Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20161009

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (1/4) (Paul Murray, 2003)

Barangkali Bel ada benarnya, soal aku menganggur, maksudku. Sepintas mungkin kelihatannya aku ini menjalani hidup yang malas-malasan, bila dibandingkan dengan ramainya industri yang dipacu kota hingga mencabik-cabik dirinya sendiri. Memang, setelah terjerat dalam Pendidikan Tinggi yang singkat namun menyesalkan, aku agak membatasi kegiatanku di rumah dan daerah sekelilingnya saja. Nyatanya aku bahagia. Karena aku tidak punya kecakapan apa-apa yang layak disebut, ataupun bakat untuk disalurkan, aku tidak mengerti mengapa aku mesti membebani dunia dengan kehadiranku. Tapi, bukan berarti aku tidak berbuat apa-apa. Aku menyibukkan diri dengan beberapa proyek pribadi, seperti mengarang musik, dan mengawasi pembangunan Folly. Aku ini sedang menghidupkan kembali cara hidup yang khas, yang hampir saja punah: hidup tafakur ala pria sejati di pedalaman, sesuai dengan status dan sejarahnya. Pada masa Renaisans, orang menyebutnya sprezzatura. Pokoknya melakukan apa pun yang dilakukan dengan anggun, mengilhami setiap tindakan dengan keindahan, sekaligus menampakkannya seolah-olah tanpa usaha. Maka, jika orang mau bekerja di, katakanlah, bidang hukum, ia mesti menampilkannya secara berseni. Jika orang mau bermalas-malas, maka ia mesti bermalas-malas secara permai. Inilah yang dikatakan sebagai makna sejati menjadi ningrat. Aku sudah menjelaskannya berkali-kali pada Bel, tapi tampaknya ia tidak mengerti juga.

Rumah kami dinamakan Amaurot. Letaknya di Killiney, sekitar lima belas kilometer dari perbatasan Dublin, kawasan yang teduh oleh juntaian dahan-dahan, jalanan yang meliuk sempit, serta hawa laut. Kebanyakan rumah di sini didirikan pada abad kesembilan belas oleh hakim, gubernur, serta anggota militer dan angkatan laut. Tapi beberapa tahun belakangan sebagian kawasan ini menjadi bebas pajak bagi para pengendara mobil balap dari luar serta pemusik-pemusik soi-disant[1]. Meski begitu di kawasan ini masih terdapat keelokan yang terpencil serta keheningan hutan. Aku tidak mau tinggal di tempat lainnya. Pada pagi yang cerah aku bisa berjalan menaiki Bukit Killiney, mendaki tangga berlumut di bawah kanopi pohon ash dan sycamore. Di puncak bukit terdapat Obelisk, monumen atas jasa tuan tanah terhadap petani setempat selama paceklik pada 1741. Dari situ kita bisa meninjau atap perumahan yang terhalang sebagian hingga birunya pegunungan serta emasnya pantai yang membentuk sabit. Di sebelahnya terdapat ziggurat kecil. Ada legenda bahwa jika kita berlarian di setiap undak-undakannya tujuh kali, harapan kita akan terwujud. Tapi aku dan Bel sama-sama belum pernah berhasil sampai ke puncak ziggurat itu. Kalaupun pernah, kami bakal kelewat pusing tujuh keliling untuk menyatakan harapan.

Amaurot berukuran besar dan berusia ratusan tahun. Sementara aku dan Bel tumbuh dewasa, aku merasa selama kami tinggal di sana tidak akan ada kejadian buruk menimpa kami. Dunia luar boleh saja terbakar habis sementara kami bisa terus bermain-main, aman dalam naungan dinding batunya yang tinggi. Di mata kami, Amaurot lah dunia—dunia milik kami, ibarat ombak di laut, atau corak biru yang khas pada langit.

Rumah ini terletak di tanjung, di dasar perbukitan yang terjal. Kedua sisinya berbatasan dengan laut. Sepanjang hari terdengar gerisik dan derunya, seiring dengan perubahan ronanya yang menggelingsir dari hijau ke ungu, abu-abu, hingga hitam pekat. Rumah yang kucintai ini menjadi kawan bagi perenungan dan pendengaranku, tempat aku mengungkap hasratku. Jalur hijau yang panjang menjalar dengan angkuhnya di pekarangan menuju jalan. Di sekelilingnya bebungaan liar dan anakan pepohonan tua menggosok bahu. Di belakang rumah ada kebun sayuran yang beberapa tahun ini agak telantar, pepohonan apel dan ceri, serta sungai kecil yang menyorongkan kodok-kodok ke laut. Inilah tempat aku dan Bel menghabiskan sebagian besar masa kecil kami, di antara rumput tinggi dan dedaunan cemara.

Bel itu teman sepermainan yang bandel. Beberapa periode panjang dilaluinya tanpa bicara pada seorang pun. Alih-alih, ia membaca, terus-terusan selama berhari-hari. Kakinya yang telanjang menjuntai dari ambang jendela. Tapi ia berbakat mengkhayal. Pada hari-hari ketika ia melompat turun dari birai demi menyertaiku di benteng-bentengan yang terbuat dari tongkat, segala ide hebat yang dicecapnya dari buku menggelegak jadi petualangan ruwet yang perlu perjuangan untuk mengikutinya.

Ia suka membaca tentang Rusia, dan Amaurot pun sering kali merangkap Istana Musim Dingin. Kadang kami menjadi anak-Tsar yang yatim piatu, melarikan diri dari cengkeraman Revolusi yang jahat, mengendarai troika imajiner mengarungi kotoran gaib. Kadang ia menjadi putri menawan yang malu-malu, sementara aku pelamar tampan yang berusaha memenangkan hatinya dengan susah payah. Namaku jadi Karl sedangkan Bel Tanya, seperti tokoh wanita dalam Eugene Onegin karya Pushkin, yang disukainya sewaktu berusia delapan tahun. (Malah, meski mainan-mainan telah disingkirkan selamanya dan permainan pun terlupakan, ia kukuh dengan nama ini. Oleh teman-teman sekolahnya, ia disebut Tanya hingga masa remajanya. Nama “Christabel” merupakan gagasan Ayah, menurut sajak karya Coleridge—ceritanya tentang peri dan vampir dalam nuansa muram lagi rada memilukan, dan tahu-tahu putus pada bagian tentang kebingungan identitas serta malaise publik. Bel pun tidak tahan. “Bukan cuma karena enggak ada orang yang bisa mengeja nama itu,” begitu sergah Bel sewaktu-waktu, “tapi penulisnya saja bahkan enggak diketahui menulis akhir yang bahagia. Maksudku, bisa enggak sih mereka menamaiku menurut sajak yang sudah benar-benar diselesaikan, apakah itu berlebihan?” Pada akhirnya, nama “Bel” muncul sebagai semacam kompromi, dan Ayah pun menjadi satu-satunya orang yang memanggil Bel dengan nama lengkapnya.)

Bunda merasa Bel boleh jadi genius. Kadang aku diam-diam mendengarnya membicarakan itu pada Ayah. “Minat bacanya!” begitu kata Bunda. “Perpustakaan terlihat kosong melompong, dia menyelundupkan banyak sekali buku.”

“Kurasa mungkin kita sebaiknya memasukkan meja biliar ke perpustakaan,” ujar Ayah.

“Dan imajinasinya itu!” lanjut Bunda. “Hal-hal yang dia ungkapkan, benar-benar—“

“Hmm … kamu enggak merasa dia itu boleh jadi agak terlalu imajinatif? Tampaknya dia menghabiskan terlalu banyak waktu di dunia khayalnya sendiri.”

“Itu tandanya cerdas, Ralph. Anak itu akan sukses, percayalah.”

“Hai, Yang Mulia,” begitu kataku pada Bel, sambil mendengarkan pada birai, “aku jadi lapar gara-gara kabur dari gudak-gudak itu, kurasa ada apel di hutan nun jauh di sana, nun jauh di ….”

“Kamu enggak boleh bilang ‘Hai’ sama putri, Charles,” sambil melompat turun, “dan yang benar budak, bukan gudak ….” Kami pun menyusup lewat celah pada pagar tanaman menuju kebun Mbah Thompson, lalu melontarkan tongkat ke cabang-cabang, hingga apel mulai berdebuk di sekitar kami. Tak pelak lagi, Olivier, orang Jerman seram jongosnya  Mbah Thompson, muncul di beranda. “Herr Zompson! Mereka mengembat apfeln kita!

Mbah Thompson pun keluar terpincang-pincang sambil melambaikan tongkatnya, dan berteriak-teriak, “Kejar mereka, Olivier! Kejar mereka!” Kami pun menjerit-jerit dan kabur sementara Oliver menguber-uber—bagai laba-laba hitam berkaki panjang dan kurus dalam setelan karet sintetis yang ketat—dan menyeruak kembali lewat celah tepat pada waktunya. Mbah Thompson melolong dari seberang, “Anak-anak bedebah, aku akan menelepon ayah kalian, dasar bedebah ….”

Entah apakah ia memang menelepon Ayah. Entah juga apakah Ayah bakal mengindahkannya. Ayah bisa menjadi orang yang sulit untuk dipahami. Dirinya sarat akan romantika yang tak terpenuhi serta angan-angan yang sengaja tak diungkapkan. Ia menghabiskan banyak waktu di kantor atau untuk studi, dan pada penghujung hari tinggal cangkangnya saja yang pulang pada kami. Sepanjang malam ia tetap dalam sikap diam yang bajik lagi menjemukan, dan menegur kami hanya untuk menyampaikan ceramah abstrak atau menanyakan soal tak menarik tentang sekolah. Tapi kadang ia berjalan-jalan keluar melintasi pepohonan menuju lereng bukit, untuk memandangi embun yang melayang-layang di atas laut, dan mengajak serta aku dan Bel. Kami pun jadi gelisah sementara ia menatap kegelapan, kemudian, ketika kami penasaran akan maksud Ayah, dan berapa lama kami harus berdiri di situ tanpa melakukan apa-apa sementara waktu menonton televisi yang berharga tersita, ia berpaling pada kami dan tanpa pendahuluan melontarkan sebuah sajak yang diingatnya, syair menyeramkan tentang para kekasih yang kesepian, peri-peri yang plinplan, sosok-sosok yang memperdaya, serta lautan yang berbisik-bisik. Sementara wajah kami memucat bingung, merinding akibat daya gaib samar-samar lagi angker yang meretih sepanjang sajak tersebut, ia terkikih-kikih, “Yeats, anak-anak. Yeats akan senang berada di sini bersama kita, pada malam seperti ini.” Sebelum kami sempat menunjukkan ketidakpedulian kami akan kehadiran Yeats ataupun yang lain, ia sudah melaju lagi, kembali ke rumah.

Ayah ahli kecantikan yang mumpuni. Yang diterawangnya dari kulit wajah manusia mungkin sama seperti yang dilihat pelukis ulung masa Renaisans pada kanvas kosong: kemungkinan untuk mewujudkan keindahan transenden. Jika pelukis Renaisans melukis untuk memberi bukti akan kebesaran Tuhan, maka ayahku bekerja lebih untuk menentang-Nya. Ia agnostik yang menghabiskan hidup melawan Tuhan yang tidak diyakininya. Ia seakan hendak mengatakan, Dalam mana Kau gagal, aku berhasil: aku bisa mengangkat orang keluar dari hasil ciptaan-Mu yang jembel. Ia pernah bekerja dengan semua orang ternama—Lancôme, Yves St Laurent, Givenchy, Chanel—dalam menciptakan salep, balsam, serta losion untuk memperlambat kerusakan akibat matahari, menjaga kilauan maskara dari hujan dan air mata, memelihara merahnya kecupan mulut lewat seribu kecupan merah, serta untuk meredakan, meremajakan, meningkatkan, dan memulihkan. Singkatnya, tindakan yang karena besarnya rasa cinta pada bangsa manusia sehingga melalui produk kosmetiknya waktu dapat diputar balik dan kisah hidup siapa pun—yang selalu tergurat lewat keriput, parut, kekeringan, tak peduli perkataan orang akan indahnya kebijaksanaan maupun khazanah sulaman kehidupan—dapat ditutupi.

Kini sudah dua tahun lebih ia meninggal. Kematiannya diawali sakit yang lama dan memayahkan, yang menimbulkan penderitaan hebat baginya. Kondisinya merosot drastis pada hari-hari terakhir. Pikirannya sudah kacau, dan ia pun menyalahgunakan kemampuannya. Ia berusaha menyamarkan jejak penyakitnya yang hina. Ia lawan penyakit itu menurut pikirannya. “Tidak mungkin dihindari,” ia gemar memberi tahu kami sewaktu kondisinya bugar, “penampilanmu menentukan dirimu. Kamu bisa saja menampakkan jiwamu, atau hatimu, tapi semua orang di dunia ini akan menilaimu dari hidungmu yang besar atau dagumu yang lembek. Enam juta orang bisa saja salah, tapi kamu tak akan pernah bisa memaksa mereka mengakuinya.” Maka jemarinya yang gemetaran pun melekatkan kosmetik, selapis demi selapis. Dalam temaram ia menggeletak bagaikan Pierrot[2] malang yang terkena sifilis. Pipinya yang cekung tercoreng oleh lekukan pemerah pipi. Sementara waktu itu rumah terombang-ambing di ambang menjadi semacam pondok gila. Semua orang bergeleparan histeris dan adakalanya latah berdialek Perancis. Kematiannya pun menjadi rahmat, dan kami dapat mengembalikannya ke dalam kenangan tempat ia berada sebelum terjadi segala vaudeville[3] maut ini. Masih bisa kudengar kata-kata terakhirnya padaku. Jarinya yang bengkok patah-patah mengisyaratkan padaku agar keluar dari bayang-bayang untuk berlutut di sisinya: “Nak … dunia ini kejam …” bisiknya. “Selalu … pakai pelembap ….”

Sebelum meninggal, kehadiran Ayah biasanya menentukan suasana di rumah—semacam spiritualisme rapuh, penarikan diri secara halus, yang seakan-akan berkata pada dunia, “Sekarang kami mau menurutimu, tapi tolong diingat, segera setelah pekerjaan Ayah selesai, kami akan meninggalkanmu.” Meski begitu, Bundalah yang sikapnya lebih keras. Ia menerapkan perilaku yang benar secara ketat serta apa yang disebutnya sebagai “pemuliaan”. Ia mengenal semua orang yang perlu dikenal, dan selalu berlayapan ke acara-acara makan siang, pembukaan galeri, peluncuran buku, serta pesta makan malam, dengan atau tanpa ditemani Ayah. Apalagi bertahun-tahun kemudiannya ia semakin lepas saja dari Ayah. Ia mengadakan acara di rumah sementara Ayah mundur dari kegiatan seperti itu.

Namun tidak lama setelah kematian Ayah, Bunda juga mulai hancur. Kehancuran itu terjadi berangsur-angsur namun pasti. Ia tidak tahan untuk menutup dirinya perlahan-lahan, hingga akhirnya tidak keluar rumah sama sekali, atau bahkan menerima telepon. Selain itu, tidak biasanya ia tampak sebegitu ceria. Sering kali aku dan Bel mendapati diri kami terjebak dalam percakapan ringan lagi konyol yang tiada habisnya bersama dia. Ia mengocehkan gosip tentang tetangga, atau rencana yang tidak jelas untuk berlibur atau soal pekerjaan yang perlu dilakukan di sekitar rumah—apa pun yang muncul di kepalanya, seperti semacam berita Reuters skala rumah tangga, terus-menerus tercetak pada kursinya di ruang duduk. Itulah sisi dirinya yang baru kami ketahui, yang (kami duga) biasanya dipantulkan pada Ayah dan kini mulai merepet lewat kami. Kami benar-benar tidak tahu cara menanggapinya. Biarpun kami menanggapinya, tidak jelas apakah ia mendengarkan, sebab ia terus saja minum, martini saat sarapan dan ditemani wiski asam pada malamnya, minum dan bicara, bicara dan minum. Akhirnya pada suatu malam keadaan ini mencapai puncaknya.

Bertahun-tahun Bunda dan Bel menumbuhkan hubungan yang berapi-api, yang dapat tersulut oleh hal seremeh apa pun. Entahlah pokok pangkalnya, tapi ada yang kucurigai. Sebelum kami lahir, Ayah dan Bunda merupakan bintang dalam lingkaran penggiat drama di Dublin—bukan secara profesional, tentu saja, tapi mereka memang terkenal—dan kini tampaknya timbul semacam pertentangan soal bisnis pertunjukan antara Bunda dan Bel. Rasanya aneh, sebab pada tahun-tahun awalnya, sewaktu Bel masih bersekolah, Bunda sangat mendukung ambisinya menjadi aktris. Lalu mendadak Bunda berubah. Mendadak—dalam hampir semalam saja—Bunda tampak tidak senang akan ambisi Bel. Mendadak perkataannya sarat akan nasihat serta pendapat yang menusuk, melampaui yang dikehendaki Bel. “Semua aktris hebat memiliki mata batin, yang menentukan seluruh penampilannya,” ucap Bunda, pernyataannya sering kali dibubuhi baris-baris metafisis seperti ini. “Persoalanmu, Bel, kamu masih harus menemukan mata batinmu.”

Kuduga itulah yang mengawali suasana buruk. Itulah yang menjadi penyebabnya bahkan sebelum Ayah jatuh sakit. Pada bulan-bulan setelah kematian Ayah, hubungan itu memburuk hingga keduanya bisa bertengkar nyaris tanpa sebab. Bunda menyalahkan Bel karena pelupa, teledor, egois, narsis, bandel, hingga pembohong. Awalnya Bel heran sehingga ia menerimanya saja, tapi kemudian, ketika apa pun yang diperbuatnya mendatangkan kecaman dari yang di atas, ia mulai balas dendam. Saat merasa disakiti, Bel terbiasa berteriak dan menjerit mencaci maki bermacam hal hingga siapa pun itu berlalu. Pertengkaran pun segera menjadi parah. Suatu malam sekitar enam bulan lalu, sesampai di rumah aku mendapati Bel tengah berdiri di koridor. Air mukanya terkuras. Tangannya gemetar. Bunda tidak terlihat di mana pun. Bel tidak mau memberitahuku kejadiannya. Yang dikatakannya cuma, setelah perdebatan yang berlarut-larut, Bunda mengakui bahwa ia bukan seperti dirinya, dan barangkali ia perlu waktu untuk merenung sendiri. Mobil hitam yang memapasku di halaman tadi kepunyaan orang-orang baik dari Cedars. Mereka membawa Bunda pergi untuk menetap di sana dalam waktu yang tidak ditentukan.

Begitulah ceritanya hingga rumah ini berada dalam pemeliharaanku, dan apa pun yang Bel katakan, aku mesti bekerja keras untuk menjaga harkatnya yang samar, untuk mempertalikan unsur-unsurnya yang berlainan hingga tertata laras—pikiran Mbok P yang kacau, kengototan patologis Bel untuk mengendalikan segala segi hidupnya, kenyentrikan ataupun kecenderungan kriminal pada siapa pun yang sedang dikencaninya, serta rumah ini sendiri, bangunan berusia ratusan tahun yang terbuat dari batu dan kayu, yang punya tingkahnya sendiri, serta rajukannya yang mesti dibujuki. Akulah yang menjaga segalanya terus berdetak, yang berdiam sepanjang hari sekadar untuk mengetengahkan berbagai hal, memusatkannya sedikit. Ini tugas yang berat dan tidak seorang pun berterima kasih padaku. Aku pun tidak bisa diharapkan untuk memperbaiki berbagai hal sepanjang waktu. Karena itulah, yang terjadi kemudian bukan sepenuhnya salahku, apa pun yang mereka katakan padamu.

*



[1] Meragukan karena tidak ada pembenaran
[2] Karakter dalam pertunjukan pantomim yang mula-mula dibawakan rombongan pemain Italia di Perancis pada akhir abad ketujuh belas
[3] Pertunjukan bermacam-macam, berkembang di Amerika Utara antara 1880-1920-an
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...