16 September 1991
Temanku yang baik,
Aku sudah menamatkan To Kill a Mockingbird. Sekarang itu jadi
buku favoritku sepanjang masa, tetapi dipikir-pikir lagi, aku selalu berpikir
begitu sampai aku membaca buku yang lainnya. Guru di kelas bahasa Inggris
lanjutan memintaku memanggilnya “Bill” saat tidak sedang pelajaran, dan dia
memberiku buku bacaan lainnya. Ia bilang aku punya kemampuan hebat dalam
membaca dan memahami bahasa, dan ia ingin supaya aku menulis esai tentang To Kill a Mockingbird.
Aku menyampaikan ini pada ibuku, dan ia
bertanya kenapa Bill tidak menganjurkan supaya aku langsung mengambil kelas
bahasa Inggris untuk tingkat dua atau tiga. Dan aku memberitahunya bahwa Bill
mengatakan bahwa pada dasarnya pelajarannya sama saja hanya buku-bukunya lebih
rumit, jadi tidak akan ada bedanya untukku. Ibuku bilang bahwa ia belum yakin
dan ingin bicara padanya saat pertemuan sekolah. Lalu, ia memintaku untuk
membantunya mencuci piring, dan aku melakukannya.
Sejujurnya, aku tidak suka mencuci
piring. Aku suka makan dengan tangan dan pakai tisu, tetapi kakak perempuanku
bilang itu buruk bagi lingkungan. Di SMA dia bergabung dengan Klub Hari Bumi,
dan di situlah dia bertemu cowok-cowok. Mereka semua sangat baik padanya, dan
aku tidak sungguh-sungguh mengerti sebabnya selain mungkin karena dia cantik.
Dia judes sekali pada cowok-cowok ini.
Ada satu cowok yang keras kepala. Aku
tidak akan memberitahukan namanya. Tetapi aku akan menceritakan segalanya
tentang dia. Rambut cokelatnya sangat bagus, dan dia menguncirnya ke belakang
supaya rapi. Kupikir dia akan menyesali itu saat dia mengenang hidupnya nanti. Dia selalu membuatkan kaset kompilasi untuk
kakakku dengan tema yang sangat khusus. Ada satu yang dijuduli “Daun-daun Musim
Gugur”. Dia memasukkan banyak lagu The Smiths. Dia bahkan mewarnai sendiri
sampulnya. Sehabis menonton film yang disewa cowok itu, dan orangnya telah
pergi, kakakku memberiku kaset itu.
“Kau mau ini, Charlie?”
Aku mengambil kaset tersebut, tetapi aku
merasa aneh sebab cowok itu membuatnya untuk kakakku. Tetapi aku
mendengarkannya juga. Dan aku sangat menyukainya. Aku ingin kau mendengarkan
lagu yang berjudul “Asleep”. Aku memberi tahu kakakku pendapatku tentang lagu
itu. Dan seminggu kemudian dia berterima kasih padaku karena saat cowok ini
menanyakan kaset itu padanya, dia menjawab persis seperti yang kukatakan
tentang lagu “Asleep”, dan cowok ini sangat terharu betapa lagu itu berarti
bagi kakakku. Aku berharap ini artinya aku bakal pandai berkencan saat waktunya
tiba.
Meski begitu, aku mesti fokus belajar. Guru
Bill yang menyuruhku begitu karena aku menulis seperti caraku berbicara. Kupikir
itu sebabnya dia ingin supaya aku menulis esai tentang To Kill a Mockingbird.
Cowok yang menyukai kakakku ini selalu
bersikap hormat pada orang tuaku. Karena itulah ibuku sangat menyukainya.
Menurut ayahku dia lembek. Kupikir itu sebabnya kakakku memperlakukannya
seperti itu.
Malam itu, kakakku dengan jahatnya
mengatakan betapa cowok itu tidak berani melawan penindasan di kelas saat
usianya lima belas tahun atau semacam itu. Sejujurnya, saat itu aku sedang menonton
film yang disewa cowok itu, jadi aku tidak begitu memerhatikan pertengkaran
mereka. Mereka selalu bertengkar, jadi kukira film itu untuk memperbaiki
hubungan mereka, yang sebetulnya bukan karena itu film sekuel.
Bagaimanapun juga, setelah kakakku
menyerangnya selama sekitar empat adegan film, yang kukira sekitar sepuluh
menit, cowok itu mulai menangis. Menangis kencang sekali. Lalu, aku berpaling,
dan kakakku menunjukku.
“Charlie saja berani melawan saat
diganggu. Kau mengerti kan.”
Dan muka cowok ini pun jadi sangat
merah. Dan dia menatapku. Lalu, dia menatap kakakku. Dan akhirnya dia memukul
wajah kakakku keras-keras. Benar-benar keras. Aku membeku saja sebab aku tidak
percaya dia melakukannya. Rasanya memukul orang itu tidak seperti dirinya sama
sekali. Dia cowok yang membuat kaset kompilasi dengan tema dan sampul yang
diwarnai sendiri hingga dia memukul kakakku dan berhenti menangis.
Anehnya kakakku tidak berbuat apa-apa.
Dia cuma menatap cowok itu diam-diam. Rasanya sungguh aneh. Kakakku menggila
kalau kau makan jenis tuna tertentu, tetapi kali ini ada cowok yang memukulnya,
dan dia diam saja. Dia jadi melunak dan lembut. Dan dia memintaku untuk pergi,
yang kuturuti. Setelah cowok itu sudah pergi, dia bilang bahwa mereka akan
“jalan” dan jangan kasih tahu Mom atau Dad kejadian itu.
Kurasa cowok itu berani melawan saat
diganggu. Dan kurasa itu benar.
Akhir pekan itu, kakakku menghabiskan
banyak waktu dengan cowok ini. Dan mereka tertawa lebih sering daripada
biasanya. Pada Jumat malam, aku sedang membaca buku baru, tetapi otakku sudah
capek, jadi aku memutuskan untuk menonton televisi saja. Dan aku membuka pintu
ke ruang bawah tanah, dan ada kakakku serta cowok itu sedang telanjang.
Kakakku di bawah cowok itu, dan kedua
kakinya tertutup di atas salah satu sisi sofa. Dan dia menjerit padaku dengan
berbisik.
“Keluar. Dasar cabul.”
Aku pun pergi. Keesokan harinya, kami
semua menonton abangku menonton rugbi. Dan kakakku mengajak cowok ini serta.
Aku tidak ingat kapan dia pergi malam kemarinnya. Mereka berpegangan tangan dan
bertingkah seolah-olah segalanya menyenangkan. Dan cowok ini mengatakan betapa
tim rugbi tersebut jadi lain sejak abangku lolos, dan ayahku berterima kasih
padanya. Dan saat cowok itu pergi, ayahku berkata bahwa cowok ini tengah
menjadi pemuda yang sangat baik dan mampu membawa diri. Dan ibuku diam saja.
Dan kakakku menatapku untuk memastikan aku tidak akan mengatakan apa-apa. Dan
begitulah.
“Ya. Begitulah dia.” Itu saja yang
dikatakan kakakku. Dan aku bisa melihat cowok itu di rumahnya sedang
mengerjakan PR sambil membayangkan kakakku telanjang. Dan aku bisa melihat
mereka bergandengan tangan di pertandingan rugbi yang tidak mereka tonton. Dan
aku bisa melihat cowok ini muntah di semak-semak di suatu pesta rumahan. Dan
aku bisa melihat kakakku menyabarkan diri.
Dan aku kasihan pada mereka.
Salam sayang,
Charlie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar