Pada hari pertama berada di timur, kami
bangun pukul empat pagi. Pada malam sebelumnya kami naik kereta barang di
pinggir kota. Dengan naluri sejati pria Kentucky, kami langsung dapat menemukan
jalan melintasi kota dan menuju gelanggang pacuan kuda serta kandangnya. Kami pun tahu kami baik-baik saja. Hanley Turner segera melihat seorang negro
kenalan kami. Ia Bildad Johnson yang pada musim dingin bekerja di gudang
perawatan kuda milik Ed Becker di kampung halaman kami, Beckersville. Bildad
tukang masak yang jago seperti hampir semua negro di tempat kami, dan tentu
saja ia menyukai kuda, seperti semua orang di daerah kami di Kentucky yang
berarti siapa saja. Pada musim semi Bildad mulai mencari-cari pekerjaan. Seorang
negro dari daerah kami dapat membujuk rayu siapa saja supaya ia dapat
mengerjakan hampir segala hal yang ia inginkan. Bildad menggaet orang-orang
kandang dan para pelatih dari peternakan kuda di daerah kami di sekitar
Lexington. Para pelatih datang ke kota malam-malam untuk menongkrong,
mengobrol, mungkin juga main poker. Bildad bergaul erat dengan mereka. Ia suka
membantu sedikit-sedikit dan membicarakan masakan, seperti ayam yang digoreng
hingga kecokelatan dalam panci, serta cara terbaik untuk memasak ubi jalar dan
roti jagung. Mendengarnya saja bikin mulut jadi berair.
Saat musim balapan tiba, kuda-kuda dibawa
ke pacuan dan di jalanan tiap malam obrolan melulu tentang anak kuda jantan
yang baru. Semua orang membicarakan tentang kepergian mereka ke Lexington atau balapan
musim semi di Churchill Downs atau Latonia. Para penunggang kuda yang sudah
pernah ke New Orleans atau mungkin ke balapan musim dingin di Havana, Kuba,
pulang selama seminggu sebelum mereka pergi lagi. Pada waktu itulah, ketika
segala hal yang dibicarakan di Berckersville cuma tentang kuda, orang-orang
bersiap pergi, dan pacuan kuda ada dalam setiap udara yang kau hirup, Bildad
bekerja sebagai koki untuk kawanan tertentu. Sering kali saat aku memikirkan
tentang kedatangan Bildad pada setiap musim balapan, pekerjaannya saat musim
dingin di kandang perawatan kuda, dan betapa sering ia didatangi orang-orang
yang suka membicarakan kuda, aku berharap aku seorang negro. Konyol memang,
tapi begitulah aku ketika berada di dekat kuda, rasanya gila saja. Aku tidak
bisa mengendalikannya.
Yah, aku mesti menceritakan padamu
tentang apa yang kami lakukan dan memberitahumu apa maksudnya. Kami berempat
anak Beckersville, semuanya kulit putih dan anak orang sana. Kami bertekad
akan pergi ke balapan, bukan sekadar Lexington atau Louisville, tidak ada niat,
tapi ke trek besar di timur yang sering kami dengar dari obrolan orang-orang
daerah kami, yaitu ke Saratoga. Waktu itu kami semua masih sangat polos. Aku
baru saja berumur lima belas tahun dan paling tua di antara berempat. Kuakui,
aku yang punya rencana dan mengajak yang lain-lain untuk mencobanya. Ada Hanley
Turner, Henry Rieback, Tom Tumberton, dan aku sendiri. Aku punya 37 dolar yang
kuperoleh dari bekerja malam saat musim dingin dan pada hari Sabtu di toko
Enock Myer. Henry Rieback punya sebelas dolar dan yang lainnya, Hanley dan Tom,
masing-masing cuma punya satu-dua dolar. Kami mengurus semuanya dan menunggu
sampai balapan musim semi Kentucky berakhir dan sebagian orang daerah kami, yang
paling menonjol, orang-orang yang paling kami cemburui, pergi—lalu kami pergi
juga.
Aku tidak akan menceritakan masalah yang
kami alami selama di jalan dengan kereta barang dan sebagainya. Kami melewati
Cleveland, Buffalo, dan kota-kota lainnya, dan melihat air terjun Niagara. Di
sana kami membeli benda-benda seperti cindera mata, sendok, kartu, dan gambar
air terjun yang dibingkai buat ibu dan saudari kami, tapi kami pikir sebaiknya
kami tidak membawa barang-barang itu ke rumah. Kami tidak ingin orang-orang di
rumah sampai tahu jejak kami dan menangkap basah kami.
Kami tiba di Saratoga pada malam hari
seperti yang sudah kuceritakan tadi, dan pergi ke trek balapan. Bildad memberi
kami makanan. Ia menunjukkan tempat tidur kami yaitu di jerami di atas gudang
dan berjanji tidak akan memberi tahu siapa-siapa. Negro itu baik dalam hal-hal
begitu. Mereka tidak akan mengadukanmu. Sering kali orang kulit putih yang
mungkin kau temui, ketika kau kabur dari rumah dengan cara seperti itu,
kelihatannya baik dan memberimu seperempat atau setengah dolar atau berapalah,
lalu seperti yang sudah diperkirakan mereka membocorkan keberadaanmu.
Orang-orang kulit putih bakal begitu, tapi negro tidak. Kau bisa memercayai
mereka. Mereka lebih jujur pada anak-anak. Entah kenapa.
Pada balapan di Saratoga tahun itu ada
banyak orang dari kampung. Ada Dave Williams, Arthur Mulford, Jerry Myers, dan
lain-lainnya. Banyak juga yang asalnya dari Louisville dan Lexington. Henry
Rieback kenal mereka, tapi aku tidak. Mereka pejudi profesional dan ayah Henry
Rieback salah satunya. Ia disebut-sebut sebagai bandar dan sering pergi ke
trek. Pada musim dingin ketika ia pulang ke Beckersville, ia tidak tinggal
lama-lama di rumah tapi pergi ke kota dan mengurus pertandingan kartu. Ia baik
dan murah hati, selalu mengirim hadiah pada Henry, seperti sepeda, jam tangan
emas, seragam pramuka, dan sebagainya.
Ayahku sendiri pengacara. Ia
baik, tapi penghasilannya tidak banyak dan ia tidak mampu membelikanku
macam-macam. Lagi pula sekarang ini aku semakin besar jadi aku tidak
menginginkannya. Ayahku tidak mempermasalahkan pertemananku dengan Henry, tapi
begitulah ayahnya Hanley Turner dan Tom Tumberton. Mereka bilang pada anak-anak
mereka bahwa mendapatkan uang dengan cara itu tidaklah baik. Mereka tidak mau anak-anak
mereka tumbuh dengan mendengar obrolan para penjudi, memikirkan hal-hal semacam
itu, dan mungkin ikut-ikutan.
Aku sih tidak apa-apa dan aku rasa
orang-orang itu paham maksud perkataan mereka, tapi aku tidak tahu apa
hubungannya itu dengan Henry atau kuda. Itulah yang mau kutulis dalam cerita
ini. Aku bingung. Aku akan menjadi lelaki dewasa dan aku ingin bisa berpikir yang
lurus dan baik-baik saja. Tapi ada sesuatu yang kusaksikan pada balapan di trek
timur yang tidak bisa kupahami.
Mau bagaimana lagi. Aku tergila-gila
pada kuda keturunan murni. Selalu begitu. Sewaktu aku sepuluh tahun dan
menyadari bahwa aku akan tumbuh besar dan tidak mungkin jadi penunggang kuda,
aku sedih sekali sampai rasanya ingin mati saja. Harry Hellinfinger dari
Beckersville, yang ayahnya kepala rumah sakit, sudah dewasa dan terlalu malas
untuk bekerja, tapi suka nongkrong-nongkrong di jalan dan mempermainkan
bocah-bocah, misalnya menyuruh mereka ke toko besi untuk mencari bor kayu yang
bisa menggerek lubang berbentuk persegi dan lelucon lain semacam itu. Ia pernah
mempermainkanku. Ia bilang padaku bahwa kalau aku makan separuh batang rokok
aku bakal pendek karena pertumbuhanku jadi terhenti dan aku mungkin saja bisa
jadi penunggang kuda. Aku menurutinya. Ketika ayahku sedang tidak melihat, aku
mengambil sebatang rokok dari kantongnya dan malah tercekik karena itu. Aku
jadi sakit parah dan dokter pun dipanggil. Hasilnya tidak baik. Aku terus saja
tumbuh. Itu cuma lelucon. Aku menceritakan perbuatanku dan ayah pada umumnya pasti
akan memecutku tapi ayahku tidak.
Yah, aku tidak jadi pendek dan tidak
jadi mati. Benar kata Harry Hellinfinger. Lalu kuputuskan bahwa aku akan
bekerja di kandang kuda, tapi itu juga tidak jadi. Yang melakukan pekerjaan itu
kebanyakan negro dan aku tahu ayah tidak akan membolehkanku. Tidak perlu
menanyakannya lagi.
Kalau kau tidak tahu rasanya
tergila-gila pada kuda keturunan murni, itu karena kau belum pernah melihat
mereka berkumpul dan kau belum cukup mengenal dunia. Mereka gagah-gagah
betul. Tidak ada yang begitu bagus, bersih, berani, murni, dan segala-galanyalah
seperti kuda pacuan. Di peternakan kuda besar yang ada di sekitar kampung kami,
Beckersville, ada trek dan kuda-kuda berlarian pagi-pagi sekali. Lebih dari
seribu kali aku bangkit dari tempat tidur sebelum fajar dan berjalan dua sampai
tiga mil ke trek. Ibu akan melarangku pergi tapi ayah selalu bilang, “Biarkan
saja.” Maka aku mengambil roti dari wadahnya dengan mentega dan selai,
melahapnya, dan langsung pergi.
Di balapan kau duduk-duduk di pagar
dengan para pria, kulit putih dan negro. Mereka mengunyah tembakau dan
mengobrol-obrol, lalu anak-anak kuda jantannya dikeluarkan. Masih pagi sekali
dan rumputnya dilapisi embun yang berkilauan dan di padang lainnya seorang pria
sedang membajak. Di gudang tempat tinggal para negro trek, mereka sedang
menggoreng makanan, dan kau tahulah bagaimana negro terkekeh-kekeh, tertawa,
dan melontarkan hal-hal yang membuatmu tertawa. Orang kulit putih mana bisa
begitu. Sebagian negro juga tidak bisa, tapi negro trek selalu bisa.
Maka anak-anak kuda jantan digiring dan
sebagiannya dicongklang oleh para pekerja kandang. Tapi hampir setiap pagi
dalam trek besar milik orang kaya yang tinggalnya mungkin di New York, selalu
ada beberapa anak kuda jantan dan kuda-kuda balapan tua serta kuda betina dan
binatang lainnya yang dikebiri melepaskan diri.
Rasanya ada yang menyumbat tenggorokanku
saat seekor kuda berlari. Tidak semua kuda, tapi sebagian saja. Aku hampir
selalu bisa mengenali mereka. Itu mengalir dalam darahku seperti pada para
negro trek pacuan dan para pelatih. Sekalipun mereka sedang berjalan-jalan saja
sambil ditunggangi seorang negro kecil, aku bisa tahu yang mana yang ulung.
Jika tenggorokanku nyeri sampai terasa sulit untuk menelan, itulah dia. Dia
akan berlari kesetanan jika kau mengeluarkan dirinya dari kandang. Akan
mengherankan jika dia tidak menang terus dan itu pun karena ada yang menahannya
di belakang yang lain atau dia ditarik atau dikembalikan ke kandang atau
semacam itu. Kalau aku ingin jadi penjudi seperti ayahnya Henry Rieback aku
bisa kaya. Aku tahu aku bisa, dan menurut Henry juga begitu. Aku tinggal
menunggu rasa nyeri itu saat melihat seekor kuda, dan bertaruh untuknya. Itu
yang akan kuperbuat kalau aku ingin jadi penjudi, tapi tidak ah.
Saat kau ke trek pagi-pagi—bukan trek
pacuan tapi trek latihan di sekitar Beckersville—di sana tidak banyak kuda
seperti yang tadi kubicarakan, tapi yang ada bagus-bagus juga. Kuda keturunan
murni mana pun, yang bapaknya sehat, dari induk yang baik, serta dilatih orang
yang cakap, bisa lari. Kalau dia tidak bisa lari, buat apa dia berada di situ
dan bukannya menarik bajak?
Jadi, kuda-kuda itu keluar dari kandang
sambil ditunggangi. Menyenangkan sekali di sana. Kau duduk-duduk di atas pagar
dan merasa bergairah. Di atas gudang para negro terkikih-kikih dan menyanyi.
Bakon digoreng, kopi diseduh. Semuanya beraroma sedap. Tidak ada yang aromanya
lebih sedap daripada kopi, rabuk, kuda, negro, bakon goreng, dan asap pipa di
luar ruangan pada pagi-pagi seperti itu. Rasanya menarik saja.
Kembali ke Saratoga. Kami di sana selama
enam hari dan tidak seorang pun dari kampung yang melihat kami. Segalanya
berjalan dengan lancar sebagaimana yang kami inginkan, mulai dari cuacanya,
kuda-kudanya, pacuannya, dan semuanya. Saat kami akan pulang Bildad memberi
kami sekeranjang ayam goreng, roti, serta makanan lainnya, dan aku masih punya
delapan belas dolar saat kami kembali di Beckersville. Ibu mengomel dan
menangis tapi Pop tidak bicara banyak. Aku menceritakan semua perbuatan kami
kecuali satu hal. Aku melakukan dan menyaksikan itu sendirian. Itulah yang mau
aku tulis. Hal itu mengusikku, membuatku memikirkannya pada malam hari. Beginilah
ceritanya.
Di Saratoga, pada malam hari kami
beristirahat di jerami gudang yang Bildad tunjukkan pada kami. Tiap pagi dan
malam kami makan dengan para negro ketika orang-orang pacuan sudah pada pergi.
Orang-orang dari kampung kebanyakan tinggal di tribune dan tempat taruhan, dan
tidak keluyuran di sekitar kandang selain ke padang rumput tepat sebelum
pertandingan saat kuda-kuda dipasangi pelana. Di Saratoga tidak ada padang
rumput di dalam gudang terbuka seperti di Lexington, Churchill Downs, dan
trek-trek lainnya di desa kami. Kuda-kuda dipasangi pelana di tempat terbuka di
bawah pepohonan di sebuah halaman berumput yang lembut dan indah, elok seperti
di pekarangan depan kepunyaan Banker Bohon di Beckersville. Tempatnya bagus.
Kuda-kuda itu berkeringat, gelisah, dan berkilauan. Orang-orang bermunculan,
merokok, dan menyaksikan kuda-kuda itu. Di sana juga ada para pelatih dan
pemilik kuda. Jantungmu berdebar kencang sampai-sampai kau merasa sesak.
Lalu selompret berbunyi tanda penempatan
kuda di pos masing-masing. Para penunggang kuda bermunculan dengan mengenakan
pakaian sutra. Kau pun berburu tempat di dekat pagar bersama para negro.
Aku selalu ingin jadi pelatih atau
pemilik. Maka supaya tidak ketahuan dan dipulangkan, aku ke padang rumput
sebelum setiap pertandingan. Aku sendirian saja, tidak bersama anak-anak
lainnya.
Kami sampai di Saratoga pada Jumat, dan
pada Rabu minggu depannya si bongsor Mullford Handicap akan bertanding.
Middlestride dan Sunstreak juga. Cuacanya cerah dan lintasannya cepat. Pada
malam sebelumnya aku tidak bisa tidur.
Kedua kuda ini jenis yang membikin
tenggorokanku terasa nyeri. Middlestride bertubuh panjang, tampak rikuh, dan
merupakan kuda kebiri. Dia kepunyaan Joe Thompson, pemuda dari kampung yang
cuma punya separuh lusin kuda. Mullford Handicap jagonya balap satu mil
sedangkan Middlestride tidak bisa meluncur cepat. Mulanya dia lambat dan selalu
ketinggalan di pertengahan, lalu mulailah dia lari. Jika lintasannya satu
seperempat mil, dia akan menghabisi semuanya dan menang.
Sunstreak berbeda. Ia seekor kuda jantan
penggugup milik peternakan terbesar di desa kami, yaitu tempatnya Van Riddle yang
merupakan milik Mr. Van Riddle di New York. Sunstreak itu seperti gadis yang terkadang
muncul dalam khayalanmu tapi tidak pernah kau temui. Ia gagah perkasa dan
rupawan. Melihat kepalanya membuatmu ingin menciumnya. Ia dilatih oleh Jerry
Tillford yang mengenalku dan sering bersikap baik padaku, membolehkanku masuk
ke istal untuk melihat dirinya dari dekat dan berbagai hal lainnya. Tak ada
yang seindah kuda itu. Ia bergeming saja di posnya dan tidak menampakkan gairah
yang ada di dalam dirinya. Ketika palang rintangnya naik, ia pun angkat kaki
seperti namanya, Sunstreak—kilatan matahari. Kau ingin sekali melihat dirinya. Ia
membuatmu merasa nyeri. Ia melesat dan berlari seperti anjing pemburu. Aku
tidak pernah menyaksikan apa pun berlari seperti Sunstreak selain Middlestride
saat dia meluncur dan merentangkan dirinya.
Astaga! Aku ingin sekali melihat balapan
itu dan kedua kuda itu berpacu, ingin sekaligus khawatir. Aku tidak ingin
melihat salah satu dari keduanya kalah. Sebelumnya tidak pernah ada pasangan
seperti itu dalam pacuan. Begitu yang dikatakan orang-orang tua di Beckersville
dan para negro. Itu kenyataan.
Sebelum pertandingan aku melihat-lihat
ke padang rumput. Untuk terakhir kali aku memandangi Middlestride yang
kelihatannya tidak begitu menonjol, lalu aku menghampiri Sunstreak.
Hari ini adalah kejayaannya. Aku tahu
saat melihatnya. Aku sampai lupa supaya tidak terlihat dan berjalan
mendekatinya. Semua orang di Beckersville ada di sana dan tidak ada satu pun
yang memerhatikanku selain Jerry Tillford. Ia melihatku dan ada yang terjadi.
Aku akan menceritakannya padamu.
Saat itu aku sedang berdiri sambil
memandangi kuda itu dan merasa nyeri. Dengan suatu cara yang tidak bisa
kujelaskan, aku tahu persis apa yang dirasakan Sunstreak di dalam dirinya. Ia
tampak tenang dan membiarkan para negro menggosoki kakinya dan Mr. Van Riddle
sendiri yang memakaikan pelana padanya, namun di dalam dirinya ada deru yang
hebat. Ia bagaikan air di sungai Air Terjun Niagara tepat sebelum terhempas.
Kuda itu tidak sedang memikirkan tentang berpacu. Tidak perlulah ia memikirkan
itu. Yang dipikirkannya cuma menahan diri hingga waktunya berpacu tiba. Aku
tahu itu. Aku tahu hanya dengan melihat langsung ke dalam dirinya. Ia akan
berpacu dengan dahsyat dan aku tahu itu. Ia tidak berlagak, sesumbar,
berjingkrak-jingkrak, atau ribut-ribut, tapi menunggu saja. Aku tahu itu dan
Jerry Tillford si pelatih menyadarinya. Saat aku memandang, aku dan pria
tersebut bertatapan. Kurasakan sesuatu. Kurasa aku mencintai pria itu sebanyak
cintaku pada kudanya sebab ia menyadari yang kurasakan. Rasanya yang ada di dunia
ini cuma aku, pria itu, dan kudanya. Aku berseru dan mata Jerry Tillford tampak
berseri. Lalu aku menghampiri pagar untuk menanti balapan. Kuda itu lebih
tenang dari padaku, dan kini aku lebih tahu daripada Jerry. Ia kuda yang paling
anteng dan ia mesti berpacu.
Tentu saja Sunstreak yang lari
pertama-tama dan ia memecahkan rekor dunia untuk balapan satu mil. Belum pernah
aku menyaksikan yang seperti itu. Segalanya terjadi tepat seperti yang kubayangkan.
Middlestride tertinggal di posnya lalu menyusul dan hampir mencapai posisi
kedua, persis seperti yang kuperkirakan. Kelak dia akan menjadi rekor dunia
juga. Berkat mereka, penduduk desa Beckersville selalu keranjingan kuda.
Aku menonton balapan itu dengan anteng
sebab aku dapat menduga yang akan terjadi. Aku yakin. Hanley Turner, Henry
Rieback, dan Tom Tumberton lebih heboh dari padaku.
Aku merasakan hal yang lucu. Aku sedang
memikirkan Jerry Tillford si pelatih dan betapa bahagianya ia selama
pertandingan. Sore itu aku bahkan lebih menyukainya daripada aku menyukai
ayahku sendiri. Aku hampir lupa pada kuda-kuda saat merasakan itu terhadap
dirinya. Itu karena sorot matanya saat ia berdiri di lapangan di samping
Sunstreak sebelum pertandingan dimulai. Aku tahu ia telah mengamati dan
mengurus Sunstreak sejak kuda itu masih bayi, mengajarinya berlari, bersabar,
dan kapan waktunya untuk membebaskan diri dan jangan berhenti, jangan. Aku tahu
bahwa ia merasa seperti ibu yang menyaksikan anaknya melakukan suatu hal yang
berani atau hebat. Itu kali pertama aku merasa seperti itu pada seorang pria.
Malam itu setelah pertandingan aku
meninggalkan Tom, Hanley, dan Henry. Aku ingin sendirian dan berada di dekat
Jerry Tillford kalau bisa. Inilah yang terjadi.
Trek di Saratoga terletak di dekat
pinggir kota. Seluruhnya terawat, di mana-mana ada pohon yang hijau sepanjang
tahun, rumput, dan semua bangunannya dicat dan bagus-bagus. Kalau kau melewati
treknya, ada jalan keras yang terbuat dari aspal untuk dilalui mobil, dan kalau
menyusurinya sampai beberapa mil, ada belokan menuju suatu rumah tani kecil
yang berpenampakan ganjil berdiam di sebuah pekarangan.
Malam sehabis pertandingan itu, aku
menyusuri jalan tersebut karena aku sempat melihat Jerry dan beberapa pria
lainnya menuju ke situ mengendarai mobil. Saat itu aku tidak menyangka akan
bertemu mereka. Aku berjalan beberapa jauh lalu duduk di pagar untuk merenung.
Itu jalan ke arah yang dilalui mereka tadi. Aku ingin bisa berada sedekat
mungkin dengan Jerry. Aku merasa akrab dengannya. Sebentar kemudian aku naik ke
jalan setapak—entah kenapa—dan menghampiri rumah tani yang ganjil itu. Aku
kangen melihat Jerry, rasanya seperti ingin menemui ayahmu malam-malam saat kau
masih kecil. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil muncul dan masuk. Jerry ada di
dalam mobil itu, juga ayahnya Henry Rieback, Arthur Bedford dari kampung, Dave
Williams, dan dua pria lainnya yang tidak kukenal. Mereka semua keluar dari
mobil dan masuk ke rumah, kecuali ayahnya Henry Rieback yang bertengkar
dengan mereka dan berkata dia tidak akan masuk. Saat itu baru sekitar pukul
sembilan, tapi mereka semua sudah mabuk dan rumah tani berpenampakan ganjil itu
tempatnya perempuan nakal. Ya, itu benar. Aku bergerak pelan-pelan menyusuri
pagar, mengintip lewat jendela, dan melihat.
Itu yang bikin aku jadi ketir-ketir. Aku
tidak mengerti. Para wanita di rumah itu semuanya berpenampilan buruk dan licik,
tidak enak dilihat apalagi didekati. Mereka semua juga tidak cantik, kecuali
satu yang jangkung dan kelihatannya agak seperti Middlestride yang dikebiri,
tapi tidak sebersih kuda itu, dan mulutnya kasar dan kotor. Rambutnya berwarna
merah. Aku menyaksikan semuanya dengan jelas. Aku berdiri di dekat sesemakan
mawar layu di dekat jendela yang terbuka dan mengintip. Para wanita itu
mengenakan gaun longgar dan duduk santai di kursi. Para pria masuk dan sebagian
duduk di pangkuan para wanita itu. Tempat itu berbau busuk dan terdengar
omongan jorok. Anak-anak mungkin biasa mendengar itu di sekitaran kandang kuda
di kota kecil macam Beckersville pada musim dingin, tapi tidak pernah terbayang
akan mendengar itu saat sedang ada wanita. Karena itu jorok. Negro mah tidak
bakal ke tempat seperti itu.
Aku menatap Jerry Tillford. Aku sudah
memberitahumu kan perasaanku padanya karena Jerry tahu apa yang dialami
Sunstreak di dalam dirinya pada menit-menit sebelum ia menuju posnya untuk
balapan dan membuat rekor dunia.
Di rumah perempuan nakal itu, Jerry
menyombongkan diri padahal setahuku Sunstreak saja tidak pernah begitu. Ia
bilang dirinyalah yang membesarkan kuda itu, dirinyalah yang memenangkan
balapan itu dan membuat rekor. Ia berdusta dan membual seperti orang goblok.
Belum pernah aku mendengar omongan setolol itu.
Lalu, tebaklah yang dilakukannya! Ia
menatap wanita yang ada di situ, yang kurus, bermulut kasar dan terlihat
sedikit mirip Middlestride yang dikebiri, tapi tidak sebersih kuda itu. Matanya
mulai bersinar persis seperti saat ia menatapku dan Sunstreak di lapangan trek
sore tadi. Di dekat jendela itu aku berdiri—astaga!—kuharap aku tidak jauh-jauh
dari trek, melainkan tetap bersama anak-anak, para negro, dan kuda-kuda. Wanita
jangkung bertampang busuk itu ada di antara kami saat Sunstreak di lapangan
sore tadi.
Lalu, tiba-tiba, aku mulai membenci pria
itu. Aku ingin berteriak, menyerbu ke ruangan itu, dan membunuhnya. Belum
pernah aku merasa seperti itu. Aku sungguh-sungguh marah karena itu. Aku menjerit
dan tinjuku terkepal sampai-sampai kukuku menggores tangan.
Dan mata Jerry tetap bercahaya. Ia
melambai-lambai, lalu pergi dan mencium wanita itu sementara aku pelan-pelan menjauh
dan kembali ke trek, ke tempat tidur, dan hampir-hampir tidak tidur. Keesokan
harinya aku memaksa anak-anak lain untuk pulang bersamaku dan tidak memberi
tahu mereka apa pun yang telah kulihat.
Sejak itu aku masih memikirkannya. Aku
tidak mengerti. Musim semi telah datang kembali. Aku hampir berusia enam belas
tahun dan setiap pagi pergi ke trek seperti biasanya. Aku melihat Sunstreak, Middlestride,
dan anak kuda jantan baru bernama Strident yang taruhan deh ia bakal menghabisi
mereka semua, tapi tidak ada yang berpikir begitu selain aku dan dua-tiga
negro.
Tapi rasanya sudah lain. Di trek hawanya
tidak terasa nyaman atau tercium seperti itu. Itu karena pria seperti Jerry
Tillford, yang sadar akan perbuatannya, yang dapat menyaksikan kuda seperti
Sunstreak berpacu dan mencium wanita seperti itu pada hari yang sama. Aku tidak
mengerti. Dasar laknat, buat apa ia mau melakukan perbuatan seperti itu? Aku
terus memikirkannya dan rasanya jadi tidak nikmat lagi menontoni kuda-kuda, membaui
apa-apa, mendengar para negro tertawa, dan berbagai hal lainnya. Kadang aku marah
sekali soal itu sampai aku ingin berkelahi dengan siapalah. Gara-gara itu aku
jadi ketir-ketir. Buat apa ia melakukan itu? Aku ingin tahu sebabnya.[]
Diterjemahkan
dari cerpen Sherwood Anderson, “I Want to Know Why” (1920)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar