kampungmu yang hilang?”

“Ya, perangnya tidak ada habis-habisnya, sebab tanahnya sudah diambil supaya kami terus menyingkir, sehingga mau tak mau kami ambruk dan—“

“Permisi sebentar, ya …?” Tidak ada yang memerhatikanku sementara aku menyisi ke pintu. Begitu lepas dari pandangan mereka, aku berjingkat-jingkat menuruni undakan dan menuju rerumputan yang basah. Gelegak ombak di sebelah timur menandakan badai tengah menjelang dari laut. Folly pun tampak, kukuh dan kelam, dalam kegelapan.

Bomnya berada tepat di tempat yang diberitahukan oleh MacGillycuddy, buntel akal-akalan buatan sendiri yang dibungkus dengan busa serta plester dan dijejalkan di antara dua batu fondasi. Permukaan jamnya menunjukkan sisa tiga belas menit lagi: waktu yang cukup jika aku bergegas mengeluarkan anak perempuan sialan ini dari Folly dan minggat sebelum bangunan itu terbakar habis. 

Pintu masuknya berupa ceruk di dinding, ditahan oleh galah dalam bungkusan plastik yang berderak-derak akibat cambukan angin. Sambil berkeringat gugup, serta ditusuk-tusuk oleh gigi besi yang menyembul dari bangunan batu, aku menaiki tangga yang sempit. Di mana-mana kertas kuning segi empat kecil ditempel di rangka kayu, bertulisan pesan-pesan yang sulit dimengerti—aku yakin, itu peringatan para tukang bangunan pada diri mereka sendiri, akan tugas-tugas yang kini tidak akan pernah tertuntaskan. Separuh jalan ke menara aku menemukan pianoku, dijejalkan dengan pasnya di antara tangga dan langit-langit. Aku memaksakan diri melalui piano itu, mengangkat pintu kolong di sebelah atas dan mengulurkan kepalaku ke ruangan di baliknya.

Selembar lidah api terpelanting ke sana kemari oleh angin yang menyusup ke balik langit-langit terpal. Dalam penerangan bernuansa gotik ini, barang-barang yang kulihat di segala penjuru seakan berpindah tempat hampir-hampir secara gaib. Rasanya seperti masuk ke tenda di pekan raya dan mendapati museum kehidupanmu sendiri. Bangku otoman, teko, menorah; tak terhitung barang yang malah telah kulupakan: pemberat kertas, handuk pantai, radio. Di dekat pintu kolong ada alat pemijat kaki yang merupakan hadiah Natal patungan antara aku dan Bel untuk Bunda bertahun-tahun lalu, yang kukira belum pernah ia keluarkan dari kotak. Di samping itu, ada meja yang tampak familier beserta kursi-kursi yang juga tampak familier, kemudian ada kantung tidur yang tampak familier beserta selimut yang juga tampak familier dan boneka beruang usang yang tidak lagi kugemari seiring dengan remajanya diriku. Di sisi satunya lagi, yang tepat berada di tengah-tengah ruangan bundar itu, terdapat barang-barang berharga, menumpuk tak tertata hingga menyerupai gundukan tinggi hasil timbunan seekor naga. Koin, pistol, barang-barang dari kristal, perak, emas, akik, dan cerpelai—semuanya dipangkalkan di pojok yang secara harfiah membuatku merasa agak terlumpuhkan: gagasan orang mengenai kekayaan, dan yang dapat diperbuat dengan kekayaan itu.

Semestinya kusebutkan dari awal bahwa di kantung tidur dekat dinding ada seorang gadis, sedang duduk membaca sebuah kumpulan drama karangan Tennessee Williams yang sudut halamannya berlipat. Entah ia berlagak tidak memerhatikanku, atau memang terpikat oleh bukunya; toh, aku berdeham juga: “Ehem.”



[1] Brother Cadfael hidup pada paruh awal abad kedua belas (sekitar 1135 – 1145), merupakan tokoh utama dalam serial misteri pembunuhan berlatar sejarah karya Edith Pargeter (nama pena: Ellis Peters)
[2] Mangkuk kecil dari kaca atau keramik berglasir untuk memasak dan menyajikan berbagai hidangan
[3] Pengrajin piano yang mendirikan perusahaan pabrik piano terkenal di New York (1797 – 1871)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...