Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20160218

Aku Ingin Tahu Sebabnya (Sherwood Anderson, 1920)

Pada hari pertama berada di timur, kami bangun pukul empat pagi. Pada malam sebelumnya kami naik kereta barang di pinggir kota. Dengan naluri sejati pria Kentucky, kami langsung dapat menemukan jalan melintasi kota dan menuju gelanggang pacuan kuda serta kandangnya. Kami pun tahu kami baik-baik saja. Hanley Turner segera melihat seorang negro kenalan kami. Ia Bildad Johnson yang pada musim dingin bekerja di gudang perawatan kuda milik Ed Becker di kampung halaman kami, Beckersville. Bildad tukang masak yang jago seperti hampir semua negro di tempat kami, dan tentu saja ia menyukai kuda, seperti semua orang di daerah kami di Kentucky yang berarti siapa saja. Pada musim semi Bildad mulai mencari-cari pekerjaan. Seorang negro dari daerah kami dapat membujuk rayu siapa saja supaya ia dapat mengerjakan hampir segala hal yang ia inginkan. Bildad menggaet orang-orang kandang dan para pelatih dari peternakan kuda di daerah kami di sekitar Lexington. Para pelatih datang ke kota malam-malam untuk menongkrong, mengobrol, mungkin juga main poker. Bildad bergaul erat dengan mereka. Ia suka membantu sedikit-sedikit dan membicarakan masakan, seperti ayam yang digoreng hingga kecokelatan dalam panci, serta cara terbaik untuk memasak ubi jalar dan roti jagung. Mendengarnya saja bikin mulut jadi berair.

Saat musim balapan tiba, kuda-kuda dibawa ke pacuan dan di jalanan tiap malam obrolan melulu tentang anak kuda jantan yang baru. Semua orang membicarakan tentang kepergian mereka ke Lexington atau balapan musim semi di Churchill Downs atau Latonia. Para penunggang kuda yang sudah pernah ke New Orleans atau mungkin ke balapan musim dingin di Havana, Kuba, pulang selama seminggu sebelum mereka pergi lagi. Pada waktu itulah, ketika segala hal yang dibicarakan di Berckersville cuma tentang kuda, orang-orang bersiap pergi, dan pacuan kuda ada dalam setiap udara yang kau hirup, Bildad bekerja sebagai koki untuk kawanan tertentu. Sering kali saat aku memikirkan tentang kedatangan Bildad pada setiap musim balapan, pekerjaannya saat musim dingin di kandang perawatan kuda, dan betapa sering ia didatangi orang-orang yang suka membicarakan kuda, aku berharap aku seorang negro. Konyol memang, tapi begitulah aku ketika berada di dekat kuda, rasanya gila saja. Aku tidak bisa mengendalikannya.

Yah, aku mesti menceritakan padamu tentang apa yang kami lakukan dan memberitahumu apa maksudnya. Kami berempat anak Beckersville, semuanya kulit putih dan anak orang sana. Kami bertekad akan pergi ke balapan, bukan sekadar Lexington atau Louisville, tidak ada niat, tapi ke trek besar di timur yang sering kami dengar dari obrolan orang-orang daerah kami, yaitu ke Saratoga. Waktu itu kami semua masih sangat polos. Aku baru saja berumur lima belas tahun dan paling tua di antara berempat. Kuakui, aku yang punya rencana dan mengajak yang lain-lain untuk mencobanya. Ada Hanley Turner, Henry Rieback, Tom Tumberton, dan aku sendiri. Aku punya 37 dolar yang kuperoleh dari bekerja malam saat musim dingin dan pada hari Sabtu di toko Enock Myer. Henry Rieback punya sebelas dolar dan yang lainnya, Hanley dan Tom, masing-masing cuma punya satu-dua dolar. Kami mengurus semuanya dan menunggu sampai balapan musim semi Kentucky berakhir dan sebagian orang daerah kami, yang paling menonjol, orang-orang yang paling kami cemburui, pergi—lalu kami pergi juga.

Aku tidak akan menceritakan masalah yang kami alami selama di jalan dengan kereta barang dan sebagainya. Kami melewati Cleveland, Buffalo, dan kota-kota lainnya, dan melihat air terjun Niagara. Di sana kami membeli benda-benda seperti cindera mata, sendok, kartu, dan gambar air terjun yang dibingkai buat ibu dan saudari kami, tapi kami pikir sebaiknya kami tidak membawa barang-barang itu ke rumah. Kami tidak ingin orang-orang di rumah sampai tahu jejak kami dan menangkap basah kami.

Kami tiba di Saratoga pada malam hari seperti yang sudah kuceritakan tadi, dan pergi ke trek balapan. Bildad memberi kami makanan. Ia menunjukkan tempat tidur kami yaitu di jerami di atas gudang dan berjanji tidak akan memberi tahu siapa-siapa. Negro itu baik dalam hal-hal begitu. Mereka tidak akan mengadukanmu. Sering kali orang kulit putih yang mungkin kau temui, ketika kau kabur dari rumah dengan cara seperti itu, kelihatannya baik dan memberimu seperempat atau setengah dolar atau berapalah, lalu seperti yang sudah diperkirakan mereka membocorkan keberadaanmu. Orang-orang kulit putih bakal begitu, tapi negro tidak. Kau bisa memercayai mereka. Mereka lebih jujur pada anak-anak. Entah kenapa.

Pada balapan di Saratoga tahun itu ada banyak orang dari kampung. Ada Dave Williams, Arthur Mulford, Jerry Myers, dan lain-lainnya. Banyak juga yang asalnya dari Louisville dan Lexington. Henry Rieback kenal mereka, tapi aku tidak. Mereka pejudi profesional dan ayah Henry Rieback salah satunya. Ia disebut-sebut sebagai bandar dan sering pergi ke trek. Pada musim dingin ketika ia pulang ke Beckersville, ia tidak tinggal lama-lama di rumah tapi pergi ke kota dan mengurus pertandingan kartu. Ia baik dan murah hati, selalu mengirim hadiah pada Henry, seperti sepeda, jam tangan emas, seragam pramuka, dan sebagainya.

Ayahku sendiri pengacara. Ia baik, tapi penghasilannya tidak banyak dan ia tidak mampu membelikanku macam-macam. Lagi pula sekarang ini aku semakin besar jadi aku tidak menginginkannya. Ayahku tidak mempermasalahkan pertemananku dengan Henry, tapi begitulah ayahnya Hanley Turner dan Tom Tumberton. Mereka bilang pada anak-anak mereka bahwa mendapatkan uang dengan cara itu tidaklah baik. Mereka tidak mau anak-anak mereka tumbuh dengan mendengar obrolan para penjudi, memikirkan hal-hal semacam itu, dan mungkin ikut-ikutan.

Aku sih tidak apa-apa dan aku rasa orang-orang itu paham maksud perkataan mereka, tapi aku tidak tahu apa hubungannya itu dengan Henry atau kuda. Itulah yang mau kutulis dalam cerita ini. Aku bingung. Aku akan menjadi lelaki dewasa dan aku ingin bisa berpikir yang lurus dan baik-baik saja. Tapi ada sesuatu yang kusaksikan pada balapan di trek timur yang tidak bisa kupahami.

Mau bagaimana lagi. Aku tergila-gila pada kuda keturunan murni. Selalu begitu. Sewaktu aku sepuluh tahun dan menyadari bahwa aku akan tumbuh besar dan tidak mungkin jadi penunggang kuda, aku sedih sekali sampai rasanya ingin mati saja. Harry Hellinfinger dari Beckersville, yang ayahnya kepala rumah sakit, sudah dewasa dan terlalu malas untuk bekerja, tapi suka nongkrong-nongkrong di jalan dan mempermainkan bocah-bocah, misalnya menyuruh mereka ke toko besi untuk mencari bor kayu yang bisa menggerek lubang berbentuk persegi dan lelucon lain semacam itu. Ia pernah mempermainkanku. Ia bilang padaku bahwa kalau aku makan separuh batang rokok aku bakal pendek karena pertumbuhanku jadi terhenti dan aku mungkin saja bisa jadi penunggang kuda. Aku menurutinya. Ketika ayahku sedang tidak melihat, aku mengambil sebatang rokok dari kantongnya dan malah tercekik karena itu. Aku jadi sakit parah dan dokter pun dipanggil. Hasilnya tidak baik. Aku terus saja tumbuh. Itu cuma lelucon. Aku menceritakan perbuatanku dan ayah pada umumnya pasti akan memecutku tapi ayahku tidak.

Yah, aku tidak jadi pendek dan tidak jadi mati. Benar kata Harry Hellinfinger. Lalu kuputuskan bahwa aku akan bekerja di kandang kuda, tapi itu juga tidak jadi. Yang melakukan pekerjaan itu kebanyakan negro dan aku tahu ayah tidak akan membolehkanku. Tidak perlu menanyakannya lagi.

Kalau kau tidak tahu rasanya tergila-gila pada kuda keturunan murni, itu karena kau belum pernah melihat mereka berkumpul dan kau belum cukup mengenal dunia. Mereka gagah-gagah betul. Tidak ada yang begitu bagus, bersih, berani, murni, dan segala-galanyalah seperti kuda pacuan. Di peternakan kuda besar yang ada di sekitar kampung kami, Beckersville, ada trek dan kuda-kuda berlarian pagi-pagi sekali. Lebih dari seribu kali aku bangkit dari tempat tidur sebelum fajar dan berjalan dua sampai tiga mil ke trek. Ibu akan melarangku pergi tapi ayah selalu bilang, “Biarkan saja.” Maka aku mengambil roti dari wadahnya dengan mentega dan selai, melahapnya, dan langsung pergi.

Di balapan kau duduk-duduk di pagar dengan para pria, kulit putih dan negro. Mereka mengunyah tembakau dan mengobrol-obrol, lalu anak-anak kuda jantannya dikeluarkan. Masih pagi sekali dan rumputnya dilapisi embun yang berkilauan dan di padang lainnya seorang pria sedang membajak. Di gudang tempat tinggal para negro trek, mereka sedang menggoreng makanan, dan kau tahulah bagaimana negro terkekeh-kekeh, tertawa, dan melontarkan hal-hal yang membuatmu tertawa. Orang kulit putih mana bisa begitu. Sebagian negro juga tidak bisa, tapi negro trek selalu bisa.

Maka anak-anak kuda jantan digiring dan sebagiannya dicongklang oleh para pekerja kandang. Tapi hampir setiap pagi dalam trek besar milik orang kaya yang tinggalnya mungkin di New York, selalu ada beberapa anak kuda jantan dan kuda-kuda balapan tua serta kuda betina dan binatang lainnya yang dikebiri melepaskan diri.

Rasanya ada yang menyumbat tenggorokanku saat seekor kuda berlari. Tidak semua kuda, tapi sebagian saja. Aku hampir selalu bisa mengenali mereka. Itu mengalir dalam darahku seperti pada para negro trek pacuan dan para pelatih. Sekalipun mereka sedang berjalan-jalan saja sambil ditunggangi seorang negro kecil, aku bisa tahu yang mana yang ulung. Jika tenggorokanku nyeri sampai terasa sulit untuk menelan, itulah dia. Dia akan berlari kesetanan jika kau mengeluarkan dirinya dari kandang. Akan mengherankan jika dia tidak menang terus dan itu pun karena ada yang menahannya di belakang yang lain atau dia ditarik atau dikembalikan ke kandang atau semacam itu. Kalau aku ingin jadi penjudi seperti ayahnya Henry Rieback aku bisa kaya. Aku tahu aku bisa, dan menurut Henry juga begitu. Aku tinggal menunggu rasa nyeri itu saat melihat seekor kuda, dan bertaruh untuknya. Itu yang akan kuperbuat kalau aku ingin jadi penjudi, tapi tidak ah.

Saat kau ke trek pagi-pagi—bukan trek pacuan tapi trek latihan di sekitar Beckersville—di sana tidak banyak kuda seperti yang tadi kubicarakan, tapi yang ada bagus-bagus juga. Kuda keturunan murni mana pun, yang bapaknya sehat, dari induk yang baik, serta dilatih orang yang cakap, bisa lari. Kalau dia tidak bisa lari, buat apa dia berada di situ dan bukannya menarik bajak?

Jadi, kuda-kuda itu keluar dari kandang sambil ditunggangi. Menyenangkan sekali di sana. Kau duduk-duduk di atas pagar dan merasa bergairah. Di atas gudang para negro terkikih-kikih dan menyanyi. Bakon digoreng, kopi diseduh. Semuanya beraroma sedap. Tidak ada yang aromanya lebih sedap daripada kopi, rabuk, kuda, negro, bakon goreng, dan asap pipa di luar ruangan pada pagi-pagi seperti itu. Rasanya menarik saja.

Kembali ke Saratoga. Kami di sana selama enam hari dan tidak seorang pun dari kampung yang melihat kami. Segalanya berjalan dengan lancar sebagaimana yang kami inginkan, mulai dari cuacanya, kuda-kudanya, pacuannya, dan semuanya. Saat kami akan pulang Bildad memberi kami sekeranjang ayam goreng, roti, serta makanan lainnya, dan aku masih punya delapan belas dolar saat kami kembali di Beckersville. Ibu mengomel dan menangis tapi Pop tidak bicara banyak. Aku menceritakan semua perbuatan kami kecuali satu hal. Aku melakukan dan menyaksikan itu sendirian. Itulah yang mau aku tulis. Hal itu mengusikku, membuatku memikirkannya pada malam hari. Beginilah ceritanya.

Di Saratoga, pada malam hari kami beristirahat di jerami gudang yang Bildad tunjukkan pada kami. Tiap pagi dan malam kami makan dengan para negro ketika orang-orang pacuan sudah pada pergi. Orang-orang dari kampung kebanyakan tinggal di tribune dan tempat taruhan, dan tidak keluyuran di sekitar kandang selain ke padang rumput tepat sebelum pertandingan saat kuda-kuda dipasangi pelana. Di Saratoga tidak ada padang rumput di dalam gudang terbuka seperti di Lexington, Churchill Downs, dan trek-trek lainnya di desa kami. Kuda-kuda dipasangi pelana di tempat terbuka di bawah pepohonan di sebuah halaman berumput yang lembut dan indah, elok seperti di pekarangan depan kepunyaan Banker Bohon di Beckersville. Tempatnya bagus. Kuda-kuda itu berkeringat, gelisah, dan berkilauan. Orang-orang bermunculan, merokok, dan menyaksikan kuda-kuda itu. Di sana juga ada para pelatih dan pemilik kuda. Jantungmu berdebar kencang sampai-sampai kau merasa sesak.

Lalu selompret berbunyi tanda penempatan kuda di pos masing-masing. Para penunggang kuda bermunculan dengan mengenakan pakaian sutra. Kau pun berburu tempat di dekat pagar bersama para negro.

Aku selalu ingin jadi pelatih atau pemilik. Maka supaya tidak ketahuan dan dipulangkan, aku ke padang rumput sebelum setiap pertandingan. Aku sendirian saja, tidak bersama anak-anak lainnya.

Kami sampai di Saratoga pada Jumat, dan pada Rabu minggu depannya si bongsor Mullford Handicap akan bertanding. Middlestride dan Sunstreak juga. Cuacanya cerah dan lintasannya cepat. Pada malam sebelumnya aku tidak bisa tidur.

Kedua kuda ini jenis yang membikin tenggorokanku terasa nyeri. Middlestride bertubuh panjang, tampak rikuh, dan merupakan kuda kebiri. Dia kepunyaan Joe Thompson, pemuda dari kampung yang cuma punya separuh lusin kuda. Mullford Handicap jagonya balap satu mil sedangkan Middlestride tidak bisa meluncur cepat. Mulanya dia lambat dan selalu ketinggalan di pertengahan, lalu mulailah dia lari. Jika lintasannya satu seperempat mil, dia akan menghabisi semuanya dan menang.

Sunstreak berbeda. Ia seekor kuda jantan penggugup milik peternakan terbesar di desa kami, yaitu tempatnya Van Riddle yang merupakan milik Mr. Van Riddle di New York. Sunstreak itu seperti gadis yang terkadang muncul dalam khayalanmu tapi tidak pernah kau temui. Ia gagah perkasa dan rupawan. Melihat kepalanya membuatmu ingin menciumnya. Ia dilatih oleh Jerry Tillford yang mengenalku dan sering bersikap baik padaku, membolehkanku masuk ke istal untuk melihat dirinya dari dekat dan berbagai hal lainnya. Tak ada yang seindah kuda itu. Ia bergeming saja di posnya dan tidak menampakkan gairah yang ada di dalam dirinya. Ketika palang rintangnya naik, ia pun angkat kaki seperti namanya, Sunstreak—kilatan matahari. Kau ingin sekali melihat dirinya. Ia membuatmu merasa nyeri. Ia melesat dan berlari seperti anjing pemburu. Aku tidak pernah menyaksikan apa pun berlari seperti Sunstreak selain Middlestride saat dia meluncur dan merentangkan dirinya.

Astaga! Aku ingin sekali melihat balapan itu dan kedua kuda itu berpacu, ingin sekaligus khawatir. Aku tidak ingin melihat salah satu dari keduanya kalah. Sebelumnya tidak pernah ada pasangan seperti itu dalam pacuan. Begitu yang dikatakan orang-orang tua di Beckersville dan para negro. Itu kenyataan.

Sebelum pertandingan aku melihat-lihat ke padang rumput. Untuk terakhir kali aku memandangi Middlestride yang kelihatannya tidak begitu menonjol, lalu aku menghampiri Sunstreak.

Hari ini adalah kejayaannya. Aku tahu saat melihatnya. Aku sampai lupa supaya tidak terlihat dan berjalan mendekatinya. Semua orang di Beckersville ada di sana dan tidak ada satu pun yang memerhatikanku selain Jerry Tillford. Ia melihatku dan ada yang terjadi. Aku akan menceritakannya padamu.

Saat itu aku sedang berdiri sambil memandangi kuda itu dan merasa nyeri. Dengan suatu cara yang tidak bisa kujelaskan, aku tahu persis apa yang dirasakan Sunstreak di dalam dirinya. Ia tampak tenang dan membiarkan para negro menggosoki kakinya dan Mr. Van Riddle sendiri yang memakaikan pelana padanya, namun di dalam dirinya ada deru yang hebat. Ia bagaikan air di sungai Air Terjun Niagara tepat sebelum terhempas. Kuda itu tidak sedang memikirkan tentang berpacu. Tidak perlulah ia memikirkan itu. Yang dipikirkannya cuma menahan diri hingga waktunya berpacu tiba. Aku tahu itu. Aku tahu hanya dengan melihat langsung ke dalam dirinya. Ia akan berpacu dengan dahsyat dan aku tahu itu. Ia tidak berlagak, sesumbar, berjingkrak-jingkrak, atau ribut-ribut, tapi menunggu saja. Aku tahu itu dan Jerry Tillford si pelatih menyadarinya. Saat aku memandang, aku dan pria tersebut bertatapan. Kurasakan sesuatu. Kurasa aku mencintai pria itu sebanyak cintaku pada kudanya sebab ia menyadari yang kurasakan. Rasanya yang ada di dunia ini cuma aku, pria itu, dan kudanya. Aku berseru dan mata Jerry Tillford tampak berseri. Lalu aku menghampiri pagar untuk menanti balapan. Kuda itu lebih tenang dari padaku, dan kini aku lebih tahu daripada Jerry. Ia kuda yang paling anteng dan ia mesti berpacu.

Tentu saja Sunstreak yang lari pertama-tama dan ia memecahkan rekor dunia untuk balapan satu mil. Belum pernah aku menyaksikan yang seperti itu. Segalanya terjadi tepat seperti yang kubayangkan. Middlestride tertinggal di posnya lalu menyusul dan hampir mencapai posisi kedua, persis seperti yang kuperkirakan. Kelak dia akan menjadi rekor dunia juga. Berkat mereka, penduduk desa Beckersville selalu keranjingan kuda.

Aku menonton balapan itu dengan anteng sebab aku dapat menduga yang akan terjadi. Aku yakin. Hanley Turner, Henry Rieback, dan Tom Tumberton lebih heboh dari padaku.

Aku merasakan hal yang lucu. Aku sedang memikirkan Jerry Tillford si pelatih dan betapa bahagianya ia selama pertandingan. Sore itu aku bahkan lebih menyukainya daripada aku menyukai ayahku sendiri. Aku hampir lupa pada kuda-kuda saat merasakan itu terhadap dirinya. Itu karena sorot matanya saat ia berdiri di lapangan di samping Sunstreak sebelum pertandingan dimulai. Aku tahu ia telah mengamati dan mengurus Sunstreak sejak kuda itu masih bayi, mengajarinya berlari, bersabar, dan kapan waktunya untuk membebaskan diri dan jangan berhenti, jangan. Aku tahu bahwa ia merasa seperti ibu yang menyaksikan anaknya melakukan suatu hal yang berani atau hebat. Itu kali pertama aku merasa seperti itu pada seorang pria.

Malam itu setelah pertandingan aku meninggalkan Tom, Hanley, dan Henry. Aku ingin sendirian dan berada di dekat Jerry Tillford kalau bisa. Inilah yang terjadi.

Trek di Saratoga terletak di dekat pinggir kota. Seluruhnya terawat, di mana-mana ada pohon yang hijau sepanjang tahun, rumput, dan semua bangunannya dicat dan bagus-bagus. Kalau kau melewati treknya, ada jalan keras yang terbuat dari aspal untuk dilalui mobil, dan kalau menyusurinya sampai beberapa mil, ada belokan menuju suatu rumah tani kecil yang berpenampakan ganjil berdiam di sebuah pekarangan.

Malam sehabis pertandingan itu, aku menyusuri jalan tersebut karena aku sempat melihat Jerry dan beberapa pria lainnya menuju ke situ mengendarai mobil. Saat itu aku tidak menyangka akan bertemu mereka. Aku berjalan beberapa jauh lalu duduk di pagar untuk merenung. Itu jalan ke arah yang dilalui mereka tadi. Aku ingin bisa berada sedekat mungkin dengan Jerry. Aku merasa akrab dengannya. Sebentar kemudian aku naik ke jalan setapak—entah kenapa—dan menghampiri rumah tani yang ganjil itu. Aku kangen melihat Jerry, rasanya seperti ingin menemui ayahmu malam-malam saat kau masih kecil. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil muncul dan masuk. Jerry ada di dalam mobil itu, juga ayahnya Henry Rieback, Arthur Bedford dari kampung, Dave Williams, dan dua pria lainnya yang tidak kukenal. Mereka semua keluar dari mobil dan masuk ke rumah, kecuali ayahnya Henry Rieback yang bertengkar dengan mereka dan berkata dia tidak akan masuk. Saat itu baru sekitar pukul sembilan, tapi mereka semua sudah mabuk dan rumah tani berpenampakan ganjil itu tempatnya perempuan nakal. Ya, itu benar. Aku bergerak pelan-pelan menyusuri pagar, mengintip lewat jendela, dan melihat.

Itu yang bikin aku jadi ketir-ketir. Aku tidak mengerti. Para wanita di rumah itu semuanya berpenampilan buruk dan licik, tidak enak dilihat apalagi didekati. Mereka semua juga tidak cantik, kecuali satu yang jangkung dan kelihatannya agak seperti Middlestride yang dikebiri, tapi tidak sebersih kuda itu, dan mulutnya kasar dan kotor. Rambutnya berwarna merah. Aku menyaksikan semuanya dengan jelas. Aku berdiri di dekat sesemakan mawar layu di dekat jendela yang terbuka dan mengintip. Para wanita itu mengenakan gaun longgar dan duduk santai di kursi. Para pria masuk dan sebagian duduk di pangkuan para wanita itu. Tempat itu berbau busuk dan terdengar omongan jorok. Anak-anak mungkin biasa mendengar itu di sekitaran kandang kuda di kota kecil macam Beckersville pada musim dingin, tapi tidak pernah terbayang akan mendengar itu saat sedang ada wanita. Karena itu jorok. Negro mah tidak bakal ke tempat seperti itu.

Aku menatap Jerry Tillford. Aku sudah memberitahumu kan perasaanku padanya karena Jerry tahu apa yang dialami Sunstreak di dalam dirinya pada menit-menit sebelum ia menuju posnya untuk balapan dan membuat rekor dunia.

Di rumah perempuan nakal itu, Jerry menyombongkan diri padahal setahuku Sunstreak saja tidak pernah begitu. Ia bilang dirinyalah yang membesarkan kuda itu, dirinyalah yang memenangkan balapan itu dan membuat rekor. Ia berdusta dan membual seperti orang goblok. Belum pernah aku mendengar omongan setolol itu.

Lalu, tebaklah yang dilakukannya! Ia menatap wanita yang ada di situ, yang kurus, bermulut kasar dan terlihat sedikit mirip Middlestride yang dikebiri, tapi tidak sebersih kuda itu. Matanya mulai bersinar persis seperti saat ia menatapku dan Sunstreak di lapangan trek sore tadi. Di dekat jendela itu aku berdiri—astaga!—kuharap aku tidak jauh-jauh dari trek, melainkan tetap bersama anak-anak, para negro, dan kuda-kuda. Wanita jangkung bertampang busuk itu ada di antara kami saat Sunstreak di lapangan sore tadi.

Lalu, tiba-tiba, aku mulai membenci pria itu. Aku ingin berteriak, menyerbu ke ruangan itu, dan membunuhnya. Belum pernah aku merasa seperti itu. Aku sungguh-sungguh marah karena itu. Aku menjerit dan tinjuku terkepal sampai-sampai kukuku menggores tangan.

Dan mata Jerry tetap bercahaya. Ia melambai-lambai, lalu pergi dan mencium wanita itu sementara aku pelan-pelan menjauh dan kembali ke trek, ke tempat tidur, dan hampir-hampir tidak tidur. Keesokan harinya aku memaksa anak-anak lain untuk pulang bersamaku dan tidak memberi tahu mereka apa pun yang telah kulihat.

Sejak itu aku masih memikirkannya. Aku tidak mengerti. Musim semi telah datang kembali. Aku hampir berusia enam belas tahun dan setiap pagi pergi ke trek seperti biasanya. Aku melihat Sunstreak, Middlestride, dan anak kuda jantan baru bernama Strident yang taruhan deh ia bakal menghabisi mereka semua, tapi tidak ada yang berpikir begitu selain aku dan dua-tiga negro.

Tapi rasanya sudah lain. Di trek hawanya tidak terasa nyaman atau tercium seperti itu. Itu karena pria seperti Jerry Tillford, yang sadar akan perbuatannya, yang dapat menyaksikan kuda seperti Sunstreak berpacu dan mencium wanita seperti itu pada hari yang sama. Aku tidak mengerti. Dasar laknat, buat apa ia mau melakukan perbuatan seperti itu? Aku terus memikirkannya dan rasanya jadi tidak nikmat lagi menontoni kuda-kuda, membaui apa-apa, mendengar para negro tertawa, dan berbagai hal lainnya. Kadang aku marah sekali soal itu sampai aku ingin berkelahi dengan siapalah. Gara-gara itu aku jadi ketir-ketir. Buat apa ia melakukan itu? Aku ingin tahu sebabnya.[]



Diterjemahkan dari cerpen Sherwood Anderson, “I Want to Know Why” (1920)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...